Bukankah seharusnya ia sudah di neraka sekarang? Mungkinkah malaikat maut menginjak tanah? Langkah kaki siapa itu? Siapa di sana?
Hilang fokus beberapa tarikan napas dan tahu-tahu punggungnya sedang diraba oleh sesuatu; sebuah tangan di balik bahan wol yang hangat. Hal yang sama juga ia rasakan di bawah lututnya, dan dalam sekejap tubuh lemahnya sudah melayang.
Sial, sial, sial, sial...
Kelopak matanya bergetar, berontak, meronta-ronta minta diangkat. Terlalu sulit, terlalu berat, bahkan kesadarannya sudah seperti serpihan kaca. Ia tidak punya bayangan tentang siapa orang asing itu, apa maksud dan tujuannya.
Di saat yang sama, semerbak harum yang cukup familier menyeruak masuk ke lubang hidungnya. Sayang sekali ia tidak yakin di mana ia pernah menghirup wangi itu. Rasionalitasnya menemui kekacauan. Bencana. Sekuat apa pun ia berusaha untuk tetap terjaga, kantuk telah mengalahkan dan mengekang kesadarannya. Pikirannya pun berlanjut di alam mimpi.
\=\=\=\=\=\=\=\=
Hamparan rumput yang digelar di bawah selimut kabut menjadi saksi bisu dentingan dua pedang yang sedang beradu ketajaman. Percikan-percikan api tersembur di setiap benturan. Tak satu pun dari kedua pengguna pedang itu yang berniat mengalah.
Kemenangan sudah ditentukan saat seorang pria berambut hitam membuat katana yang tergenggam di tangan kanan lawannya terlepas secara paksa. Pedang bermata lengkung itu terbang dan menancap di tanah tak jauh dari titik pertarungan.
Tak berhenti di situ, pria itu menghantam perut lawannya melalui tendangan. Remaja malang itu membungkuk kesakitan, ia mengangkat wajah, mengintip ujung tajam sebuah longsword yang berhenti satu jengkal dari lehernya yang banjir keringat.
"Sesuatu menganggumu akhir-akhir ini?" Pria itu menatap dengan penuh selidik kepada lawannya yang kini tengah berusaha menegakkan punggungnya kembali.
Tangan Glen lari ke perut, membekapnya sambil meringis. Lukanya akibat dikeroyok masih belum sembuh total, dan tendangan barusan mendenyutkan lambungnya. Namun, Glen tahu bukan itu penyebab dari kekalahannya. Ia sudah terbiasa dengan rasa sakit, dan ketika otaknya memikirkan penyebab sebenarnya, ia tidak mungkin mengatakannya kepada pria itu.
Pria itu mengernyit pada Glen yang masih belum meresponsnya, seolah jiwanya berada di tempat yang jauh. Meluruhkan pedangnya dari leher Glen, dengan dingin ia berkata, "Apa pun itu, kuharap tidak akan berdampak pada saat menjalankan misi."
Glen mengangguk. Nyeri di perutnya menyusut seiring waktu.
"Latihan berakhir. Ada pertemuan yang harus kuhadiri." Pria gagah berkemeja putih itu berjalan melewati Glen, meninggalkannya mematung seorang diri di tengah lapangan.
Glen memutuskan masuk ke dalam sebuah mansion bergaya beaux-arts bercat hijau gelap yang berlokasi tak jauh dari tempatnya bertarung. Hanya perlu berjalan sebentar melewati pohon rindang dan semak belukar, bangunan tua itu telah muncul di depan mata. Ia memasuki pintu yang terhubung langsung dengan dapur. Punggung seorang gadis menyambutnya di depan konter. A-line dress berwarna krem membalut tubuhnya yang ramping. Merasakan kehadiran seseorang, gadis itu memutar badannya, menyajikan senyum terbaiknya saat menemukan orang yang sangat ingin ia lihat.
"Glen."
Menghela napas, Glen mendekati rak piring dan meraih sebuah gelas yang berada di atas kepala gadis itu. "Sejak kapan tiba?" Glen bertanya sembari menuang air ke dalam gelas.
"Sekitar satu jam yang lalu," jawabnya. "Sir Barier memberitahuku bahwa kau sedang berlatih dengan Kak Antoni, sehingga aku memutuskan menunggu sembari membuat kue tiramisu kesukaanmu. Baru saja dimasukkan ke oven. Kau bisa menunggu."
Glen tidak menyahut, sibuk menenggak minuman sampai dahaganya hilang. Sedangkan gadis itu tetap setia memperhatikan setiap tindak-tanduknya dari samping.
Setelah puas, Glen menyingkirkan gelas kosong itu, berbalik dan menyandarkan satu siku di pinggiran konter. "Sudah sembuh?" Tanyanya, mengusap mulutnya dengan lengan kaus berwarna hijaunya.
Senyuman gadis itu semakin lapang, puas usai mendengar pertanyaan yang telah dinantikannya sejak tadi. Ia mengangguk semangat, "Walaupun masih belum bisa berjalan terlalu jauh."
Tanpa menanggapi ucapannya, Glen berjalan menuju meja makan yang hanya dipisahkan oleh sepasang pintu kaca di pojok ruangan. Ia menarik salah satu bangku. Bunyi gesekannya berbenturan dengan bangku lain di seberangnya.
"Aku sudah diperbolehkan masuk sekolah besok," gadis itu mengumumkan seraya mengambil duduk di bangku yang telah ditariknya. "Kau ingat pamanku, Mr. Barlas? Dua minggu yang lalu dia datang menjengukku ke rumah sakit dan mengeluh kepada ibuku tentang betapa frustrasinya dia karena harus berpisah dengan bibiku yang telah dikirim ke Saufrity untuk menangani kasus pelarian narapidana. Kemarin dia datang lagi dan memberi kami kabar bahwa dia diberi tugas ke tempat yang sama tapi untuk menangani kasus yang berbeda. Seingatku semacam kasus penculikan. Kurasa para Dewa menyaksikan betapa menyedihkannya dia selama ini dan memutuskan untuk mengasihaninya. Ah, dia juga memintaku bertanya padamu apakah dia bisa meminjammu sebentar di divisinya hanya sampai misi barunya itu selesai. Dia berjanji akan merekomendasikanmu kepada atasannya agar kau mendapatkan lencana tambahan atas kontribusimu. Tentu saja seluruh keputusan ada di tanganmu. Dia sama sekali tidak memaksamu, kok."
Masih absen respons, Glen menjangkau pisang di atas meja, mengupas kulitnya terlalu lamban, lalu melahapnya dalam diam.
Senyum tipis terulas di bibir si gadis, tanda sebuah pemakluman. Ia telah mengenal Glen sejak mereka kecil. Tak berlebihan bila mengatakan bahwa ia sudah terbiasa dengan baik-buruknya kelakuan teman masa kecilnya itu.
"Apa kau masih mengunjungi makam Luke dan Ulbert?" Tanya gadis itu hati-hati.
Glen mengangguk dan menelan dengan keras seolah ia baru saja mengunyah batu.
"Glen, apakah mereka masih... memukulimu?" Pertanyaan kedua sudah menginjak batas.
"Hera," Glen memanggil nama gadis itu tanpa menatap matanya. Fokusnya terbuang pada titik-titik cokelat yang melingkar pada daging pisang. "Tolong," imbuhnya, mulutnya terasa pahit
Gadis itu, Hera, menahan napasnya sebelum menumpahkan aliran kata yang selama ini terbendung di dalam rongga dadanya, "Mau sampai kapan kau begini, Glen?"
Mata cokelat-karamel itu meredup. "Kau tidak bisa seperti ini terus. Kau hanya menyiksa dirimu, dan itu tidak sehat." Suaranya melirih, bergetar, dan sungguh menyayat hati. Masih banyak yang ingin ia tumpahkan, namun sisanya hanya mampu bergaung di dalam kepala. Apa yang salah? Kenapa?
Glen mendongak, menatap sepasang manik cokelat di hadapannya dengan sorot yang sulit diartikan. Lima detik berlalu dan Glen bangkit meninggalkan ruang makan.
Kehilangan kata, Hera hanya bisa terpaku memandangi punggung Glen yang kian mengecil.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Gemerisik kertas adalah bunyi pertama yang masuk ke lubang telinganya. Mula-mula hanya berupa dengungan dari suatu tempat yang jauh, lalu semakin nyata dan semakin mengusik. Timbul hasrat untuk memarahi siapa pun yang telah menciptakan gangguan itu.
Tidak bisakah aku tidur dengan tenang?
Tunggu sebentar... 'tidur'?
Bulu mata lentiknya bergetar bak sayap kupu-kupu, mengungkap sepasang iris biru yang tersembunyi di balik kelopak kulit berwarna ungu pucat.
Simbol bulan sabit di tengah matahari adalah hal pertama yang menyambut pandangannya. Butuh setengah menit untuk menyadari bahwa itu hanyalah ukiran langit-langit sebuah tempat tidur.
Tangan kirinya pelan-pelan terangkat ke depan wajah. Bukan sebuah tangan berkulit putih yang hari-hari biasa ia lihat, melainkan tangan berlapis perban cokelat yang melilit siku hingga buku-buku jari. Tangan kanannya bernasib serupa, dengan tambahan selang kecil menyalip masuk ke dalam perban. Saat menggerakkan alis, kain yang sama menahan guratan yang akan terbentuk pada keningnya.
Pada akhirnya aku tidak mati. Padahal aku telah mengucapkan kata-kata terakhirku. Takdir benar-benar memaksaku untuk bermain drama picisan.
Zeze mendengus, lalu menegang saat mengingat kembali alasannya terbangun, dan tepat di momen itu gemerisik lembaran kertas terdengar lagi. Kepalanya menoleh ke kanan. Kelambu yang transparan menciptakan siluet samping seseorang yang sedang menduduki sebuah kursi lipat, letaknya di sebelah ranjang tempatnya berbaring. Ragu-ragu ia mengangkat tangan kanannya yang bergetar pelan menuju kelambu.
"Bagaimana perasaanmu?"
Mendadak tujuan itu menghilang. Jari-jemarinya membeku di udara. Suara itu adalah suara yang familier bagi dirinya versi kecil. Sebuah suara yang selalu dinantinya di setiap Minggu pagi dan hari libur nasional.
Kemudian tiba saat di mana meja terbalik; suara itu berubah menjadi suara yang dibencinya. Suara milik seorang pengkhianat.
Karena tak kunjung menerima respons, orang itu menyingkap sendiri kelambu di antara mereka.
Zeze melarikan pandangannya ke ukiran celestial di atas kepala, "Mengapa kau menolongku?"
"Kau tidak ingin ditolong?"
"Kau sudah lama mengetahuinya," tukas Zeze, membiarkan nada dingin mengisi kata per kata, "Benar, kan?"
Kesunyian membentang di antara mereka lebih lama dari waktu normal, dan Zeze tidak tahan dengan itu. "Mengapa kau diam saja?” Tanya Zeze akhirnya. “Tidakkah kau ingin membongkarnya? Kepada keluargamu? Kepada dunia?”
"Tidak jika itu menguntungkanku."
Jawaban itu sukses memancing kembali tatapan Zeze kepadanya.
Orang itu bangkit dari kursi lipat dan pindah ke tepi ranjang, menatap lekat ke dalam mata Zeze. Tiba-tiba dia membungkukkan badannya, mendekatkan wajahnya ke wajah Zeze. Zeze menahan napas, matanya mengerjap hebat.
Dia mendaratkan bibir tebal dan penuhnya di telinga kanan Zeze. Lalu, dengan suara beratnya yang selirih embusan angin, dia berbisik, "Tertarik untuk membuat kesepakatan denganku?"
Alis Zeze berkerut di samping sensasi dingin yang merayapi tulang belakangnya, jelas gagal mengikuti ke mana orang itu membawa kata-katanya.
Saat dia menegakkan punggung, mereka berdua kembali saling tatap.
"Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan?" Desisi Zeze, nadanya mendesak.
Sangat wajar bila Zeze sekalut itu. Orang itu adalah salah satu misteri masa kecilnya. Zeze merasa mual pada anggapan bahwa ia tengah berhadapan dengan dirinya sendiri. Bahwa ia tengah melihat dirinya sendiri. Orang yang sama liciknya dengan dirinya—manipulator sepertinya.
Darah sepertinya memang lebih kental dari air.
"Aku bermaksud merebut mahkota dari kepala mereka. Tapi, aku butuh bantuanmu —bantuan kalian."
Mata Zeze melebar. Apa!?
Apa yang dia katakan? Mengembalikan Aplistia menjadi kerajaan? Apa dia gila? Sekarang Aplistia dipimpin oleh mahkamah bentukan raja terdahulu, dan tujuan utama kami adalah mengawasi mereka, menghabisi siapa saja dari para bangsawan itu yang berpotensi merugikan publik dan memulai peperangan. Tidak ada sama sekali niat bagiku atau bagi rajaku untuk mengubah sistem tersebut. Aku sama sekali tidak dapat mengerti dirinya. Sebegitu laparnyakah dia dengan takhta? Apa dia berencana menentang keputusan ayahnya sendiri? Itu mustahil, aku tahu betapa hormatnya dia kepada pria itu.
Dia berubah, batin Zeze, ekspresinya lebih prihatin daripada marah. Dia pasti sudah gila. Tempat ini membuat semua orang menjadi gila.
"Jawabanmu?" Dia masih sabar menunggu Zeze yang tengah berusaha menata hatinya.
Zeze berdeham sebelum merespons, "Apa keuntungannya bagiku?"
Orang itu melihat sekitar sebelum menjawab, "Aku akan membantumu. Kalian."
Jawaban itu kelewat singkat, tapi berarti banyak bagi Zeze.
Benar, dia mempunyai otoritas dan pengetahuan yang kubutuhkan. Latar belakangnya sendiri sudah menjadi senjata yang menguntungkan. Tapi, sekalipun itu dia, merebut kendali stir tidaklah semudah membunyikan klakson. Untuk memberontak pada dewan bentukan ayahnya, dia harus meyakinkan setidaknya 70% dari keluarga bangsawan untuk berpihak padanya. Dia pasti sudah memiliki dukungan politik, atau masih dalam proses mengumpulkannya. Menggunakan Énkavma untuk memangkas jumlah penghambat adalah rencana yang licik. Tidak perlu repot dan tidak ada yang bakal menaruh curiga kepadanya. Jika sesuatu terjadi pada kami, dia juga tidak akan dirugikan.
"Aku juga butuh kau untuk memainkan peranmu," tambah Kion. Jeda sebentar. "Memainkannya dengan benar."
Ck. Dia ingin aku keluar bukan hanya sebagai seorang Ankhatia. Tapi juga sebagai tunangannya!
Zeze masih berkonflik dengan nalarnya, sementara orang itu telah kembali membolak-balik lembaran buku, menolak menyela perang di dalam pikiran calon sang partner in crime
Satu tarikan napas.
Sebaiknya ini sepadan dengan apa yang akan aku terima, ancamnya dalam hati.
"Baiklah."
Dia menyetop tangannya yang hendak membalik lembaran berikutnya, lalu menjulang dan mengambil segelas air di atas nakas. Zeze memperhatikan tindak-tanduknya dari awal hingga akhir, agak jengkel karena dia tidak kunjung memberi tanggapan atas pernyataannya.
Setelah dahaga terpuaskan, orang itu meletakkan kembali gelas yang telah kosong ke tempat asal, dan tindakan selanjutnya yang sukses membuat denyut nadi Zeze tambah berantakan adalah ketika dia menjauh ke arah pintu.
Apa-apaan itu!? Hei, tidakkah kau ingin mengatakan sesuatu? Zeze memaki dalam hati, dan ia marah pada dirinya sendiri karena tidak mampu mengatakannya secara lantang.
Tangannya yang besar mendarat di sebuah gagang emas dengan ornamen rumit bertuliskan ‘Orion’ melingkar di sepanjang permukaannya. Anehnya dia tidak kunjung menarik atau mendorong gagang itu meskipun sudah memakan waktu, sehingga membuat Zeze menatap heran punggung tegap yang dilapisi kemeja hitam itu dari tempat tidur.
“Tidak ada yang mengetahui keberadaanmu di sini.” Pintu mulai ditarik hingga setengah terbuka. “Kau bisa beristirahat dengan tenang selama yang kau mau,” sambungnya dari celah pintu sesaat sebelum tertutup.
"Sial!" Zeze mengumpat sambil mencoba duduk. Ternyata tidak sesulit dugaannya. Lalu ia menengok jam dan kalender digital yang tergantung di dinding sebelah kanan ranjang. Matanya langsung membulat. Ia telah tertidur selama tiga hari!
Sialan!
Dengan tergesa-gesa, Zeze mencabut infus dan membedah perban di kedua tangannya, mencoba menemukan luka yang ternyata sudah memudar. Ia gerakan kaki-kakinya untuk duduk di tepi tempat tidur. Tak ada masalah dengan kaki kirinya, dan ia berharap keberuntungan itu juga menyertai kaki kanannya yang diperban dari pergelangan hingga betis. Terakhir kali kaki itu belum sepenuhnya pulih pasca pertarungan di kediaman Earl Swarovske, dan pertarungan tiga hari silam memperburuk kondisinya.
Berpegangan pada tiang ranjang, Zeze mencoba berdiri. Juga di luar dugaannya kedua kaki itu masih mampu dipijakkan, kecuali ia masih harus sedikit menyeret kaki kanannya yang malang itu. Duduk kembali di tepi ranjang, Zeze memutuskan untuk membongkar semua perban yang tersisa; di kaki dan kepalanya. Lukanya memang sudah hilang, tapi bekasnya belum, meninggalkan tanda merah muda di tengah kulit yang putih.
Obat apa yang diberikan padaku? Ini menakjubkan. Aku harus bertanya untuk berjaga-jaga. Semoga harganya masih bisa dijangkau.
Zeze berjalan ke arah balkon, satu-satunya sumber pencahayaan di dalam ruangan yang agak redup dan suram. Semilir angin musim gugur, dingin dan sejuk, langsung menyambutnya, tak kalah dengan kicauan burung yang saling bersahutan.
Berbagai bentuk awan berkelana di langit biru, sementara berbagai macam pikiran berkelana di dalam kepalanya. Dua hari lagi. Ia mendengus meratapi nasib, kemudian kembali ke kamar. Perutnya berbunyi kala melihat sajian makanan dan buah-buahan di atas meja sofa, letaknya tak jauh dari tempat tidur.
Disambarnya sebuah apel merah. Tepat di momen itu, pintu terbuka dan kepala Obi menyembul dari celah, "Master memberitahuku kau sedang dalam perawatan di sini. Syukurlah kelihatannya kau baik-baik saja. Jangan menjadikan kematian sebagai alasan untuk melarikan diri dari hutang-hutangmu padaku. Ngomong-ngomong, apa kau akan menceritakan padaku apa yang telah terjadi padamu? Seingatku Kai bilang tidak ada misi untuk minggu ini?"
Alih-alih menjawab, Zeze justru melemparkan apel di tangannya kepada Obi. Apel tersebut menggetarkan pintu, Obi berhasil menutupnya tepat sebelum kepalanya memar.
"Teman tidak tahu diri, hm!" Omelnya.
Sembari menikmati keempukan sofa dan lezatnya buah, matanya ia bawa berkeliling kamar. Sewaktu kecil, ia selalu tertarik dan penasaran dengan visual kamar kakak sepupunya itu. Namun perasaan itu telah lama hilang, dan siapa sangka jawabannya akan ia temukan sekarang, di saat ia tidak lagi tertarik. Di saat orang itu tak lagi menarik.
Rapi dan teratur. Foto sang pemilik kamar sama sekali tidak bisa ditemukan. Salah satu dinding sesak dengan tulisan-tulisan dalam bahasa Yunani kuno yang dibingkai lalu dipajang di dinding.
Tidak mengherankan. Orang itu sangat menggilai sastra dan literatur. Tipikal old money, kurasa.
Apa yang cukup menarik perhatian adalah ukiran di langit-langit kamar, di mana ujung panah dalam rasi bintang Orion membidik kepada tulisan:
Kion Ropalo Zesto
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
ARJ
tetiba bingung mau berdiri dipihak Glen atau Lion🤧
2021-08-28
4