Magi Of Death
“AYAH! IBU!”
Aku terduduk di depan rumahku yang perlahan mulai dilahap api. Kedua mataku memerah dan pipiku sudah penuh dengan air mata yang mengalir. Kobaran api yang menyelimuti rumahku terlihat menyala begitu terang, menghanguskan apapun yang ditempatinya.
Orang tuaku masih ada di dalam sana, mereka mendorongku keluar untuk menyelamatkanku dari seseorang yang berniat membawaku pergi. Orang tersebut malah meledakkan rumahku beserta orang tuaku yang masih berada di dalam.
Aku tidak bisa bersuara lagi, dadaku terasa mulai sesak. Kenangan bersama orang tuaku silih berganti terlintas di ingatanku. Hingga semuanya terbakar tepat di depan mataku.
“Tidak seharusnya mereka mengorbankan nyawa mereka. Lagipula, mereka tidak mungkin bisa melawanku. Ha-ha, benar-benar bodoh!” gelak tawa menjijikkan masuk ke dalam telingaku. Suara dari seseorang yang merupakan pelaku pembunuhan orang tuaku.
Dia berdiri di depanku. Bayangan tubuhnya condong ke arahku. Belum sempat aku merespon, laki-laki itu mengulurkan tangannya dan mencengkram leherku, memaksaku untuk berdiri.
Aku kesusahan bernapas, bahkan kedua tanganku yang mencoba melepaskan tangannya tidak berhasil menggeser sedikit pun tangan kekarnya dari leherku. Dia tidak memiliki tubuh yang besar atau pun kekar, tapi cengkramannya sangatlah menyakitkan.
Ketika aku mencoba menendang tubuhnya, dia malah semakin mengangkatku tinggi. Sedikit demi sedikit, aku mulai kehabisan napas.
“Cepatlah mati agar pekerjaanku selesai. Penyihir sepertimu harus segera dihapuskan dari dunia ini.”
Siapapun . . . tolong aku.
Pandanganku mulai buram, aku menyerah untuk melepaskan diri karena faktanya aku tidak bisa melakukannya. Ketika itulah, keajaiban itu datang. Aku merasa tubuhku melayang dan rasa sakit di leherku menghilang. Semua yang terlihat buram kini mulai kembali jernih. Seseorang menggendongku di kedua tangannya, kemudian meletakkanku di tanah.
“Kau, ya? Bagaimana kau bisa datang tepat waktu?”
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Aku mendengar suara yang lain. Aku juga merasa dahiku dingin, rasanya seperti air laut menyentuh kulitku. Anehnya, aku merasa lebih tenang. Dengan segenap tenaga, aku melebarkan kedua kelopak mataku, menatap seorang wanita dengan gaun berwarna biru yang sangat cantik. Rambutnya yang berwarna senada terlihat semakin cerah ketika cahaya api di belakangnya menyinarinya.
Vinnea?
“Maaf saja kalau aku harus mengakhiri tindakan bodohmu di sini.” Laki-laki di belakang wanita itu menggerakkan tangan kanannya.
Wanita itu mengusap wajahku dengan telapak tangannya dan saat itu juga aku tidak sadarkan diri.
Rasanya sangat dingin, seperti tenggelam di lautan yang dalam dan gelap. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Gelembung air yang keluar dari mulutku bergerak meliuk-liuk menjauhiku, sedangkan tubuhku tenggelam semakin dalam. Gelembung berisikan kenangan yang menyenangkan muncul tepat di depan mataku.
Satu gelembung lainnya muncul dan terus muncul hingga saling tindih dengan yang lainnya. Gelembung terakhir memperlihatkan rumahku yang terbakar dan api itu tiba-tiba membesar hingga membakar gelembung lainnya.
Cepat-cepat aku membuka mata dan bangkit duduk. Dengan napas terengah-engah dan keringat dingin yang membasahi keningku, aku menoleh ke sana kemari menatap kamar yang aku tempati. Kegelisahanku mulai mereda, namun air mata kembali menggenang di kedua mataku.
Mencoba untuk menahannya, namun tidak berhasil. Dengan memeluk lulutku, aku kembali terisak. Kenyataan ini terlalu menyakitkan untukku, kehilangan kedua orang tuaku di waktu yang bersamaan.
“Kiara.”
Mendengar namaku dipanggil, aku mengintip dari lipatan telapak tanganku. Wanita berambut biru yang menjadi hal terakhir yang kulihat, kini duduk di depanku dengan seulas senyum ramah.
“Hai.” Dia membentangkan tangannya padaku.
Dengan tergesa-gesa, aku merangkak mendekat kemudian memeluknya erat, mengadukan semua kesedihanku padanya.
“Kami masih ada di sini bersamamu, Ra.”
Aku tidak ingin membalas apapun, hanya terisak tanpa henti. Semuanya menghilang dalam sekejap mata. Suka tidak suka, aku harus melanjutkan hidup setelah pengorbanan dari orang tuaku. Kenyataan pahit yang harus aku terima.
“Kau akan dipindahkan ke Kota Gramgramillo, kota penyihir. Di sana kau akan aman.” Wanita itu mengusap rambutku. Tangannya sedingin air laut, tapi entah kenapa aku justru nyaman dengan itu.
Perlahan aku menarik diriku dan duduk sambil mengusap pipiku.
Wanita di depanku mengulurkan tangannya, menarik belakang kepalaku dengan lembut hingga dahi kami saling bersentuhan. Dia memejamkan matanya dengan seulas senyum di bibirnya.
“Kau tidak sendirian di dunia ini. Aku, kami, dan seluruh penghuni Imperillium Faith berada di pihakmu. Tugas orang tuamu telah selesai. Kini biarkan kami yang menjagamu.”
Kiara Loffy itulah namaku. Seorang manusia yang terlahir memiliki sihir cahaya setelah lima ribu tahun. Karena sihirku, aku diminta untuk memimpin kerajaan Imperillium Faith di umur 18 kelak. Keputusan itu diambil langsung oleh Ratu Resha, ratu yang sudah memimpin kerajaan selama tiga ribu tahun. Dan sihirku inilah yang menjadi musuh alami iblis.
Seperti yang kalian pikirkan, penyihir bersitegang dengan iblis sejak dulu. Jika penyihir berniat melindungi umat manusia, kebalikannya iblis justru ingin menghancurkan umat manusia dan menjadi raja dunia. Iblis atau biasa disebut Ashborn lahir di kegelapan, mereka bahkan menguasai dunia gelap dengan ribuan bahkan jutaan monster.
Iblis pada dasarnya adalah penyihir namun karena suatu hal membuat sihir mereka direbut oleh kegelapan hingga akhirnya mereka menjadi iblis.
Tok! Tok!
“Boleh aku masuk?”
Kami saling menarik diri dan menjaga jarak. Aku pun bergerak mundur hingga punggungku bisa bersandar di pangkal tempat tidur. Rasanya melelahkan karena terlalu banyak menangis.
“Silakan.” Aku menjawab pelan. Aku yakin suaraku jauh lebih serak dibanding biasanya.
Seorang laki-laki berambut hitam melangkah masuk. Di tangan kanannya, dia membawa nampan berisikan segelas susu dan sepiring kue kering. Kalau aku tidak salah, dia yang muncul bersamaan dengan wanita di depanku saat ini.
Siapa ya namanya?
“Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?” Dia meletakkan nampan ke atas nakas kemudian dia sendiri duduk di kursi, tepat di sebelah kasur yang aku tempati.
“Terima kasih sudah menolongku.” Sedikit menundukkan kepalaku ke arahnya, sebelum akhirnya aku kembali menegakkan kepalaku.
Laki-laki itu tersenyum lebar, matanya yang berwarna hitam hampir sepenuhnya tertutup. Ah, dia memiliki mata yang sipit.
“Sama-sama. Berterima kasihlah juga pada Vinnea. Dia yang berkontribusi besar menolongmu.” Dia menunjuk wanita yang berdiri di samping kiriku. “Kau bisa melihatnya, kan?”
Vinnea, bisa dibilang kalau dia ini adalah roh sihir yang menghuni lautan terdalam. Ada banyak jenis roh sihir di dunia ini, namun hanya minoritas yang mau mengikat kontrak dengan penyihir. Karena faktanya tidak banyak penyihir yang dipilih oleh roh sihir. Lalu, Vinnea salah satu roh sihir tingkat tinggi yang bisa menyembunyikan keberadaannya dari mata manusia dan penyihir.
Aku mengangguk.
“Oh, ya. Aku Darwin. Siapa namamu?”
“Kiara.” Aku menjawab singkat.
“Aku minta maaf karena datang terlambat dan tidak bisa menolong orang tuamu.” Darwin menundukkan kepalanya lesu. Bisa didengar dari suaranya kalau dia menyesal.
Aku menggeleng lemah. “Aku tidak menyalahkanmu. Semuanya terjadi begitu cepat. Jadi, kau tidak bersalah.”
Darwin mengangkat wajahnya, menatapku. “Pasti berat untukmu, Ra. Katakan padaku jika kau butuh apapun. Aku akan mencoba memenuhi semuanya.”
Memangnya kau siapa?
“Tidak perlu, kak. Aku sudah baik-baik saja. Kau tidak perlu menanggung semuanya,” elakku.
“Kalau begitu, berjanjilah padaku, Ra. Kalau terjadi sesuatu padamu, katakan padaku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Kulle RUMA
uhxug
2023-09-14
0