Pacar Satu Milyar
Talita memutar gagang pintu lalu masuk ke dalam rumah. Dia menghela nafas panjang seraya menyeka peluh di kening menggunakan punggung tangan. Panas terik matahari membuat kepala Talita sedikit pusing serta banjir oleh keringat.
Talita baru saja kembali dari mengantar surat lamaran pekerjaan dan kini suara mesin jahit menyabut kepulangannya. Sang ibu sedang menjahit baju sambil terbatuk-batuk di ruang tengah.
"Ibu pasti belum makan ya?" Talita bertanya yang dia sendiri tahu jawabannya. Ibu Talita belum makan dari pagi karena memang tidak ada bahan makanan di rumah. "Aku bawa kangkung sama tempe. Aku masak dulu ya, Bu. Habis itu Ibu makan, terus minum obat."
Ibu Talita mendongak menatap Talita. Wanita bertubuh kurus di usianya yang sudah menginjak kepala empat itu kembali terbatuk.
"Kamu beli itu pakai uang siapa?" Ibu Talita menunjuk tas plastik yang ditentang Talita sejak tadi.
"Aku hutang dulu ke warung, Bu," sahut Talita sambil berjalan ke dapur, mulai mencari pisau untuk mengiris tempe. Sedangkan Ibu Talita kembali melanjutkan menjahit baju.
Talita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Masih belum menemukan pisau, Talita merambah mencari ke meja makan. Dia berdecak pelan begitu menemukan pisau di atas meja.
Namun, mendadak tangan Talita berhenti bergerak saat tatapan matanya menangkap sebuah kertas yang tergeletak persis di sisi pisau.
Talita mengambil secarik kertas bertuliskan pemberitahuan biaya sekolah Ulfa yang akan masuk ke SMP. Ulfa adalah adik perempuan Talita. Dia yang paling bungsu dari tiga bersaudara.
Setelah membaca surat itu sekilas, Talita melirik pada sang ibu.
Jadi, ini alasan ibu terus menjahit siang malam meski sedang sakit, gumam Talita dalam hati.
Talita meletakan surat itu kembali ke atas meja. Lalu mengambil pisau untuk mulai memasak. Tepat saat itu juga, Sigit, kakak laki-laki Talita keluar dari kamar. Pria berambut gondrong sebahu itu menguap lebar. Dengan wajah sembab, Sigit berjalan ke arah meja makan untuk membuka tudung saji.
Melalui sudut mata, Talita melirik tajam pada Sigit dengan tangan yang tetap mengiris tempe. Dia memang tidak begitu suka dengan kakak laki-lakinya. Sigit seharusnya bisa menjadi tulang punggung keluarga setelah kepergian ayah, tapi Sigit sama sekali tak bisa diharapkan.
Setiap hari pekerjaan Sigit hanya nongkrong di warung sambil bermain judi online. Sigit melalukan itu bersama teman-temannya hingga larut malam.
Lalu Sigit akan pulang ke rumah sekedar untuk makan, tidur, dan baru akan bangun jika matahari sudah tegak lurus di atas kepala manusia.
"Ta, kok nggak ada makanan?" Sigit mengeluh dengan nada tinggi dan berkacak pinggang menatap kesal pada Talita yang sedang menyalakan kompor.
"Ini kan lagi masak," jawab Talita tak kalah ketus.
"Cepetan dong! Laper nih."
"Ya, sabar, Mas. Masak kan butuh proses. Nggak bisa simsalabim langsung jadi. Kalau Mas Sigit sudah laper, tuh makan aja kangkung mentah."
"Memang kamu pikir, Mas kelinci makan kangkung mentah," Sigit mencibir lalu berjalan mendekati ibu. "Bu, Sigit pinjem uang dong. Besok pasti Sigit balikin."
"Pinjem buat apa? Kan kemarin sudah minta," kata Ibu tetap menunduk tekun menjahit.
"Aku ditagih hutang sama temen, Bu. Harus hari ini, kalau enggak bunganya malah tambah gedhe."
"Mas Sigit," seru Talita dari dapur.
Sontak Sigit terlonjak kaget dan seketika menoleh ke arah Talita yang kini berjalan mendekatinya dengan kaki yang dihentak-hentakan. Wajah Talita sudah mengerut marah begitu mendengar percakapan ibu dan Sigit.
Namun, Sigit hanya menghela nafas santai seakan tak peduli akan kemarahan Talita.
"Apa Mas Sigit itu nggak kasihan sama ibu? Ibu lagi sakit tapi bela-belain tetep jahit baju buat biaya sekolah Ulfa. Kok Mas Sigit malah enak banget minta uang ke ibu. Mas Sigit itu laki-laki, harusnya kerja dong."
Sigit berkacak pinggang seakan ingin menunjukan kekuasaannya sebagai anak sulung. Dia mendelik pada Talita yang sama membalas dengan melototkan mata.
"Heh, kamu anak kecil ngerti apa?" Sigit membentak tapi tak berefek apapun pada Talita. Gadis itu tetap memasang wajah galak nan tegar. "Kamu juga pengangguran, kan? Sesama pengangguran jangan saling menghina."
"Aku nggak lagi menghina. Aku cuma mengingatkan supaya Mas Sigit berhenti minta uang ke Ibu. Mas Sigit itu laki-laki harusnya bisa lebih mandiri, Mas."
"Talita, Sigit, sudah cukup!" Ibu terbatuk sambil kepayahan merentangkan tangan untuk memisahkan Sigit dan Talita. "Memang kamu butuh berapa, Sigit?"
"Jangan dikasih, Bu!" teriak Talita cepat.
"Kalau ada lima ratus ribu, Bu," Sigit berkata tanpa mampu menyembunyikan rasa senang di dalam dada.
"Ibu cuma punya seratus ribu," Ibu mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari dompet kain yang selalu dipakai menyimpan uang hasil menjahit.
"Bu, uang itu kan buat berobat Ibu," sela Talita yang terlihat panik saat Ibu menyerahkan uang terakhirnya pada Sigit.
Namun Sigit sudah lebih dulu menyambar uang dari tangan Ibu. Dia tersenyum lebar, lalu mencium uang itu bagaikan mencium seorang kekasih.
Detik berikutnya, Sigit sudah melesat pergi keluar rumah tanpa mencuci muka terlebih dahulu. Kini hanya ada Ibu dan Talita di rumah.
Talita membungkukkan badan merasa kecewa akan sikap kakaknya. Namun dia juga tak bisa berbuat banyak untuk membantu ibu.
Seakan tahu apa yang dirasa oleh Talita, Ibu mengusap baju Talita dengan lembut.
"Sudah nggak apa-apa, Ta. Lebih baik kamu anterin baju ke Mbok Sumi, gih. Biar Ibu saja yang masak."
Talita mengerutkan dahi. Setahu dia, Mbok Sumi bekerja di kota besar dan jarang pulang kampung. "Mbok Sumi lagi mudik, Bu?"
"Iya, katanya sih mau datang ke pernikahan anak sepupunya," kata Ibu sambil mengemas baju batik ke dalam tas plastik. Kemudian Ibu menyerahkan pada Talita. "Sudah sana. Sudah ditunggu itu baju."
Dan Talita menurut titah sang ibu. Di sepanjang jalan, dia melamun memikirkan cara untuk bisa mendapatkan uang.
Talita hanya tamatan SMA dan sudah belasan kali dia melamar pekerjaan tapi belum ada satupun yang menerimanya.
Tok. Tok. Tok.
Talita mengetuk pintu rumah Mbok Sumi. Tak berselang lama, pintu berderak terbuka menampilkan sosok wanita lima puluh tahun dengan rambut beruban yang digelung ketat di atas tengkuk.
"Permisi, Mbok. Ini saya disuruh ibu buat anterin bajunya Mbok Sumi," Talita menyodorkan tas plastik berisi baju dengan kedua tangannya.
Wanita yang selalu akrab disapa Mbok Sumi itu tersenyum saat menerima tas plastik dari Talita. Dia tampak puas melihat baju kebaya batik yang kemarin dia minta untuk dikecilkan di bagian pinggang.
"Wah, makasih ya, Ta. Ibu kamu cepet banget jahit bajunya."
Talita hanya menjawab dengan senyuman. Dia membuka mulut untuk berbicara tapi seketika hatinya merasa ragu.
"Mbok," ucap Talita dengan sedikit bimbang.
"Iya, Ta?"
Talita terdiam sejenak. Dia masih ragu untuk mengungkapkan keinginannya. Tapi dia menarik nafas panjang untuk membulatkan tekad lalu berkata, "Mbok, di kota ada pekerjaan yang cocok buat Talita, nggak? Talita lagi butuh pekerjaan."
Mbok Sumi terdiam sejenak. Wanita itu tampak mengamati raut wajah Talita dengan teliti. Lalu beralih ke bawah mengamati badan Talita.
"Ada, sih. Kebetulan Mbok mau berhenti kerja jadi ART dan majikan Mbok lagi cari ART baru." Kini giliran Mbok Sumi yang ragu untuk melanjutkan ucapannya. "Tapi kamu mau kerja jadi pembantu, Ta? Kamu kan masih muda, masih bisa cari pekerjaan yang lebih bagus."
"Ya, nggak apa-apa, Mbok. Jadi pembantu juga apa salahnya," kata Talita dengan sorot mata berbinar. Kedua tangan Talita sudah gatal tak sabar untuk siap bekerja mencari uang.
"Kalau begitu Mbok kabarin majikan Mbok dulu ya? Kamu bilang dulu ke ibu kamu. Kalau jadi, besok kita langsung berangkat ke kota."
*
*
Hai, good readers.
Kali ini Kak Tri balik nulis lagi setelah sekian lama Hiatus. Mohon dukungannya untuk novel 'Pacar Satu Milyar' karena akan ada giveaway kecil-kecilan yang akan diumumkan jika novel ini sudah tamat.
Selamat membaca dan semoga terhibur!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Wardah Juri
mampir nih kaya nya menarik ceritanya
2023-10-16
1