Asphyxia
Laki-laki itu memandangnya datar, "Apakah ada alasan khusus?"
Tak sulit untuk memahami pertanyaannya, itu sebabnya dia langsung menjawab di detik pertama, "Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini."
"Begitu, ya?" Lelaki itu tersenyum sambil menutup mata, "Terang sekali. Aku sampai harus berpaling." Iris hitamnya kembali terungkap dan dia bertanya lagi, "Jadi ini keputusanmu?"
"Ya, aku akan melakukannya dengan caraku. Kau pasti juga memiliki caramu sendiri, bukan?"
Waktu terus bergulir namun keheningan masih betah singgah, mengekang dua insan yang saling berhadapan dalam sunyinya. Hanya terbetik bisikan angin; melodi yang melatari perputaran roda kenangan di dalam kepala. Bagaimanapun, pastinya, baik dirinya maupun lelaki itu, keduanya sama-sama meratapi rantai yang datang membelenggu takdir.
"Baiklah, kita akan mengambil jalan masing-masing." Sorot mata lelaki itu mengeras kala ia mendesis, "Aku akan melepaskanmu kali ini. Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan membunuhmu."
"Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan menyelamatkanmu," balasnya sebelum lenyap dalam gelap.
...🔥...
...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...
...VOLUME 1...
...Goddess Of The Hunt...
..."Dewi Perburuan"...
...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...
[ INTERMISSION ]
Pada abad ke-22, Aplistia, negeri yang didirikan di atas dataran Yunani oleh sebuah keluarga pebisnis kaya raya, sudah bukan lagi negara yang berbentuk kerajaan. Negara adidaya itu kini dikepalai oleh suatu dewan beranggotakan sejumlah bangsawan yang menjuluki diri mereka sendiri sebagai 'perwakilan rakyat'. Hal tersebut terjadi karena raja terakhir Aplistia memutuskan untuk membubarkan sistem monarki. Alasannya masih simpang siur sehingga memicu banyak rumor. Isu yang paling populer berkaitan dengan keselamatan Ratu, tapi tidak ada yang benar-benar bisa memastikan. Bagaimanampun, anggota keluarga kerajaan asli masih senantiasa menerima hormat serta cinta dari para penduduk. Bahkan mayoritas menganggap diri mereka masih dipimpin oleh seorang raja. Mengapa demikian? Menurut catatan sejarah, setelah keluarga konglomerat ini memutuskan untuk membentuk dinasti sendiri, pencari suaka korban konflik/perang yang tunggang-langgang dari berbagai negara, diterima dengan tangan terbuka di wilayah Aplistia. Mereka merasa sangat berhutang budi di tengah penolakan dan sentimen yang dilancarkan negara lain kepada mereka. Hingga saat itu, mereka melihat keluarga kerajaan sebagai jelmaan dewa penyelamat.
Oke, aku di sini bukan untuk berdongeng atau mempromosikan aliran sesat itu dengan menyebutkan seribu satu kebaikan semu "dewa" mereka. Bukan juga menghakimi keputusan Sang Raja yang terkesan lepas tangan sementara tikus-tikus berdasi berkembang biak di setiap sudut kawasannya. Revolusi adalah salah satu hal yang sulit untuk dihindari di dunia yang kutinggali sekarang, di puncak evolusi umat manusia pasca malapetaka yang melumpuhkan separuh dunia.
Bicara tentang duniaku, perspektifku pribadi membaginya menjadi dua bagian yang kemudian menentukan kemana moralku ini memihak.
Bagian kanan adalah bagian dunia di mana terdapat kupu-kupu yang tidak dapat mengepakkan sayapnya.
Sementara bagian kiri adalah sarangnya para kantung sampah yang memiliki segalanya.
Betapa ironis. Betapa tragis.
Pernahkah kalian memikirkan tentang keberadaan orang-orang yang mungkin saja telah lelah dengan dunia yang berantakan ini?
Atau mungkin, itu kalian sendiri?
Percayakah kalian dengan eksistensi manusia yang memiliki kemampuan melampau luar nalar?
Tidak mungkin ada? Tentu saja mungkin. Apa yang mustahil di masa sekarang? Ilmu pengetahuan ‘kan terus berkembang, sejalan dengan makhluk hidup yang tak pernah berhenti berevolusi. Kujamin kau akan terkejut bila mengetahui berapa banyak penemuan-penemuan baru di setiap kedipan matamu.
Baiklah, baik..., aku bisa memahami kalian yang menjawab “mustahil” dengan argumen bahwa zaman kita berbeda. Untuk itu, wahai para penghuni bumi generasi sebelumku, izinkan aku menunjukkan kepada kalian sebuah penemuan menarik dari zamanku.
.
Tertanda,
Rozeale Ankhatia.
.
P.s
Ah, satu hal lagi, hanya ingin memperjelas, aku tidak bereinkarnasi ataupun time travel. Aku benar-benar hidup di abad ke-22. Tulisan ini adalah pengantar untuk kalian, para manusia dari abad ke-21, yang sebentar lagi akan membaca kisah petualanganku.
...🔥...
[ I . BURN ]
Musim gugur tahun 2135 Masehi.
Di dalam sebuah ruangan mansion perpaduan antara industrial dan baroque yang ditopang oleh langgam Korintus, permukaan sebuah meja telah menjadi korban gebrakan tangan pria paruh baya yang sedang memaki lawan bicaranya di telepon.
"Aku tidak peduli! Bagaimanapun caranya, aku ingin para brengsek itu dihabisi secepatnya!"
Sambungan telepon ditutupnya dengan kasar, ia pun melesat ke brangkas baja di sudut ruangan. Telunjuknya yang buntal menindas tombol tertentu di pintu brangkas. Gerakan yang terburu-buru melahirkan nada sumbang di setiap tekanan. Pintu brangkas menganga dan ia bergegas menghamburkan isinya; tumpukan kertas berbentuk persegi panjang—uang yang melimpah ruah.
“Setidaknya aku masih mempunyai ini,” racaunya, tergesa-gesa menutup koper yang telah kembung oleh uang. “Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Biarkan yang di luar menjadi urusan mereka! Itu sudah menjadi tugas mereka. Benar, kan? Aku tidak salah,” ia tersengal. "Benar. Aku tidak salah."
Sementara di dunia luar, purnama sedang merajai langit bersama arak-arakan awan. Cahayanya menembus kabut dan membasuh empat sosok manusia yang menjulang di pinggir tebing bagai kawanan burung hering. Mansion bergaya multikultural itu terpantau oleh mereka dari atas sana, berdiri di kaki sebuah bukit, megah namun rentan terciprat darah.
"Zeze, berapa banyak?" Seorang laki-laki ber-hoodie putih bertanya. Rambut kelabunya yang halus menjadi sasaran empuk kejahilan angin awal musim gugur.
"Lima puluh, mungkin?" Perempuan yang akrab disapa Zeze itu menjawab, nadanya merenung. Ia menjulang paling depan dari ketiga kawannya. Seorang perempuan. Remaja yang berumur tak lebih dari enam belas tahun. Kulitnya adalah porselen, matanya sebiru safir, rambutnya adalah sungai platinum yang mengalir nyaris menyentuh pinggang dan memercikkan serbuk berlian atas sinar perak sang dewi malam.
"Heh, lima puluh?"
Cemooh itu datang dari arah kanan Zeze. Sejenis suara yang biasa ditemukan pada seorang anak kecil pengunyah permen karet.
"Idiot," gumam Zeze tanpa berpaling dari satu-satunya bangunan di wilayah itu.
Wajah orang yang mendengarnya langsung memerah. "A—apa kau bilang!? Itu jumlah yang sedikit, reaksiku wajar! Para sampah tidak berguna itu bahkan tidak akan bisa melakukan apa pun jika kutembaki mereka sekarang!"
Zeze melirik malas si cerewet lewat sudut matanya dan mendapati sosok perempuan modis berambut ikal yang dicat warna rosegold dan diikat satu. Hari sepertinya tidak akan lengkap baginya jika tidak mengusik pendengaran seseorang dengan suara melengking dan isi ucapannya yang tidak penting.
"Sepertinya seeker kita sedikit lebih lamban kali ini," celetuk Si Lelaki Berambut Abu.
Zeze dapat merasakan olokan dalam suaranya. Ia memutar mata karena tahu apa yang laki-laki itu inginkan. "Baiklah, Zafth, kau bisa menyeret maju bokongmu." Dan ia pun memberikannya.
"Oh, sekarang?" Seorang wanita tinggi di belakang Zafth bertanya. Suaranya feminin dan melengking, selalu membawa keceriaan di setiap kata. Rambutnya adalah ombak ungu-kemerahan yang berkibar disapu angin. Pakaian yang ia kenakan didominasi warna-warna gelap, memiliki bahan yang melekat di lekuk jam-pasirnya bagai kulit kedua. Tangan kirinya yang mencetak aliran urat hasil dari latihan fisik berat, menggenggam sebuah kapak raksasa yang ujung gagangnya disambungkan ke pergelangan tangannya melalui rantai.
"Ya, aku sudah selesai mengobservasi. Tidak ada masalah sejauh ini," Zeze menoleh melalui bahu untuk menghadapi wanita itu, "Dan kau, Chanara..."
"Ya?" Sahutnya sambil memiringkan kepala ke satu sisi.
"Di garda depan, seperti biasa, tapi jangan berada terlalu jauh dari Zafth. Jangan lagi."
"Roger!" Chanara merespons intruksi Zeze. Meski nadanya terdengar ceria, tak ada perubahan yang berarti dari wajahnya yang sepucat kertas. Hanya dalam hitungan detik, Zafth dan Chanara adalah bayangan yang tersapu angin dari tebing yang menjadi titik awal bagi mereka berempat sebelum merampas takdir puluhan manusia yang sudah siap dengan senjata dan seragam kebanggaan.
Satu sudut bibir Zeze terangkat, memamerkan senyum cantik bak malaikatnya kepada malam. Malaikat maut.
"Aku tidak perlu turun tebing juga, kan?" Ah, suara yang mirip bocah pengunyah permen karet itu lagi.
Zeze menoleh pada gadis itu. Tatonya kini terlihat lebih jelas—dia telah melepas jaket kulitnya—mengintip dari kerah kaus pink. Letaknya di leher sebelah kanan, dekat tulang selangka, bertuliskan ‘MIA’. Namanya.
“Kalau kau merasa hidupmu sudah terlalu membosankan untuk dijalani, silakan.” Zeze mengangkat bahu.
Mia, yang menerima jawaban kurang ajarnya, langsung terbakar emosi. "Jaga bicaramu! Usiaku jauh lebih tua darimu, setidaknya beri aku rasa hormat walau hanya sedikit!"
"Aku lebih tinggi darimu."
"Zeze!" Mia menggeram, intonasinya melejit satu oktaf. Emosinya membengkak saat melihat bocah usil itu terkekeh geli.
Menolak membiarkan emosi mengalihkannya dari tanggung jawab, Mia lantas mendesak sejumlah peluru ke dalam sebuah senapan laras panjang sepekat malam yang sejak tadi berbaring di tanah.
Berlutut dengan satu kaki di balik batu besar, Mia membawa senjata itu tepat ke depan wajahnya. Begitu cekatan, lazim, bersahaja, seolah tak ada bedanya dari bernapas. Bahkan Zeze—yang telah bersila di sisi kanan Mia—tak rela sedetik pun menutup bola matanya. Merupakan suatu kesia-siaan bila ia berpaling dari konsentrasi level tinggi yang dipancarkan oleh sosok mengagumkan di sampingnya itu.
Tak dapat dipungkiri, angin yang membingkai tubuh mereka menghentikan buaiannya, sementara waktu seakan membeku begitu Mia menahan napas. Meski itu bukan kali pertama Zeze menyaksikan Mia membidik mangsanya, ia masih saja kehilangan kata di setiap kesempatan. Pikirannya terjebak di manik matanya yang mengukir berjuta rasa hormat dan kekaguman, terlepas dari sikap isengnya terhadap gadis mungil itu.
Mia memulai, ia menarik pelatuknya dua kali, dan dua-duanya tepat menjumpai sasaran. Orang biasa pasti akan menganggap ia membidik di satu tempat yang sama, namun Zeze dapat mengatakan dengan pasti bahwa sepersekian detik sebelum Mia melepaskan tembakan kedua, ia sedikit menggeser posisi senapannya ke kiri.
Peluru-peluru itu melesat secepat cahaya, merobek kabut, dan mendarat tepat di tengah kepala target. Pecah seketika. Tanpa memberi jeda, Mia melanjutkan kebrutalannya. Peluru berikutnya merupakan jenis yang menghanguskan—memerlukan waktu setahun untuk menyempurnakannya—dan yang menjadi target pertamanya adalah seorang prajurit yang berencana menusuk Chanara dari belakang menggunakan belati.
Dengan kebengisan di ujung bibir, Mia menahan napas, sementara matanya menyipit dan telunjuknya menekan pelatuk, membawa peluru itu melesat ke kepala targetnya.
Dia tidak diragukan lagi adalah attacker (penyerang) jarak jauh terbaik yang pernah dimiliki Énkavma.
Sementara Zeze dan Mia hinggap di bibir tebing, memantau sekaligus mengeliminasi musuh dari jarak jauh, di waktu yang sama, Chanara dan Zafth melakukan pembasmian dari jarak dekat.
Dengan sebuah kapak yang beratnya nyaris setara sebuah truk, Chanara mengayunkan benda itu dengan satu tangannya yang tak lebih besar dari dahan pohon. Setiap ayunan melahirkan bunyi retakan tengkorak. Gerakannya adalah tarian yang bahkan sanggup membuat iri balerina mana pun.
Begitu banyak prajurit yang mengerubungi keduanya, menunggu giliran untuk disambut kematian instan. Namun setidaknya mereka pergi tenang dengan membawa kebanggaan karena aksi heroik mereka akan selalu dikenang oleh setiap jiwa yang hidup dan diberkahi oleh langit. Itulah yang dipercaya mereka dan semua orang selama ini. Mati untuk sampah.
Bila dibandingkan dengan Zafth, Chanara adalah gula yang lebih manis, menarik lebih banyak semut ke arahnya. Gender bukanlah penyebab utama, melainkan bakat spesial yang dibawanya. Kemampuan Chanara adalah memakan hawa keberadaan sekutunya, mengambil semua untuk dirinya seorang sehingga perhatian musuh tercurah hanya kepadanya. Bahkan seorang musuh yang sejak awal telah menargetkan Zafth, langsung mengubah keputusannya begitu berkontak mata dengan Chanara.
Sementara itu, Zafth bertugas sebagai pembersih. Di saat para semut bodoh berbondong-bondong menyerbu gula yang hanya menyajikan kepahitan, ia membasmi mereka dari titik buta. Di masing-masing tangannya tersemat seutas tali berwarna merah mengkilap. Tidak, lebih tepatnya darah yang membentuk tali. Darah itu memancar langsung dari pergelangan tangan Zafth yang telah sengaja ia lukai. Sel-sel darahnya membeku dan memadat, persis keadaan darah manusia ketika terkontaminasi bisa ular. Sekali cambuk mampu memisahkan kepala dari badannya. Karena kecepatannya, orang-orang malang itu bahkan tidak sempat menghirup aroma kematian yang berembus dari balik punggung mereka.
Tanpa keduanya sadari, seorang musuh ternyata tengah berperan sebagai korban jiwa dan memiliki niat jahat untuk menyerang Chanara dari belakang. Pria itu bangun dari dustanya dan mencabut sebuah belati di ikat pinggang. Tanpa menunda-nunda lagi, dia melesat maju.
Sayangnya sebelum ujung tajam itu berhasil tenggelam di daging leher Chanara, sebutir timah panas telah lebih dulu bersarang di dalam kepalanya. Tangannya bahkan masih mengambang di udara, tidak sedikit pun diberi kesempatan untuk sekedar menyapa.
Pria itu roboh dengan tangan menggenggam belati. Tubuhnya mengeluarkan bunyi waktu menyapa kerasnya tanah, tapi tidak dengan kepalanya yang berserakan sebagai abu.
"Kerja bagus," Chanara berbisik kepada angin selagi menebas tubuh seorang musuh yang menghadang di depan jalan. Tubuh itu terpotong dua. Belahan torso terbang dan menubruk kawanannya, menghidupkan jeritan yang mengusir kelelawar. Cipratan darah memantulkan semburat kemerahan di lensa kontak ungu Chanara.
Kombinasi serangan Zafth-Chanara tak dipungkiri meringankan pekerjaan Mia dan Zeze, dan berkat Chanara, tidak akan ada satu pun hidung yang mengendus dan mata yang melihat keberadaan mereka di atas tebing.
Tanah landai yang menjadi arena pertempuran telah menjelma menjadi kolam air merah. Bau anyirnya ditebarkan bersama teror dan kabut oleh angin. Sulit dipercaya pertarungan yang berat sebelah itu hanya berlangsung tak lebih dari lima menit.
"Akhirnya," Bahu Chanara merosot selagi ia mendesah.
"Kau bahkan tidak mengeluarkan keringat," Zafth menatapnya heran.
"Saatnya ke hidangan utama! Ayo, Zafth! Lebih cepat lebih baik," bersenandung ria, Chanara melenggang bak model menuju gerbang besar mansion di hadapannya.
"Kuharap Obi yang ada di sini," Zafth bergumam lesu selagi mengekori wanita aneh itu dari belakang.
Di waktu yang sama, Zeze bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk pakaiannya yang telah ternoda tanah.
Mia mendongak pada gadis berambut keperakan itu, "Kita kembali sekarang?"
Zeze tidak menjawab dan sudah akan berlalu pergi ke arah pepohonan ketika tiba-tiba sebuah gaya dorong menghantam dirinya dan Mia hingga memisahkan mereka.
Memiliki radar kewaspadaan yang selalu aktif sedikit menguntungkan Zeze. Serangan kejutan tadi hanya berakhir menghantam lengan kirinya yang menghadang di depan dada sehingga tubuhnya hanya terdorong beberapa meter. Kemalangan ada di Mia yang terpental di luar kendali. Mia berhenti usai punggungnya menabrak pohon, hidung dan mulutnya memuntahkan sedikit darah. Senapannya terlempar jauh darinya dan berhenti dengan cara yang sama dengan pemiliknya.
Kening Zeze berkerut marah menyaksikan kejadian itu. Dirinya dan Mia berjarak tidak terlalu jauh, tapi tidak bisa dikategorikan dekat pula. Jika ia menolong Mia saat itu juga, keputusan tersebut hanya akan memperlemah penjagaannya karena ia tak memiliki petunjuk kapan serangan berikutnya akan kembali dilancarkan.
Waktu seakan membeku saat nalarnya berspekulasi.
Aku hanya melihatnya sekilas. Bayangan itu menendangku dan Mia lalu menghilang di kegelapan. Dua kemungkinan, bersembunyi di balik pohon, atau pergi ke atasnya.
Ujung bibirnya naik saat ia memasang sebuah topeng Venetian seputih porselen di wajahnya. Namun matanya yang berbahaya tidak tersentuh senyuman itu. Aura berupa asap tebal berwarna darah membingkai sekujur badannya. Hawa yang dipancarkan adalah inkarnasi teror, seolah rahang neraka telah menganga.
Perlahan-lahan asap itu mengalir turun ke kakinya dan menggelar lautan yang melahap tanah. Senyum itu menghilang. Dengan gerakan seringkas kedipan mata, ia melompat ke puncak pohon terdekat di mana ia memijakkan kakinya untuk sementara waktu.
Tanpa terhalang apa pun, ia merekam dengan jelas pepohonan berdaun cokelat yang terhampar di bawah kakinya, serta sang dewi malam yang dengan gagah duduk di singgasana. Taburan bintang absen dari cakrawala, awan mendung bersekongkol dengan kabut untuk menyembunyikan benda langit itu di balik sendu dan lara. Tak ketinggalan pemandangan kurang menyenangkan tujuh meter di seberang: yang menjulang di puncak pohon yew adalah sosok asing berjubah hitam. Tangan kirinya, meskipun tampak normal dengan warna kulit sawo matang, Zeze mengenalinya sebagai tangan prostetik.
"Énkavma, ya?" Sosok itu memulai dengan seringai di bibir, sebelum meludah dan menyumpah, "Dasar kutu busuk! Beraninya kalian mengusik ketenteraman kota ini!"
Kata-katanya begitu lucu sehingga Zeze tak tahan untuk tidak tertawa. “Sepertinya kalimat itu lebih cocok diberikan kepada ‘majikan’-mu. Apa menurutmu kantung sampah itu tidak kegendutan? Kudengar hobinya melahap hak-hak orang lain.”
"Jangan besar mulut kau, sialan! Munafik! Kau bukanlah orang yang pantas untuk bicara tentang keadilan setelah apa yang sudah kau perbuat!"
"Kami hanya melakukan tugas kami sebagai tukang sampah. Dan apakah kau tahu? Daripada mendaur ulang, kami lebih suka membakarnya."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Zeze bergerak dan dalam satu tarikan napas telah tertoreh di belakang Si Pria Berjubah Hitam. Ditendangnya tengkuk pria itu di udara. Tubuh kekar yang ramping dan terlatih terdorong paksa ke depan.
Pria itu memperkuat pijakannya supaya tidak jatuh, lalu memutar badan sekaligus mencabut katana dari sarungnya. Dahinya mengernyit begitu ia menyadari pedangnya hanya menebas udara kosong. Ia membalik badannya ke posisi semula hanya untuk dikejutkan oleh sesuatu yang terpatri di belakang musuhnya.
Sepasang sayap.
Tunggu... bukan, bukan sayap, itu adalah api yang membentuk sayap!
Sayap api itu berkobar liar di belakang figur semampai. Ujungnya berawal dari punggungnya dan berakhir di udara bebas. Merah seperti rubi dan menyala seperti hasrat, seterang pendar bulan yang membingkai siluetnya.
Dia benar-benar terlihat seperti malaikat, Pria itu mendenguskan tawa ironis, jika situasi tidak serumit ini, aku pasti akan mengajaknya berkencan.
Bisikan angin di sekitar mereka memanas. Pada momen itu alarm bahaya berdering di kepala si Pria Berjubah. Mata cokelatnya memicing saat batinnya menerka, Kekuatan itu... dia adalah... “Artemis?”
Tanpa menorehkan jawaban, Zeze tersenyum dingin di balik topengnya.
"Sepertinya benar," Pria itu terkekeh sinis, membuka tudungnya. Kontur wajahnya adalah definisi dari muda dan segar dan bergairah. Zeze rasa seumur dengan Zafth, awal dua puluhan. "Aku adalah Joe, kepala penjaga di kediaman Earl Listevo, Walikota Madora."
“Maaf, aku tidak tertarik mengingat nama calon mayat.”
Zeze langsung lenyap dari pandangan Joe setelah mengeluarkan pernyataan. Sebuah deklarasi berdarah. Sepasang sayap itu membawanya melesat di udara, menutup ke depan dan membawa tubuhnya yang meringkuk dalam pelukan, lalu terbuka kembali tak lebih lama dari tarikan bernapas bersama ratusan nyala api.
Joe, yang adalah individu terlatih, sanggup menghindari hujan api itu tanpa luka. Api yang berhasil dilewatinya menyasar ke pepohonan. Namun yang mengejutkan sekaligus mengherankan Joe, kebakaran itu tidak pernah terjadi.
Bagaimanapun, Joe gagal menyadari bahwa tadi itu bukanlah serangan yang sebenarnya. Semua itu hanyalah pengalih perhatian.
Selagi Joe sibuk menghindari apinya, Zeze terbang ke atas kepala Joe dan memadamkan sayapnya. Sol sepatunya menemukan pundak Joe dan bertengger nyaman di sana, sementara tangan-tangan lentiknya bergerak memutar kepala sang prajurit ke semua arah mata angin. Bunyi derak tulang dan urat yang patah dapat dengan nyata ditangkap telinganya.
Joe pun roboh, tersangkut di dahan pohon. Mata kecokelatan yang kosong dan padam terungkap pada langit. Dengan leher berputar 180 derajat, arah muka dan badan depannya tidak sinkron. Di saat yang sama, Zeze pergi menjauh darinya.
Hujan api yang masih aktif lantas menghantam tubuh Joe betubi-tubi, membakarnya bagai santapan ulat, sebelum padam tanpa jejak begitu mendeteksi pepohonan. Pertarungan tersebut bahkan tidak lebih dari satu menit. Kecepatan Artemis memang bukan sekedar isapan jempol.
Zeze terjun dari pohon dan mendarat dengan anggun di atas tanah. Di saat bersamaan, sebuah getaran datang dari ponselnya. Diambilnya benda itu dari kantung celana ripped jeans. Sebuah panggilan suara dari kontak bernama 'Kaleahni' menunggu untuk dijawab. Ia pun menerima desakkan sebelum sempat melontarkan sapaan.
"Ze, jika kalian sudah menyelesaikan urusan di sana, cepat datang ke tempatku. Aku sedang kesulitan. Orang itu, Antoni Barier, benar-benar ada di sini!" Panggilan terputus tanpa memberi kesempatan bagi Zeze untuk menjawab.
Zeze menurunkan ponsel dari telinganya, menatap Mia dari kejauhan dengan perasaan bimbang. "Maaf, Mia," ia mendesah tak berdaya, "Sepertinya Kak Leah lebih membutuhkanku dibandingkan dirimu." Setelah mengikat rambut, Zeze pun berlalu, tanpa menyadari bahwa keputusan itu adalah awal dari segalanya.
pict credit to WLOP
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Halo, Para Pembaca, di sini Author 👋
Aku cuma mau bilang kalau aku mau ngenalin kalian suatu cerita yang beda. Jadi kasih aku kesempatan untuk membuat kalian merasakan suatu sensasi yang gak pernah kalian rasakan sebelumnya di cerita-cerita lain.
Biasanya protagonis itu memiliki sifat baik, kalem, dan sifat-sifat mainstream lainnya, kan? Nah, bagaimana kalau sekarang protagonis itu berperan menjadi villain-nya?
Gimana? Berani kan keluar dari zona nyaman? Berani donk hehe ~
Coba aja dulu bab 1-4. Kalau mengecewakan, kalian boleh drop.
Ngomong-ngomong, ini bukan cerita yang bla bla bla terus langsung the end. Kalian akan dibawa masuk ke dalam ceritanya. Ini cerita SERIUS yang akan mengajak otak kalian berolahraga. Jadi yang baca cuma buat main-main, aku gak nyaranin untuk baca cerita ini.
Resapi perlahan-lahan, karena di setiap chapternya selalu aku kasih kejutan. (Jangan lupa kalau ini juga ada misterinya, ya, jadi kalian bisa main tebak-tebakan kayak detektif.)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Naturelight
kyakny bkal ska ma ni crita, dh lama nyari² fanfic yg detail. smoga aj gk brenti d tengah jln
2023-08-15
0
Takashi Draylus
Temanya menarik
2022-08-16
0
Xeviorynz
sangat menakjubkan, penulisannya pun sangat rapih serta bahasa yg baku namun mudah dimengerti.
2022-04-30
0