BAB XV

PERASAAN

AKU dan Elias akhirnya sampai di dalam rumah Mrs. Annabeth. Tanpa membuang waktu, aku segera menuju tangga untuk membawa tubuh Elias ke kamarnya sambil berteriak meminta bantuan.

"Ada apa, Ave? Kenapa kau berteriak-" tanya Jessy yang berlari menaiki tangga menyusulku. "-astaga! Apa yang terjadi dengannya?"

"Kami diserang Dementa, Jessy."

"Apa?" pekiknya lalu membantu membukakan pintu kamar Elias sehingga aku dapat membaringkan tubuhnya yang penuh luka di atas tempat tidur dengan cepat.

"Jessy, tolong sembuhkan dia," pintaku padanya. Jessy mengangguk dan mengambil tempat di samping Elias. Sedang aku berlari keluar mencari Arvel. Mengikuti aroma tubuhnya, aku menemukan dirinya tengah duduk bersama Airen di halaman belakang.

"Arvel," tegurku dan dia menoleh. Kemudian berjalan cepat ke arahku.

"Hey, my sister. What happened to you?" tanyanya sambil mengusap jejak air mataku yang tertinggal.

"Elias, Arvel. Dementa melukainya, tolong buatkan obat untuknya," ucapku menggenggam erat tangannya. Saat seperti inilah, aku merasa menyesal karena keputusanku dulu untuk tidak ikut belajar meracik ramuan bersama *D*ad dan Arvel.

"Tenanglah," ucapnya lalu menarikku dalam pelukan. "Kau harus tetap tenang, oke?" Dia pun melepas pelukannya dan menuntunku untuk duduk di sofa ruang tamu. "Aku akan melihat kondisinya dulu."

Aku mengangguk dan mengusap wajahku. Harusnya aku tidak bertindak seceroboh ini.

"Ternyata kau bisa menangis juga, eh?"

Aku mendongak dan menemukan Airen bersandar pada dinding. Seperti biasa, dia memberiku senyuman sinisnya.

"Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan siapapun."

"Begitu pun, aku," timpalnya. Dia kemudian berjalan dan duduk di sofa lain yang ada di depanku. "Listen, Ave. Lihat Elias, dia sangat mencintaimu bahkan mampu mengorbankan nyawanya untuk melindungimu. Tapi apa yang kau lakukan sebagai balasannya?"

Aku diam menunggunya melanjutkan perkataannya.

"Kau melukainya, kau menyakiti hatinya juga hati kakakku, Ave."

"Semua perkataanmu tentang apa yang ku lakukan pada Elias memang benar. Tapi aku tidak pernah melukai hati kakakmu, Airen!"

Gadis itu tertawa dramatis. "Benarkah?"

"Sudah, cukup," ucapku beranjak dari sofa dan menaiki tangga meninggalkannya. "Elias, semoga kau baik - baik saja," gumamku sambil melangkah masuk ke dalam kamar dimana Elias masih belum sadarkan diri.

Di sana, Jessy, Fred, Arvel, Sarah dan Adrian mengelilingi Elias yang terbaring lemah.

"Bagaimana, Jessy, Fred?" tanya Arvel sambil mengamati mereka berdua yang tengah berusaha mengobati Elias.

"Lukanya tidak terlalu dalam. Kita hanya tinggal menunggunya sadar," jawab Fred membuatku menghembuskan nafas lega.

Fred dan Jessy pun akhirnya kembali ke kamar mereka. Lalu, Arvel menuju dapur untuk membuat ramuan. Dia tersenyum menyemangati ketika melewatiku. Kini yang tersisa di samping Elias hanya aku dan Adrian.

"Kau juga terluka," ucap Adrian tiba - tiba. Pandangannya pada Elias beralih padaku.

"Aku baik - baik saja."

"Tidak." Dia menggeleng. "Dia berhasil menandaimu."

Aku mengernyit. "Menandai?"

"Tanpa kau sadari, Dementa telah menandaimu, Avera."

"Aku tidak mengerti, tanda apa yang kau maksud?" tanyaku sambil memeriksa bagian tubuhku.

Adrian menghela nafas dan berjalan mendekat. Dia mengambil tangan kananku dan menggumamkan mantra yang cukup sulit.

"See it," ucapnya ketika sebuah garis - garis abstrak berwarna hitam muncul di pergelangan tanganku.

"Apakah ini tandanya? Kapan dia melakukannya?" gumamku. "Adrian, apa yang bisa dia perbuat dengan memberiku tanda ini?" tanyaku cemas.

"Dia dapat mengetahui dimana lokasimu berada, Ave. Kau tidak akan bisa bersembunyi lagi darinya."

"Mustahil. Kenapa harus ada sihir menyusahkan seperti ini?" Aku mendengus. "Apa kau bisa menghilangkannya?"

Adrian menggeleng dan melepaskan tanganku. "Yang bisa menghapusnya hanya si pembuat tanda," ucapnya. "Tapi mungkin saja penyihir dengan tingkat tinggi seperti Mrs. Annabeth bisa menghilangkan tanda pada tanganmu itu," lanjutnya memberiku harapan. Namun hingga esok hari tiba dan pagi berganti malam lagi, Mrs. Annabeth belum kembali juga.

●●●

Dua hari telah berlalu dan Elias masih belum sadar.

"Ayo, bangunlah, Elias," ucapku menggenggam tangannya erat.

"Ini sudah waktunya untuk kita berlatih, Avera," ucap Adrian yang bersandar di pintu kamar.

Aku mengangguk dan mengecup dahi Elias sebelum pergi bersama Adrian.

"Kenapa Mrs. Anna belum pulang juga? Apakah mungkin terjadi hal buruk padanya?" tanyaku pada Adrian di sela - sela langkah kami.

"Mom mengatakan padaku bahwa dia baik - baik saja. Namun *M*om tidak tahu alasan kenapa wanita itu tidak segera pulang ke rumah."

"Bagaimana Jessy bisa tahu? Apakah mereka bertemu saat kemarin kedua orangtuamu keluar mencarinya?"

"Mungkin saja." Dia lalu berhenti. "Cukup perbincangannya. Fokus kita sekarang adalah latihan, oke?"

"Oke."

Aku dan Adrian pun mengambil tempat masing - masing dimana kami biasa gunakan untuk latihan sihir. Namun belum sampai memulai, aku dapat merasakan aroma Arvel semakin mendekat. Dan benar saja, lima detik kemudian dia telah berdiri di tengah - tengah kami.

"Kenapa kau kemari?" tanyaku.

"Kau harus segera pergi, Ave," jawabnya justru menambah kerutan di dahiku.

"Pergi kemana? Ka-"

"Katakan saja apa yang terjadi dengan jelas, Arvel," ucap Adrian memotongku.

"Sarah mengatakan bahwa Dementa sedang menuju ke rumah. Jadi kau harus pergi sekarang," Arvel meraih tanganku dan menyerahkannya pada Adrian. "Jaga dia."

"Tidak. Bagaimana denganmu? Kau tidak ikut? Lalu Elias?" tanyaku disusul dengan genggaman Adrian yang mengerat.

"Kami akan menyusul."

"Bagaimana cara-"

"Ave, kita harus segera pergi," ucap Adrian lalu menarikku masuk ke dalam portal.

Setelah keluar dari portal, Adrian yang masih menggeggam tanganku, membawaku berjalan ku ujung jalan. Yeah, kurasa portal miliknya tadi berujung di tempat seperti.. sebuah gang?

Kami pun mencapai jalan yang masih berupa tanah biasa tanpa aspal maupun paving. Dan yang membuatku terkejut banyak orang - orang yang berjalan di sekitar kami. "Apakah mereka semua penyihir?" bisikku di telinga Adrian.

Dia mengangguk sebagai jawaban.

"Bagaimana kalau mereka mengetahui ada vampir di sini?" Aku mulai memandang mereka yang berpakaian seperti masyarakat di desa dengan gaun panjang, maupun celana besar dan kaos lusuh. Dan hal itu membuat kami -yang memakai pakaian modern- begitu mencolok.

"Avera, tenanglah. Kau tidak lupa bahwa ibumu yang seorang ratu adalah bagian dari kaum vampir, bukan? Di sini, juga ada vampir lain jika indra penciumanmu masih berfungsi."

Aku menatapnya kesal dan mulai meneliti aroma dari orang - orang yang kami lewati. Dan benar, ada sosok pria yang beraroma vampir melintas di samping kami.

"Kau benar Adrian. Namun perlu kuingatkan, bahwa yang memiliki darah vampir - penyihir hanya sedikit bukan? Dan aku sekarang adalah buronan yang diinginkan 'raja'."

"Pelankan suaramu, Ave. Dan jangan cemaskan aroma sialan itu. Aku telah memberi ramuan untuk menyamarkan aromamu."

"Apa? Kapan? Bagaimana bisa kau melakukan hal itu?" tanyaku bertubi - tubi yang tak digubris olehnya.

Akhirnya kami berhenti di depan rumah kayu yang hampir sama seprti yang dimiliki oleh Fred dan Jessy.

"Luke, apa kau ada di rumah? Buka pintumu." Adrian mengetuk pintu rumah tersebut.

Ceklek.

"Adri? Masuklah," ucap seorang pria berambut pirang yang tadi membuka pintu. Kami pun masuk ke dalam rumahnya dan duduk di sofa ruang tamu. "Jadi, ada hal penting apa yang membawamu berkunjung, sobat?"

"Gadis ini," jawabnya menatap lurus ke arah Luke. "Dia putri dari raja sebelumnya. Atau bisa dibilang, keponakan Dementa."

"Apa katamu?" Luke membulatkan kedua matanya. Kemudian berlari menutup pintu dan gorden jendelanya sebelum duduk dan menatap serius ke arah Adrian.

"Aku butuh bantuanmu," ucap Adrian.

Luke melirikku dan meringis. "Oh man, jangan libatkan aku dalam masalah ini."

"Biarkan kami menginap malam ini saja."

Luke diam, bergantian melihat Adrian dan aku. "Hanya malam ini, oke?"

Adrian tersenyum tipis. "Thank you."

"Aku akan ke dapur untuk bawakan kalian camilan," ucap Luke kemudian pergi.

"Dia temanmu?" tanyaku sambil mengamati isi rumah.

"Ya."

"Lalu kemana kita akan pergi besok?"

"Kita pikirkan nanti saja."

●●●

Aku terbangun dari istirahatku sejenak ketika mendengar seseorang mengetuk pintu rumah Luke. Bergegas aku menuju ruang tamu dan mengintip dari jendela. Setelah mengetahui siapa tamu itu, aku pun membuka pintunya.

"Mrs. Annabeth?"

"Syukurlah, aku benar. Ayo, kita harus pergi ke tempat lainnya berkumpul," ucapnya lalu menarik tanganku.

"Tunggu, Mrs., Adrian masih di dalam," ucapku menahan langkahnya.

"Dia dapat menyusul. Yang terpenting sekarang adalah keselamatanmu, Avera."

"Lechfahd."

Brug.

"Mrs. Anna!" teriakku ketika tubuhnya terpental dan jatuh ke tanah. Aku berbalik dan menemukan Adrian berlari memeluk bahuku. "Apa yang kau lakukan?"

"Waktu yang tepat," gumamnya.

Aku masih belum paham kenapa dia menyerang Mrs. Annabeth. Hingga akhirnya, sosok Mrs. Anna bangkit dan berubah wujud.

"Hampir saja aku berhasil," penyihir yang menyamar tadi berdecih kesal.

"Siapa kau?"

"Hanya penyihir yang menginginkan imbalan dari Raja setelah membawamu padanya," jawabnya.

"Imbalan? Astaga." Aku menggelengkan kepala.

"Bagaimana kau bisa tahu, dia ada di sini?" tanya Adrian.

"Mudah saja. Aku bisa mengenal wajahnya dari ini." Penyihir tak dikenal itu mengeluarkan sebuah kertas yang terpampang fotoku.

"Sial," maki Adrian. "Avera, kita harus pindah tempat," ucapnya lalu menutup pintu dan membuka portal.

"Hey, tidakkah aku mendapatkan sesuatu?" tanya pemuda yang sempat berusaha menculikku itu.

"Apakah kematian cukup?" Adrian menatapnya tajam. Tak ada jawaban. Dia pun kembali melangkah membawaku masuk ke dalam portalnya lagi.

Ternyata ujung portal Adrian berakhir di dalam hutan. Dan dia menarikku untuk berlari.

"Kemana tujuan kita?"

"Bersatu kembali dengan semuanya."

Tak butuh waktu lama, aku dapat melihat Fred, Jessy, Sarah, Airen, Mrs. Anna dan Elias tengah duduk melingkar.

"Avera!" Arvel bangkit dan memelukku erat. "Kau selamat."

Aku tersenyum dan membalas pelukannya. Lalu pandanganku jatuh pada Elias yang menatapku intens. Kulepaskan pelukan Arvel dan menyapa lainnya sebelum mengambil tempat di sisi Elias.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku canggung.

"Jangan cemaskan aku, khawatirkan kondisimu. Maaf aku tidak bisa menjagamu dengan baik," sesalnya.

Aku meraih tangan kirinya dan membungkusnya dengan kedua tanganku. "Kau tidak salah apapun, jangan meminta maaf oke? Dan dengan semua yang terjadi, aku dapat mengerti perasaanku, Elias."

"Apa maksudmu, Ave?" tanyanya.

Hening sejenak. Aku mengamati Jessy, Fred dan Mrs. Anna tengah sibuk berdiskusi. Sedang Arvel, Airen, Sarah dan Adrian sibuk dengan pikirannya masing - masing.

"Saat melihatmu terbaring dengan kondisimu yang buruk, saat itu juga aku merasa takut kehilanganmu Elias."

"Senang mendengarnya," ujar Elias membuatku memukul lengannya.

"Bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya padaku? Selama ini kau mengejarku hanya karena aku adalah mate-mu, bukan?"

"Bukan hanya itu, Avera. Mencintaimu adalah alasan utamaku."

"Pembohong," ucapku dingin. "Aku tau Elias, kau pernah menjalin hubungan dengan para sepupuku."

Elias mengernyit. "Sepupu? Ah, itu, ya yang kau katakan memang benar. Tapi mereka hanya masa laluku, Avera."

"Benarkah?" Aku menaikkan sebelah alisku. "Lalu kenapa kau masih berciuman dengan masa lalumu?"

Dia terbatuk dan menatapku dalam. "Apakah masalah ini adalah akar dari penyebab kau menjauhiku?"

Aku memalingkan wajah ke samping. "Bukan."

"Pembohong," ucapnya mengikuti nada bicaraku. "Kau salah paham, Ave. Aku sudah tidak pernah menjalin hubungan asmara sejak tiga tahun yang lalu, karena ingin lebih serius dan fokus mencarimu."

"Aku melihatmu melakukannya dua kali dalam sehari, Elias."

"Katakan kapan dan dimana, aku akan menjelaskan yang sebenarnya terjadi padamu."

"Hari itu, dimana aku melihatmu dengan seorang wanita di pinggir jalan dan satu lagi di Antre mal."

Mendengar ucapanku, kedua mata Elias menerawang ke masa itu. "Aku ingat sekarang. Mereka berdua adalah saudara dari teman futsalku. Mereka 'menyerang'ku, Ave."

"Dan kau membalasnya," ucapku sinis.

"They're witches. Mereka menggunakan sihirnya padaku sehingga aku tidak dapat menggerakkan tubuhku. Dan catat ini, aku tidak membalas ciuman mereka."

"Penyihir? Apa - apaan mereka menggunakan sihir untuk hal semacam itu? Dan kau," aku menunjuk hidungnya. "Kau diam saja diperlakukan seperti itu?"

Elias menghembuskan nafas kasar. "Tentu saja tidak. Sihir mereka hanya bertahan sekitar satu menit. Setelah itu, aku akhirnya dapat memberi mereka pelajaran."

"Pelajaran?"

"Ya," dia mengangguk pasti.

"Ceritakan padaku, apa yang kau lakukan?"

"Percayalah, kau tidak sanggup mendengarnya."

Aku memajukan tubuhku dan menatapnya penasaran. "Elias."

Dia lalu menatapku datar. "Mereka menjadi santapanku."

"Kau serius?"

"Tentu saja tidak," ujarnya lalu tertawa keras. Aku memukul tubuhnya yang tidak terluka.

"Jangan bercanda! Waktumu sungguh tidak tepat."

Elias tak menggubris ucapanku dan terus tertawa. Karena kesal, aku pun mengecup pipinya dan membuat seluruh perhatiannya terpusat padaku. Dia seketika menghentikan tawanya.

"Lukamu bisa membuka lagi, jika tubuhmu terus bergoyang karena tawamu," ucapku sambil menatap ke dalam manik matanya.

"Kau sungguh mengkhawatirkanku?" Dia balas menatapku.

"Tentu saja. Kau membuatku mati ketakutan kehilanganmu."

Elias menggenggam tanganku lebih erat dan mendekatkan wajahnya. "Apa kau tahu perasaanmu padaku sekarang?"

"Ya," bisikku.

"Katakan apa itu?"

"Aku mencintaimu," ucap Elias bersamaan dengan jawabanku.

Elias tersenyum lebar dan mengecup dahiku sebelum akhirnya menarikku dalam pelukannya. "Aku sudah lama menantikan hari ini, Avera. Hari dimana kau sadar dengan apa yang kau rasakan untukku."

Aku tersenyum dan memggerakan sedikit tubuhku untuk bersandar lebih nyaman di dada bidangnya.

"Terima kasih."

●●●

Terpopuler

Comments

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

akhirnya perjuangan dan penantian elias berbuah manis

2020-05-31

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!