Istri Bayaran Bos Besar

Istri Bayaran Bos Besar

1

Pagi ini hujan rintik membasahi kotaku. Sepertinya memang merata hujannya. Beberapa teman di grup juga pada bilang kalau di rumah mereka sedang hujan.

Aku melirik jam di dinding, sudah waktunya aku berangkat. Memang, ada toleransi keterlambatan kalau hujan begini. Namun, aku masih ingin berusaha agar bisa datang tepat waktu. Sebagai buruh pabrik, aku harus bisa disiplin agar produksi bisa berjalan dengan lancar. Terlebih, jika mengingat banyaknya kebutuhan yang mendesak, membuatku tidak bisa berleha barang sejenak. Aku harus bekerja keras agar segala impian bisa dicapai.

Di usia ke dua puluh delapan ini, aku sudah menikah. Usia pernikahanku sudah berjalan tiga tahun. Dia Bagas, suamiku yang paling pengertian sedunia. Pasalnya, lelaki itu bisa dengan sabar menerimaku yang belum juga memberinya keturunan. Walaupun aku tahu bahwa kedua orang tuanya sudah sangat merindukan seorang cucu lahir dari keturunannya.

"Tidak apa-apa. Kelahiran, kematian, jodoh, rezeki semuanya sudah ada yang ngatur. Kita hanya bisa berusaha. Selebihnya ... kita hanya mampu bertawakkal," ucapnya setiap kali aku mengeluhkan perihal keturunan.

Sejak suamiku terkena PHK, semua tanggung jawab keuangan ada di pundakku. Walaupun, suami itu tetap mencari rezeki secara serabutan demi mencukupi kebutuhan kami. Sampai akhirnya, kesedihanku karena belum bisa menjadi wanita yang sempurna pun bisa teralihkan oleh pekerjaan.

Tidak jarang aku mengambil lembur. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, aku memiliki dua adik yang masih berada dalam tanggunganku. Sedangkan ibu kami membuka jasa jahit baju di rumah. Ada waktu-waktu tertentu jahitannya ramai, tetapi mengingat usianya yang tidak lagi muda membuatnya kualahan.

Sementara itu, kedua adikku masih sama-sama menempuh pendidikan. Farrel yang masih duduk di bangku kelas tiga SMA, dan Ayudia yang kuliah di tingkat akhir.

"Hati-hati di jalan ya, Mas enggak bisa antar karena nanti mau ada janji ojekan." Mas Bagas berkata lembut. Tatapannya pun selalu lembut dan menenagkan.

"Iya, Mas, enggak apa-apa." Aku pun membalas dengan kalimat yang sama lembutnya.

Setelah berpamitan kepada Mas Bagas, lalu berlanjut kepada Ibu yang masih di dapur, aku pun bergegas memakai jas hujan, menghidupkan mesin motor dan menerobos hujan yang mulai menderas.

Sesampainya di pabrik, aku basah kuyup. Sebelum bekerja masuk ke ruangan, aku terlebih dahulu beeganti pakaian, dan menyimpan pakaian basahku ke dalam plastik. Aku sengaja membawa baju ganti yang dimasukkan ke dalam jok sebagai jaga-jaga jika basah kuyup begini.

Aku menyapa rekanku yang lain, mereka juga sama basahnya denganku.

"Hujannya deres banget. Kamu diantar apa pergi sendiri?" tanya Diah teman sejawatku.

"Aku pergi sendiri tadi." Aku membalas santai. Rupanya, jawabanku itu memicu pertanyaan lain dari rekanku yang lain.

"Jangan bilang kalau pakai motor butut itu?"

Kontan saja aku mengangguk. "Masih bisa digunakan, kok," sahutku.

"Hati-hati, lho, Na. Itu motor sudah selayaknya di musium kan, sudah ndak layak pakai." Diah kembali menyahut.

"Iya, aku akan hati-hati. Aku bawanya pelan-pelan, kok." Lantas, aku melambaikan tangan berpamitan kepada yang lain. Pekerjaan sudah menunggu.

Usai berkutat beberapa jam dengan pekerjaan, waktu pun masuk di jam makan siang. Di dalam gedung ini, mau terjadi cuaca yang bagaimana pun tetap tidak akan tahu. Semua sibuk dan tidak ada jendela untuk melihat keluar. Ruangan bersuhu dingin dengan lampu yang terus menyala membuatku seakan berada dalam waktu yang sama saja. Jika bukan karena ada bel sebagai pertanda waktu atau jam di dinding, sudah tentulah tidak akan sadar dengan perubahan waktu dari pagi sampai ke sore.

Seperti rekanku yang lain, aku pun makan siang di kantin. Bedanya, jika mereka makan dengan memesan menu di kantin, sedangkan aku makan dengan bekal yang telah aku siapkan dari rumah. Selain karena penghematan, makanan di rumah juga lebih sehat, bukan? Alasan untuk orang yang sedang butuh banyak biaya sepertiku.

"Suami kamu gimana, Na? Belum dapat pekerjaan lagi?" tanya Diah di sela makan kami.

Aku mendongak, menjeda sejenak kunyahan di mulut, lalu mengunyah dengan cepat dan menelan dengan dibantu air putih dalam botol yang aku bawa.

"Balum. Zaman sekarang, memang susah cari kerja, kan? Apa kamu ada lowongan kerja untuk Mas Bagas?" Aku bertanya penuh harap. Kalau saja Mas Bagas bisa bekerja lagi.

"Belum ada. Nanti kalau ada bakalan kami kabari." Diah memberi tahu. Dia juga menatap rekan kami yang lain secara bergantian. Yang lain pun mengangguk, mengucapkan janji yang serupa. "Si Ayu udah skripsi?" tanyanya lagi.

Memang, Diah dan teman kerjaku cukup kenal dan paham dengan kehidupan keluargaku. Saat istirahat begini, tidak jarang kami saling bertukar berita.

"Iya, tahun ini mulai nyusun dia. Bulan kemarin sudah minta uang bayaran," jawabku apa adanya.

Selanjutnya, obrolan pun beralih pada teman kami yang lain. Setelah menyelesaikan makan, kami kembali ke ruang kerja untuk menyelesaikan tugas sampai waktu pulang tiba.

Saat waktu pulang tiba, satu per satu kami mulai berpamitan. Aku sudah berada di parkiran, menyalakan kendaraan roda dua yang memang sudah tua ini. Udara sore terasa amat dingin. Tampaknya sisa-sisa hujan masih terus membasahi bumi.

Aku bergegas keluar dari area pabrik menuju jalan raya. Kendaraan cukup padat sampai membuat macet karena memang ini adalah jam orang kerja pulang.

Gerimis kembali merintik. Perlahan hujan semakin deras, dan bertetapan dengan itu ... mesin kendaraanku mati. Di bawah derasnya hujan, aku mendorong motorku ini ke pinggir jalan, mencari tempat teduh agar bisa menghubungi Mas Bagas. Nahas, suamiku itu tidak juga menjawab panggilanku sampai ponselku kehabisan daya.

Dengan terpaksa, akhirnya aku mendorong motor sambil mencari bengkel yang mungkin saja masih buka. Entah nasib apa yang menimpaku hari ini? Tidak ada bengkel yang buka, dan tubuhku mulai menggigil kedinginan.

Aku sudah memakai jas hujan. Namun, tetap saja basahnya tidak bisa aku hindari seperti pagi tadi.

Seharunya, hanya butuh waktu setengah jam dari pabrik ke rumah, tetapi karena motor yang mogok, aku membutuhkan waktu dua jaman untuk mendorong.

Seampainya di rumah, aku langsung membuka jas hujan, dan masuk. Aku ingin segera mandi dan berganti pakaian kemudian bergelung dalam selimut.

Keadaan rumah sepi. Ibu hari ini memang sedang pergi, menginap di rumah saudara. Sedangkan Farrel entah ke mana, katanya akan ada belajar kelompok, tapi benarkah sampai sesore ini? Mas Bagas pun tidak ada. Mungkin sedang di luar.

Aku terus masuk ke rumah dengan baju yang basah. Sampai di depan pintu kamar, aku memdengar suara yang tidak biasa. Aku membuka pintu kamar, dan apa yang aku lihat membuat jantung ini serasa berhenti berdetak. Rasanya, nyawaku telah dicabut dengan paksa. Sakit tidak terkira.

Di dalam kamarku, aku melihat Mas Bagas dan Ayudia sedang memadu kasih. Rasanya duniaku hancur seketika.

Terpopuler

Comments

Ike Frenhas

Ike Frenhas

terima kasih

2023-09-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!