Punggung tegap yang menjauh ke pintu keluar masih menjadi target tanda tanya yang memancar dari sepasang mata safir. Tingkah laku teman lamanya itu semakin hari semakin absurd.
"Orang aneh," gumam Zeze. “Dia butuh teman sebelum terlanjur gila.”
Mengingat sepuluh menit lagi istirahat, Zeze memutuskan untuk tetap berada di bawah. Ia pergi ke belakang sekolah, menduduki tanah berumput di sebelah pohon berdaun cokelat dan gugusan mawar merah, mengusap satu yang paling dekat. “Aku pasti sudah mencabuti kalian bila tidak mengingat status kalian sebagai properti sekolah,” ucapnya kepada para mawar. “Warna merah kalian menggodaku."
Tubuhnya ia baringkan di tanah berumput, dua tangan terlipat di belakang kepala, matanya sejajar dengan langit pucat yang dilintasi iring-iringan awan. Daun-daun kering berguguran seperti bintang. "Hah. Aku sangat malas berganti pakaian." Kelopak matanya turun perlahan, membungkus mata merah yang lelah. "Semua hal akan jauh lebih mudah jika setiap hari diperbolehkan mengenakan pakaian kasual seperti di jam olahraga." Ia menguap panjang. Istirahat berlangsung selama satu jam, dan ia akan mengisinya dengan tidur.
Tapi kejamnya, di saat waktu bahkan belum melunasi hutang dengan rona hitam yang melingkari matanya, kejanggalan mendatanginya tanpa permisi; tak ada lagi suara kicauan burung dan daun-daun pohon yang saling bertabrakan diembus angin di atasnya.
Begitu membuka mata, Zeze langsung terduduk dengan dada kembang-kempis.
Di sekitarnya berdiri tembok, bahkan di atasnya sekalipun. Warnanya hitam pekat. Dari bentuknya, Zeze yakin sekali ruangan yang mengurungnya itu berbentuk kubus.
Apa yang tak kalah mengejutkan adalah kehadiran orang itu; berdiri di sudut ruangan dengan tangan terlipat di depan dada.
"Ck, tidak bisakah kau meninggalkanku sendiri?" Zeze berdiri tanpa melepaskan pandangan darinya.
"Dan tidak bisakah kau dan aku berbicara tanpa melibatkan unsur kekerasan? Sekarang jawab aku, apa hubunganmu dengannya? Bagaimana kalian saling mengenal? Tergantung jawabanmu, aku mungkin akan berubah pikiran." Sepertinya pertanyaan Zeze tadi tak cukup penting baginya untuk dijawab.
Zeze memicingkan matanya. "Ini konyol. Mengapa orang-orang di sini tidak pernah bisa berhenti mengurusi hidup orang lain?" Ia lalu mengarahkan tubuh depannya ke tembok di kanannya, mengambil ancang-ancang sebelum melancarkan tendangan, dan ia harus kecewa sekaligus terkejut di saat yang sama, sebab tembok itu justru menelan kakinya!
Tapi anehnya ia sama sekali tidak merasakan sakit. Bahkan kakinya masih bisa ia tarik kembali dan utuh. Mata birunya memicing saat otaknya berputar mencerna semua keganjilan yang ada. Ke mana perginya kakiku tadi? Jika tembok itu adalah ilusi, seharusnya aku menendang pohon yang menjulang di baliknya.
Kemudian ia bereksperimen menggunakan tangan kanannya. Sama saja. Tangannya pun seolah tercelup ke dalam kubangan tinta hitam, dan ia masih tidak merasakan sensasi apa pun.
Zeze melayangkan tatapan mematikan kepada orang yang akhir-akhir ini selalu menjadi tersangka utama atas hilangnya kedamaian yang ia rasakan. Yang ditatap malah membuang muka ke satu titik di belakang Zeze, seakan tengah mencoba memberi gadis itu suatu petunjuk.
Begitu menoleh ke belakang demi melihat apa yang orang itu lihat, kelopak mata Zeze melebar seolah bola matanya hendak meloncat keluar dari sarang.
Itu dia, tangannya! Tembus ke tembok di belakangnya.
Tak perlu pikir panjang, Zeze sudah tahu apa yang sedang dihadapinya. Ruang Misner.
Ruang Misner dalam teori fisika adalah alam semesta sederhana (simplifed universe), yang ditemukan oleh Charles Misner dan diteliti oleh Stephen Hawking. Pada teori ruangan tersebut, setiap bagian dari suatu dinding memiliki sifat identik dengan dinding yang bertolak belakang.
Artinya, bila seseorang berjalan menuju suatu dinding, ia tidak akan membentur dinding tersebut, melainkan menembusnya dan muncul kembali di dinding yang sebaliknya. Hal yang menarik dari ruang Misner adalah: jika dinding bergerak maka perjalanan waktu di alam semesta Misner menjadi mungkin.
Zeze menurunkan tangannya, melemaskan otot-otot di bahu sambil berulang kali mendengus panjang. Sejak awal aku sudah mengira orang itu akan merepotkan. Tapi tidak pernah mengira dia semerepotkan ini.
Di sisi lain, orang 'merepotkan' itu—Aiden Laktisma—tersenyum puas karena telah berhasil membuat dirinya kasat mata untuk Zeze. Aku tahu dia tidak akan bisa mengabaikanku jika aku melakukan ini. Sekarang kau, peri sialan, tidak punya pilihan selain mengunci seluruh perhatianmu kepadaku.
Aiden mendekati Zeze lambat-lambat, melontarkan kesan sesosok predator. Zeze tidak mundur karena tahu itu sia-sia. Akhirnya mata biru itu tak bisa lari lagi darinya. Aiden sangat tidak tahan jika diabaikan olehnya. Namun sorot jijik itu masih membayanginya; sebuah tatapan yang tak pernah ia dapatkan seumur hidup. Apa yang salah darinya?
"Minggir," desis Zeze. Jika tatapan bisa membunuh, orang yang tengah ditatap seperti itu olehnya pasti sudah menyatu dengan tanah.
Aiden menyeringai, "Kenapa? Takut?"
Gigi Zeze menggertak. Dia membalikkan ucapannya di hari pertama mereka bertemu!
Entah mengapa melihat reaksi-reaksi itu justru menyenangkan Aiden, walaupun yang ditunjukkan kepadanya tak lebih dari rasa permusuhan. Setiap reaksi yang muncul semakin menambah pengetahuannya soal gadis itu.
Laki-laki itu berhenti dua langkah dari Zeze dan memendam kedua tangannya di dalam saku celana.
Zeze berdecak, "Tidak bisakah kau minggir? Aku ada kelas setelah ini."
"Mengapa terburu-buru? Oh, Ingin segera duduk berduaan dengannya, ya?" Goda Aiden dengan sebelah alis terangkat.
Salah satunya. "Jangan membuatku mengulang." Suara Zeze semakin dalam.
Aiden menyeringai, "Sayang sekali, sekarang adalah jadwalnya."
Balasan itu membangkitkan rasa bingung Zeze. Apa maksudnya? Jadwal apa yang dibicarakannya?
"Seharusnya kau berterima kasih padaku. Karena jika kau tidak tertahan di sini, aku jamin kau akan kembali mengalami kejadian tak menyenangkan seperti waktu itu."
Mata Zeze melebar, tersentak oleh kenyataan.
Melihat Zeze melangkah mundur, Aiden mengerutkan kening. Apa yang sedang dia coba lakukan? Seharusnya dia tahu dia tidak akan bisa kabur dari tempat ini.
Berbalik memunggungi Aiden, Zeze menekan kuat-kuat kaki kanannya ke tanah. Lalu, dengan kaki itu sebagai pendorong, ia melesat dengan kecepatan kilat ke tembok di hadapannya. Tanah bekas pijakannya retak, bukti dari betapa kuat tekanan yang dia bebankan.
Aiden dibingungkan dengan tindakan gadis itu sesaat sebelum ia dipaksa untuk mengerti oleh hantaman keras dari arah belakang.
Aiden dapat mendengar suara berderak yang berasal dari punggungnya sendiri. Ia kehilangan keseimbangan. Kali ini gravitasi berpihak kepadanya; dengan senang hati menariknya ke dalam buaian rerumputan hijau. Menggunakan sisa-sisa kesadarannya untuk menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati bahwa penjaranya telah luntur, disertai dengan makin mengecilnya punggung Zeze dari jarak pandangnya.
Gravitasi telah melakukan tugasnya dengan sempurna, memeluk Aiden dengan gaya tariknya. Kedua lengannya dengan sigap terulur untuk menopang berat tubuhnya sendiri, supaya pelukan itu tak berakhir menyakitinya. "Sialan," umpatnya sebelum semuanya menggelap.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Satu pukulan berlabuh di pipi kanannya. Sebuah lutut menghantam perutnya sejurus kemudian. Telinganya sudah tak bisa lagi mengenali suara kecuali dengungan. Setelah absen selama beberapa hari, akhirnya ia kembali ke jadwal rutinitasnya; menjadi samsak hidup bagi para remaja sendok perak yang memiliki isu superioritas, memberi makan ego mereka yang tingginya mencakar langit.
Bibir bengkaknya mencetak senyum, tapi senyuman itu mustahil terlihat oleh orang-orang yang sedang memukulinya, mengingat bentuk wajahnya yang sudah tak karuan.
Sedikit rasa syukur menyentil benaknya berkat ketidakhadiran gadis itu kali ini. Sudah berjalan dua puluh menit semenjak 'pesta' dimulai dan gadis itu masih belum menampakkan batang hidungnya. Selain karena tak ingin Zeze melihatnya dalam keadaan menyedihkan, ia juga bersyukur karena Zeze tidak ditemukan oleh sekelompok gadis populer yang sedang mencarinya.
Bukan Zeze yang menjadi subjek kekhawatirannya, melainkan nasib gadis-gadis itu. Jika mereka mengusik Zeze saat dia hendak menolongnya, ia takut Zeze akan lepas kendali dan melakukan hal yang merugikan di Exousia.
Pintu gudang mengablak paksa. Apakah akhirnya dia datang?
"Hentikan kalian semua!" Itu suara guru berpedang, Mr. Spathi.
Ah, ternyata tidak. Ia tidak mengerti mengapa ia kecewa. Bukankah ia tidak ingin gadis itu melihatnya berantakan? Benar, ia tidak menginginkannya. Kekecewaannya timbul karena hal lain, yakni kegagalan untuk dapat melihatnya. Ia hanya ingin melihatnya. Itu saja, sebelum kesadarannya menghilang dari raga. Dan ia kecewa karena keinginan sesederhana itu tetap tidak terwujud.
Kelopak matanya turun, kembali membungkus bola matanya yang mulai berair. Omelan Mr. Spathi pada orang-orang itu kini hanya berupa dengungan di kupingnya. Sudah lama sekali ia tidak dipukuli hingga hampir pingsan.
Mengapa memejamkan mata lebih mendamaikan daripada membukanya? Kini ia mulai mempertanyakan fungsi mata untuk orang seperti dirinya.
Kelopak matanya bergetar begitu merasakan sebuah sentuhan... sebuah jari. Telunjuk, mungkin? Ia bersyukur karena telah lebih dahulu mengamankan kacamata barunya di dalam ransel.
Jari itu bergerak, naik ke dahinya dan menyibak rambut yang menudunginya. Kemudian meluncur di sepanjang hidung. Gerakan yang sangat ringan bahkan nyaris tak menyentuh, membuatnya entah mengapa merasakan déjà vu.
"Aku tahu kau masih sadar."
Jari itu berhenti di puncak hidungnya, mengusapnya dengan gerakan melingkar. Seketika semerbak mawar menyergap indra penciumannya.
Kelopak matanya yang telah membiru merekah, dan hal pertama yang menyambutnya adalah cahaya yang menyilaukan. Cukup silau hingga memaksanya menyipitkan mata.
Siluet milik seseorang yang ia kenal terbentuk, tersisip di tengah-tengah silau yang menikam netranya.
Zeze berjongkok di hadapannya dengan keringat melintas di kedua pelipis dan kunciran rambut yang berantakan. Sebagian helai rambutnya keluar dari ikatan dan menempel di lehernya yang juga dibanjiri peluh. Dia pasti terburu-buru mencarinya, dan pemikiran itu tanpa sadar telah melepaskan tawanya ke udara.
"Apa yang lucu?" Jari itu menjauh dari puncak hidungnya.
"Kau... Aku... Kita," ucapnya dengan napas tersengal-sengal.
"Glen, aku mau bicara," katanya tiba-tiba. "Maukah kau mendengarkan baik-baik?"
Mata Glen kembali terpejam. Selain lelah, ia juga tidak kuat menatap cahaya di hadapannya terlalu lama. Terlalu terang. Jika ia tidak berpaling, ia takut cahaya itu akan membutakan matanya.
"Aku rasa... secepatnya tidak akan ada lagi istilah kita," ujarnya, suaranya menyerupai bisikan.
Glen diam, mendengarkan kata demi katanya dengan khidmat. Napasnya melambat.
"Sudah mendekati waktunya," lirihnya.
Glen mengangguk paham dengan gerakan perlahan, dipadu dengan senyum tipis di ujung bibir. Karena setelah ini hanya ada kau dan dia.
"Tapi jangan salah sangka. Aku tidak akan pernah menyerah padamu," tegasnya.
"Bahkan jika kau berlari hingga ke ujung dunia, aku akan tetap mengejarmu. Kita akan bersama, Glen. Pegang omonganku."
Glen mendengarnya menghirup udara lalu mengembuskannya perlahan-lahan, menyiapkan kalimat yang selanjutnya akan terlontar dari bibirnya. Kalimat yang Glen memilih untuk tidak mendengar.
Senyum Glen luntur. Benar, sudah saatnya.
\=\=\=\=\=\=\=\=
.
Hai Semua 👋
Kalian suka sama cerita ini? Kalau iya, jangan lupa like, komen, dan share, oke? Aku gak minta yang neko-neko kok. Lagian hidup gak perlu dibuat ribet, kalo suka kan udah tersedia tombol jempol, tinggal ditekan aja, donk? Itung-itung itu sebagai bentuk rasa menghargai kalian.
Dan aku gak akan tutup mata terhadap para pembaca yang sudah rajin kasih dukungan ke karyaku. Aku ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kalian, karena itu artinya kalian menghargai kerja keras aku. Ke depannya, tolong jangan bosen-bosen untuk terus support aku, ya? Sungguh, hal yang bagi kalian kecil dan sepele itu sudah buat aku bahagia banget dan tetap semangat untuk terus nulis.
Semangat untuk yang lagi marathon baca Asphyxia 💪
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Naturelight
ap motif Glen?🤔
2023-08-17
0
❀ᴅeᷟwͣiᷜʕ •́؈•̀ ₎
padahal dia kuat lho kok Yo diem diem Bae dipukuli
2020-11-27
2
Lucy_
emmm permasalahan orang ini apasih? kok gk Ada titik terangnya🙄🙄.... Glen juga kok pura² lemah gtu😶😶
2020-10-23
3