TERUNGKAP
FAJAR telah berada di puncak ketika aku dan yang lainnya tiba di tempat dimana para penyihir -yang bersedia membantu kami- berkumpul.
Mrs. Annabeth dan Frenzel yang telah berjasa mengumpulkan mereka semua di sini. Dari beragam pakaian yang mereka kenakan, dapat kuduga ada lebih dari sepuluh kelompok yang hadir, termasuk kelompok Plionz yang telah lebih dulu menemuiku.
"Doog noonretfa, sknaht rof rouy gnimoc. I era yrev esaelp fi ew ni etinu nac thgif Dementa dna lla fo sih ytimrone. (Selamat siang, terima kasih atas kehadiran kalian. Saya akan sangat berterimakasih jika kita dapat bersatu mengalahkan Dementa dan kekejamannya)," ucap Mrs. Annabeth mengawali pertemuan ini.
Aku yang mendengarnya, hanya bisa mengernyitkan dahi tak mengerti. Sama seperti ucapan yang Adrian katakan pada Key beberapa waktu lalu. Aku hanya tahu satu kata, 'Dementa'.
"Apa yang dia katakan?" bisikku pada Adrian yang berada di samping kananku.
"Bukan sesuatu yang buruk." jawabnya membuatku kesal.
Aku memutar bola mata dan kembali fokus menyaksikan Mrs. Annabeth berbicara panjang lebar. Hingga akhirnya, pidato itu selesai dan semua kembali ke tempat beristirahat mereka yang kebanyakan terbuat dari pohon - pohon di hutan ini. Magic are everywhere now.
"Kita semua perlu berdiskusi," ucap Mrs. Annabeth sebelum berjalan memasuki salah satu tempat bernaung yang terbuat dari daun - daun di atas pohon dan semak belukar.
Adrian, Airen dan Arvel berjalan mengikutinya terlebih dulu. Disusul oleh Jessy dan Fred. Terakhir aku berjalan bersama Elias yang tidak pernah mau melepas tautan tangan kami barang sedetik pun. Frenzel? Dia telah kembali menjalankan tugasnya. menjaga perbatasan hutan.
"Bagaimana ini?" tanya Mrs. Anna yang lebih seperti gumaman. "Sebagian dari mereka masih meragukanku."
Jadi perdebatan kecil tadi ada hubungannya dengan ini? Batinku menerka.
"Jangan terlalu kau pikirkan, Anna. Lambat laun juga mereka akan mempercayaimu," ucap Jessy sambil mengusap bahu Mrs. Anna.
"Apa alasan mereka meragukanmu, Mrs.?" tanyaku penasaran. "Kau orang baik, sangat. Kau pun telah menolongku dan Elias waktu itu."
"Itu karena-" jawab Jessy terpotong.
"Dementa adalah suamiku, dulu," jawab Mrs. Anna.
Kedua mataku membulat, pun juga dengan Elias dan Arvel. Sedang dua bersaudara Adrian-Arvel, juga sepupunya sudah kupastikan telah mengetahuinya sejak lama.
"Mustahil," aku mengernyit. "Bukankah saat itu kau berkata bahwa Dementa pernah mencoba membunuhmu?"
Mrs. Anna mengangguk. "Hal itulah yang membuatku menjadi bukan lagi isterinya."
"Walaupun begitu, itu berarti kau pernah menjadi bibiku?"
"Sekarang pun kau boleh menganggapku bibimu, sayang. Dan karena kau telah tahu kebenarannya, jangan panggil aku Mrs. lagi, oke? Call me aunty Ann," ucapnya sambil tersenyum lebar.
"Oke.. aun- ty Ann." ucapku canggung namun tak urung membalas senyumannya. Lalu hening menyelimuti.
"Kurasa kita sudah melewatkan jam makan siang dan aku merasa lapar sekarang," ucap Fred tiba - tiba.
Jessy terkekeh dan mencubit lengan suaminya. "Baiklah, aku akan siapkan makan siang."
"Aku akan mencari buah segar," ucap aunty Ann.
Satu per satu dari kami pun akhirnya beranjak dari tempat.
Kulirik Elias yang balik menatapku. Dia mengusap pipiku dengan tangannya yang bebas. "Kau tidak berburu?"
"Tidak. Mungkin besok," jawabku. "Kau lapar?"
"Yeah. Aku akan berburu sekarang," ucapnya lalu berdiri sambil menarik tanganku lembut untuk ikut berdiri bersamanya. "Kau sungguh tidak ingin berburu? Kita bisa berburu bersama atau mungkin kau bisa menemaniku?"
Aku memutar bola mata jengah. "Sungguh dan tidak."
Dia menghela nafas kecewa. Tak sanggup melihat ekspresinya itu, aku pun berjinjit dan mengecup dahi serta kedua pipinya. "Aku ingin istirahat sejenak, Elias. Kepalaku rasanya mau pecah."
Wajah sedihnya kembali normal. "Oke, istirahatlah," ucapnya kemudian mengecup dahiku. "I'll go back soon. Miss me please, dear."
Aku tersenyum lalu memasang wajah polos. "I won't miss you now shuh."
Elias tertawa dan berlalu pergi setelah mencuri kecupan di bibirku.
"Ehm."
Aku menoleh dan menemukan Adrian berdiri tak jauh dariku. Memang tak ada ekspresi seperti biasanya namun saat ini, tatapannya seolah mampu menenggelamkanku.
"Ada apa Adrian?"
"Kau punya waktu?" tanyanya sambil melangkah mendekat ke arahku.
Aku hanya mengangguk.
"Aku ingin bicara denganmu," ucapnya berhenti sejenak di depanku. "Tapi tidak di sini." Lalu melangkah kembali menembus rimbunnya hutan.
"Kita sudah cukup jauh, katakan saja sekarang," ucapku setelah hampir sepuluh menit berjalan.
Adrian memutar tubuhnya hingga kini kami saling berhadapan. "Baiklah. Apa hubunganmu dengan Elias?"
Aku menaikkan alis tanda bahwa aku masih bingung kemana dia akan membawa arah pembicaraan ini. "Aku adalah mate-nya."
Dia mendengus dan menatapku tajam. "Bukankah kau telah menolaknya? Dan mengakuiku sebagai kekasihmu di depannya?"
"Kau benar. Tapi keputusanku sudah berubah dan kau tahu betul bahwa kita hanya berpura - pura."
"Berpura - pura menurutmu?"
"Ya."
"..." Tak ada perkataan lagi yang terlontar darinya. Aku pun berniat untuk menyudahi pembicaraan ini dan kembali untuk beristirahat ketika kedua kakiku tak bisa digerakkan sama sekali.
"Apa yang kau lakukan?"
Lagi, Adrian tak menjawab dan hanya menatapku lurus. Kemudian dia melangkah perlahan mendekat.
"Aku mencintaimu, Avera."
Dug..
Pendengaran tajamku menangkap suara benda jatuh. Ada sebuah apel yang menggelinding ke arah kami.
"Astaga," potongnya diiringi hembusan nafas lelah. "Kalian tidak boleh mencintainya, Adrian."
"Katakan alasannya, Mrs. Anna. Jika kau melarang hanya karena dia adalah mate dari Elias, aku tidak berjanji akan mendengarkan ucapanmu."
Aku hampir menganga mendengar setiap kata yang Adrian lontarkan. Dia bukan lagi Adrian yang kukenal.
Aunty Ann terlihat ragu dan bergumam, "Mungkin inilah waktu yang tepat." Dia lalu menatap kami dengan mata berkaca - kaca. "Karena kalian adalah saudara kandung. Adrian, Avera adalah kakakmu."
●●●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Triiyyaazz Ajuach
OMG avera kakak adrian? bagaimana ceritanya???
2020-05-31
1