16

"Kamu tidak perlu terlalu memikirkan apa yang dikatakan Oma saat makan malam tadi." Mas Rafe menoleh sejenak, lalu kembali fokus pada jalanan. "Oma memang begitu, selalu bersikap baik kepada siapa pun tanpa pandang bulu."

Aku tercenung, memikirkan setiap kata pemakluman dan penuh pengertian yang Oma sampaikan selama kami bersama tadi. Ya, aku akui wanita yang usianya tidak muda lagi itu amat sangatlah baik. Sebagai orang yang kaya, Oma tidak melihat status orang lain.

"Oma sangat menyayangi Mas Rafe," kataku lirih. Di sudut hatiku yang paling dalam, ada rasa sedih yang menggelayut juga perasaan asing yang menusuk.

Aku belum pernah melihat kasih sayang sebesar itu selain yang Ibu berikan. Dan, melihat bagaimana besarnya kasih sayang Oma kepada Mas Rafe membuat perasaan bersalah yang aku rasakan ini semakin menjadi-jadi.

"Apa ... lebih baik kita bicara jujur kepada Oma tentang sandiwara ini, Mas. Aku ... aku enggak tega dengan Oma. Dan apa Mas Rafe tega melihat Oma dibohongi seperti ini?" ujarku kemudian dengan suara bergetar. Mataku terasa panas, air mata siap tumpah dari pelupuk mata.

Mas Rafe tidak menanggapi. Lelaki itu juga tidak melirik ke arahku barang sedetik pun. Sampai menit bermenit berlalu, mobil berhenti di lampu merah.

"Kamu baca lagi surat perjanjian kita. Aku malas menjelaskannya lagi. Lagipula, urusan Oma biar menjadi urusanku, kamu tidak perlu memikirkannya terlalu dalam. Cukup fokus pada apa yang menjadi tanggung jawab kamu, Medina." Kalimat lelaki itu penuh penekanan. Tatapannya pun tajam seakan siap menusuk jantungku. "Kamu mengerti?"

Aku mengangguk patuh, dan tidak membalaa ucapannya. Ya, urusan Oma adalah urusan Mas Rafe. Yang terpenting bagiku sekarang adalah aku menjalankan isi perjanjian itu dengan baik.

Tidak ada lagi percakapan sampai mobil yang aku tumpangi berhenti di gang indekos. Suasana seperti malam biasanya, cukup ramai karena ada warung tenda yang mangkal di pinggir jalan. Mereka akan tutup dan pergi jika jualannya habis.

Aku melepas sabuk pengaman, mencondongkan tubuh ke jok belakang untuk mengambil bingkisan yang dibawakan Oma tadi.

"Mas beneran enggak mau? Untuk aku semua ini?" tanyaku hati-hati. Tadi, Oma sudah menawarkan untuk membawakan Mas Rafe juga, tetapi lelaki itu menolak secara terang-terangan.

"Enggak usah. Untuk kamu aja." Mas Rafe menjawab datar.

"Terima kasih." Aku mengangguk sopan sebelum keluar dari kendaraan mewah itu. Belum sampai kaki ini melangkah, Mas Rafe memanggil.

Aku menoleh, melihat Mas Rafe memutari mobil menghampiriku.

"Iya, Mas?" tanyaku sembari mendongak membalas tatapannya.

"Kamu tidak perlu terlalu mengakrabkan diri dengan Oma. Bersikap santai saja. Aku tidak akan menuntut terlalu banyak dari kamu dan hubungan ini. Jadi, kamu juga enggak perlu memaksakan diri." Mas Rafe berkata serius.

"Iya, Mas. Aku mengerti." Aku mengangguk patuh. Tidak ada gunanya juga jika aku membantah apa yang Mas Rafe pinta, toh dalam hal ini aku hanya perlu mengikuti apa yang dia inginkan.

Aku sudah dibayara, dan aku harus tahu diri dengan semua konsekuensi yang akan diterima nantinya.

Aku berpamitan pulang. Saat menyadari langkah ini sudah semakin jauh, aku menyempatkan diri untuk menoleh. Aku penasaran, Mas Rafe sudah pulang atau masih berdiri di sana.

Rupanya, lelaki itu masih berdiri di gang masuk tempat tinggalku.

Aku berhenti sejenak. Sesaat, tidak ada pergerakan dari lelaki itu. Lalu beberapa detik kemudian, Mas Rafe berbalik menuju mobil. Kendaraan roda empat itu pun melaju pergi.

Aku mengembuskan napaa kasar. Tangan ini bergerak meraba jantung yang berdetak kencang. Aku menggeleng pelan, lalu melanjutkan langkah menuju kamar. Bersyukur aku tidak bertemu dengan wanita-wanita yang pagi tadi aku temui. Tidak ingin berpikir banyak, langkah ini segera masuk ke kamar.

Aku langsung merebahkan diri, setelah meletakkan tas dan bingkisan yang dibawa Oma tadi ke lantai. Mataku pun terpejam. Aku berusaha untuk tidak memikirkan apa pun lagi. Biarlah semua berjalan apa adanya.

***

Seperti di hari sebelumnya, aku bangun di pagi hari. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku akan sarapan sebelum berangkat bekerja. Bedanya, pagi ini aku menyantap sarapan dari makanan yang dibawakan Oma tadi malam setelah aku hangatkan di magic com.

Setelah mengisi perut dengan cukup, aku pun berangkat bekerja. Di pabrik, tidak ada sesuatu yang spesial. Hingga, hari-hari pun berlalu. Aku masih sibuk dengan pekerjaanku, dan tidak tahu bagaimana kabar Mas Rafe.

Sejak pertemuan itu, aku dan Mas Rafe tidak saling menghubungi. Aku yang merasa enggan untuk sekadar menanyakan kabar, sedangkan dirinya aku tidak tahu alasannya apa.

Sampai, aku dengar gosip yang dibicarakan oleh beberapa teman sejawat. Terutama Diah yang terang-terangan menanyakan langsung kepadaku.

"Medina, apa benar kamu jalan sama lelaki kaya?"

Aku tercengang, tetapi berusaha mengatur ekspresi. "Maksudnya gimana?" tanyaku mencari tahu.

"Katanya seminggu yang lalu kamu dijemput sama orang. Enggak kenal, sih, cuma pakai mobil lumayan bagus. Gosipnya udah menyebar, lho. Apalagi dengan status kamu yang ...." Diah menangkat kedua tangan di udara memberi isyarat tanda petik.

"Karena aku janda?" tanyaku memastikan.

"Iya. Apalagi kamu sekarang udah beli motor baru. Katanya, itu karena kamu jadi simpanan orang kaya itu." Diah menjelaskan.

Memang, dua hari lalu aku membeli motor agar memudahkan perjalanan pulang pergiku dari pabrik ke rumah. Siapa yang menyangka jika yang dipahami orang lain justru berbeda.

"Aku beli motor juga karena saran kamu. Enggak ada hubungannya sama jadi simpanan atau enggak ...."

"Jadi, kamu sebenarnya jadi simpanan lelaki kaya atau tidak?" tanya Diah dengan penuh penekanan.

Dalam hati aku mengiakan ucapan itu. Bukan simpanan, lebih tepatnya bayaran.

"Emangnya ada orang kaya yang mau sama janda miskin kayak aku?" Aku bertanya balik, dan pertanyaanku itu berhasil membungkam mulut Diah.

Diah diam untuk beberapa menit, lalu kepalanya mengangguk. Aku bernapas lega karena itu.

"Pak Burhan, berusaha dekati kamu. Apa kamu sadar?" Tatapan diah menelisik.

Pak Burhan adalah kepala menejer bagian umum. Dia adalah seorang lelaki beristri. Umurnya sudah kepala lima.

"Aneh-aneh aja." Aku geleng kepala.

Lelaki itu memang kerap kudapati tengah menatapku, tetapi kukira tidak sampai sejauh perasaan suka urusannya.

"Kamu digosipin sebagai janda penggoda. Apa kamu tidak tahu?" Diah menatapku dengan delikan tajam.

"Aku enggak mau ambil pusing dengan julukan itu, Diah. Aku cuma mau bekerja, cari uang yang banyak. Udah itu aja." Aku berkata tegas.

"Itu masalahnya. Mereka bilang, kamu melakukan apa saja demi mendapatkan uang. Apalagi setelah tidak mendapatkan pinjaman dari kantor kita."

Aku menoleh. "Dari mana berita itu didapatkan?"

Diah mengedikkan bahu. Dia berdiri, meninggalkan aku yang terbengong di parkiran. Selanjutnya, aku mendapati tatapan tidak mengenakkan dari beberapa orang yang lewat.

Apa benar anggapan mereka terhadapku seperti yang diucapkan Diah?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!