Sulit dipercaya. Walau sekarang tengah menyaksikannya sendiri, rasanya masih mustahil untuk dikategorikan sebagai kenyataan. Sebuah senyuman.
Zeze terpaku pada wajahnya, lesung pipi, sampai tak sadar telah merefleksikannya. Bukan senyum berdarah dingin yang biasa Zeze tunjukkan kepada musuh-musuhnya, melainkan senyuman seorang malaikat.
"Apa yang lucu?"
Zeze mengangkat bahu dan menelan senyum itu. "Tidak ada." Posisi bangkunya ia perbaiki supaya menghadap lagi ke depan.
Glen berhenti menopang kepalanya. Ia tidak mengejar jawaban, mengikuti Zeze menghadap ke depan.
Guru Sejarah dan Mitologi, Mr. Yesof, memasuki kelas. Seluruh murid kompak mengeluarkan buku atau tablet mereka masing-masing. Pemuda itu berdiri di depan kelas dan mulai memberikan pembukaan terkait topik bahasan terbaru: Dewi-Dewi Yunani. "Bangsa yang tidak menghargai sejarah dan budaya..."
"Aku baru saja menyimpulkan sesuatu," Zeze berbisik sambil berlagak mencatat agar tidak dicurigai.
Glen meliriknya sekilas lalu meniru aktingnya.
"Kau membuatku menerima detensi agar aku tidak menyaksikan itu," lanjut Zeze, masih selirih sebelumnya.
Glen tidak mengiyakan maupun mengelak. Setelah cukup lama membiarkan hening berkuasa, akhirnya ia menyahut, "Karena kau akan sangat berisik terhadap semua hal. Tadi itu membuktikan, bukan?"
"Tadi itu bahkan belum mencapai setengah dari 'berisik' yang kaumaksud." Zeze memutar mata lalu memilih mengabaikannya. Kurang lebih lima menit mereka tidak bicara. Tapi benar saja, Zeze tidak sanggup mengacuhkannya terlalu lama. Bertahun-tahun ia tidak mendengar suaranya, maka ia tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. "Ke mana saja kau tiga hari belakangan?"
"Sebulan," Glen mengoreksi dari sela giginya, sementara Zeze terkejut pada kenyataan bahwa dia bersedia meladeninya. Sebagai tanggapan, Zeze hanya mengangguk dua kali.
"Detailnya kau tidak perlu tahu," tiba-tiba dia mengimbuhkan.
Zeze meliriknya dan hendak membalas sewaktu namanya mendadak dipanggil oleh Mr. Yesof yang menjulang di depan kelas, "Miss Rozeale Finn, benar?" Tanyanya, memastikan.
Anggukannya dibalas senyuman oleh Mr. Yesof. "Apakah Anda bersedia menyimpulkan hal-hal penting yang perlu kita ketahui tentang Artemis?"
Zeze merasakan beratnya tatapan seisi kelas di pundaknya, tanpa terkecuali teman sebangkunya, dan entah bagaimana hal sesederhana itu membuatnya senang. Akhirnya mata itu mengarah padanya.
Untuk meredam jantungnya yang menjerit kegirangan, Zeze membuang napasnya perlahan, bersandar ke kursi, bersedekap, kemudian memulai, "Artemis adalah seorang Dewi Perburuan. Ada beberapa julukan untuknya selain itu, di antaranya Dewi Alam Liar dan Dewi Bulan."
Pada akhirnya, teman sebangkunya itu tak dapat mempertahankan tatapan untuknya terlalu lama. Glen menundukkan kepala, membuang perhatiannya pada brush pen hitam yang tengah berputar di antara jemari.
"Digambarkan memiliki sepasang sayap, berburu ditemani oleh seekor rusa jantan, dan dipersenjatai busur dan panah. Artemis merupakan putri dari Zeus, Dewa Langit dan Petir, dengan seorang Titaness bernama Leto."
Zeze berhenti sejenak, "Dan memiliki saudara kembar, Apollo, Sang Dewa Matahari." Nada suaranya terdengar aneh saat memaparkan bagian itu.
"Sebagai dewi perburuan, Artemis tentunya menguasai semua keterampilan dalam seni berburu. Sebagai dewi alam liar, dia melambangkan kebebasan." Zeze terdiam saat menangkap sorot kalkulatif dan spekulatif di mata Mr. Yesof, "Apakah Anda mau mendengar lebih?"
Ekspresi Mr. Yesof kembali lembut, dia menggeleng. "Tidak, sudah cukup." Guru muda itu tersenyum, "Kerja yang bagus, Miss Finn." Kemudian ia berjalan ke arah meja guru, "Baiklah, kemasi barang-barang kalian. Hari ini saya memiliki jadwal rapat bersama para guru pelajaran Sejarah dan Mitologi Kuno, sehingga kalian bisa pulang lebih awal."
Sorak gembira para murid langsung melejit sesaat setelah Mr. Yesof mengakhiri kabar baiknya. Sementara para murid tengah sibuk menguburkan buku-buku dan gadget ke dalam tas maupun kolong meja, Glen dan Zeze adalah patung di kursi mereka masing-masing.
Beberapa menit kemudian kelas kosong sepenuhnya, menyisakan Glen dan Zeze yang duduk bersebelahan dalam sunyi. Glen tidak bodoh, serta tak ingin pura-pura bodoh, ia tahu ada banyak hal yang ingin Zeze katakan kepadanya.
"Kau bisa saja lari. Tapi tidak, kau tidak melakukannya. Karena aku tahu, kau bukanlah orang yang seperti itu," ujar Zeze dengan pandangan lurus ke depan.
"Kau tidak tahu apa pun," gumam Glen. Matanya yang kosong terpaku pada bagian tengah papan tulis yang memamerkan tulisan besar 'Artemis'.
"Hari ini adalah hari yang cukup mengejutkan. Tapi itu tidak masalah. Tidak ada yang menyenangkan dari hidup jika dipenuhi spoiler." Zeze terkekeh, namun Glen tahu tak ada humor dalam tawanya.
Zeze menarik napas panjang dan mengembuskannya lambat-lambat, lalu melanjutkan ucapannya dengan suara kering, "Jadi selama ini kau adalah teman sebangkuku, huh? Bodoh sekali."
Akhirnya Glen melirik.
"Aku tidak pernah tahu bahwa ternyata kau sedekat ini," ratap Zeze. Ia mendengus keras sebelum melancarkan keluhan, "Ah! Sungguh menjengkelkan... tidak mengetahui apa pun itu menjengkelkan."
Glen menyilangkan kakinya di atas kaki yang lain, menanggapi keluhannya dengan nada mencemooh, "Secepat itu kau berubah pikiran? Bukankah katamu hidup dengan spoiler itu tidak menyenangkan?"
Zeze meliriknya, hanya sebentar sebelum ia memutuskan beranjak dari kursi dan duduk di atas meja Glen. Tak ada lagi jalan bagi keduanya untuk berpaling.
Glen mendongak, sementara Zeze menunduk. Garis pandang mereka terikat.
Zeze mencondongkan tubuh dan mengulurkan kedua tangannya, mengambil kacamata retak yang membingkai mata teduh Glen, kemudian memasukkannya ke dalam saku samping rok.
"Hidup tidak menyenangkan jika aku tidak tahu apa pun tentang dirimu. Kau adalah satu-satunya pengecualianku." Setelah menit demi menit diisi sunyi, akhirnya Zeze menjawab dengan suara selirih bisikan.
Glen ikut mencondongkan tubuh dan balas berbisik, tatapannya intens, "Tidak ada yang perlu kau tahu tentangku."
Zeze terkekeh lalu tersenyum saat berkata, "Bila kau mengatakan itu di dekat Obi, kau pasti sudah babak belur di tangannya."
Di penghujung kalimat, pundak Glen dan Zeze mendadak tegang. Mereka otomatis bersikap normal; Zeze turun dari meja dan mulai membereskan alat tulisnya, begitu pula dengan Glen. Sejurus kemudian, dua orang pengganggu itu tiba di ambang pintu.
"Zeze!" Panggil salah satunya, yang Zeze yakin dari suaranya adalah Juni. Dia dan Rhea menghampiri Zeze yang tengah berdiri di belakang meja sembari memasukkan alat tulis ke dalam ransel.
Zeze mendongak dan menjawab datar, "Apa?"
Mereka berhenti di samping meja Glen. Mata Juni menajam saat mengamati seorang lelaki bersurai hitam yang sedang membenahi sebuah ransel butut.
"Kau duduk dengan orang ini?" Tanya Juni, menunjuk Glen dengan dagu. Tak ada setitik pun keramahan dalam nada bicaranya.
Zeze mengangguk, "Ya."
Dengan tatapan seruncing ujung pisau, Juni masih terang-terangan mendelik ke arah Glen, berbanding terbalik dengan Rhea yang masih menyisakan kelembutan untuk semua orang di tatapan matanya.
"Permisi," ucap Glen dengan pandangan jatuh ke lantai.
Juni sedikit menggeser tubuhnya agar laki-laki itu bisa lewat dengan leluasa. Tidak, lebih tepatnya, ia bergeser agar dirinya tak harus bersentuhan dengan lelaki itu.
Glen berjalan meninggalkan ketiganya, tanpa menyadari ada kekecewaan di sepasang mata biru yang masih setia mengekori punggung tegapnya hingga hilang ditelan pintu.
"Ayo pulang. Kalian sudah tidak memiliki urusan di sini, bukan?" Suara Rhea mengusir tatapan Zeze dari Glen. Zeze menjatuhkan pandangannya, mengangguk, lalu menyampirkan ranselnya di pundak.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Sebuah telapak tangan mendarat keras di pipi kanan putra bungsu keluarga Laktisma. Suaranya memberikan percikan pada sebuah ruang kerja bergaya baroque.
Aiden mengumpulkan ludahnya yang telah terasa aneh kemudian membuangnya ke samping.
"Memalukan!" Seorang pria di akhir 40-an, dengan rambut dan mata berwarna cokelat keemasan, meraung di depan wajah putra bungsunya yang tampak berantakan.
Tatapan Aiden terpendam dalam ujung sepatu pria itu sambil menikmati sisa darah di mulutnya.
"Kakekmu telah susah payah membangun relasi dengan Gen Naios Zesto bukan untuk kau hancurkan!"
Cih, orang tua ini mulai lagi.
Pria itu menekankan telunjuknya ke dahi Aiden. "Bagaimana bisa kau menghina mereka seenak jidatmu!?" Geramnya. "Contohlah kakakmu, Airo! Dia bahkan berhasil membangun pertemanan dengan salah seorang Zesto, keluarga pendiri kerajaan yang paling berkuasa!"
Pria itu terengah-engah. Setelah napasnya stabil, ia memutar badan dan berjalan ke arah meja kerjanya. Papan nama dari kayu klasik bertuliskan ‘Aplisto Laktisma’ berdiri di atasnya.
Menyandar di pinggir meja, Aplisto Laktisma merenungkan putra keempatnya yang sedang memaku pandangan di lantai marmer berukiran rumit, serumit pikirannya saat memikirkan tingkah si Bungsu yang semakin semena-mena. Ia tahu dan sadar bahwa sejak anak itu lahir, dirinya sudah terlalu keras kepadanya dibanding kepada anak-anaknya yang lain, namun semua ia lakukan tak lain hanya untuk mendidiknya menjadi lebih baik. Menjadi yang terbaik. Anak itu memiliki banyak potensi yang akan sangat disayangkan bila disia-siakan.
"Keluarlah Aiden." Ia mendesah.
Aiden mengangkat wajah dan bertanya dengan santai tanpa dosa, "Dari rumah?"
Gigi pria berseragam militer hitam itu menggertak. "Jangan menguji kesabaranku," desisnya. "Keluar dan masuk ke dalam kamarmu, SEKARANG!"
Aiden menyeringai sinis, kemudian berbalik pergi meninggalkan ayahnya sendirian di ruang kerja. Ia melepaskan batuk yang ditahannya saat menyusuri lorong penuh pintu. Karena keseimbangannya mulai hilang, ia pun berjalan sambil berpegangan pada dinding.
Sesampainya di kamar, ia langsung melempar tubuhnya ke atas ranjang berukuran king size. Tubuhnya meringkuk, terbatuk dan terbatuk lagi. Lama-lama nyeri di dadanya semakin menyulitkannya untuk mengambil napas.
Curiga dan waswas, ia pun mendudukkan diri dan menarik kaus putihnya melewati kepala. Ketakutannya menjadi nyata. Warna biru mengerikan tercrtak di tengah dada bidangnya. Aiden mendengus dan lantas berbaring lagi.
Tendangan elf itu memang kuat. Namun yang paling mengganggunya adalah, bagaimana mungkin ia tidak memperkirakan bahwa tendangan itu akan datang kepadanya?
Bukan masalah seberapa kuatnya tendangan itu. Memang tak banyak orang yang ia kenal memiliki tendangan sekuat itu. Namun sebelum serangan itu menyentuhnya, dalam keadaan normal, seharusnya ia bisa membendungnya dengan lengan agar tak sampai mencederai organ vital.
Tatapannya menggelayuti langit-langit kamar yang melukiskan rasi bintang, dalam usahanya menemukan apa yang salah. Kemudian ia teringat bahwa pada saat itu pikiran, fokus, serta semua hal yang ada pada dirinya seolah dipecah belah.
Benar! Ia baru mengingat bahwa yang terlintas di pikirannya sesaat sebelum kaki jenjang itu menyinggung dadanya adalah... sebuah jam dinding.
Apa-apaan?!
Aiden melompat duduk, terlalu kaget untuk mengingat kondisi dadanya. Gerakan tiba-tiba itu mengernyitkan dahinya, respons dari nyeri yang semakin berdenyut.
Nalarnya kembali bekerja, mempertanyakan ketidakmampuannya dalam memprediksi datangnya serangan. Rasanya jam dinding di atas pintu masuk itu lebih menarik untuk dilihat. Namun, fakta tersebut sulit untuk dicerna akal sehat. Seperti... bagaimana mungkin aku tiba-tiba tertarik pada sebuah jam dinding di saat seperti itu? Untuk apa? Untuk melihat waktu?
Perhatiannya seperti dialihkan secara paksa. Seakan ada sesuatu yang membuat jam tersebut pantas untuk mendapatkan perhatiannya detik itu juga.
Ada yang tidak beres, batinnya.
Bahkan jika tendangan itu sudah dipastikan akan mengenaiku, seharusnya cukup waktu bagiku, walaupun hanya sepersekian detik, untuk memfokuskan energi agar dapat mengurangi tekanannya.
Bukan tanpa alasan Aiden begitu yakin dengan kemampuannya sendiri. Dia adalah seorang putra dari Marquess Laktisma, salah satu Marquess terpandang di Aplistia yang dipercaya dalam menjaga perbatasan negara. Latihan turun-temurun keluarga yang diberikan kepadanya sejak kecil membuat tingkat kemampuan bertarungnya berada di atas teman-temannya. Ia dilatih agar bisa menggunakan berbagai jenis senjata, ditambah dengan seni beladiri yang ditekuninya, taekwondo. Apa yang kurang dari itu?
Aiden menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran yang mengganggu. Ia harus tidur jika tidak ingin lukanya semakin parah.
Elf itu harus membayarnya, dan juga si brengsek Leios... ia akan semakin menyiksanya mulai detik ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Neng Purnama
seruuu meski pusing oge
2021-06-22
1
Lucy_
yang gue masih binggung bukannya dipesta itu zeze itu Juni.... tapi kok ini?? akrghh pusing🙄🙄😶
2020-10-22
1
athala
pengaruh glen pasti🤔
2020-07-08
7