NovelToon NovelToon

Magi Of Death

MoD #1 - Aku

“AYAH! IBU!”

Aku terduduk di depan rumahku yang perlahan mulai dilahap api. Kedua mataku memerah dan pipiku sudah penuh dengan air mata yang mengalir. Kobaran api yang menyelimuti rumahku terlihat menyala begitu terang, menghanguskan apapun yang ditempatinya.

Orang tuaku masih ada di dalam sana, mereka mendorongku keluar untuk menyelamatkanku dari seseorang yang berniat membawaku pergi. Orang tersebut malah meledakkan rumahku beserta orang tuaku yang masih berada di dalam.

Aku tidak bisa bersuara lagi, dadaku terasa mulai sesak. Kenangan bersama orang tuaku silih berganti terlintas di ingatanku. Hingga semuanya terbakar tepat di depan mataku.

“Tidak seharusnya mereka mengorbankan nyawa mereka. Lagipula, mereka tidak mungkin bisa melawanku. Ha-ha, benar-benar bodoh!” gelak tawa menjijikkan masuk ke dalam telingaku. Suara dari seseorang yang merupakan pelaku pembunuhan orang tuaku.

Dia berdiri di depanku. Bayangan tubuhnya condong ke arahku. Belum sempat aku merespon, laki-laki itu mengulurkan tangannya dan mencengkram leherku, memaksaku untuk berdiri.

Aku kesusahan bernapas, bahkan kedua tanganku yang mencoba melepaskan tangannya tidak berhasil menggeser sedikit pun tangan kekarnya dari leherku. Dia tidak memiliki tubuh yang besar atau pun kekar, tapi cengkramannya sangatlah menyakitkan.

Ketika aku mencoba menendang tubuhnya, dia malah semakin mengangkatku tinggi. Sedikit demi sedikit, aku mulai kehabisan napas.

“Cepatlah mati agar pekerjaanku selesai. Penyihir sepertimu harus segera dihapuskan dari dunia ini.”

Siapapun . . . tolong aku.

Pandanganku mulai buram, aku menyerah untuk melepaskan diri karena faktanya aku tidak bisa melakukannya. Ketika itulah, keajaiban itu datang. Aku merasa tubuhku melayang dan rasa sakit di leherku menghilang. Semua yang terlihat buram kini mulai kembali jernih. Seseorang menggendongku di kedua tangannya, kemudian meletakkanku di tanah.

“Kau, ya? Bagaimana kau bisa datang tepat waktu?”

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

Aku mendengar suara yang lain. Aku juga merasa dahiku dingin, rasanya seperti air laut menyentuh kulitku. Anehnya, aku merasa lebih tenang. Dengan segenap tenaga, aku melebarkan kedua kelopak mataku, menatap seorang wanita dengan gaun berwarna biru yang sangat cantik. Rambutnya yang berwarna senada terlihat semakin cerah ketika cahaya api di belakangnya menyinarinya.

Vinnea?

“Maaf saja kalau aku harus mengakhiri tindakan bodohmu di sini.” Laki-laki di belakang wanita itu menggerakkan tangan kanannya.

Wanita itu mengusap wajahku dengan telapak tangannya dan saat itu juga aku tidak sadarkan diri.

Rasanya sangat dingin, seperti tenggelam di lautan yang dalam dan gelap. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Gelembung air yang keluar dari mulutku bergerak meliuk-liuk menjauhiku, sedangkan tubuhku tenggelam semakin dalam. Gelembung berisikan kenangan yang menyenangkan muncul tepat di depan mataku.

Satu gelembung lainnya muncul dan terus muncul hingga saling tindih dengan yang lainnya. Gelembung terakhir memperlihatkan rumahku yang terbakar dan api itu tiba-tiba membesar hingga membakar gelembung lainnya.

Cepat-cepat aku membuka mata dan bangkit duduk. Dengan napas terengah-engah dan keringat dingin yang membasahi keningku, aku menoleh ke sana kemari menatap kamar yang aku tempati. Kegelisahanku mulai mereda, namun air mata kembali menggenang di kedua mataku.

Mencoba untuk menahannya, namun tidak berhasil. Dengan memeluk lulutku, aku kembali terisak. Kenyataan ini terlalu menyakitkan untukku, kehilangan kedua orang tuaku di waktu yang bersamaan.

“Kiara.”

Mendengar namaku dipanggil, aku mengintip dari lipatan telapak tanganku. Wanita berambut biru yang menjadi hal terakhir yang kulihat, kini duduk di depanku dengan seulas senyum ramah.

“Hai.” Dia membentangkan tangannya padaku.

Dengan tergesa-gesa, aku merangkak mendekat kemudian memeluknya erat, mengadukan semua kesedihanku padanya.

“Kami masih ada di sini bersamamu, Ra.”

Aku tidak ingin membalas apapun, hanya terisak tanpa henti. Semuanya menghilang dalam sekejap mata. Suka tidak suka, aku harus melanjutkan hidup setelah pengorbanan dari orang tuaku. Kenyataan pahit yang harus aku terima.

“Kau akan dipindahkan ke Kota Gramgramillo, kota penyihir. Di sana kau akan aman.” Wanita itu mengusap rambutku. Tangannya sedingin air laut, tapi entah kenapa aku justru nyaman dengan itu.

Perlahan aku menarik diriku dan duduk sambil mengusap pipiku.

Wanita di depanku mengulurkan tangannya, menarik belakang kepalaku dengan lembut hingga dahi kami saling bersentuhan. Dia memejamkan matanya dengan seulas senyum di bibirnya.

“Kau tidak sendirian di dunia ini. Aku, kami, dan seluruh penghuni Imperillium Faith berada di pihakmu. Tugas orang tuamu telah selesai. Kini biarkan kami yang menjagamu.”

Kiara Loffy itulah namaku. Seorang manusia yang terlahir memiliki sihir cahaya setelah lima ribu tahun. Karena sihirku, aku diminta untuk memimpin kerajaan Imperillium Faith di umur 18 kelak. Keputusan itu diambil langsung oleh Ratu Resha, ratu yang sudah memimpin kerajaan selama tiga ribu tahun. Dan sihirku inilah yang menjadi musuh alami iblis.

Seperti yang kalian pikirkan, penyihir bersitegang dengan iblis sejak dulu. Jika penyihir berniat melindungi umat manusia, kebalikannya iblis justru ingin menghancurkan umat manusia dan menjadi raja dunia. Iblis atau biasa disebut Ashborn lahir di kegelapan, mereka bahkan menguasai dunia gelap dengan ribuan bahkan jutaan monster.

Iblis pada dasarnya adalah penyihir namun karena suatu hal membuat sihir mereka direbut oleh kegelapan hingga akhirnya mereka menjadi iblis.

Tok! Tok!

“Boleh aku masuk?”

Kami saling menarik diri dan menjaga jarak. Aku pun bergerak mundur hingga punggungku bisa bersandar di pangkal tempat tidur. Rasanya melelahkan karena terlalu banyak menangis.

“Silakan.” Aku menjawab pelan. Aku yakin suaraku jauh lebih serak dibanding biasanya.

Seorang laki-laki berambut hitam melangkah masuk. Di tangan kanannya, dia membawa nampan berisikan segelas susu dan sepiring kue kering. Kalau aku tidak salah, dia yang muncul bersamaan dengan wanita di depanku saat ini.

Siapa ya namanya?

“Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?” Dia meletakkan nampan ke atas nakas kemudian dia sendiri duduk di kursi, tepat di sebelah kasur yang aku tempati.

“Terima kasih sudah menolongku.” Sedikit menundukkan kepalaku ke arahnya, sebelum akhirnya aku kembali menegakkan kepalaku.

Laki-laki itu tersenyum lebar, matanya yang berwarna hitam hampir sepenuhnya tertutup. Ah, dia memiliki mata yang sipit.

“Sama-sama. Berterima kasihlah juga pada Vinnea. Dia yang berkontribusi besar menolongmu.” Dia menunjuk wanita yang berdiri di samping kiriku. “Kau bisa melihatnya, kan?”

Vinnea, bisa dibilang kalau dia ini adalah roh sihir yang menghuni lautan terdalam. Ada banyak jenis roh sihir di dunia ini, namun hanya minoritas yang mau mengikat kontrak dengan penyihir. Karena faktanya tidak banyak penyihir yang dipilih oleh roh sihir. Lalu, Vinnea salah satu roh sihir tingkat tinggi yang bisa menyembunyikan keberadaannya dari mata manusia dan penyihir.

Aku mengangguk.

“Oh, ya. Aku Darwin. Siapa namamu?”

“Kiara.” Aku menjawab singkat.

“Aku minta maaf karena datang terlambat dan tidak bisa menolong orang tuamu.” Darwin menundukkan kepalanya lesu. Bisa didengar dari suaranya kalau dia menyesal.

Aku menggeleng lemah. “Aku tidak menyalahkanmu. Semuanya terjadi begitu cepat. Jadi, kau tidak bersalah.”

Darwin mengangkat wajahnya, menatapku. “Pasti berat untukmu, Ra. Katakan padaku jika kau butuh apapun. Aku akan mencoba memenuhi semuanya.”

Memangnya kau siapa?

“Tidak perlu, kak. Aku sudah baik-baik saja. Kau tidak perlu menanggung semuanya,” elakku.

“Kalau begitu, berjanjilah padaku, Ra. Kalau terjadi sesuatu padamu, katakan padaku.”

MoD #2 - Gramgramillo

Kota Gramgramillo atau bisa disebut kota penyihir. Langit yang masih gelap tidak menyurutkan keindahan kota di depanku saat ini. Lampu jalan senantiasa bersinar menerangi jalan raya.

Beberapa orang terlihat terbang menggunakan sapu terbangnya menuju ke tempat tujuan. Ada juga yang berjalan menyusuri jalan, bercanda tawa dengan temannya. Lokasi kota ini ada di atas ketinggian tiga ribu kaki, di atas pulau yang mengapung di udara.

Kakiku menapak di pelabuhan tempat kapal terbang yang membawaku dari desa menuju kemari. Aku tiba ketika malam semakin larut.

Begitu mengadahkan wajah, aku melihat beberapa kapal terbang yang bergerak menjauh. Di pelabuhan lainnya, kapal terbang tengah bersandar dan deretan orang antre untuk masuk ke dalam kapal.

Bentuk kendaraan terbang itu sangat mirip dengan kapal yang biasanya mengarungi lautan, hanya saja bedanya yang ini mengarungi langit. Mungkin hampir mirip dengan kapal bentuk Paus terbang.

“Aku akan mengantarmu ke wali kelasku. Dia biasanya bertugas menangangi korban dari Ashborn.” Darwin mengajakku untuk segera berjalan.

Udara malam yang sedikit menusuk kulit. Dan juga, karena aku sangat sensitif dengan mana, kalau tempat yang aku kunjungi memiliki sedikit mana maka aku akan kedinginan. Begitu sebaliknya. Sesekali tanganku bergerak mengusap lenganku yang kedinginan.

“Kau kedinginan, Ra?” Darwin dengan penuh perhatian melepas jubahnya kemudian memberikannya padaku. “Mungkin perjalanan kita akan sedikit jauh. Kau baik-baik saja? Perlu istirahat beli minuman hangat?”

Aku menerima jubah itu dan segera memakainya ke tubuhku. Panjang jubah hampir menutupi seluruh kakiku. Tidak heran jika Darwin memanglah lebih tinggi dariku. Dia terlihat maskulin dengan seragam berwarna biru-putihnya.

“Tidak perlu. Jubahmu sudah cukup hangat kok.”

“Katakan padaku kalau kau butuh istirahat.”

Aku hanya mengangguk.

Kaki kami terus berjalan, menyusuri jalanan bersama beberapa orang lainnya. Banyak rumah dan fasilitas umum yang aku lewati.

Bentuk rumah tergolong lebih mewah dengan ukuran minimalis. Layaknya kota-kota besar lainnya, di tempat ini fasilitas umum memiliki desain yang lebih mewah dan ukurannya pun lebih besar dibandingkan dengan rumah warga. Seakan ingin memperjelas kalau bangunan tersebut adalah fasilitas umum.

Berjalan dari jalanan sedang hingga akhirnya kami tiba di pertigaan jalan besar. Tepat di seberang jalan, sebuah bangunan megah lainnya berdiri. Bangunan empat lantai berdiri kokoh di seberang kami. Cahaya lampu berjajar rapi menerangi setiap sudut bangunan. Pagar yang tinggi menjadi pintu masuk menuju bangunan tersebut. AKADEMI SIHIR GRAMGRAMILLO, tulisan yang tercetak jelas di atas gapura dan diterangi oleh cahaya lampu.

Dari mataku, aku bisa melihat adanya pelindung di akademi tersebut. Terlihat berkilau dengan warna-warni yang bergerak tidak beraturan. Jika kalian pernah melihat warna cantik di sebuah gelembung sabun, nah, seperti itulah pelindung yang aku lihat.

“Ayo, Ra.” Darwin mengajakku untuk segera menyeberang jalan. Tidak ada aktivitas di sekitar akademi, mengingat kalau hari sudah gelap.

Melintasi pelindung dengan aman, aku menginjakkan kaki di halaman akademi. Suasana yang berbeda dengan sekitarnya, akademi menghantarkan perasaan campur aduk yang susah diartikan. Apa mungkin efek dari pelindung itu?

“Aku akan mengenalkanmu dengan Master Ellen. Dia yang paling sering menangani kasus sepertimu.” Darwin berjalan menyusuri lorong, melewati beberapa kelas yang sudah kosong.

Bisa dibilang ini pertama kalinya aku singgah di akademi penyihir. Jika di tempat ini penempatan penyihir berdasarkan material sihir yang mengalir dalam darah mereka, maka bagiku tidak ada material sihir yang bisa mewakili sihirku. Ini akan sedikit merepotkan untuk menyamarkan identitasku.

Darwin berhenti, begitu juga denganku. Kami tiba di depan sebuah ruangan yang mana lampu di dalamnya masih menyala terang.

Tidak ada siapapun sepanjang lorong, rasanya begitu sepi, tapi bukan itu yang menggangguku. Melainkan aura menakutkan yang berhembus dari ujung lorong dan juga aroma amis seperti darah.

“Tetaplah di belakangku, Ra.” Darwin memutar tubuhnya menghadap lorong di sebelah kanannya yang sangat gelap.

Sepertinya ada monster yang berhasil menembus pelindung akademi.

Keberadaannya terlihat, benar-benar sangat besar bahkan satu langkah kakinya sudah berhasil menggetarkan satu bangunan akademi. Monster yang berwujud kelabang.

Kaca ruangan dan jendela pecah secara bersamaan. Di dalam mulut binatang itu terlihat kaki manusia. Dia pasti sudah memakan manusia sebelum tiba di tempat ini. Lebih buruknya lagi, dia sejak awal ada di akademi ini dan terus membesar seiring waktu dengan menyerap kebencian di akademi.

Memang ada kasus seperti itu di dunia ini, namun sangatlah langka.

Berapa lama dia ada di tempat ini? Ah, dia menatapku.

Kedua mata merahnya berputar-putar. Dua kaki yang paling depan menghentak-hentakkan lantai dengan kuat. Gerakan berikutnya, dia menerjang maju ke arah kami. Darwin yang berdiri di depanku mengangkat tangannya dan muncullah sebuah kubah air setengah bola yang melindungi kami.

Monster yang membentur kubah segera menarik mundur tubuhnya. Sebagian tubuhnya terangkat hingga langit-langit lorong. Suara desisannya terdengar mengerikan.

BRAK!!!

Sesuatu yang cepat dan kuat menghantam kepala kelabang hingga membuatnya keluar dari akademi dengan paksa. Dinding akademi hancur dan kelabang itu meronta-ronta di halaman sekolah. Bersamaan dengan itu, teriakan histeris terdengar di sekitar akademi. Kemunculan kelabang itu juga mendatangkan iblis tingkat rendah lainnya. Mereka menyerang warga yang dilihatnya.

“Sepertinya malam ini tidak akan setenang sebelumnya.”

Suara wanita dewasa. Spontan aku menoleh dan pandanganku bertemu dengan seorang wanita dengan seragam guru. Rambut pirang panjangnya diikat rapi di belakang. Dia memakai jepit rambut berwarna perak. Sepasang netra kuning menatapku dengan kedua sudut bibirnya yang melengkung ke atas.

“Tolong mundur, Anak-anak. Kalian bisa terluka.” Begitulah yang diucapkannya. Setelah itu, dia berjalan mendekati kelabang itu. Dia tidak merasa takut sama sekali, malah terkesan menantang lawannya.

Darwin memegang tanganku kemudian menarikku untuk segera keluar dari bangunan akademi. Atap lorong runtuh tepat di belakang kami. Tempat yang pas adalah halaman akademi yang luas. Sembari menyaksikan wanita itu melawan kelabang raksasa. Di luar akademi, beberapa penyihir terlihat berusaha keras untuk menangani iblis tingkat rendah, sekaligus membantu evakuasi warga ke tempat yang aman.

Kalau dilihat lagi, pelindung akademi benar-benar pecah. Kilauan warna-warni sudah tidak terlihat lagi. Jika pelindung tidak bisa dihancurkan dari luar, maka salah satu cara lain untuk menghancurkannya adalah dari dalam.

“Dia Master Ellen. Orang yang akan kau temui.” Darwin kembali mengangkat tangannya dan kubah air melindungi kami. Aku rasa di tipe orang yang selalu waspada pada apapun yang ada di sekitarnya.

Master Ellen melepas jepit rambut peraknya dan seketika benda tersebut berubah menjadi pedang dua sisi. Mungkin dia tipe penyihir yang bertugas menyerang. Lihatlah dia begitu santai bahkan ketika kelabang itu menerjang ke arahnya. Dia memutar pedang di tangannya, menahan serangkaian serangan dari banyaknya kaki kelabang yang mengarah padanya.

Jeda satu detik, Master Ellen melompat tinggi. Bahkan lebih tinggi dibandingkan kelabang itu. Master Ellen melesat turun dengan ujung pedang mengarah ke kepala kelabang itu. Dia bisa menusukkan pedang itu tepat diantara kedua mata kelabang. Darah berwarna hijau muncrat begitu saja. Erangan kesakitan terdengar menyedihkan. Kepala kelabang itu bergerak ke kanan-kiri, mencoba melepas pedang yang menusuk wajahnya.

Tak lagi memberi jeda, Master Ellen mengalirkan sihir ke dalam pedangnya. Sihir yang amat kuat hingga berhasil menembus kepala kelabang hanya dengan sekali tusukan pedang. Musuh berhasil diatasi dengan cepat.

“Dia memiliki sihir perubahan. Dia bisa mengubah apapun menjadi benda sesuai keinginannya. Sejauh ini dia bisa menciptakan pedang yang dipakainya dan juga sebuah belati.” Darwin menjelaskan padaku.

Pantas saja dia bisa mengubah jepit rambut menjadi pedang bermata dua. Dia bahkan juga bisa mengembalikan kembali pedang itu ke dalam wujud jepit rambut. Aku penasaran, berapa banyak dia berlatih untuk itu dan berapa lama dia sudah menjadi master.

Energi sihirnya cukup besar di sekitar tubuhnya. Aku bisa melihat energi sihir di setiap penyihir dan Master Ellen memiliki energi yang kuat dibandingkan dengan Darwin atau beberapa penyihir di luar akademi.

Tidak langsung menemui kami, Master Ellen lebih dulu meminta penyihir untuk menghilangkan mayat kelabang itu dari halaman akademi. Dia juga memerintahkan beberapa penyihir untuk menggunakan sihir waktu untuk membalikkan keadaan bangunan sekolah seperti sebelumnya.

Darwin menghela napas pelan kemudian menurunkan tangannya. “Kurasa sudah aman.”

Kelabang itu mengingatkanku pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Iblis tingkat menengah menyerangku dan aku menghanguskannya secara langsung. Berpikir semua itu sudah selesai, nyatanya tidak. Iblis lainnya malah muncul dengan tingkatan yang lebih tinggi.

Jika belajar dari pengalaman sebelumnya. Iblis kelabang itu pasti tidak sendirian. Kematiannya akan menjadi alarm bagi kawanannya untuk menyerang. Tapi, bahkan sejak kelabang itu mati tidak ada gemuruh energi kegelapan sama sekali. Kelabang itu hanya bergerak sendirian dengan iblis tingkat rendah.

Kenapa? Apa mungkin mereka menarik mundur pasukannya?

“Maaf, ya, sepertinya pertemuan kita terganggu.” Master Ellen melangkah mendekat. Jepit rambut perak kembali terpasang di rambutnya. Jika diperhatikan lagi, dia memiliki paras yang cantik. Juga, di jari manisnya tersemat cincin.

Mungkinkah dia sudah menikah?

“Bagaimana kalau kita bertiga makan malam?”

-o0o-

Di sinilah aku berakhir. Di sebuah tempat makan yang sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk di dalam, jika kami bertiga dihitung maka jumlahnya hanya tujuh orang. Master Ellen menaktir aku dan Darwin.

“Jadi, namamu Kiara?” Master Ellen melipat tangannya ke atas meja, menatapku dengan senyum ramah.

Aku mengangguk.

“Bagaimana perasaanmu sekarang? Kau baru tiba di sini dan harus melihat iblis kelabang seperti tadi. Kau baik-baik saja?”

Tidak ada yang lebih menakutkan dibandingkan kehilangan orang tuaku tepat di depan mataku.

“Aku sudah mendingan.” Aku menjawab pelan.

Master Ellen kembali tersenyum. Dia beralih menatap Darwin yang duduk di sebelahku.

“Dan, kau Darwin? Kau mengikat kontrak dengan roh sihir?”

Darwin mengangguk. “Seorang roh sihir dari lautan.” Dia menatap Vinnea yang berdiri di sampingnya. Dan, Vinnea menggeleng. Sepertinya hanya aku dan Darwin yang bisa melihatnya.

“Maaf, aku tidak bisa memberitahu Master lebih jauh karena ini termasuk ke dalam perjanjian kami.” Darwin sedikit membungkukkan tubuhnya ke arah Master Ellen.

Sebenarnya perjanjian apa yang mengikat mereka berdua yang bahkan tidak ingin ada orang lain yang tahu?

Master Ellen menganggukkan kepalanya pelan. “Aku mengerti. Aku tidak akan bertanya lebih jauh lagi. Tapi, satu hal yang ingin aku ketahui. Apa misimu berhasil?”

Darwin menggeleng pelan. “Maaf.”

Helaan napas terdengar dari Master Ellen.

“Sepertinya memang harus mengirimkan penyihir tingkat tinggi. Baiklah, untuk saat ini, Kiara, apa kau memiliki kerabat di kota ini?”

“Aku tidak yakin.”

“Kalau begitu, untuk sementara kau tinggal denganku, ya. Setelah itu kau bisa memutuskan untuk tinggal di kos atau tetap bersamaku.”

-o0o-

Rumah milik Master Ellen bisa dibilang modern. Luas rumah hanyalah 6x13meter, cukup untuk menampung dua orang. Ruang tamu minimalis menyambutku ketika tiba di dalam rumah Master Ellen. Vas bunga diletakkan di tengah-tengah meja, beberapa foto terpajang di dingin, menghiasi ruang tamu.

“Kuantar ke kamarmu, Al,” Master Ellen melangkah mendekat ke sebuah ruangan yang tidak jauh dari pintu masuk. Dia membuka pintu ruangan kemudian menyalakan lampu.

“Ini akan menjadi kamarmu,” sambungnya.

Aku berdiri di ambang pintu menatap ke dalam ruangan yang berukuran 3x4 meter. Tempat tidur berukuran sedang diletakkan di pinggir tembok, di sisi ruangan lainnya terdapat sebuah lemari. Meja belajar pun ada di dalam kamar.

“Karena ini sudah malam, istirahatlah. Jika membutuhkan sesuatu, kamarku ada di seberangmu.” Master Ellen pun pergi.

Aku pun masuk ke dalam kamar sembari mengamati satu persatu barang yang berada di kamarku. Aku duduk di tepi tempat tidur, merasakan begitu hangatnya selimut di atas tempat tidur. Kubaringkan tubuhku lantas memejamkan mata. Ketenangan dan kehangatan ini membuatku perlahan terlelap. Setelah merasa aman seperti ini, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya.

Apa memang benar aman?

-o0o-

Keesokan harinya, aku membuka mata dan mendapati posisi tidurku yang sudah berubah dengan selimut yang menutupi tubuhku. Kualihkan pandanganku menatap jam dinding yang saat ini menunjukkan pukul tujuh pagi.

Aku bangkit dari tempat tidur lantas keluar dari kamar. Aku mencari Master Elen dan menemukannya di dapur.

Tanpa kupanggil, Master Ellen menoleh padaku lantas tersenyum. “Sudah bangun? Duduklah, kita sarapan bareng.”

Aku duduk di salah satu kursi. Sedangkan, Master Ellen menata piring-piring berisikan lauk ke atas meja. Begitu selesai, dia mengambil piring dan menuangkan nasi kemudian memberikannya padaku. Dia juga mengambil nasi untuk piringnya sendiri. Sarapan berlangsung hening.

Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa. Mungkin diam adalah yang terbaik.

“Hari ini kau di rumah sendirian, tidak masalah kan? Aku harus mengajar di akademi.” Master Ellen memulai pembicaraan setelah setengah nasi di piringnya habis.

Aku mengangguk. “Tidak masalah.”

“Ah, iya. Apa kau mau bersekolah di akademi? Aku bisa mengurus semua berkasmu.” Master Ellen mengunyah perlahan makanan di dalam mulutnya.

Akademi, tempat di mana penyihir dikelompokkan berdasarkan jenis sihir mereka. Ini akan sulit bagiku, tapi jika tidak membaur, aku akan kesusahan.

“Apa harus minggu ini?”

Master Ellen menggeleng. “Aku akan menyesuaikannya denganmu. Sampai kau siap bertemu teman-temanmu, kau bisa memutuskan kapan saja.”

Aku mengangguk pelan. “Akan aku pikirkan lagi.”

MoD #3 - Pertemuan pertama

Selesai sarapan Master Ellen berangkat ke akademi. Sedangkan aku, diam di rumah sendirian. Aku ingin memberi kabar ke Ratu Resha. Tapi, aku tidak bisa sembarangan mengirim pesan. Bagaimana jika seseorang tahu? Itu akan lebih merepotkan. Sepertinya, aku harus bersabar lebih dulu.

Yang kulakukan sepanjang hari adalah berdiam diri di kamar sambil membaca buku. Sesekali memainkan bolpen dengan sihir telekinesis, menggerakkannya di udara. Sihir tingkat dasar, sihir menggerakkan benda.

Aku rasa semua penyihir bisa melakukannya. Bahkan kemarin, penyihir yang membantu Master Ellen memindahkan bangkai monster dengan sihir.

Dengan sihir ini, aku bahkan bisa mengambil benda yang jauh, tanpa harus berpindah tempat. Buku berikutnya yang aku baca adalah buku panduan Akademi Sihir Gramgramillo.

Akademi Sihir Gramgramillo, akademi satu-satunya di Pulau Gramgramillo. Bisa dibilang akademi tersebut merupakan sekolah menengah atas yang mana siswanya berusia 15-19 tahun. Karena akademi ini satu-satunya, maka bersekolah di sana juga membutuhkan waktu empat tahun.

Setiap murid dipersiapkan untuk bisa membantu masyarakat. Karena itu, tidak banyak pelajaran normal yang ditambahkan. Pokok pelajaran di akademi tersebut adalah sihir, budaya, adab, dan roh sihir, sisanya mereka akan menjalankan misi kecil-kecilan untuk tugas mereka.

“Letakkan tangan di atas lingkaran sihir. Kau akan tahu atribut sihir apa yang cocok denganmu. Sihirmu akan mengubah baju sihir yang kau pakai. Merah untuk atribut api. Hijau untuk penyembuh. Orange untuk tanah. Kuning untuk listrik. Hmmm….”

Aku membalikkan halaman buku, membaca kelanjutan paragraf yang aku baca. Empat paragraf panjang tiada henti. Yang menarik adalah kotak dialog yang ada di pojokan halaman.

“Sihir yang tidak memiliki atribut sihir dan satu-satunya sihir langka di dunia ini, yaitu Sihir Cahaya.”

Kalau di akademi siswa diminta memeriksa atribut sihir untuk perubahan seragam mereka, apa jadinya jika aku juga melakukan hal yang sama namun tidak ada hasilnya?

Apa mereka akan langsung berpikir aku memiliki sihir cahaya? Bukankah itu akan malah merepotkan?

Kuturunkan buku ke kasur kemudian mengangkat tanganku. Bagiku, sihir cahaya itu bukan sihir tunggal yang berfokus pada cahaya. Melainkan, sihir gabungan dari sebuah jenis sihir yang ada dengan menjadikan cahaya sebagai pusat dari semua sihir.

“Api.”

Kobaran api kecil muncul di atas telapak tanganku. Sihir yang banyak dimiliki oleh orang-orang.

“Air.”

Api menghilang digantikan gumpalan air yang bergerak ke naik-turun. Jenis sihir ini bisa tergantung penggunanya. Bahkan air yang tenang pun bisa melukai orang lain. Pun juga bisa menyembuhkan.

“Metal.”

Air menggumpal padat dengan warna perak. Aku rasa sihir Master Ellen sama seperti ini. Sedikit menggerakkan jariku dan bentuk dari metal tersebut berubah menjadi belati.

Tanganku bergerak turun dan aku berganti rebahan di atas kasur. “Meskipun aku bisa semua jenis sihir, tapi tetap saja yang akan diuji adalah atribut sihir asli. Bagaimana caraku menyembunyikan hal ini?”

Oh, ya, yang kemarin. Monster kelabang itu, seakan memang muncul ketika aku di sana. Apa mungkin dia merasakan sihirku? Jika seperti itu, dia pasti sudah memberikan sinyalnya ke pemiliknya. Dengan kata lain, sesuatu pasti akan terjadi lagi di—

BUM!!

Aku segera bangkit dari kasur. Tanahnya bergetar. Tidak mungkin itu gempa bumi, tapi lebih seperti tanah dihentakkan oleh sesuatu yang berat. Belum sempat mencari tahu, apa yang menggetarkan tanah muncul, tepatnya menghancurkan kamarku.

Cepat-cepat aku keluar dari kamar, mencari tempat yang mungkin bisa digunakan untuk bersembunyi. Aku rasa itu monster tipe raksasa, hanya dengan mengayunkan lengannya, dia bisa merusak apapun di depannya. Dan juga—

Dia mengangkat rumah ini!!!

Pijakanku tidak stabil, lantainya miring, perabotan rumah mulai bergerak ke sembarang arah. Guncangannya semakin kuat, seakan monster itu ingin mengeluarkan semua yang ada di rumah ini. Merasa tidak aman jika tetap di dalam rumah, aku segera berpegangan pada lemari dan ikut terjun ke luar.

Monster itu bahkan menutupi matahari yang bersinar terik. Bukan hanya satu, melainkan tiga. Mereka merusak rumah warga, menghancurkan aspal, bahkan menelan warga.

Sebelum lemari menghantam tanah, aku segera melompat turun. Teriakan histeris memenuhi sekitar. Ya, mau dilihat dari manapun manusia hanya akan terlihat seperti semut di hadapan monster itu.

“Ke arah sini!!” teriakan penyihir terdengar, mencoba membantu mengevakuasi warga.

Aku ikut berlari ke arah mereka. Tepat di belakangku, monster itu membanting rumah milik Master Ellen layaknya membanting mainan. Tanah kembali berguncang ketika rumah itu menghantan tanah, alhasil aku harus tersungkur ke tanah.

Jika melihat bagaimana monster berpikir, ada dua kemungkinan. Pertama, dia bergerak sesuai perintah dengan mengincar target mereka. Kedua, mereka mengincar siapapun yang lemah. Karena pada dasarnya, monster akan menghindari berurusan langsung dengan mereka yang kuat, karena sama saja dengan bunuh diri.

Namun, jika monster itu tipe menengah ke atas, mereka akan mengincar yang paling kuat.

Dan sepertinya, monster raksasa ini mengincarku. Dan dia berhasil menangkapku.

Ukurannya benar-benar besar, tingginya mencapai 200kaki, hampir sama tingginya dengan gedung. Wajahnya terlihat mengerikan dengan codet di pipi mereka. Matanya hitam dengan pupil merah. Aku yang berada di dalam genggamannya, merasa begitu kecil.

Tanganku sakit. Sepertinya ada pecahan kaca yang menusuk tanganku. Raksasa ini pasti tidak sengaja menyeret serta pecahan kaca ketika menangkapku. Aku bisa melelehkan tangan besar ini, jika dengan lava harusnya bi—

Tangan yang menggenggam tubuhku seketika terpotong dan aku meluncur jatuh ke bawah. Aku rasa aku tidak bisa terbang! Dan bukan aku yang memotong tangan itu!

Seseorang menyambar tubuhku, menggendongku turun dengan selamat.

Memberanikan diri menatap orang yang menggendongku, aku rasa aku seperti pernah bertemu dengannya. Remaja laki-laki dengan rambut perak dan sepasang mata biru yang terlihat seperti berlian.

Siapa?

Dia menurunkan perlahan. “Bersembunyilah di belakangku.”

Tanpa perintah dua kali, aku berpindah tempat ke belakangnya. Dia tinggi, bahunya juga lebar. Mungkin dia berumur sekitar 19 tahun. Aku yang tidak begitu tinggi ini hanya setinggi ketiaknya. Apa aku sependek itu?

“ROARRRR!!!”

Tekanan angin yang sangat kuat datang dari arah depan. Laki-laki di depanku mengangkat tangan kirinya, tameng tidak terlihat menghalau hembusan angin yang mengarah pada kami. Jika diperhatikan lagi, hanya tersisa satu monster dari tiga monster yang mengamuk. Beberapa penyihir berhasil menghanguskan mereka semua, kini tersisa satu di depanku.

Monster itu berhasil dikekang dengan sihir tanaman milik salah satu penyihir. Aku rasa dia hebat bisa mempertahankan tanamannya sekalipun targetnya memberontak. Penyihir lainnya segera bergabung membantu. Koordinasi yang hebat.

“Maaf saja, karena aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama dua kali.” Laki-laki di depanku menurunkan tangannya, bersamaan dengan itu sebuah pedang muncul. Pedang yang terbuat dari es. Meskipun ujungnya tidak menyentuh tanah, tapi hanya dengan energi yang dikeluarkan sudah bisa membekukan tanah tanpa menyentuhnya.

Belum selesai mengamati pedang itu, tiba-tiba pedang dan pemiliknya menghilang. Pergerakannya terlalu cepat, aku bahkan tidak bisa mengikutinya dan dia sudah ada di atas kepala monster raksasa itu. Dia mengangkat pedangnya. Hanya dengan sekali serang, raksasa itu terbelah menjadi dua dan membeku.

Sungguh sihir yang menakjubkan. Aku kira tidak banyak penyihir yang menguasai sihir tingkat lanjut sepertinya. Seorang penyihir yang mempelajari sihir tingkat lanjut biasanya bisa mengubah sihir mereka menjadi senjata, aku rasa Master Ellen pernah memperlihatkannya juga. Disamping atribut sihirnya yaitu Metal. Dia juga bisa mengubah sihirnya menjadi senjata.

“Kau terlalu berlebihan, Ketua. Bukankah dengan sihir biasa sudah cukup?”

Beberapa penyihir mulai mendekati laki-laki itu. Aku rasa mereka semua adalah teman laki-laki itu.

“Apa mungkin kau cuma mau pamer?”

“Aha-ha. Mana mungkin ketua suka sama seseorang.”

Gelak tawa terdengar meskipun jarakku dengan mereka sekitar 50meter. Laki-laki yang dikelilingi teman-temannya sempat menatap ke arahku cukup lama.

“Mereka selalu berisik, ya. Tapi, setidaknya mereka menjalankan tugas dengan baik.”

Mendengar suara yang familiar, aku spontan menoleh. Seorang laki-laki paruh baya berjalan mendekat. Rambutnya hampir semuanya putih, bahkan kumisnya juga. Dia memakai pakaian pelayan, hitam-putih. Dia tersenyum dan matanya hampir sepenuhnya tertutup.

Master Gensha…

Keluarga Sephiran, keluarga besar yang dilatih untuk menjadi pendamping Ratu Resha dan memenuhi semua kebutuhannya.

Mereka adalah Combat Butler. Tipe penyihir yang bisa menyamar sebagai pelayan, namun juga bisa melakukan kekerasan seperti yang diinginkan atasan mereka. Kalau aku tidak salah, hanya tiga orang yang ada di sisi Ratu Resha, mereka adalah Viona, Lory, dan Gensha. Aku bertemu mereka tiga tahun yang lalu.

Lalu kenapa Master Gensha ada di tempat ini?

“Apa kau terluka?”

Cepat-cepat aku menggeleng. “Tidak. Aku baik-baik saja.”

“Benarkah? Coba lihat tanganmu.” Master Gensha menunjuk tangan kananku.

Ah, benar juga. Aku lupa kalau tanganku terluka, ketika raksasa itu menggenggamku. Tidak banyak, tapi darahnya mengalir.

“Ulurkan tanganmu. Biar aku sembuhkan.”

Menuruti ucapan Master Gensha, aku mengulurkan tanganku yang terluka padanya.

Dia memegang tanganku dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya berada di atas tanganku. Cahaya hijau bersinar redup dari tangan Master Gensha yang terbungkus sarung tangan. Hal yang sama juga terjadi pada luka di tanganku. Sedikit demi sedikit menutup luka itu hingga tidak terlihat pernah ada luka di sana.

“Kiara! Kau baik-baik saja?”

Teriakan Master Ellen dari seberang sana, membuatku menoleh. Dia berlari mendekat.

Keadaanya sudah kacau. Rambutnya yang disanggul rapi kini acak-acakan. Ah benar juga, apa aku harus minta maaf karena secara tidak langsung menghancurkan rumahnya?

Selesai diobati, aku menarik kembali tanganku. “Aku baik-baik saja. Tapi, rumahmu…” Aku beralih menatap puing-puing rumah milik Master Ellen. Bahkan jika memakai sihir pembalik waktu, aku rasa itu tidak bisa mengubah apapun.

Master Ellen mendengkus pelan. Pundaknya turun perlahan dengan mata yang masih menatap ke arah rumahnya yang sudah tidak berbentuk. “Aku rasa aku harus pindah ke rumah yang baru. Aku bisa membawamu serta denganku, Ra. Kau mau ikut?”

“Maaf, permisi.” Master Gensha menyela dengan mengangkat rendah tangannya.

Master Ellen yang baru menyadari keberadaan Master Gensha segera menundukkan kepalanya. “Master! Maaf tidak memperhatikanmu!”

Master? Apa dia baru saja memanggilnya master?

Master Gensha tertawa pelan, matanya kembali menyipit. “Tidak apa. Oh, ya. Aku akan menampung Kiara di tempatku, El.”

Master Ellen seketika mengangkat wajahnya, menatap laki-laki yang jauh lebih tua darinya.

Berulang kali mengedipkan matanya. “Kerabat yang Master bicarakan waktu itu, itu Kiara?”

Kerabat?

“Oh, kau masih mengingatnya? Terima kasih sudah mau meminjamkan rumahmu pada Kiara. Aku akan membayar uang ganti rugi atas rumahmu.” Master Gensha merogoh saku celanannya mengeluarkan dompet.

Mari tunggu mereka selesai bicara. Omong-omong …

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!