Setelah diperiksa dokter, aku pun tertidur. Sampai, tidak tahu kapan Mas Rafe berangkat untuk bekerja. Saat terbangun, hari sudah cukup siang.
Usai mencuci wajah, aku pun keluar dari kamar. Ketika bertemu dengan pelayan yang masih sibuk bekerja, aku menanyakan keberadaan sang oma. Rupanya pemilik rumah ini sedang berada di taman belakang, memberi makan ikan.
"Oma ...." Aku memanggil sembari berjalan menghampiri. Oma menoleh. Dia tersenyum lebar, tangannya melambai memintaku mendekat.
"Gimana keadaan kamu sekarang, Medina?" tanya Oma. Dia menatapku dengan tatapan lekat.
"Baik, Oma. Oma sendiri bagaimana?" Aku mengambil makanan ikan di dalam toples, ikut memberi makan ikan-ikan yang berkumpul di dalam kolam.
"Kamu adalah obat untuk Oma, Medina."
Jantungku berdetak kencang mendengar pengakuan itu. Sudah bisa aku bayangkan ke mana arah pembicaraan ini selanjutnya.
"Kapan kami bisa bertemu dengan keluarga kamu. Kamu tidak berencana untuk menikah secara sembunyi-sembunyi bukan?"
Aku tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. Andai Oma tahu apa yang terjadi sebenarnya antara aku dan Mas Rafe, juga antara aku dan keluargaku. Namun, otakku dengan cepat berpikir bahwa ini hanya sandiwara belaka, aku tidak perlu memikirkannya terlalu keras.
"Tentu saja tidak, Oma." Aku menoleh, membalas tatapan Oma yang lekat kepadaku kemudian tersenyum agar Oma yakin jika rencana pernikahan ini adalah benar adanya dan sungguh-sungguh.
"Sebenarnya, Oma merasa bahwa ada sesuatu yang kalian sembunyikan tentang pernikahan ini. Tapi, Oma belum tahu pasti. Oma pikir ... kamu masih belum bisa membuka hati untuk seorang laki-laki, terlebih karena cerita masa lalu yang kamu alami. Begitupula dengan Rafe yang terlalu cepat bisa jatuh cinta kepadamu. Rafe adalah orang yang sulit, walaupun dia terlihat begitu mudah untuk didekati."
Penjelasan Oma membuatku tidak berkutik. Aku yang hendak melemparkan makanan ikan ke kolam pun seketika menghentikan niat. Rasanya, tangan ini begitu kaku untuk melakukannya. Aku menunggu dengan perasaan tidak keruan apa yang hendak Oma ucapkan lagi.
Oma menghela napas panjang dan dalam, lalu menyunggingkan senyum yang tampak getir bagiku.
"Tapi, Oma juga yakin dengan jalan yang kalian tempuh ini. Entah mengapa, di dalam hati ini Oma meyakini jika perjalanan cinta kalian akan sukses."
Serasa ada yang mencubit hatiku saat mendengar kata cinta. Hati ini telah terasa hambar. Aku tidak tahu lagi apa makna cinta bagiku.
"Jadi, Oma juga yakin untuk terus maju sampai pernikahan kalian bisa dilaksanakan." Oma tersenyum. Binar di matanya menunjukkan banyak harapan di sana, dan aku bisa merasakan itu.
Suara Oma begitu tulus dan lembut, mampu menyentuh ke relung kalbu. Rasanya, tiada daya dan upaya yang bisa aku lakukan untuk menolak apa yang Oma inginkan. Pada akhirnya, aku hanua bisa mengangguk dan pasrah pada setiap rencana serta keputusan yang diambilnya.
"Jadi kamu setuju ya, kalau akhir pekan ini kita berkunjung ke rumah kamu untuk melakukan lamaran?" Matanya berbinar terang. Wajah kuyu yang beberapa waktu tadi membayang kini lesap begitu saja. Aku bisa merasakan kebahagiaan yanh Oma rasakan itu.
Mungkin jika kejadian hari ini sama seperti yang aku rasakan beberapa tahun silam. Saat rasa bahagia tumpah ruah di dalam dadaku. Dulu, aku sangat bahagia sampai lupa dengan rasa sakit. Dan, sekarang aku lupa bagaimana rasa bahagia itu ada di dalam jiwa manusia.
Aku dan Oma menghabiskan waktu bersama. Oma makan dengan lahap dan penuh semangat. Dia juga banyak bercerita tentang angan-angannya di masa yang akan datang.
Saat sore menjelang, Mas Rafe datang. Oma menyuruhku menyambut kedatangan cucu lelakinya itu. Aku menurut, lalu berdiri di depan pintu menunggu Mas Rafe turun dari mobil.
"Ada apa?" tanya lelaki itu begitu kami berhadapan.
"Menyambut kedatangan Mas Rafe," jawabku apa adanya. Lantas, aku ambil tas kerja dari tangan lelaki itu. "Diletakkan di mana tas ini?"
"Kayak pengantin saja. Pasti Oma yang menyuruh kamu, kan?" Mas Rafe berjalan di hadapanku dan segera aku susul.
Pertanyaan itu tidak perlu aku jawab bukan? Sebab, Mas Rafe sudah bisa menebak dengan benar.
Aku berdiri mematung ketika melihat Mas Rafe yang terus melangkah menaiki anak tangga sampai di lantai atas. Sepertinya, lelaki itu menyadari jika aku tidak lagi membuntutinya. Dia menoleh.
"Kenapa berhenti di situ? Ayo! Bukankah kamu ingin melihat calon kamar kita nanti."
Aku tidak suka mendengar nada dari suara lelaki itu, terkesan mengejek dan menertawakan aku. Aku berusaha bersikap tenang, kemudian melangkah menyusul mas Rafe.
Mas Rafe membuka pintu kamar, lalu berdiri di ambang pintu. Tangannya terulur ke depan. Belum sempat aku memberikan tas kerjanya, dia sudah mengambilnya lebih dulu.
"Masuknya kalau kita sudah sah saja. Aku enggak mau kalau tiba-tiba saja meminta kita menikah besok pagi." Mas Rafe kemudian berbalik, masuk ke kamarnya dan langsung menutup pintu.
Aku terhenyak. Seketika, ingatanku tertuju pada perkataan Oma tadi siang bahwa Mas Rafe cukup sulit untuk didekati.
Aku pun bergegas turun ke lantai bawah, lalu masuk ke kamar tamu tempat aku beristirahat.
Pelayan memanggil saat waktu makan malam tiba. Aku pun keluar menuju ruang makan, dan hal pertama yang aku dengar dari Oma adalah suara tegurannya atas pakaian yang aku kenakan dari pagi tadi saat baru sampai di rumah ini.
"Jadi, kamu belum mandi? Atau, sudah mandi tapi belum ganti?" Oma menatap tidak suka. Lantas, memberi peringatan kepada cucu lelakinya yang mulai menyuap.
"Kamu nanti belikan baju untuk Medina ya, Rafe. Jangan cuma satu, tapi belikan beberapa. Oma juga tadi enggak kepikiran dan lupa bilang padamu lagi." Oma memberi perintah.
Mas Rafe tidak menanggapi. Namun, setelah makan malam selesai, lelaki itu langsung mengajakku belanja di sebuah toko yang tidak jauh dari rumah ini. Ada beberapa baju yang dibelikannya untukku, mulai dari stelan tidur, baju santai sampai dan beberapa baju resmi.
Sesampainya kami di rumah, Mas Rafe langsung menuju lantai dua yang sebelumnya memberi perintah kepada pelayan agar membawakan bungkusan belanjaanku.
Setelah masuk kamar, aku membuka isi bungkusan-bungkusan itu dan berpikir jika ini terlalu berlebihan. Untuk apa aku dibelikan baju sebanyak ini sedangkan menginap di sini saja cuma semalam. Tidak ingin ambil pusing, aku bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Badan ini terasa sudah sangat lengket.
Setelah mandi, tubuhku terasa lebih segar dan rileks. Aku juga merasa jika sudah sangat sehat, dan tidak perlu lagi minum obat. Mungkinkah ini efek dari diajak belanja? Aku terkekeh pelan. Lantas menyalakan ponsel yang seharian ini mati.
Malam ini, aku ingin menyampaikan kepada Ibu jika akan pulang akhir pekan nanti. Namun, aku tidak berencana untuk mengatakan tentang rencana Oma lewat telepon.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments