NovelToon NovelToon

Istri Bayaran Bos Besar

1

Pagi ini hujan rintik membasahi kotaku. Sepertinya memang merata hujannya. Beberapa teman di grup juga pada bilang kalau di rumah mereka sedang hujan.

Aku melirik jam di dinding, sudah waktunya aku berangkat. Memang, ada toleransi keterlambatan kalau hujan begini. Namun, aku masih ingin berusaha agar bisa datang tepat waktu. Sebagai buruh pabrik, aku harus bisa disiplin agar produksi bisa berjalan dengan lancar. Terlebih, jika mengingat banyaknya kebutuhan yang mendesak, membuatku tidak bisa berleha barang sejenak. Aku harus bekerja keras agar segala impian bisa dicapai.

Di usia ke dua puluh delapan ini, aku sudah menikah. Usia pernikahanku sudah berjalan tiga tahun. Dia Bagas, suamiku yang paling pengertian sedunia. Pasalnya, lelaki itu bisa dengan sabar menerimaku yang belum juga memberinya keturunan. Walaupun aku tahu bahwa kedua orang tuanya sudah sangat merindukan seorang cucu lahir dari keturunannya.

"Tidak apa-apa. Kelahiran, kematian, jodoh, rezeki semuanya sudah ada yang ngatur. Kita hanya bisa berusaha. Selebihnya ... kita hanya mampu bertawakkal," ucapnya setiap kali aku mengeluhkan perihal keturunan.

Sejak suamiku terkena PHK, semua tanggung jawab keuangan ada di pundakku. Walaupun, suami itu tetap mencari rezeki secara serabutan demi mencukupi kebutuhan kami. Sampai akhirnya, kesedihanku karena belum bisa menjadi wanita yang sempurna pun bisa teralihkan oleh pekerjaan.

Tidak jarang aku mengambil lembur. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, aku memiliki dua adik yang masih berada dalam tanggunganku. Sedangkan ibu kami membuka jasa jahit baju di rumah. Ada waktu-waktu tertentu jahitannya ramai, tetapi mengingat usianya yang tidak lagi muda membuatnya kualahan.

Sementara itu, kedua adikku masih sama-sama menempuh pendidikan. Farrel yang masih duduk di bangku kelas tiga SMA, dan Ayudia yang kuliah di tingkat akhir.

"Hati-hati di jalan ya, Mas enggak bisa antar karena nanti mau ada janji ojekan." Mas Bagas berkata lembut. Tatapannya pun selalu lembut dan menenagkan.

"Iya, Mas, enggak apa-apa." Aku pun membalas dengan kalimat yang sama lembutnya.

Setelah berpamitan kepada Mas Bagas, lalu berlanjut kepada Ibu yang masih di dapur, aku pun bergegas memakai jas hujan, menghidupkan mesin motor dan menerobos hujan yang mulai menderas.

Sesampainya di pabrik, aku basah kuyup. Sebelum bekerja masuk ke ruangan, aku terlebih dahulu beeganti pakaian, dan menyimpan pakaian basahku ke dalam plastik. Aku sengaja membawa baju ganti yang dimasukkan ke dalam jok sebagai jaga-jaga jika basah kuyup begini.

Aku menyapa rekanku yang lain, mereka juga sama basahnya denganku.

"Hujannya deres banget. Kamu diantar apa pergi sendiri?" tanya Diah teman sejawatku.

"Aku pergi sendiri tadi." Aku membalas santai. Rupanya, jawabanku itu memicu pertanyaan lain dari rekanku yang lain.

"Jangan bilang kalau pakai motor butut itu?"

Kontan saja aku mengangguk. "Masih bisa digunakan, kok," sahutku.

"Hati-hati, lho, Na. Itu motor sudah selayaknya di musium kan, sudah ndak layak pakai." Diah kembali menyahut.

"Iya, aku akan hati-hati. Aku bawanya pelan-pelan, kok." Lantas, aku melambaikan tangan berpamitan kepada yang lain. Pekerjaan sudah menunggu.

Usai berkutat beberapa jam dengan pekerjaan, waktu pun masuk di jam makan siang. Di dalam gedung ini, mau terjadi cuaca yang bagaimana pun tetap tidak akan tahu. Semua sibuk dan tidak ada jendela untuk melihat keluar. Ruangan bersuhu dingin dengan lampu yang terus menyala membuatku seakan berada dalam waktu yang sama saja. Jika bukan karena ada bel sebagai pertanda waktu atau jam di dinding, sudah tentulah tidak akan sadar dengan perubahan waktu dari pagi sampai ke sore.

Seperti rekanku yang lain, aku pun makan siang di kantin. Bedanya, jika mereka makan dengan memesan menu di kantin, sedangkan aku makan dengan bekal yang telah aku siapkan dari rumah. Selain karena penghematan, makanan di rumah juga lebih sehat, bukan? Alasan untuk orang yang sedang butuh banyak biaya sepertiku.

"Suami kamu gimana, Na? Belum dapat pekerjaan lagi?" tanya Diah di sela makan kami.

Aku mendongak, menjeda sejenak kunyahan di mulut, lalu mengunyah dengan cepat dan menelan dengan dibantu air putih dalam botol yang aku bawa.

"Balum. Zaman sekarang, memang susah cari kerja, kan? Apa kamu ada lowongan kerja untuk Mas Bagas?" Aku bertanya penuh harap. Kalau saja Mas Bagas bisa bekerja lagi.

"Belum ada. Nanti kalau ada bakalan kami kabari." Diah memberi tahu. Dia juga menatap rekan kami yang lain secara bergantian. Yang lain pun mengangguk, mengucapkan janji yang serupa. "Si Ayu udah skripsi?" tanyanya lagi.

Memang, Diah dan teman kerjaku cukup kenal dan paham dengan kehidupan keluargaku. Saat istirahat begini, tidak jarang kami saling bertukar berita.

"Iya, tahun ini mulai nyusun dia. Bulan kemarin sudah minta uang bayaran," jawabku apa adanya.

Selanjutnya, obrolan pun beralih pada teman kami yang lain. Setelah menyelesaikan makan, kami kembali ke ruang kerja untuk menyelesaikan tugas sampai waktu pulang tiba.

Saat waktu pulang tiba, satu per satu kami mulai berpamitan. Aku sudah berada di parkiran, menyalakan kendaraan roda dua yang memang sudah tua ini. Udara sore terasa amat dingin. Tampaknya sisa-sisa hujan masih terus membasahi bumi.

Aku bergegas keluar dari area pabrik menuju jalan raya. Kendaraan cukup padat sampai membuat macet karena memang ini adalah jam orang kerja pulang.

Gerimis kembali merintik. Perlahan hujan semakin deras, dan bertetapan dengan itu ... mesin kendaraanku mati. Di bawah derasnya hujan, aku mendorong motorku ini ke pinggir jalan, mencari tempat teduh agar bisa menghubungi Mas Bagas. Nahas, suamiku itu tidak juga menjawab panggilanku sampai ponselku kehabisan daya.

Dengan terpaksa, akhirnya aku mendorong motor sambil mencari bengkel yang mungkin saja masih buka. Entah nasib apa yang menimpaku hari ini? Tidak ada bengkel yang buka, dan tubuhku mulai menggigil kedinginan.

Aku sudah memakai jas hujan. Namun, tetap saja basahnya tidak bisa aku hindari seperti pagi tadi.

Seharunya, hanya butuh waktu setengah jam dari pabrik ke rumah, tetapi karena motor yang mogok, aku membutuhkan waktu dua jaman untuk mendorong.

Seampainya di rumah, aku langsung membuka jas hujan, dan masuk. Aku ingin segera mandi dan berganti pakaian kemudian bergelung dalam selimut.

Keadaan rumah sepi. Ibu hari ini memang sedang pergi, menginap di rumah saudara. Sedangkan Farrel entah ke mana, katanya akan ada belajar kelompok, tapi benarkah sampai sesore ini? Mas Bagas pun tidak ada. Mungkin sedang di luar.

Aku terus masuk ke rumah dengan baju yang basah. Sampai di depan pintu kamar, aku memdengar suara yang tidak biasa. Aku membuka pintu kamar, dan apa yang aku lihat membuat jantung ini serasa berhenti berdetak. Rasanya, nyawaku telah dicabut dengan paksa. Sakit tidak terkira.

Di dalam kamarku, aku melihat Mas Bagas dan Ayudia sedang memadu kasih. Rasanya duniaku hancur seketika.

2

Petir menggelegar, hujan pun semakin deras. Tidak hanya itu, angin berembus sangat kencang. Aku bisa melihat jendela kamar yang bergoyang karena belum ditutup. Dua orang yang masih bergelung itu seolah lupa dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Aku ingin menjerit, tetapi lidahku kelu untuk mengeluarkan kata. Kedua lutut ini seakan lunglai tidak mampu menopang tubuhku. Aku mengusap air mata dengan kasar, mereka tidak layak untuk ditangisi. Dengan gigil tubuh yang semakin menjadi, dan dengan sisa kekuatan yang aku miliki, aku melangkah tertatih menuju ranjang. Bertepatan dengan itu, Mas Bagas menoleh dan dia langsung terlonjak kaget.

"Mey ... Medina." Suara lelaki itu bergetar. Dia segera mengenakan pakaian.

"Mbak Medina." Ayudia juga menyadari kehadiranku. Dia menutupi tubuhnya dengan selimut dengan erat, tubuhnya merapat pada sandaran ranjang.

Aku mundur selangkah demi selangkah. Lantas, aku tertawa pelan dengan air mata yang mengalir. Aku sudah tidak memiliki daya untuk menghapus air mata ini.

"Silakan dilanjutkan," kataku kemudian melangkah cepat meninggalkan kamarku.

"Medina! Medina!" seru Mas Bagas sambil mengejar langkahku.

Aku masuk ke kamar Farrel, bergegas mengunci pintu dan masuk ke dalam selimut. Tidak lagi aku pedulikan bagaimana suara Mas Bagas yang terus berteriak memanggil namaku sambil menggedor pintu berulang kali.

Ingin sekali aku memejamkan mata, tenggelam dalam gelap dan tidak ingin bangun lagi. Namun, kesadaran ini tidak juga kunjung menghilang. Isi kepalaku terlalu penuh, dada ini pun serasa ingin meledak dan aku ingin beteriak di hadapan kedua orang itu.

Aku melempar selimut secara asal. Raga ini melangkah seperti ada yang mengendalikan sendiri, di luar kesadaranku. Ada satu hal yang ingin aku lakukan sekarang ini. Lantas, aku membuka pintu kamar, mengabaikan lelaki itu. Dia mencekal tanganku, dan aku balas dengan tatapan tajam.

"Badan kamu panas, Mey. Kamu sakit?" tanya lelaki itu yang aku balas dengan tatapan dingin.

Aku menepis cekalan tangan Mas Bagas, lalu berjalan menuju tempat yang ingin aku tuju yaitu dapur. Di sana aku melihat pisau yang terletak di samping kompor, aku bergegas mengambil. Namun, belum sempat aku melangkah meninggalkan dapur, lagi-lagi Mas Bagas menghalangi langkahku.

Mataku berkilat tajam, ingin sekali aku mencabik tubuh di hadapanku ini. Namun, tiba-tiba saja tubuhku terkulai lemah. Kesadaranku semakin menipis, kemudian gelap.

Entah berapa lama aku tenggelam dalam gelap hingga akhirnya aku terbangun. Aku menoleh, mendapati Mas Bagas yang berbaring memelukku. Sesaat, aku menatap bingung. Ada perasaan hampa juga sesak yang bergumul di dalam dadaku, sampai akhirnya kesadaran itu pun berkumpul menghimpun kepingan kepingan puzzle sampai menjadi sebuah adegan nyata yang menyakitkan.

Seketika itu juga, aku mendorong tubuh yang mendekapku itu. Aku menjerit dengan air mata yang mengalir.

"Pergi!!! Pergi dari sini!!!"

Entah jam berapa sekarang. Ayudia dan Farrel berlari menghampiriku dengan mata memerah kerena mengantuk.

"Mbak, apa yang Mbak Medina lakukan? Mas Bagas baru saja tidur karena nemani Mbak Medina semalaman," ujar Ayudia memprotes sikapku.

"Aku tidak butuh. Lebih baik kalian semua segera keluar dari kamar ini." Suaraku tajam dan bergetar. Melihat bagaimana Ayudia menatap Mas Bagas, membuatku sakit.

"Mbak Medina butuh sesuatu?" Farrel bertanya dengan raut khawatir sekaligus bingung.

Aku menggeleng berulang kali. Lantas, kembali menatap tajam Mas Bagas yang masih membisu di sampingku.

"Keluar dari kamar ini," kataku ketus disertai tatapan tajam.

"Mbak Medina mimpi buruk?" Lagi, suara Ayudia terdengar.

"Tolong! Kalian semua keluar. Aku ingin sendiri." Aku mengangkat kedua tangan, menyerah dengan keadaan ini.

"Mbak masih sakit. Mas Bagas semalaman mengurusi Mbak Medina."

Rasanya kepalaku mau meledak mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Ayudia.

"Kalau gitu aku yang keluar." Putusku kemudian.

"Kamu di sini aja. Biar Mas yang keluar. Kamu istirahat aja lagi." Mas Bagas berbicara lembut, tangannya memegang keningku seakan tengah memastikan keadaanku. Aku segera memalingkan wajah, enggan menerima perhatian darinya.

Setelah mereka semua keluar, aku turun dari ranjang. Emosiku kembali mencuat, menggelegak di dalam dada bagai lahar yang dimuntahkan. Aku membuang selimut, bantal dan seprai ke lantai. Tangisku pecah. Aku sampai harus menggigit ujung baju yang aku kenakan agar tidak mengganggu orang lain. Aku belum siap jika harus didatangi warga di jam segini. Memikirkan perasaan Ibu nanti, membuat jiwaku menciut.

Pagi ini, aku memutuskan untuk tidak keluar dari kamar. Mas Bagas datang membawa sarapan. Tidak berapa lama kemudian, Farrel masuk ke kamar untuk berpamitan berangkat ke sekolah.

"Mbak Medina udah sehat?" tanya bocah remaja itu.

Aku bergumam pelan sembari mengangguk. Aku tidak mungkin menampakkan kekacauan hidupku kepada bocah remaja itu, cukup biarkan dia fokus pada pelajaran di sekolahnya.

"Kalau butuh apa-apa, Mbak bisa kabari aku yaa," kata Farrel lagi sebelum keluar dari kamar.

Setelah pintu kamar ditutup, dan aku dapati Mas Bagas yang kini duduk di lantai, aku pun mendongak menatap wajahnya yang tampak bersalah.

"Dari kapan kalian melakukan itu?" tanyaku memecah keheningan di antara kami.

"Maafkan aku, Mey. Aku khilaf. Ini baru pertama kalinya ...."

"Kamu yakin?" tanyaku memastikan.

Selama ini, Ayudia memang tidak tinggal di rumah. Dia kos di dekat kampusnya untuk memudahkan proses belajarnya. Entah ada angin apa tiba-tiba Ayudia pulang, tanpa kabar terlebih dahulu dan memberikan kehancuran pada rumah tanggaku ini.

"Nanti kita bicarakan lagi saat Ibu pulang. Yang jelas, aku enggak mau terus bertahan dengan situasi ini." Aku berkata lagi. Ini adalah keputusan yang aku ambil, demi kebaikan bersama.

"Tapi, Mey--"

"Keluarlah aku mau tidur." Aku menyela ucapan lelaki itu.

"Aku kesepian, Mey. Kamu terlalu fokus pada pekerjaan dan mengabaikan aku. Apa yang kami lakukan benar-benar karena khilaf. Aku enggak sengaja dan enggak sadar--"

"Andai kamu tahu kalau aku juga kesepian, Mas. Aku kesepian karena harus menanggung semua ini sendirian. Jika aku bisa memilih, aku memilih untuk tidak berada dalam situasi ini." Aku menghapus air mataku dengan kasar. Di tempat duduknya, Mas Bagas terkesiap. Dia tampak tidak menduga dengan apa yang aku katakan. Lantas, aku pun segera naik ke ranjang, meringkuk di sana.

Beberapa saat kemudian, aku rasakan sebuah selimut dibentangkan untuk menutupi tubuhku.

"Singkirkan itu! Aku jijik." Aku berkata dengan ketus. Namun, tampaknya Mas Bagas tidak goyah. Dia mengambil selimut di dalam lemari dan menyelimuti tubuhku.

"Aku sudah mengganti selimut itu semalam," ujarnya sebelum melangkah pergi.

Aku memejamkan mata, tetapi pikiranku berjalan ke mana-mana. Sampai akhirnya, suara Ibu terdengar menanyakan keadaanku. Wanita itu duduk dipinggir ranjang, mengelua kepalaku dengan penuh kasih sayang.

Bagaimana caranya aku membicarakan masalah ini kepada Ibu?

3

Perlahan, aku turun dari ranjang. Entah ke mana perginya Ibu setelah dari kamar ini tadi. Aku bergegas melangkah ke kamar mandi. Saat melewati arah dapur, samar-samar aku mendengar suara percakapan di dalam kamar Ibu. Namun, aku tidak berniat untuk menguping pembicaraan itu, langkah ini pun terus melaju ke kamar mandi.

Aku mandi sembari menangkan diri, tidak ingin Ibu melihat bagaimana kacaunya diri ini. Aku membasahi rambutku, memakai lulur dan sengaja berlama di dalam kamar mandi agar jejak air mata ini benar-benar hilang dari wajahku.

Aku langsung berganti pakaian di kamar mandi, dan merapikan diri. Setelah dirasa cukup, barulah aku keluar.

Di dapur, aku melihat Mas Bagas yang duduk di kursi dengan wajah kacau. Di samping lelaki itu, Ayudia tampak menangis. Entah apa yang mereka bicarakan, aku juga tidak akan peduli dan tidak ingin mencari tahu.

Saat aku melewati mereka, Mas Bagas menoleh. Lelaki itu langsung berdiri. Wajah kacaunya kini bertambah dengan wajah penuh harap.

"Mey, maafkan aku ...." Suaranya bergetar dengan wajah merah.

"Mas Bagas." Ayudia ikut berdiri. Adik perempuanku itu menatap Mas Bagas dengan tatapan sendu. Dia tidak melihat ke arahku barang sedetik pun.

"Kita bicara di ruang tamu." Aku berkata lirih dengan ekspresi dingin. Betapa aku berusaha keras untuk tetap berada di antara keduanya.

Sebelum melangkah menuju ruang tamu, aku lebih dulu ke kamar Ibu. Dengan suara pelan, aku meminta izin agar Ibu mau ke ruang tamu.

Aku tidak mendapati wajah terkejut dari wanita itu. Tampaknya, Ibu sudah memahami apa yang terjadi di antara kami, anak-anaknya ini.

"Ibu, aku mau minta izin untuk bercerai dengan Mas Bagas. Dan, tolong izinkan Mas Bagas menikahi Ayudia." Aku berkata dengan suara beegetar. Mau bagaimana pun aku mencoba tegar, perasaan ini tidak bisa disembunyikan sepenuhnya.

"Medina. Aku tidak mau bercerai dari kamu. Sudah aku katakan kalau aku khilaf, dan hanya sekali ini aku lakukan. Tidakkah kamu mengerti?"

Bukan Ibu yang menjawab permintaan izinku, tetapi Mas Bagas yang bersuara dengan wajah merah padam. Ekspresinya pun tampak kaku. Lelaki itu tetap menolak keinginanku untuk berpisah.

"Mas, aku cinta sama kamu." Kali ini suara Ayudia yang terdengar. Suaranya lirih, bergetar oleh tangisan.

Aku merasa miris mengetahui fakta ini. Ayudia mencintai Mas Bagas, suamiku. Sejak kapan?

"Ayu, kamu tahu sendiri kalau kemarin itu karena khilaf. Aku enggak mungkin sama kamu. Aku cinta sama Medina, kakak kamu." Mas Bagas menolak dengan tegas pernyataan cinta Ayudia.

"Sudah cukup." Ibu akhirnya bersuara, menengahi perdebatan ini. Mata teduhnya kini terlihat sendu. Aku tahu, dia pasti juga terluka dengan apa yang terjadi dalam keluarga ini.

Tatapan Ibu beralih kepadaku. "Medina, suami kamu sudah mengakui kesalahannya dan mengaku jika dia khilaf. Ibu tahu benar bagaimana perasaan kamu sekarang. Tapi, Ibu juga akan mendukung apa pun pilihan kamu. Apalagi jika nanti ternyata Ayudia hamil, dia butuh seorang lelaki yang bertanggung jawab."

"Tapi, Ibu. Aku dan Medina sudah menikah selama tiga tahun. Dan selama ini, kami baik-baik saja. Medina juga belum kunjung hamil, mungkin itu saja terjadi juga pada Ayudia, kan?" Bagas mengajukan aksi protesnya.

Aku tidak percaya bahwa lelaki itu bisa mengatakan hal mengerikan seperti itu.

"Aku enggak mau, Mas. Kamu sudah mengkhianati pernikahan kita. Dan, Ayudia juga bukanlah wanita murahan yang bisa kamu tiduri lalu kamu lupakan begitu saja. Aku enggak bisa bersama lagi sama kamu." Aku berkata tegas agar lelaki itu tahu bahwa keputusan yang aku ambil sudah bulat.

"Tapi, Mey ...."

"Maaf, aku enggak bisa melanjutkan pernikahan ini. Aku harap kamu mengerti dengan perasaan aku." Aku kembali berkata, dan menegaskan bahwa ucapanku tidak bisa dibantah.

***

Sejak perbincangan hari itu, Mas Bagas memilih keluar dari rumah ini. Selama proses perceraian, aku memilih untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Tidak sanggup rasanya jika harus tetap tinggal di kota ini. Aku akan merantau, mencoba menggadaikan ijazah strata satu-ku di tempat yang membuatku bisa melupakan masa lalu.

Tidak ada yang berubah dengan hubungan kami. Aku tetap berjanji untuk menanggung biaya pendidikan mereka sebagaimana Ibu yang berjuang untuk pendidikanku.

Suara ketukan di pintu kamar terdengar. Aku menoleh dan mendapati Ibu melangkah masuk.

"Kamu lagi sibuk?" tanya Ibu.

"Enggak, sih, Bu. Aku lagi beres-beres berkas aja." Aku menyusul Ibu yang duduk di pinggir ranjang.

"Apa kamu serius akan keluar dari pabrik itu dan mencari pekerjaan lain?" Ibu bertanya, matanya menatapku lurus.

"Iya, Bu. Aku ingin cari pengalaman baru dan pekerjaan baru yang gajinya lebih besar. Lagian, Farrel mau kuliah. Aku mau kedua adikku bisa kuliah semua." Aku menjelaskan dengan alasan yang paling masuk akal.

"Kamu ... enggak dendam sama Ayudia, kan?" Ibu meraih tanganku, meletakkan di atas pangkuannya.

"Enggaklah, Bu. Ayudia juga adikku, walaupun kami beda ibu. Enggak ada di pikiran aku kalau kami cuma satu ayah saja. Aku sudah cukup beruntung karena Ibu sudah mau merawatku sampai sebesar ini. Setelah Ayah pergi, hanya kalian keluargaku. Semua kebaikan dan kebersamaan yang sudah aku lalui enggak akan sebanding dengan perasaan sedih ini." Aku mengulas senyum membalas genggaman tangan Ibu.

"Terima kasih untuk perasaan cinta yang kamu miliki pada keluarga ini. Ibu sayang sekali sama kamu. Ibu berharap ... kamu akan mendapatkan kehidupan yang bahagia di masa yang akan datang." Ibu memelukku.

Lisanku mengaminkan ucapan Ibu, tetapi tidak dengan hatiku. Sebab, aku sudah tidak percaya lagi dengan kehidupan bahagia yang akan aku temui. Bagiku sekarang, Medina sudah mati. Dan, sosok yang sekarang adalah sosok raga yang tidak lagi memiliki hati untuk perasaan itu. Tidak ada.

Suara nada dering berbunyi mengalihkan fokus kami. Aku menatap ponsel di atas nakas, lalu segera mengambil benda pipih itu. Nama Ayudia berpendar di layar.

Aku menyerahkan ponsel kepada Ibu, tetapi wanita itu memintaku untuk menjawab panggilan tersebut. Sesaat, aku bergeming, menatap layar yang berpendar sampai menggelap. Sejujurnya, aku bingung apa yang harus aku katakan pada Ayudia. Sejak kembalinya dia ke kota, aku memang sengaja menghindar berkomunikasi dengannya.

Tampaknya, kali ini aku tidak bisa menghindar lagi. Ponselku kembali menyala, dan Ibu memaksaku untuk menjawab panggilan itu. Dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan, aku pun menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan itu.

Suara isak tangis yang pertama kali aku dengar saat menempelkan benda pipih ini ke telinga. Tanpa bisa ditahan, aku menanyakan apa yang terjadi. Aku juga khawatir.

"Mbak, aku hamil."

Kalimat itu seperti sebilah pendang yang menghunus tepat di jantungku. Rupanya, belumlah keluar akta ceraiku dengan Mas Bagas, Ayudia sudah dinyatakan hamil. Jika begini, sanggupkah aku melihat keduanya menikah?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!