BAB XII

DIMULAI

PERSIAPAN untuk perjalanan ke negeri tempat asalku yang sebenarnya, akhirnya bisa kulakukan sekarang. Setelah hampir dua minggu berlatih dan berita tentang 'keadaan darurat' yang Adrian sampaikan semalam, *D*ad memutuskan untuk menyetujui rencana ini segera.

Seperti yang dikatakan oleh Adrian, pria paruh baya -yang seharusnya kusebut dengan 'paman'- mulai melakukan kekacauan yang melampaui batas. Selain itu, dia juga mengirim para penyihir berbakat untuk membawaku ke hadapannya. Itulah sebabnya aku harus segera pergi dari sini dan 'bersembunyi' sementara waktu.

Mengetahui semua hal tentangku begitu cepat, sepercik rasa takut memang sempat hadir dalam benakku. Namun setelah mendengar apa yang Adrian ucapkan padaku fajar tadi, rasa tenang dan percaya diriku telah kembali.

"Kau memiliki kekuatan dan kemampuan yang lebih daripada Orang Itu, Avera. Hanya saja kau harus menggali dan mengasahnya sebelum dapat menggunakan sihir warisan kedua orangtuamu."

Aku menghembuskan nafas panjang dan menutup ranselku. Dia mengatakan bahwa perjalanan kami nanti tidak lebih dari dua jam. Dan setelahnya kami akan tinggal beberapa waktu di rumah orangtua Adrian hingga batas waktu yang belum ditentukan. Tentu saja, kami tidak akan langsung menyerang kerajaan tanpa pembekalan apapun. Kami akan mempersiapkan strategi dan menyusun siasat terlebih dahulu, serta mengumpulkan para penyihir yang masih setia kepada kedua orangtuaku.

Ceklek.

"Kau sudah siap?" tanya Arvel yang berdiri di depan pintu kamarku.

Aku mengangkat ransel dan menaruhnya di bahuku sebelum mengangguk. "Kita berangkat sekarang?"

"Ya, ayo turun. Mereka sudah nenunggu kita di bawah."

Aku pun berjalan keluar kamar dan menuruni tangga bersama Arvel. I'll miss this home.

"Oh dear," Mom memelukku erat sambil mengusap rambut panjangku yang kugerai.

"Mom," gumamku lirih. Ini akan menjadi pertama kalinya dalam hidupku, aku berpisah dengannya dalam waktu lama.

Mom melepas pelukannya dan menatapku lekat. Dapat kulihat kedua matanya berkaca - kaca.

"Mom. Shh.. Don't cry, please.."

"Jaga dirimu baik - baik, Avera," pesannya sambil berusaha menghentikan air matanya yang mengalir. Aku berusaha untuk tidak ikut menangis dengan tersenyum tipis.

"Selalu, *M*om."

Senyum terukir di wajahnya mendengar ucapanku. Lalu aku berjalan menghampiri Dad dan membiarkan Arvel berpamitan dengan *Mo*m.

"Dad." Aku mendongak dan menemukan wajah *D*ad terlihat murung. Ekspresi yang sangat jarang ditampilkan oleh sosok tegasnya.

"Avera, kemarilah," ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar - lebar.

Tersenyum lebar aku bergegas maju satu langkah dan memeluk tubuh dingin *D*ad yang terasa hangat.

"Ingat apa yang *Da*d katakan padamu semalam, oke?"

"Oke," ucapku lalu melepas pelukan.

"Dad, terimakasih telah merawatku dan Adrian dengan baik," ucap Airen yang tiba - tiba mengambil tempat diantara Dad dan aku. Tubuhku secara otomatis mundur karena dorongannya. Kutatap Airen yang berdiri memeluk Dad dengan ransel di punggungnya.

"Kau mau kemana?" tanyaku spontan.

Dia menoleh lalu berbalik menghadapku. "Pulang."

Aku mengernyit. "Bukankah kau tidak akan ikut?"

Airen mendengus dan menatapku tajam. "Kenapa Avera? Kau tidak senang aku ikut dalam rencanamu?"

Kerutan di dahiku bertambah. Sejak awal pertemuan kami, aku belum bisa mengenalnya dengan baik. Dia memiliki puluhan sifat yang berubah - ubah setiap berkomunikasi denganku. Contohnya sekarang, sifat bersahabatnya berubah menjadi sakarsme dan sinisme.

"Why are you so mean?" Aku berdecak kesal sebelum beranjak dari sana.

"Ada apa dengan wajahmu?"

Mengalihkan tatapan dari layar ponsel, aku melihat Elias memandang heran padaku.

"Bukan urusanmu," sahutku.

Dia tersenyum miring menanggapi jawaban dariku. Kedua kakinya akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah.

Setelah acara berpamitan selesai, aku bersama Arvel, Adrian, Elias dan Airen berangkat menggunakan mobil Adrian.

Selama perjalanan tidak ada satu pun dari kami berlima yang memulai percakapan. Hanya deru mesin yang menemani sunyinya suasana. Membunuh waktu, diam - diam kulirik kaca spion dan menemukan Airen tertidur dengan bersandar di bahu Arvel. Ternyata hubungan mereka lebih baik dari yang kuduga. Lalu pandanganku beralih ke kursi penumpang yang Elias duduki sendirian. Pria itu tengah sibuk memainkan ponselnya. Cukup lama aku mengamatinya hingga dia mendongak dan aku langsung mengalihkan pandanganku keluar jendela.

"Sebentar lagi kita akan tiba di perbatasan. Persiapkan diri kalian," ucap Adrian saat kami memasuki sebuah hutan. Dan tak sampai lima menit mobil berhenti.

Kami pun turun atas intruksi Adrian dengan barang bawaan kami.

"Mulai dari sini kita akan berjalan kaki," ucap Adrian.

"Apa mobilmu tidak bisa masuk?" tanya Arvel melangkah maju mendekatinya.

"Aku tidak mau membuat kehebohan di negeriku," jawab Adrian yang justru menambah rasa penasaran.

"Kehebohan macam apa? Apa maksudmu? Lalu kenapa tidak menggunakan portal saja sejak awal?"

Pertanyaan bertubi yang Arvel lontarkan berimbas padaku. Adrian menatapku tanpa kata.

"Aku.. err tak sengaja berlatih dan melakukan kesalahan dan yeah, jatuh di atas tempat tidur Arvel," ujarku.

Dia menghela nafas dan menatap kami bergantian.

"Portalku tidak mampu menembus batas ini."

"Batas apa?" Elias yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. Namun Adrian hanya menatapnya dingin tanpa memberi jawaban. Dia lalu berbalik dan menutup kedua matanya.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku.

"Dia sedang membuka batas yang dimaksud, Avera," jawab Airen dingin.

"Oh."

"Kita sudah bisa masuk sekarang. Ikuti aku," ucap Adrian yang telah menbuka matanya kembali. Kemudian dia berjalan beberapa langkah dan menghilang.

"What?" pekikku. "Where's he?"

"Itulah batasnya, Ave," ucap Airen yang berjalan melewatiku bersama Arvel dan ikut menghilang.

"Ayo kita susul mereka," Elias menggenggam tanganku dan membawaku melangkah bersamanya.

Kedua mataku langsung melebar begitu menyaksikan pemandangan di depanku. Padang ilalang membentang dengan capung - capung berterbangan di atasnya.

"Kita harus bergerak cepat," ucap Adrian yang memimpin jalan. Kutatap punggungnya dengan berbagai pikiran berkecamuk. Perasaanku saja atau dia memang tengah menghidariku? Bahkan tak ada lagi percakapan yang terjadi di antara kami selain soal ilmu sihir. Itu pun saat kami sedang berlatih. Selebihnya, melirikku saja dia terlihat enggan.

"Kalian sedang bertengkar?" tanya Elias yang berjalan beriringan denganku.

"Kalian siapa yang kau maksud?"

"Kau dan *t*hat witch," jawabnya membuatku berhenti.

"Wajar bukan untuk pasangan bertengkar?" Aku menatapnya sinis lalu melanjutkan perjalanan kembali.

"Pasangan apa? Kau pasanganku, Avera." Elias mencekal pergelangan tangan kananku.

"Sudah kukatakan padamu, Elias. Adrian adalah kekasihku dan kau hanya orang asing."

Kedua mata hitamnya melebar. "What? Im your mate, Ave. Kau jiwaku dan kau tak bisa mengingkari hal itu."

Kuhempaskan tanganku untuk melepaskan diri darinya. "Benarkah? Kenapa tidak? Aku bisa memilih siapapun yang aku mau. Sudah berkali - kali ku katakan. I never believe in something that called mate."

Aku pun berjalan cepat dan berpindah ke sisi Adrian.

"Hai," tegurku tak membuatnya bergeming. Lensa birunya tetap fokus memandang ke depan. Aku berdehem agak keras lalu mencoba menyapanya lagi. "Adrian?"

Dia pun melirik ke arahku. "Ada yang bisa kubantu, Avera?"

"Aku.. err kurasa tidak," jawabku bingung.

"Lalu kenapa kau memanggilku?"

"Itu.. aku hanya ingin menyapamu saja."

"Jangan lakukan hal yang tidak jelas, Ave. Sebaiknya kau waspada terhadap sekitarmu," ucapnya ketus kemudian mempercepat langkah kakinya.

Kuhela nafas panjang lalu mundur sedikit dan berjalan di samping kanan Arvel.

"What happened, sister? You look so bad?" tanya Arvel sambil mengusap pipiku dengan tangannya yang bebas.

"Nothing," jawabku singkat.

Dia mendengus dan menurunkan tangannya. Kukira dia akan marah dan memusuhiku seperti yang sering dilakukannya saat kesal dengan sikapku, namun Arvel justru meraih tangan kiriku dalam genggamannya.

"Everything will be alright, Ave," ucapnya mengeratkan genggaman kami.

"I hope so."

●●●

Saat matahari mulai tenggelam, kami baru sampai di sebuah rumah kayu sederhana yang justru terlihat menakjubkan.

"Ayo cepat masuk, darl." Airen berteriak semangat dan menarik Arvel bersamanya sehingga membuat tautan tangan kami terlepas.

"Ini rumahmu?" tanyaku pada Adrian yang berdiri di depan pintu rumah yang telah dibuka oleh Airen. Stupid question, Ave.

"Bukan. Rumah ini milik kedua orangtuaku. Rumahku masih 15 meter dari sini," jawabnya lalu melangkah ke dalam.

Sedang aku masih setia mengamati lingkungan sekitar yang berupa pohon - pohon besar. Karena rumah ini terletak di dalam hutan.

"Kau tidak masuk?" tanya Elias yang kini ada di depanku.

"Bagaimana caraku masuk jika kau menghalangi pintu masuknya, Elias?"

Pria itu terkekeh dan langsung menyingkir. Dia menundukkan kepalanya serta mengayunkan tangan kanannya. "Please, my lady."

"Im not your lady."

Kedua kakiku melangkah melewati pintu. Mengabaikan Elias yang berbisik memanggilku, aku berjalan menuju ruang keluarga.

"Dia Avera Foxter, *Mom,Da*d." Adrian memperkenalkan diriku pada dua orang paruh baya yang tengah duduk bersamanya.

"Oh, Avera," orang yang Adrian panggil dengan sebutan 'mom' bangkit dan memelukku erat.

Walau ragu, aku pun membalas pelukannya. "Nice to meet you, Madam."

Wanita itu melepas pelukannya dan menyeka air mata yang ada di wajahnya.

"Kenapa Anda menangis?" tanyaku heran. "Apa saya terlalu erat memeluk Anda?"

"Jangan bicara formal padaku, Dear. Kau bisa menganggapku seperti ibumu. Panggil aku Jessy."

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Kau sangat mirip dengannya."

"Pardon?"

Ibu Adrian mengusap rambutku penuh kasih. "Kau memiliki paras seperti Eliza."

"Madam mengenal ibuku?" tanyaku antusias. "Bagaimana mungkin?"

Aku mengamati wajahnya yang terlihat berusia lima puluh-an. Dan aku telah terlahir 150 tahun yang lalu.

"Tentu saja. Dia adalah temanku. Dia merupakan sosok ratu yang baik dan bijaksana walaupun dia tidak lahir di ras yang sama seperti kami," jawabnya.

"Tapi umur Anda?"

"Apa Adrian belum menceritakan tentang penyihir secara lengkap?"

Aku menggeleng.

Ibu Adrian terkekeh. "Umurku yang sebenarnya adalah 200 tahun, Avera. Tapi kami mengalami penuaan yang lambat."

"Wow." Aku menatap takjub padanya. Lalu pandanganku beralih pada Adrian dan menyipitkan mataku. "Berapa umurmu, Adrian?"

"Apakah itu penting?" Adrian memutar bola mata. Dia lalu menunjuk Elias dengan dagunya. "Dia adalah Elias. Werewolf yang juga ikut dalam misi ini."

"Senang bertemu dengan Anda, Sir, Madam." Elias menjabat tangan orangtua Adrian.

Fred -ayah Adrian terlihat terkejut. "Kukira bangsa vampir dan bangsa werewolf masih bermusuhan?"

Elias tertawa kecil. "Sebenarnya sebagian dari bangsa kami telah lama berdamai. Lagipula saya adalah mate dari Avera. Untuk itu saya ada di sini."

"Oh, kau sudah menemukan takdirmu, Dear? Aku turut senang mengetahui hal ini," ucap Jessy memandangku dengan rona bahagia.

Aku hanya tersenyum tipis.

"Mom, aku lapar," ucap Airen tiba - tiba sambil memeluk lengan Jessy.

"Anak Mom yang cantik. Mom telah memasak menu spesial hari ini. Ayo semua ke meja makan!" ucapnya lalu menggandeng tangan Airen menuju ruang makan.

Aku menatap mereka berdua dengan perasaan menghangat. I miss you Mom. Walaupun *M*om bukan ibu kandungku, aku sangat menyayanginya.

"Kau lapar?" tanya Adrian menyadarkanku dari lamunan.

"Ya, apakah di sekitar sini ada hewan yang bisa ku hisap darahnya?"

Adrian memandangku aneh dengan bibir yang berkedut. "Tentu saja ada. Aku akan mengantarmu."

"Kenapa kau bersikap baik lagi padaku? Bukankah sejak tadi kau mengabaikanku?" tanyaku menghiraukan ekspresi menahan tawanya.

Raut wajahnya seketika kembali datar. "Aku berubah pikiran. Mungkin membiarkanmu tersesat adalah ide yang bagus." Dia lalu berbalik.

"Wait," aku menarik lengan bajunya. "Maaf."

Adrian kembali memutar tubuhnya dan kami pun keluar rumah menyusuri hutan di tengah gelapnya malam.

Aku menatap ragu pada rusa di depanku. Sekarang aku dan Adrian tengah bersembunyi di balik semak belukar mengamati mangsaku.

"Apa rusa itu bisa melakukan sihir?"

"Jangan konyol, Avera," Adrian mendesis sambil memegang perutnya. "Cepat selesaikan makan malammu."

Aku tersentak dan baru sadar bahwa Adrian merasa lapar sekarang. Dia bahkan belum makan sejak siang tadi. "Oke. Wait a minute."

Kedua taringku memanjang dan aku melompat ke arah rusa itu. Dalam sekali gigitan, binatang herbivora itu terkulai lemas tak bernyawa. Dengan leluasa aku pun meminum darahnya secepat mungkin.

"Aku sudah selesai," ucapku sambil menjilat sisa darah di sudut bibirku.

"Akhirnya," Adrian mendesah lega. "Kita harus segera pulang. Ayo!" Tangannya meraih tanganku.

"Terima kasih," ucapku pelan saat kami hampir tiba di rumah.

Dia hanya merespon ucapanku dengan bergumam. Tiba - tiba langkahnya terhenti dan membuatku menubruk punggungnya. Aku mengernyit dan mendongak menatap wajahnya. Mata birunya terlihat was - was memandang sesuatu yang kuduga penyebab aksi berhentinya ini.

Kuikuti arah pandangnya dan reaksi yang dia rasakan ikut terjadi pada tubuhku.

"Sarah?"

●●●

Terpopuler

Comments

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

wuaduh ketemu lgi sama penyihir jahat

2020-05-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!