BAB III

TERSEMBUNYI

JAM di dinding kamar menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku bergegas bangun dengan melompat dari tempat tidur. Alih - alih mendarat dengan berdiri tegak di atas lantai marmer kamarku, aku justru jatuh terpeleset. Aku meringis saat merasakan ngilu di kedua kakiku. Hal itu membuatku bingung. Kenapa daya regenerasi tubuhku lambat? Nyeri di punggungku juga masih terasa, walaupun semua lukanya telah menutup sempurna. Pasti mereka rogues, bukan werewolves seperti yang kukira sebelumnya. Dan tidak salah lagi ini semua diakibatkan oleh racun mereka.

Brak.. Pintu kamarku terbuka lebar.

"Ave! Kau tak apa?" tanya Arvel yang berlari meraih tubuhku dan menaruhnya kembali ke atas tempat tidur.

Aku mengangguk. "Apakah aku jatuh terlalu keras hingga kau datang kemari dengan cepat?"

Dia terkekeh lalu meraih rambutku dan menggelungnya ke atas. "Pendengaranku lebih tajam diantara lainnya, ingat huh?"

Memutar bola mata, aku mendengus.

"Kenapa kau bisa jatuh? Apa kedua kakimu masih sakit?"

"Well, ya."

"Aneh," gumamnya dengan tangan mengusap dagu. "Akan kubawakan darah untuk membantu mempercepat penyembuhanmu."

Saat dia akan berbalik, aku memegang lengannya. "No. Aku tidak lapar."

Tangannya melepas genggamanku lalu mengusap rambutku, "Kau harus, oke? Ini demi kesehatanmu. Jika kau tetap menolak akan kupanggilkan Dad-"

"No!" teriakku spontan.

Arvel tertawa bengis melihat reaksiku. "Well sister, tetap duduk manis di sini dan minum darah yang sebentar lagi kubawakan."

Aku cemberut dan dengan terpaksa aku mengangguk.

"Good girl."

Lalu Arvel pun keluar dari kamar. Aku memandang sosoknya hingga menghilang di ujung tangga, kemudian pandanganku beralih pada ponsel lamaku yang berada di nakas meja. Setidaknya aku masih punya alat komunikasi walau tidak sebagus yang diberikan oleh Arvel. Terdapat tiga pesan yang belum kubaca. Yang pertama adalah pesan dari kekasih setiaku.

From: Operator

Dapatkan promo gratis hari ini. Hubungi 0xx#*

Aku langsung menghapus pesan itu dan membaca pesan berikutnya.

From: Bella Smith

Hai sepupu! Kapan kau ada waktu senggang? Aku ingin cerita banyak bersamamu ^^

Pasti tentang Crist lagi.. aku mengetik balasan padanya.

To: Bella Smith

Aku sibuk. Pergi saja ke rumah Aly.

Send. Aku pun menggeser layar ponselku ke bawah untuk membaca pesan terakhir pagi ini.

From: 082947xxx

Bagaimana keadaanmu? Kuharap kau sudah mulai membaik. Jaga dirimu, sweet pie. Aku akan segera menemuimu.

Dahiku membentuk kerutan dan tak butuh lama untuk membuat otakku menyimpulkan siapa pengirim pesan ini.

To: 082947xxx

Jangan pernah mencoba untuk menghubungiku lagi, Armond.

Adelais Armond, aku harus menjauhi pria yang mengakui diriku sebagai mate-nya. Harus.

"Ave," tegur Arvel membuatku meletakkan ponsel kembali ke tempatnya setelah menghapus pesan dari pria menyebalkan tadi.

"Hm?"

"Ini, habiskan!" Arvel mengulurkan gelas berisi cairan berwarna hitam pekat. Oh tidak!

"Kau bohong padaku! Kau mengadu pada Dad," ucapku kesal. Minuman yang sedang dipegangnya adalah alasan mengapa aku tidak ingin Dad sampai tahu aku terluka. Minuman itu yang selalu Dad berikan padaku di saat seperti ini. Sungguh aku tidak ingin meminumnya, cukup sekali saja.

Kulihat Arvel menggaruk kepalanya bingung. "Kau lupa kalau Dad punya kemampuan-"

Aku mengumpat dalam hati, menyadari bahwa Dad mempunyai kemampuan untuk membaca masa lalu seseorang dari kontak mata. Pasti Arvel bertemu dengannya di dapur.

Aku menggeleng tegas dan dengan tertatih, aku berlari menuruni tangga. Biarlah Arvel mengejekku seperti anak kecil, dia hanya belum tahu bagaimana rasa dari minuman yang disebut Dad sebagai ramuan penyembuh.

"Ave, berhenti dan segeralah minum!"

"No!" Aku berteriak dan terus menoleh ke belakang melihatnya yang ikut berlari mengejarku.

Kedua kakiku menginjak rumput basah taman belakang rumah dan Arvel masih setia mengikutiku. Sedang aku tetap berlari menghindar.

Bugh..

Aku terjatuh dan menimpa tubuh seseorang. Kubuka mata dan menemukan sepasang mata berlensa biru memandangku dingin. Adrian!

"Bangun," suara datarnya membuatku reflek segera bangkit. Dia ikut berdiri tegak dan memandangku sekian detik. Aku balas menatapnya sengit.

"Gotcha!" Arvel memelukku dari belakang.

"Lepas-" ucapanku terhenti tatkala dengan tega dia meminumkan ramuan itu ke dalam mulutku yang terbuka. Aku berniat memuntahkannya namun tangan Arvel dengan cepat membungkam mulutku. Sial.

"Childish," Adrian memandangku remeh sebelum beranjak pergi. Double sial.

●●●

Setelah insiden tadi pagi, aku mogok bicara dengan saudaraku itu. Dan sebagai pelampiasan aku mengungsi ke kamar Airen.

"Ave!" gadis itu memekik ketika baru menyadari bahwa aku duduk di atas meja belajarnya-mengamati dirinya yang sibuk membaca novel di atas tempat tidur.

Aku hanya diam menunggunya berbicara lagi.

"Bagaimana kau bisa ada di sini, kurasa aku sudah mengunci pintu kamarku."

Aku ke sini melalui jendela kamarmu yang terbuka, tentu saja. Aku membatin.

"Apakah itu penting?" tanyaku sarkastik.

"Tidak, tapi ta-," dia tergagap. Perlahan dia bangkit dan berubah posisi menjadi duduk. "Ehm, apakah ada hal penting yang ingin kau sampaikan?"

Aku menatap lurus ke arahnya yang tengah menunduk gelisah memandangi lantai.

"Apa kau takut padaku?"

Kulihat tubuhnya tersentak lalu dia menggeleng ragu.

"Baguslah, aku juga tidak berniat memakanmu." Perkataanku membuatnya menegang. Ada apa dengannya?

"Ya. Aku tahu kalau kau dilarang meminum darah manusia oleh Tuan Foxter," ucapnya pelan.

Ah jadi dia sudah tahu.

"Begitukah?" Sepertinya bermain dengannya akan menyenangkan.

"Ya."

"Apakah Dad juga mengatakan padamu bahwa aku pernah melanggar larangannya dan membunuh seorang gadis, well," aku berhenti sejenak untuk melihat ekspresinya. "Seumuran denganmu."

"Kau tidak akan berani menyakitiku," ucapnya lantang sambil menatap tajam ke arahku.

"Kenapa tidak?"

"Adrian memasang pelindung untukku," jawabnya justru membuatku semakin tertarik.

"Pelindung? Apa yang bisa dilakukan olehnya?" Aku mendengus.

"Ada banyak yang tidak kau ketahui Ave," ucapnya memasang senyum misterius yang membuatku jengkel.

"Oh ya, lalu sejak kapan kau tahu aku vampir?"

"Tadi pagi saat aku mendengar dan melihatmu dengan Arvel."

"Dasar penguping."

"Tidak! Aku bukan- aku tidak sengaja-"

Aku mengibaskan tanganku di udara, "Sudahlah. Aku tahu cerita selanjutnya, kau menghampiri Dad dan bertanya ini-itu."

Airen diam dan dugaanku benar. Sudah cukup untuk permainan hari ini.

"Aku tadi hanya bercanda. Bermain denganmu, ah lebih tepatnya perasaan takutmu ternyata menyenangkan."

"Apa?" dia membulatkan kedua matanya, memandangku tak percaya.

Tanpa sepatah kata apapun, aku turun dari meja belajarnya dan langsung melompat ke bawah melalui jendela. Mungkin jalan - jalan sebentar akan membuat moodku lebih baik.

Angin langsung menerpa tubuhku begitu aku telah berdiri sempurna di atas tanah. Kuputuskan untuk berjalan keluar rumah, tepatnya taman kota yang berjarak sekitar satu kilometer dari sini. Kedua kakiku yang hanya berbalutkan sandal rumah membawaku berlari cepat ke sana. Setidaknya rasa dari ramuan karya Dad setimpal dengan kondisiku yang pulih lebih cepat.

Sepi. Suasana di taman membuatku merasa damai. Aku melirik jam tangan yang menujukkan pukul sebelas, hampir tengah malam. Semua orang pasti sudah tidur. Kuhampiri sebuah bangku yang ada di dekat kolam air mancur dan duduk disana. Memejamkan mata dan kantuk mulai menyerangku. Saat aku benar - benar akan tertidur, kedua mataku kembali membuka dan aku memandang sekeliling waspada. Ada aroma milik Adrian yang masuk ke indra penciumanku.

"Jangan bersembunyi, Adrian," ucapku mendesis dan membuat sosok hitam berjalan menghampiriku. "Apa yang kau lakukan di sini? Mengikutiku, huh?" tanyaku sinis.

Dia diam dan justru mengambil tempat duduk di sampingku.

"Kenapa kau diam saja?"

"Aku tidak perlu menjawab," ucapnya dengan pandangan tertuju pada air mancur.

"Dasar. Pulanglah, kau menggangguku saja," aku berusaha mengusirnya. Aroma yang menguar darinya membuatku merasa tak nyaman.

Dia menoleh ke arahku dan menatapku dingin. "Ini tempat umum."

Aku diam, tak bisa membalas ucapannya. Kupalingkan wajahku dan memilih untuk tidak berdebat dengannya lagi.

"Kenapa?"

Aku mengernyit lalu menoleh kembali, "Apa?"

"Kau mengikutiku kemarin sore."

Oh, jadi dia tahu. "Aku curiga padamu."

Adrian menaikkan sebelah alisnya, "Curiga? Apa kau bercanda?"

Aku menggeleng lalu menunjuk tepat di depan wajahnya. "Baumu membuatku mual, kau bukan manusia, aku yakin itu."

Dia tersenyum miring, "Lalu?"

"Katakan kau mahluk macam apa? Kau juga bukan vampir maupun werewolf."

"Im witch."

Aku membulatkan kedua mata, "Are you kidding me, huh? Mereka telah punah saat perang ratusan tahun yang lalu."

Kedua mata birunya memandangku serius, "Dan kau percaya? Mereka masih ada dan bersembunyi."

"Lalu kenapa kau di sini?"

"Aku mendapat tugas untuk membawa seseorang ke dunia kami."

"Seseorang? Untuk apa?" tanyaku semakin penasaran.

"Kau juga akan tahu nanti," jawabnya tersenyum misterius. Aku jadi tak yakin kalau dia dan Airen bukan saudara kandung. Tingkah dan senyumannya bahkan sama-sama membuatku naik darah.

"Apa?" Aku menggeram kesal. "Lalu kenapa kau menceritakan semua ini padaku?"

"Akan tiba waktunya untukmu tahu, Avera."

Dia bangkit dan berjalan menjauh meninggalkanku begitu saja.

Aku memandangnya sejenak sebelum bersender dan menutup mata-berfikir.

Mengapa dia menjadi terbuka padaku? Mengapa dia menceritakan hal semacam itu?

●●●

Sudah dua hari semenjak insiden yang menimpaku, Arvel masih saja membujukku untuk memaafkannya.

"Im sorry, Ave. Ayolah, jangan marah terus." Dia menggoyang - goyangkan lenganku saat aku sedang asyik duduk menonton youtube.

Aku menghela nafas kasar, "Baiklah. Tapi kau harus membelikanku ponsel yang baru launching kemarin malam."

Arvel melepaskan tangannya dariku, "Kau memerasku?"

"Astaga, Arvel. Aku adikmu!" ucapku kesal padanya yang menuduhku seperti itu.

Dia terkekeh geli dan memeluk bahuku, "Aku hanya bercanda, sister. Berangkat sekarang?"

Aku mengangguk antusias dan bangkit bersamanya menuju garasi.

Namun saat dia akan membukakan pintu mobil untukku, dia berhenti dan tersenyum konyol.

"Maaf, sister. Aku tidak bisa mengantarmu. Kau berangkat sendiri saja ya? Uangnya akan kutransfer ke rekeningmu," ucapnya kemudian berlari menuju motornya yang berada di luar rumah dan pergi.

Aku mendengus sebelum berjalan memutar untuk duduk di kursi pengemudi. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di depan sebuah toko ponsel.

Suasana di sini cukup ramai, mungkin sedang ada promo besar - besaran, sebaiknya aku kembali lain waktu. Kunyalakan mesin dan bersiap pulang. Namun suara pintu mobil terbuka membuatku menoleh ke samping dan menemukan Elias duduk dengan angkuh memandangku.

"Kau lagi. Kenapa kau duduk di situ? Keluarlah aku sedang buru - buru," ucapku datar. Sedikit heran kenapa dia selalu suka muncul tiba-tiba seperti sekarang.

"Kulihat kau sudah sehat. Syukurlah," ucapnya membuatku melotot. Apa dia senang mengalihkan pembicaraan?

"Ya. Dan sekarang keluar dari mobilku," aku mendorong - dorong bahunya.

Dia tetap bersikukuh di tempatnya dan memasang tampang menyebalkan.

"Oh terserah saja," aku memutar bola mata sebelum menjalankan mobilku membelah jalanan kota.

"Kau mau membawaku kemana?" tanya Elias heran. "Ini bukan jalan rumahmu."

Tentu saja bukan. "Ke neraka."

Dia melotot dan mendengus, "Jangan bercanda."

Aku menaikkan sebelah alisku, "Siapa yang mengajakmu bercanda?"

Dia tak merespon ucapanku dan kembali duduk dengan tenang.

Tak lama, aku pun menghentikan mobilku di pinggir hutan. Entahlah rasa laparku harusnya tidak muncul sekarang, tetapi tenggorokanku rasanya kering dan menginginkan darah untuk membasahinya.

"Kau mau berburu di hutan ini?" Elias menahan lenganku saat aku akan turun dari mobil.

"Ya."

"Tsk. Dua hari yang lalu kau sekarat di sana, dan sekarang kau mau kembali lagi?"

"Ya."

"Apakah harus hutan ini? Tidak ada hutan lain?"

Aku memutar bola mata jengah, "Ya dan tidak. Lepaskan tanganmu dariku!"

Dia menghembuskan nafas panjang dan melepaskan pegangannya. Aku pun segera keluar dan menutup pintu mobil.

Hingga kurasakan tanganku digenggam oleh seseorang, aku mendongak dan menemukan wajah mengesalkan itu tersenyum padaku.

"Akan kutemani."

Aku berusaha melepaskan genggamannya, tetapi kekuatanku tidak mampu untuk menarik diri. Apakah karena aku lapar? Jadi energiku berkurang? Aku pun pasrah saat dia menarikku berlari menerobos hutan dan semak belukar. Kuakui, dia memiliki kecepatan berlari yang baik, walaupun masih di bawahku. Tentu saja, kaumku lebih cepat dalam berlari dari kaumnya.

Tiba - tiba dia berhenti dan membuatku hampir menubruk punggung tegapnya.

"Kenapa berhenti mendadak?"

"Shh.." dia berbisik- mengisyaratkanku untuk diam. Lalu kedua matanya memberi kode untuk melihat apa yang ada di depan kami.

Seekor kelinci.

Apa dia bercanda?

Darah mahluk menggemaskan itu tidak akan membuatku kenyang.

"Cepat makan sana!" Dia mendorong tubuhku pelan dan aku hanya mendengus sebagai bentuk protesku. Lebih cepat lebih baik, aku bisa pulang dan tidak berlama - lama dengan pria ini.

Kedua irisku telah berubah warna dan taring - taringku pun sudah memanjang. Berlari cepat, kutangkap hewan itu dan langsung menggigitnya tepat di urat nadinya. Setelah darahnya habis tak bersisa, aku membuang bangkai itu begitu saja ke atas tanah. Saat akan menghampiri Elias, aku tak menemukan sosoknya. Aku pun berbalik dan menemukan seekor serigala tengah memakan kelinci tadi. Dasar Elias. Bilang saja dia lapar dan ingin memakan kelinci. Aku pun berlari meninggalkannya dan segera menaiki mobilku. Bye Elias..

●●●

"Mom, Dad, Arvel?" Aku berteriak memanggil - manggil keluargaku saat tiba di rumah. Nihil, tidak ada jawaban. Apa mereka belum pulang? Kulirik jam dinding yang ada di ruang tamu dan melihat bahwa sekarang masih pukul dua siang, pantas saja mereka tidak ada. *Mo*m dan Dad masih di kantor, dan Arvel, kurasa dia masih pergi.

"Hai, Ave!" sapa Airen dengan wajahnya yang ceria.

Aku mengacuhkannya dan berjalan menuju kamar. Saat menaiki tangga, aku berpapasan dengan Adrian.

"Kelinci, huh?" Aku mendengarnya bergumam. Darimana dia tahu?

"Darimana kau tahu?"

"Aku tahu apapun setiap yang kau lakukan, Ave." Dia berhenti tepat di depanku.

"Bagaimana mungkin?" tanyaku heran.

"Im witch."

Apakah dia bangga dengan jati dirinya? Aku mendengus lalu memicingkan mata curiga.

Aku berbisik pelan, "Apakah kau juga melihatku saat mandi?"

"Uhuk," dia terbatuk spontan dan kuyakin, aku sempat melihat rona merah di pipinya sekian detik.

"Tebakanku benar, kan? Wah, dasar pervert!"

Dia menatapku tajam. "Menggelikan," ucapnya lalu kembali berjalan menuruni tangga.

Ini bahaya, pasti ada sesuatu tersembunyi yang melibatkanku. Apa pentingnya aku buatnya hingga dia terang - terangan mengawasiku seperti itu? Apalagi kemarin dia memberitahuku identitas dan misinya.

Aku harus mencari tahu.

●●●

Terpopuler

Comments

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

adrian penyihir? apa org yg mau dibawa itu ave?

2020-05-31

1

noname

noname

🖤🖤🖤🖤🖤

2020-05-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!