Talita memutar gagang pintu lalu masuk ke dalam rumah. Dia menghela nafas panjang seraya menyeka peluh di kening menggunakan punggung tangan. Panas terik matahari membuat kepala Talita sedikit pusing serta banjir oleh keringat.
Talita baru saja kembali dari mengantar surat lamaran pekerjaan dan kini suara mesin jahit menyabut kepulangannya. Sang ibu sedang menjahit baju sambil terbatuk-batuk di ruang tengah.
"Ibu pasti belum makan ya?" Talita bertanya yang dia sendiri tahu jawabannya. Ibu Talita belum makan dari pagi karena memang tidak ada bahan makanan di rumah. "Aku bawa kangkung sama tempe. Aku masak dulu ya, Bu. Habis itu Ibu makan, terus minum obat."
Ibu Talita mendongak menatap Talita. Wanita bertubuh kurus di usianya yang sudah menginjak kepala empat itu kembali terbatuk.
"Kamu beli itu pakai uang siapa?" Ibu Talita menunjuk tas plastik yang ditentang Talita sejak tadi.
"Aku hutang dulu ke warung, Bu," sahut Talita sambil berjalan ke dapur, mulai mencari pisau untuk mengiris tempe. Sedangkan Ibu Talita kembali melanjutkan menjahit baju.
Talita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Masih belum menemukan pisau, Talita merambah mencari ke meja makan. Dia berdecak pelan begitu menemukan pisau di atas meja.
Namun, mendadak tangan Talita berhenti bergerak saat tatapan matanya menangkap sebuah kertas yang tergeletak persis di sisi pisau.
Talita mengambil secarik kertas bertuliskan pemberitahuan biaya sekolah Ulfa yang akan masuk ke SMP. Ulfa adalah adik perempuan Talita. Dia yang paling bungsu dari tiga bersaudara.
Setelah membaca surat itu sekilas, Talita melirik pada sang ibu.
Jadi, ini alasan ibu terus menjahit siang malam meski sedang sakit, gumam Talita dalam hati.
Talita meletakan surat itu kembali ke atas meja. Lalu mengambil pisau untuk mulai memasak. Tepat saat itu juga, Sigit, kakak laki-laki Talita keluar dari kamar. Pria berambut gondrong sebahu itu menguap lebar. Dengan wajah sembab, Sigit berjalan ke arah meja makan untuk membuka tudung saji.
Melalui sudut mata, Talita melirik tajam pada Sigit dengan tangan yang tetap mengiris tempe. Dia memang tidak begitu suka dengan kakak laki-lakinya. Sigit seharusnya bisa menjadi tulang punggung keluarga setelah kepergian ayah, tapi Sigit sama sekali tak bisa diharapkan.
Setiap hari pekerjaan Sigit hanya nongkrong di warung sambil bermain judi online. Sigit melalukan itu bersama teman-temannya hingga larut malam.
Lalu Sigit akan pulang ke rumah sekedar untuk makan, tidur, dan baru akan bangun jika matahari sudah tegak lurus di atas kepala manusia.
"Ta, kok nggak ada makanan?" Sigit mengeluh dengan nada tinggi dan berkacak pinggang menatap kesal pada Talita yang sedang menyalakan kompor.
"Ini kan lagi masak," jawab Talita tak kalah ketus.
"Cepetan dong! Laper nih."
"Ya, sabar, Mas. Masak kan butuh proses. Nggak bisa simsalabim langsung jadi. Kalau Mas Sigit sudah laper, tuh makan aja kangkung mentah."
"Memang kamu pikir, Mas kelinci makan kangkung mentah," Sigit mencibir lalu berjalan mendekati ibu. "Bu, Sigit pinjem uang dong. Besok pasti Sigit balikin."
"Pinjem buat apa? Kan kemarin sudah minta," kata Ibu tetap menunduk tekun menjahit.
"Aku ditagih hutang sama temen, Bu. Harus hari ini, kalau enggak bunganya malah tambah gedhe."
"Mas Sigit," seru Talita dari dapur.
Sontak Sigit terlonjak kaget dan seketika menoleh ke arah Talita yang kini berjalan mendekatinya dengan kaki yang dihentak-hentakan. Wajah Talita sudah mengerut marah begitu mendengar percakapan ibu dan Sigit.
Namun, Sigit hanya menghela nafas santai seakan tak peduli akan kemarahan Talita.
"Apa Mas Sigit itu nggak kasihan sama ibu? Ibu lagi sakit tapi bela-belain tetep jahit baju buat biaya sekolah Ulfa. Kok Mas Sigit malah enak banget minta uang ke ibu. Mas Sigit itu laki-laki, harusnya kerja dong."
Sigit berkacak pinggang seakan ingin menunjukan kekuasaannya sebagai anak sulung. Dia mendelik pada Talita yang sama membalas dengan melototkan mata.
"Heh, kamu anak kecil ngerti apa?" Sigit membentak tapi tak berefek apapun pada Talita. Gadis itu tetap memasang wajah galak nan tegar. "Kamu juga pengangguran, kan? Sesama pengangguran jangan saling menghina."
"Aku nggak lagi menghina. Aku cuma mengingatkan supaya Mas Sigit berhenti minta uang ke Ibu. Mas Sigit itu laki-laki harusnya bisa lebih mandiri, Mas."
"Talita, Sigit, sudah cukup!" Ibu terbatuk sambil kepayahan merentangkan tangan untuk memisahkan Sigit dan Talita. "Memang kamu butuh berapa, Sigit?"
"Jangan dikasih, Bu!" teriak Talita cepat.
"Kalau ada lima ratus ribu, Bu," Sigit berkata tanpa mampu menyembunyikan rasa senang di dalam dada.
"Ibu cuma punya seratus ribu," Ibu mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari dompet kain yang selalu dipakai menyimpan uang hasil menjahit.
"Bu, uang itu kan buat berobat Ibu," sela Talita yang terlihat panik saat Ibu menyerahkan uang terakhirnya pada Sigit.
Namun Sigit sudah lebih dulu menyambar uang dari tangan Ibu. Dia tersenyum lebar, lalu mencium uang itu bagaikan mencium seorang kekasih.
Detik berikutnya, Sigit sudah melesat pergi keluar rumah tanpa mencuci muka terlebih dahulu. Kini hanya ada Ibu dan Talita di rumah.
Talita membungkukkan badan merasa kecewa akan sikap kakaknya. Namun dia juga tak bisa berbuat banyak untuk membantu ibu.
Seakan tahu apa yang dirasa oleh Talita, Ibu mengusap baju Talita dengan lembut.
"Sudah nggak apa-apa, Ta. Lebih baik kamu anterin baju ke Mbok Sumi, gih. Biar Ibu saja yang masak."
Talita mengerutkan dahi. Setahu dia, Mbok Sumi bekerja di kota besar dan jarang pulang kampung. "Mbok Sumi lagi mudik, Bu?"
"Iya, katanya sih mau datang ke pernikahan anak sepupunya," kata Ibu sambil mengemas baju batik ke dalam tas plastik. Kemudian Ibu menyerahkan pada Talita. "Sudah sana. Sudah ditunggu itu baju."
Dan Talita menurut titah sang ibu. Di sepanjang jalan, dia melamun memikirkan cara untuk bisa mendapatkan uang.
Talita hanya tamatan SMA dan sudah belasan kali dia melamar pekerjaan tapi belum ada satupun yang menerimanya.
Tok. Tok. Tok.
Talita mengetuk pintu rumah Mbok Sumi. Tak berselang lama, pintu berderak terbuka menampilkan sosok wanita lima puluh tahun dengan rambut beruban yang digelung ketat di atas tengkuk.
"Permisi, Mbok. Ini saya disuruh ibu buat anterin bajunya Mbok Sumi," Talita menyodorkan tas plastik berisi baju dengan kedua tangannya.
Wanita yang selalu akrab disapa Mbok Sumi itu tersenyum saat menerima tas plastik dari Talita. Dia tampak puas melihat baju kebaya batik yang kemarin dia minta untuk dikecilkan di bagian pinggang.
"Wah, makasih ya, Ta. Ibu kamu cepet banget jahit bajunya."
Talita hanya menjawab dengan senyuman. Dia membuka mulut untuk berbicara tapi seketika hatinya merasa ragu.
"Mbok," ucap Talita dengan sedikit bimbang.
"Iya, Ta?"
Talita terdiam sejenak. Dia masih ragu untuk mengungkapkan keinginannya. Tapi dia menarik nafas panjang untuk membulatkan tekad lalu berkata, "Mbok, di kota ada pekerjaan yang cocok buat Talita, nggak? Talita lagi butuh pekerjaan."
Mbok Sumi terdiam sejenak. Wanita itu tampak mengamati raut wajah Talita dengan teliti. Lalu beralih ke bawah mengamati badan Talita.
"Ada, sih. Kebetulan Mbok mau berhenti kerja jadi ART dan majikan Mbok lagi cari ART baru." Kini giliran Mbok Sumi yang ragu untuk melanjutkan ucapannya. "Tapi kamu mau kerja jadi pembantu, Ta? Kamu kan masih muda, masih bisa cari pekerjaan yang lebih bagus."
"Ya, nggak apa-apa, Mbok. Jadi pembantu juga apa salahnya," kata Talita dengan sorot mata berbinar. Kedua tangan Talita sudah gatal tak sabar untuk siap bekerja mencari uang.
"Kalau begitu Mbok kabarin majikan Mbok dulu ya? Kamu bilang dulu ke ibu kamu. Kalau jadi, besok kita langsung berangkat ke kota."
*
*
Hai, good readers.
Kali ini Kak Tri balik nulis lagi setelah sekian lama Hiatus. Mohon dukungannya untuk novel 'Pacar Satu Milyar' karena akan ada giveaway kecil-kecilan yang akan diumumkan jika novel ini sudah tamat.
Selamat membaca dan semoga terhibur!
Seorang pria dua puluh tiga tahun menatap deretan trofi penghargaan yang jumlahnya sudah hampir belasan. Pria dengan lesung pipi yang akan nampak ketika tersenyum itu terlihat puas kala melihat semua pencapaiannya di dunia hiburan.
Dialah Faras Alvaro. Seorang aktor pendatang baru. Namun namanya sudah sangat terkenal seantero negeri.
Faras sedang meneguk minuman ketika ponselnya menderingkan panggilan masuk dari seorang produser sekaligus sutradara film bernama Devon. Dia langsung menggeser ikon telepon berwarna hijau tanda menerima sebuah panggilan.
"Far, kamu sudah lihat berita gosip hari ini?"
"Belum. Kenapa memangnya?" Faras bertanya dengan nada santai lalu meneguk minuman lagi.
"Kamu digosipin homo, Far."
Uhuk. Faras tersedak minuman saat itu juga. Dia terbatuk sesaat dan mengernyit merasakan perih di bagian pangkal hidung.
"What? Kok bisa?"
"Kamu lihat saja deh di TV, di medsos, semuanya lagi bahas kamu yang diduga homo. Ini gawat, Far. Imbasnya bakal kena ke film yang lagi kita buat," terdengar Devon menghembuskan nafas berat. "Kalau gosip ini terus menyebar, terpaksa film akan ditunda atau pilihan kedua..."
"Pilihan kedua apa?" tanya Faras tak sabar menunggu kelanjutan ucapan Devon. Meski dia mengerti arah pembicaraan yang hendak dikatakan sang sutradara itu.
"Pilihan kedua, kita bakal ganti pemeran utama, Far. Jadi bukan kamu yang bintangin film 'Bad Guys', tapi aktor lain."
Saat itu juga, Faras naik darah. Tangan Faras sudah mengepal kuat hingga buku jarinya memutih. Seperti bensin yang disiram ke dalam kobaran api, amarah Faras memakin memuncak saat mendapat kabar dirinya akan tersisihkan sebagai pemeran utama.
"Nggak bisa gitu dong, Dev," ucap Faras tak terima. "Filmnya kan sudah mau selesai. Kita cuma tinggal syuting beberapa scene lagi."
"Mau gimana lagi, Far. Kalau gosip itu masih ada dan kamu tetap bintangin film 'Bad Guys', yang terjadi bakal sedikit orang minat sama film ini."
Faras memijat kening dengan satu tangan. Sementara tangan satu lagi masih menggenggam ponsel yang ditempelkan ke daun telinga. Dia berdecak kesal lalu menghela nafas panjang.
"Aku pastikan gosip itu nggak akan ngaruh ke film 'Bad Guys', Dev. Aku bakal urus semuanya. Kamu tenang aja," Faras langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa menunggu jawaban dari Devon.
Kemudian Faras beralih ke aplikasi mesin pencari yang ada di ponselnya. Beberapa saat dia mengetik sesuatu dan akhirnya dia pun menemukan apa yang dicari.
Sebuah artikel baru saja diunggah dengan judul besar yang terpampang dilayar.
Aktor Tampan Faras Alvaro Diduga Homo. Ini Fakta-Fakta Yang Jarang Diketahui.
Faras hanya membaca sekilas artikel berita gosip itu. Namun dia bisa menyimpulkan jika gosip itu bermuara dari kenyataan dirinya yang selalu menolak setiap kali adegan ciuman dengan lawan main di film.
Ya, Faras memang selalu menolak dan meminta jasa pemain pengganti setiap dia dituntut untuk beradegan ciuman di sebuah film. Tapi bukan berarti netizen berasumsi seenaknya dengan mengecap dia pria homo, penyuka sesama jenis, atau semacamnya.
Faras menelan saliva karena menahan marah. Darahnya sudah mendidih di puncak ubun-ubun. Terlebih saat membaca kolom komentar di bagian bawah artikel.
'Idih. Adegan ciuman aja pakai stuntman. Lebay.' Tulis salah satu netizen yang namanya disamarkan.
Faras hanya menyeringai dan menggeser layar ponsel ke bawah membaca komentar yang lain.
Hampir semua komentar berisi hal yang serupa. Membuat Faras malas untuk melanjutkan dan dia pun membanting ponsel ke sofa.
Faras seketika berdiri. Berjalan mondar-mandir seperti orang kebingungan. Lalu dia pun berteriak memanggil managernya.
"Priyatno! Priyatno!"
Hanya dalam hitungan detik, seorang pria bertubuh gempal berlari tunggang langgang mendekat ke arah Faras.
"Iih, Mas Faras, jangan aku panggil Priyatno! Tapi cukup panggil Priya. P-R-I-Y-A," ucap Priya yang dengan sangat gemulai mengeja namanya.
Faras berdecak sambil memejamkan mata. Selain karena dia yang tidak mau beradegan ciuman, Priya juga menjadi alasan kenapa banyak orang mengira dirinya homo.
Bagaimana tidak? Priya memiliki pembawaan gaya yang gemulai kendati manager Faras itu adalah seorang laki-laki tulen. Setiap hari, Priya selalu pergi bersama Faras. Dimana ada Faras, di situ ada Priya. Sehingga kedekatan mereka mengundang pikiran negatif banyak orang.
"Aku mau panggil kamu siapa, terserah aku," Faras melototkan mata tak mampu lagi mengatur emosi yang bergejolak. "Dengar, Pri! Besok aku mau buat konferensi pers. Kamu atur jadwal, tempat, dan semuanya. Ngerti?"
Dengan gesit, Priya langsung membuat catatan di ponselnya. Lalu pria itu mengangguk mantap sambil berkata, "Oke. Bisa diatur. Sekalian aku ingatkan. Satu jam lagi Mas Faras ada pemotretan di hotel pelangi."
Faras menarik nafas untuk menstabilkan emosi. Meskipun sedang tidak karuan akibat berita gosip yang menimpa dirinya, Faras harus tetap profesional dengan terus bekerja sesuai jadwal yang sudah diatur Priya.
"Ya, sudah. Tunggu apa lagi," kata Faras masih dengan nada bicara kesal.
Dia dan Priya berjalan beriringan menuju teras rumah yang secara kebetulan datang Mbok Sumi dengan seorang wanita muda.
"Mas Faras," sapa Mbok Sumi berlari kecil mendekati Faras. "Ini Talita. Orang yang bakal gantiin saya jadi ART di sini. Kemarin Mbok sudah telepon ke Ibu, katanya langsung masuk kerja hari ini."
Faras yang hendak naik ke dalam mobil seketika menoleh ke arah wanita yang datang bersama Mbok Sumi. Dia hanya melihat penampilan Talita yang memakai jaket dan celana jeans usang dengan satu tangan menenteng tas ransel.
Faras mengangguk sekilas. Dia sedang tak punya banyak waktu. Terlebih saat ini pikirannya sedang sangat kacau akibat mendengar berita gosip.
Lagipula Faras sangat percaya pada Mbok Sumi yang tidak akan mungkin merekomendasikan sembarangan orang untuk bekerja pada keluarga Faras. Maka dia pun langsung mengizinkan Talita bekerja.
"Suruh langsung masuk aja, Mbok. Kasih tahu tugas dia di sini apa saja," kata Faras sesaat sebelum dirinya masuk ke dalam mobil dan menutup pintu dengan sedikit bantingan.
Talita terperanjat kaget. Galak. Itulah kesan pertama yang Talita dapat dari seorang Faras.
Setelah mobil yang ditumpangi Faras melewati gerbang, sejenak Talita mengedarkan pandangan untuk menatap halaman depan rumah.
Talita terdiam terpukau melihat rumah besar dengan cat serba putih. Ada rasa bahagia menyadari dirinya akan tinggal di rumah itu, meski hanya sebagai pembantu.
Hari ini akan menjadi hari yang tak bisa Talita lupakan dalam hidupnya. Baru pagi hari tadi, dia pamit pada sang ibu untuk merantau ke kota, duduk di dalam bis selama empat jam, dan kini dia berada di dalam rumah mirip seperti istana negeri dongeng.
Setelah meletakan tas di kamar pembantu, Talita diajak keliling sambil Mbok Sumi menjelaskan tugas-tugas yang harus dikerjakan Talita.
"Mbok, yang tinggal di rumah ini ada berapa orang?" Talita bertanya setelah selesai mengelilingi rumah.
Talita heran, sebab sejak tadi dia tak melihat satu orang pun kecuali Faras yang sudah meninggalkan rumah.
"Ada empat orang, Ta. Bapak sama ibunya Mas Faras lagi di luar negeri. Lagi ada urusan bisnis Terus ada Melani adiknya Mas Faras. Dia jarang di rumah karena seringnya tinggal di apartemen," terang Mbok Sumi.
"Mas Faras itu kerjanya apa, Mbok?"
"Kamu nggak tahu? Mas Faras itu kan artis."
"Oh," Talita meringis setelah tertangkap basah jarang mengikuti perkembangan dunia hiburan. Dia selalu disibukan membantu Ibu sampai tak ada waktu menonton televisi.
"Ingat ya, Ta! Kalau pagi-pagi kamu harus langsung siapin makanan buat Mas Faras. Soalnya Mas Faras itu nggak pernah ninggalin sarapan," Mbok Sumi mengingatkan Talita agar gadis itu tak lupa hal yang paling penting dalam bekerja pada keluarga Alvaro.
Talita mengacungkan dua jempol seraya berkata, "Siap, Mbok."
Sore hari, Mbok Sumi pamit setelah selesai menjelaskan tugas-tugas pada Talita. Satpam yang berjaga di rumah Faras sedang izin sakit. Sehingga kini hanya ada Talita di rumah besar itu.
Faras pulang larut malam dan langsung masuk ke dalam kamar. Terlihat oleh Talita, pria itu memasang wajah kusut seperti sedang menanggung beban berat.
Keesokan harinya, Talita bangun pagi lalu menuju ke dapur untuk memasak sarapan. Untung saja Talita ingat apa saja menu sarapan Faras yang sudah dijelaskan Mbok Sumi.
Dia menata ke atas meja makan sebuah sandwich beserta segelas susu. Kemudian Talita menoleh ke arah jam dinding.
Sesuai cerita dari Mbok Sumi, seharusnya, Faras sudah bangun dan mulai sarapan. Tapi pria itu belum juga keluar dari kamar.
Talita menjadi bimbang, apakah dia harus membangunkan Faras atau membiarkan saja? Di saat Talita tengah berpikir, tiba-tiba dia mendengar suara pintu terbuka disusul oleh suara derap langkah Faras yang berjalan.
"Mas Faras gak sarapan dulu?" Talita berteriak saat dilihatnya Faras berjalan tergesa-gesa menuju ke arah pintu utama.
Melihat sikap aneh pria itu, Talita tanpa sadar melangkahkan kaki. Mengikuti jejak Faras yang menghilang di telan pintu ruang tengah. Semakin mendekat ke arah teras, suara keributan semakin terdengar jelas. Talita mengernyitkan dahi, mengulang beberapa pertanyaan yang kemudian secara naluriah diolah menjadi skenario-skenario terburuk. Firasatnya mulai tidak enak.
Benar saja.
Baru saja Talita menginjakkan kaki di teras depan, Faras segera menarik tangan gadis itu dan merangkulnya tepat dipinggang.
"Kamu kenapa keluar, Sayang?" Tindakan pria itu membuat Talita menahan napas.
Kemudian, tanpa ragu Faras mengecup bibir Talita dengan ekspresi gemas. Suara jepretan kamera semakin menggila ketika bibir Faras resmi melepas kecupan singkatnya dari bibir Talita. Kemudian, masih sambil merangkul pinggang Talita, Faras berkata dengan suaranya yang serak.
"Kan sudah kubilang, tunggu saja di dalam". Faras menatap Talita dengan ekspresi lembut. Kemudian, ia berpaling dari wajah Talita yang sudah seperti kepiting rebus.
"Duh, maaf ya. Kenalkan, dia Talita. Kekasihku".
Talita menghembuskan nafas pelan, rona merah masih belum pudar dari kedua pipi. Rasa malu bercampur kesal menguasai diri Talita saat ini. Tak pernah terbayangkan jika dia akan dicium di depan banyak orang oleh majikannya sendiri.
Namun, Talita tak bisa berbuat apapun. Dia hanya seorang pembantu dan lagi pula saat ini dia sedang duduk di depan meja rias. Pergerakan Talita sangat terbatas.
Dia melirik wanita berambut pirang yang kini tengah memoleskan blush on pada pipinya. Wanita itu ialah Melani, adik perempuan Faras yang sengaja didatangkan untuk mendandani Talita.
"Rambut kamu aku potong sedikit, boleh ya, Ta?"
Talita mengangguk pasrah kala Melani bertanya. Pikiran Talita sedang melayang mengingat kejadian setelah Faras merebuat ciuman pertamanya.
Pria itu mengatakan pada semua awak media bahwa Talita adalah kekasihnya. Talita benar-benar kebingungan, tapi dia juga tak bisa membuka suara. Ciuman yang sangat mendadak dari Faras telah membuat Talita salah tingkah dan tak tahu harus berbuat apa.
"Nah, selesai, Ta." seru Melani dengan senyum lebar di bibir.
Melani memandang Talita bagaikan seorang pemahat patung yang baru saja menyelesaikan maha karyanya. Lalu dia menyambar tangan Talita dan menariknya keluar dari kamar untuk menunjukan pada sang kakak.
Ketika mereka menuruni tangga, Faras sedang sibuk berbicara dengan Priya. Begitu mendengar suara derap langkah kedua pria itu bersamaan menoleh ke arah tangga.
"Kakak Faras," panggil Melani dengan suara yang mendayu-dayu. "Nih, lihat hasil kerja aku. Keren kan?"
Talita menyadari sorot mata Faras yang menelitinya dari atas hingga ke bawah. Menjadikan Talita merasa tidak tak nyaman dan lagi-lagi dia salah tingkah.
Talita menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepatu hak setinggi sepeluh senti membuat kaki Talita terasa pegal. Secara reflek, dia menunduk untuk melihat apa yang salah penampilannya sampai-sampai Faras memandangnya dengan sangat tajam.
"Wow. Kamu cantik banget, Ta. Iya kan, Mas Faras?" Priya menoleh pada Faras yang menyilangkan tangan di depan dada.
"Biasa saja," komentar Faras singkat dan datar.
"Tapi lumayan lah segini juga," Melani berjalan mendekati Faras lalu mengadahkan tangan. "Terus Kak, mana bayaran aku?"
Faras mengeluarkan sebuah kartu hitam dari saku celana denim yang seketika itu membuat Melani menjerit gembira. Dia langsung menyambar kartu di tangan Faras, tak sabar untuk segera berbelanja.
"Thanks, Kak Faras," Melani memasukan blackcard ke dalam tas kecil. "Oh ya, jangan lupa Kakak juga harus beli pakaian untuk penyamaran Talita nanti! Biar dia kelihatan seperti anak sultan gitu."
Faras menghela nafas sekaligus melirik sinis adiknya. "Iya, sok tahu banget sih. Aku juga ngerti kali."
Melani berdecak dan memutar bola matanya. "Ya, sudah deh. Kalau begitu aku pergi dulu. Bye."
Selepas kepergian Melani, Faras melirik pada Talita. "Ayo, ikut!"
"Hah? Ikut kemana, Mas?"
Bukan Faras yang menjawab pertanyaan Talita. Melainkan Priya yang berkata dengan gaya genitnya "Kita shopping, Ta. Jalan-jalan ke Mall sambil cuci mata. Siapa tahu ketemu berondong."
Ehem.
Faras sengaja berdeham keras sebagai isyarat agar Priya berhenti bercanda dengan Talita. "Pri, siapkan mobil!"
"Iya, Mas."
Sesaat sebelum beranjak pergi, Faras kembali melirik tajam pada Talita. Membuat pikiran Talita buyar dalam sekejap dan lupa untuk meminta penjelasan.
Sepatu hak tinggi milik Melani membuat Talita kesusahan berjalan menuju halaman depan, menyusul Faras dan Priya yang sudah berlalu pergi. Begitu dia naik ke dalam mobil, Priya langsung melajukan kendaraan roda empat itu ke jalanan.
Talita duduk di kursi belakang tepat di samping Faras yang sibuk mengutak-atik ponselnya.
"Priyatno, kamu sudah minta Kamila untuk membuat identitas palsu atas nama Talita kan?"
Priya yang sedang menyetir di depan hanya melirik sekilas melalui kaca spion. "Sudah beres, Mas. Aku bilang ke Kamila kalau Talita itu anak pengusaha kelapa sawit."
"Good," Faras melirik ke samping tepatnya pada sosok Talita. "Kamu punya handphone?"
Talita menggeleng sebagai jawaban. Menjadikan Faras berdecak lalu satu tangannya merogoh tas ransel. "Sudah aku duga, kamu pasti nggak punya. Nih, buat kamu."
Kedua bola mata Talita membulat sempurna kala melihat Faras yang menyodorkan ponsel berwarna ungu muda. Meski tidak mengerti harga pasti ponsel tersebut, tapi Talita bisa memperkirakan jika ponsel yang ada di tangan Faras saat ini adalah ponsel mahal.
Dengan perlahan, Talita menerima ponsel itu dari tangan Faras. Membolak-balikannya sejenak lalu mendongak untuk meminta penjelasan.
"Mas, aku belum mengerti maksud semua ini. Mas Faras ngakunya kita pacaran. Kenapa harus aku?"
Mendengar ucapan Talita, Faras pun berdecak sekaligus menghela nafas panjang. Dia menegakkan punggungnya agar dapat menatap Talita lebih dalam.
"Begini ya, Ta. Sekarang ini aku sedang difitnah. Supaya orang-orang nggak percaya sama fitnah itu, kita harus meyakinkan mereka kalau kita pacaran."
Talita menghirup udara panjang untuk menenangkan dirinya. Segenap kekuatan dia kerahkan untuk bisa membalas tatapan tajam dari Faras.
"Tapi, kenapa harus aku, Mas? Aku nggak mau."
"Ck, Talita, tenang saja aku bakal bayar kamu kok. Aku rasa satu milyar cukup. Bagaimana?"
Faras mengangkat alis menunggu jawaban dari Talita yang pasti tidak menolak jika ditawari uang sebanyak satu milyar. Namun, perkiraan Faras meleset jauh. Talita tetap menggelengkan kepala dengan mantap.
Seketika Faras tertegun, dahinya mengerut heran dengan pilihan yang diambil Talita. Sementara Priya yang menyetir mobil kini membelokan mobil masuk ke pintu masuk jalan tol.
"Kamu nggak mau? Kamu itu bodoh atau polos sih?" sindir Faras dengan seringai penuh kekesalan.
"A-aku nggak mau, Mas. Aku nggak mau terlibat dalam masalah ini," sahut Talita gelagapan.
Rasa takut menyelimuti diri Talita begitu melihat aura kemarahan Faras yang berkobar. Kedua jemari Talita merapat kuat, untuk menenangkan tangannya yang bergemetar.
"Oke, kalau kamu nggak mau. Priyatno, stop!"
"Hah? Stop, Mas?" Seketika Priya kebingungan. Dia menoleh sebentar ke belakang untuk melihat raut wajah Faras. "Tapi kita lagi di jalan tol, Mas Faras."
"Kalau aku bilang stop, berarti stop. Berhenti!"
Nada bicara Faras yang ditinggikan membuat nyali Priya menciut. Dia tak punya pilihan lain selain menepikan mobil dan berhenti di tepi jalan. Dia sendiri tidak mengerti apa yang akan dilakukan Faras, tapi satu hal yang jelas situasi yang memanas itu akan membawa sesuatu yang buruk.
Setelah mobil berhenti sempurna di tepi jalan, Faras menggerakan tangan melintasi tubuh Talita. Ternyata pria itu membukakan pintu mobil yang berada di sisi kiri.
Sontak hal itu mengundang kebingungan dalam diri Talita. Dia menelan saliva kala Faras mencengkram bahunya.
"Sekarang kamu turun!"
"Aku turun di sini, Mas?"
"Ya, kamu dipecat sebagai ART di rumahku. Jadi, sekarang pulang saja ke kampung kamu sendiri. Kamu nggak dapat upah sepersenpun."
Raut pucat langsung menghiasi wajah Talita kendati dia memakai make up. Dia menatap Faras penuh keseriusan. Di dalam benaknya, sudah terbayang bagaimana perasaan ibu jika Talita pulang tanpa membawa hasil apapun. Tentu saja Talita akan malu, padahal dia sudah berjanji untuk membantu membiayai sekolah Ulfa.
"Mas, jangan buang aku seperti anak kucing dong! Aku ini manusia tahu. Kasihan sedikit sama aku," rengek Talita yang kini sangat ketakutan jika ancaman Faras benar adanya.
Ditinggalkan di tengah jalan tol ibukota yang sama sekali Talita tak tahu arah dan juga tidak tahu harus minta tolong pada siapa. Sungguh membayangkan saja sudah membuat Talita takut setengah mati.
Tangan Faras terus mendorong bahu Talita agar keluar dari mobilnya. Namun, dengan cepat Talita menahan diri dengan mencengkram sandaran kursi mobil.
"Aku nggak butuh ART yang nggak mau nurut sama majikannya. Lebih baik kamu pulang kampung saja sana."
"Mas, jangan!"
Sayangnya, tenaga Faras jauh lebih besar dari Talita. Gadis itu menjerit pendek ketika terjatuh ke rerumputan yang tumbuh liar di tepi jalan. Detik berikutnya, pintu mobil pun tertutup rapat.
Priya yang kasihan melihat Talita diusir, hanya bisa menggenggam tangan dengan erat. Dia hafal betul jika Faras sedang dikuasi kemarahan, dia pasti tidak mau didebat.
"Aduh, Mas Faras, kasihan Talita. Jangan diusir di sini! Mana dia tuh nggak tahu jalanan kota," ucap Priya memutar kepalanya untuk melihat keadaan Talita.
"Biarkan saja. Cepat jalan!"
"Tapi, Mas."
"Jalan!" Faras meraung dengan mata yang melotot. Mau tak mau Priya segera menyalakan mobil dan langsung melaju sesuai perintah.
Dari bayangan kaca spion, Faras dapat melihat Talita yang bangkit berdiri dan mengejar mobilnya. Namun, tampak jika Talita kesulitan karena memakai high heels.
Seringai tipis tersungging di bibir Faras yang terus memperhatikan bayangan Talita.
"Hai, tunggu!" teriak Talita kencang sambil melambaikan tangan.
Nafas Talita tersengal serta kakinya juga dua kali lipat bertambah pegal. Dia berjongkok melepaskan sepatu yang kemudian dia tenteng sambil melanjutkan berlari.
Namun, sayangnya mobil Faras sudah terlalu jauh dan tidak mungkin Talita dapat mengejar. Dia berdecak, meraup wajah frustasi dan menghentakan kaki penuh kekesalan.
Dipandanginya jalanan yang mana banyak kendaraan roda empat melaju kencang. Talita menggigit bibir bawah karena takut, marah, dan yang paling mendominasi adalah bingung.
Dia tak tahu jalanan kota. Dia hanya gadis desa yang baru pertama kali menjejakan ibukota.
"Duh, sial. Aku harus bagaimana ini?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!