20. Cemetery

[ REVISI ]

\=\=\=\=\=\=\=\=

Apa itu tidak kekecilan?

Pertanyaan itu menggema di kepala Zeze dipicu oleh sebuah patung hitam bergaun putih dengan leher bertahtakan berlian yang menjulang satu meter lebih tinggi di atas mimbar.

Jangan sampai aku disuruh diet hanya untuk memakainya.

Zeze menoleh ke kiri, meminta keterangan pada Volta yang berdiri dengan tangan bertaut di belakang pinggang. Namun orang yang ditatap justru memiringkan kepala kepadanya.

Menghela napas, Zeze lalu menggeser bola matanya ke kanan, dimana ada Luna bersama aura tak bersahabatnya.

Merasakan lirikannya, Luna hanya membalas sekilas sebelum menatap lurus lagi ke depan.

Ruangan yang sedang mereka kunjungi itu adalah lemari pakaian terbesar yang pernah Zeze lihat. Jejeran patung memamerkan prototipe busana berbagai model dan warna rancangan eksklusif tiga desainer istana. Tokoh utamanya adalah sebuah patung hitam berbalut gaun putih yang berdiri di lantai yang tingginya unggul satu meter dari patung-patung di bawah. Di belakang patung itu terpasang kaca jendela besar penuh ukiran rumit bunga mawar yang saling terhubung melalui liukan tangkai. Sinar mentari menyusup masuk dan mengaktifkan kemilau berlian yang menghiasi gaun.

"Apakah Anda ingin mencobanya terlebih dahulu, Yang Mulia?"

Tawaran Volta membuat Zeze meneguk salivanya.

"Apa tidak ada yang lain?" Yang dapat memudahkanku bergerak jika ada serangan mendadak, tambahnya dalam hati.

Volta menguraikan jalinan tangan di belakang pinggangnya, bertanya dengan cemas, "Apakah gaun ini tidak sesuai dengan selera Anda?"

Suhu turun drastis dalam sekejap, sehingga memicu Volta bergidik. Zeze tahu penyebabnya. Gadis bangsawan yang berdiri di sebelah kanannya adalah satu-satunya pelaku. Sepertinya pertanyaan Zeze terlalu sensitif untuk ditanyakan di depannya.

Volta sedikit bergeser ke belakang Zeze untuk menegur Luna lewat tatapan mata. Luna hanya meliriknya sekilas lalu mendecak keras-keras.

Dengan perasaan waswas, Volta melirik Zeze, dan menghela napas lega saat sang Putri tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia tersinggung.

"Ini adalah gaun rancangan desainer yang dipilih Pangeran Kion secara pribadi," tandas Luna tiba-tiba. Lagi-lagi tatapan Volta harus memperingatinya.

"Oh." Hanya sebatas itu respons dari Zeze.

Volta kembali melirik Zeze, apa yang ia temukan masih ekspresi yang sama.

Zeze menoleh ke Volta. “Aku akan mencobanya nanti. Tidak ada lagi yang harus aku lakukan, bukan?”

Volta mengangguk kikuk, "Ya."

"Kalau begitu aku akan bersiap-siap ke sekolah," Zeze melenggang meninggalkan mereka.

Setelah raga Zeze menghilang di balik pintu, barulah Volta memulai terang-terangan. "Luna, aku tahu kau tidak menyukainya, tapi tolong jaga sikapmu untuk kebaikanmu sendiri."

Luna bergeming. Mata kelabunya menancap pada gaun putih di depan dengan sorot yang sulit diartikan.

Volta hanya bisa mendesah menghadapi sikap temannya, "Kita juga harus bersiap-siap."

Cuaca di hati Lady Luna Vierhent sedang buruk hari ini. Walaupun sudah mendung semenjak kedatangan Putri Ankhatia di Istana Timur, namun kini berada di level yang berbeda. Seolah guntur bisa menyambar dari tatapan matanya. Volta serta seluruh penghuni istana yakin temannya itu akan semakin memburuk besok malam, di hari ulang tahun Pangeran Kion yang ke-18.

Pada saat jam kosong di kelas, biasanya Luna akan antusias terhadap apa pun yang diobrolkan teman-teman bangsawannya. Meski ada kalanya Luna menyimpan rasa lelah pada cara kaumnya bersosialisasi, melewatkan buah bibir sama sekali bukan pilihan yang bijak jika kau ingin bertahan di pergaulan kelas atas. Namun, kali ini berbeda.

"Besok adalah pesta ulang tahun Yang Mulia Pangeran Kion, aku sangat menantikannya!"

"Pasti akan mewah sekali."

"Aku sudah menyiapkan gaun rancangan Madam Seraphine dari jauh-jauh hari."

"Yang Mulia pasti akan terlihat sangat tampan dengan pakaian kerajaannya."

“Hei, kau tidak lihat ada Lady Luna di sini?” Tegur seseorang, yang Luna sama sekali tidak ingin tahu siapa.

Gadis itu meneguk ludah, "Itu kenyataan, bukan? Aku hanya memujinya."

"Tidak masalah bila hanya sebatas pujian, asalkan jangan berharap lebih."

"Tentu saja! Kita semua tahu siapa yang paling cocok untuk mendampingi Yang Mulia." Gadis di sebelah kiri Luna menggoyang-goyangkan lengannya, "Benar kan, Luna?"

Luna mengangkat kepala, menatap linglung gadis itu. "B—benar."

Terus bersama mereka hanya akan membuatku gila. Luna bangkit dari kursinya, "Aku harus ke toilet."

"Perlu kami temani?"

Luna menggeleng, "Tidak, terima kasih." Ia memilih menghampiri Volta yang duduk dua meja di depannya. Gadis itu terlihat tengah mengukir sketsa gaun di sebuah sketch book.

Dia adalah bangsawan kelas atas, satu tingkat di atasku. Dan tidak satupun teman terlihat di mejanya. "Volta, mau ke kantin?"

Volta mengangkat wajah kepadanya, berpikir sebentar lalu mengangguk. “Lagipula tidak ada alasan untuk tetap berada di kelas di saat Mrs. Millens absen untuk menghadiri rapat guru wali kelas.”

“Aku ingin mencoba menu baru di kantin lantai Tiga,” ucap Luna waktu melangkahi pintu.

“Apa? Mereka sudah punya menu baru lagi? Selalu Lantai Tiga yang penuh inovasi. Membuat iri saja!"

Setibanya di tempat yang dituju, mereka malah menemukan pemandangan yang tidak seharusnya. Tunangan dari keturunan kerajaan yang mereka layani sedang duduk bersama sekumpulan murid yang dikenal sering melanggar tata tertib di Exousia, golongan murid dengan reputasi buruk.

Mata Luna memicing dalam penghakiman. Apa yang ada di pikirannya? Dia adalah tunangan dari seorang Kion Ropalo Zesto, bagaimana bisa dia bergaul dengan mereka? Mengapa orang sepertinya harus....

Tatapan Luna luruh ke lantai. Ia datang ke kantin untuk mendinginkan pikiran. Tidak ada alasan baginya untuk memikirkan hal-hal yang dapat menambah kegelapan suasana hatinya.

Luna menggiring Volta untuk menempati meja yang letaknya tak jauh dari meja mereka. Volta, yang duduk di seberangnya, kini malah mengabaikannya demi desain pakaian. Sebagai sesama penikmat dan penggiat fashion, itu adalah salah satu rutinitas Luna selain menonton rekaman fashion week dan video kritikus. Tetapi cuaca di hatinya sekarang sayangnya sedang tidak mendukung pertumbuhan bibit inspirasi.

"Aku tidak tahu kalian saling mengenal," kata seseorang di belakang Luna. Suaranya memberitahu Luna bahwa dia adalah putri kedua dari seorang pemilik pabrik kertas terbesar kedua di Aplistia, Charty Jevrinich.

"Sebenarnya kami sudah tidak tahan ingin mengobrol dengan Zeze mengingat kami sudah cukup lama tidak bertemu. Tapi Kai selalu melarang kami," balas seseorang, yang Luna yakini dari suaranya adalah putra kedua dari keluarga Marquess yang memimpin para tentara penjaga perbatasan di wilayah barat, Kaló Anaptires.

"Zeze?" Tanya Charty, nadanya bingung.

"Itu panggilan kami untuknya. Kau belum sadar dia tidak bisa menyebut huruf R dengan benar? Dia selalu nyaris menelan lidahnya sendiri." Timpal yang lain; Norofi Sima, putra pertama Earl Sima.

Zeze yang duduk di sebelah kiri Norofi langsung meninju lengannya. “Aw!” Rengek Norofi sambil mengusap-usap bagian yang ditinju.

"Berhenti mengolok-olok logat bicara seseorang!" Zeze mengomel. "Dan sebelum ke sini aku sudah berlatih."

“Zeze, lenganku! Lenganku tidak dapat digerakkan! Bagaimana ini!?”

Zeze hanya memutar matanya lalu lanjut mengoleskan kuteks merah ke kuku-kukunya yang panjang dan terawat.

"Kau sangat keren saat konfrontasi di kantin waktu itu, kau tahu," ungkap seseorang. Luna mengenali suaranya. Dia adalah putri sulung pengusaha permen karet ternama di Aplistia, Cardi Karmelo.

"Orang sejenis Velani memang harus sekali-kali diberi pelajaran. Terima kasih sudah mewakili keresahan kami, Ze," timpal Charty.

"Seharusnya kau tidak perlu menggosok gigimu pada saat itu, Ze," Kaló terbahak.

"Ngomong-ngomong, Roze. Apakah kau masih single?" Tanya seseorang. Dia adalah Raven Kronicles, putra kedua Viscount Kronicles. Senyuman menggoda menggantung di suaranya.

"Dia sudah punya pacar," sergah Kaló. "Yaitu aku. Jadi jangan coba-coba."

"Zeze bisa gila memiliki penipu ulung sepertimu sebagai pacarnya," cetus Norofi.

Zeze hanya menggeleng tak habis pikir pada tingkah Kaló dan Norofi. Dunia akan jauh lebih damai seandainya mereka mewarisi setidaknya satu persen saja ketenangan yang dimiliki oleh kakaknya yang duduk di kepala meja; lelaki bertopi merah yang membaur bersama teman lelakinya yang berjumlah lima orang, termasuk Raven. Sepuntung rokok yang masih menyala terjepit di antara bibir penuhnya. Zeze tahu dia sengaja duduk menjauh darinya agar asap rokok itu tidak membuatnya terganggu.

Sudah sepuluh menit sejak kedatangannya, Zeze hanya mendengar satu-dua patah kata saja darinya. Si Topi Merah hanya bicara seperlunya dan akan tetap mengunci mulut kecuali jika itu penting. Kaló dan Norofi harus belajar banyak darinya.

"Pagi semua," sapa Juni yang baru datang bersama Rhea yang tampak membawa sekotak makanan. Keduanya mendudukkan diri di hadapan Zeze.

Rhea meletakkan kotak berisi beraneka macam donat itu di meja. "Silakan," ujarnya dipadu senyum ramah.

“Wow! Terima kasih, Rhea. Kau tampak lebih cantik hari ini,” Kaló mengedip, tanpa menyadari raut tidak suka di wajah Norofi atas perlakuannya terhadap Rhea.

“Kalian juga tidak ada kelas?” Tanya Zeze.

“Bukankah semua guru yang menjadi wali kelas memiliki jadwal rapat hari ini?” Rhea menyahut.

“Well, ada pun apa gunanya? Hanya akan membuatku mati kebosanan,” dengus Juni. “Mereka perlu mengasah teknik presentasi mereka jika ingin membuatku tertarik mendengarkan.”

Hanya ada dua belas donat di dalam kotak, maka ada satu orang yang tidak akan kebagian. Di kotak itu tersisa satu, rasa matcha. Zeze cukup menyukainya, tapi ketika melihat si Topi Merah belum kebagian donat, ia pun mengurungkan niat untuk mengambilnya dan lebih memilih lanjut menikmati minuman.

Akan tetapi, tiba-tiba saja kotak itu telah hadir di hadapannya. Ternyata Kaló-lah yang menggesernya. "Mau, Ze?" Dia menawarkan.

Zeze melirik si Topi Merah, "Bagaimana dengan Kai?"

"Bos bilang ini untukmu. Mau?"

Zeze mengangguk lalu meraih donat itu.

Sedari tadi Luna—yang telah memindahkan bokongnya di samping Volta supaya bisa mendapatkan sudut terbaik dari ketiga belas orang itu—tak pernah melewatkan satu kata pun, sekalipun kelihatannya tidak peduli. Rasa penasaran terhadap calon pendamping dari orang yang sudah lama dikaguminya telah mengaktifkan insting penguntit Luna, yang Luna bahkan tidak menyangka dia memilikinya.

"Juni, kau sudah dengar? Orang-orang itu mulai lagi," kata seorang laki-laki, yang Luna tidak tahu siapa namanya. Tapi yang pasti, dia bagian dari geng berandalan itu. Tak sulit menebak mereka dari gaya berpakaiannya.

"Kali ini rumornya kau berkencan dengan seorang pengusaha kayu yang umurnya lebih dari 40 tahun."

"Hebat." Kaló mendecak sambil geleng-geleng kepala.

Juni hanya mengangkat bahu, "Seperti yang diharapkan, orang gila bebas berkicau semaunya."

"Rumor apa itu?" Tanya Zeze, kebingungan dan agak kaget.

"Sudah seperti koran pagi di sini," kata Kaló. "Mereka menyebar gosip bahwa Juni sering merayu pengusaha-pengusaha tua kaya raya demi mengincar harta mereka."

Kedua alis Zeze mencuat tinggi usai mendengarnya.

"Sudah menjadi rahasia umum di sini," tambah Rhea.

"Bagaimana pendapatmu mendengar hal ini?" Tanya Norofi.

"Ew..." Zeze bergidik dengan ekspresi jijik sehingga meledakkan tawa Kaló, Norofi, dan Rhea.

Ada apa dengannya? Luna mengerutkan kening. Dia baru saja menerima kabar bahwa temannya difitnah namun responsnya justru merendahkan. Dan teman-temannya yang lain menanggapinya dengan tawa! Aku sama sekali tidak bisa memahami cara bergaul orang sejenis mereka.

“Ternyata sebagai siswa sekolah ternama mereka tidak sepintar yang dikatakan. Jika rumor itu diciptakan olehku, akan lebih masuk akal bila membuatnya berkencan dengan pengusaha muda atau aktor muda terkenal. Melihat kecantikan wajahnya, dia bisa mendapatkan lebih dari seorang pria yang mungkin seumur dengan ayahnya sendiri,” cetus Zeze, yang makin membuat tawa mereka menjadi-jadi. Seorang Zeze yang selalu melihat semua hal dari perspektif logis justru adalah sumber komedinya.

"Itu hanya akan membuatnya tampak keren. Sedangkan rumor itu diciptakan untuk memperburuk citranya," timpal Rhea.

"Hah! Sudah kuduga jadinya akan seperti ini," Juni memutar bola matanya.

"Berhenti tertawa! Bukankah Juni teman kalian?" Charty mengomel.

"Justru itu," timpal Zeze dengan anggukan mantap.

"Pertemanan kalian sungguh aneh," Charty mengernyit.

Luna mengangguk dari kejauhan.

"Sebentar lagi pergantian jam. Kau sungguh tidak ingin menghadiri satu pun kelas, Ze?" Tanya Norofi.

"Tidak," balasnya cepat. Apa gunanya jika orang yang ingin kulihat tidak ada.

Absennya Glen membuatnya jengkel. Padahal waktu untuk menikmati kebebasan berinteraksi dengannya di lingkungan sekolah kian menipis, dan semuanya terbuang sia-sia gara-gara wanita sialan itu.

“Kalau begitu, bagaimana kalau ke studio karaoke?” Usul Kaló, menoleh ke Zeze, “Sebentar lagi bel istirahat. Kantin pasti akan ramai pengunjung,” dia membisikkan kalimat berikutnya, “Kau tahu, kata Kai, kita belum boleh terlihat akrab.”

"Tidak bisa," tolak Zeze sambil berdiri. "Ada tempat yang harus aku kunjungi."

"Ke mana?" Tanya Kaló.

Zeze menandaskan minumannya dengan sedotan terakhir sebelum menjawab sambil mengedik ke arah jendela, “Musim dingin.”

Hanya sebatas itu, tapi Juni, Rhea, Kaló, Norofi, dan Kai—yang sedari tadi menyimak di ujung meja—tahu pasti makna di baliknya.

Norofi tersenyum miris. "Hati-hati di jalan."

Zeze mengangguk. “Apa mobilmu bisa kupinjam?”

Norofi melempar kunci mobil ke Zeze. "Jangan sampai kena tilang. Ingat kau belum punya surat izin berkendara."

"Aku tahu." Zeze meraih jaket denimnya dari sandaran lalu pamit kepada semua, "Aku pergi."

Di penghujung waktu, mata Zeze bertemu dengan mata Kai—lelaki itu tengah mengembuskan asap rokoknya. Zeze mengangguk sebagai tanda pamit, dan dibalas olehnya dengan gerakan serupa.

Sebenarnya ia bisa mengunjungi tempat tersebut kapan saja semaunya. Namun waktu spesial adalah pada saat musim dingin, terlebih saat salju pertama turun, yang kebetulan jatuh tepat pada sore hari ini.

Musim dingin adalah kapan ia melihat mereka bertiga untuk terakhir kalinya dalam tahun yang berbeda. Ia sempat curiga bahwa mereka janjian atau semacamnya. Jika itu benar, sepertinya mereka mempunyai selera yang buruk dalam memilih waktu kematian.

Zeze membaringkan sebuket mawar merah di atas makam dengan nisan berbentuk salib bertuliskan 'Afrodi'. Tidak ada tanggal lahir yang terukir di sana karena memang tidak ada yang tahu. Hanya ada tahun lahir dan tanggal wafatnya, 2109 - 21 Desember 2130. Lima tahun sudah dia tertidur di balik tumpukan tanah itu.

Tak lupa pula dengan dua makam lainnya. Diletakkannya mawar merah masing-masing satu buket di dua nisan salib yang mengukir tulisan ‘Sageta, 25 November 2112 – 21 Desember 2133’ dan ‘Tera, 21 Januari 2109 – 21 Desember 2129’.

Zeze tidak berdoa. Berharap adalah satu-satunya hal yang menurutnya layak untuk ia lakukan; berharap supaya Tuhan bersedia meringankan siksaan-Nya. Karena ia sadar doa dari manusia sepertinya nyaris mustahil untuk dikabulkan.

Berdiri di hadapan ketiga makam itu, kenangan bak film mulai berputar dan mengisi tiap sudut kepalanya. Setelah puas menikmati film dengan genre campuran itu, ia pindah ke belakang batu nisan Afrodi, duduk di depannya dan menyandarkan punggung yang sakit di batu nisan, memeluk lutut seakan itu adalah satu-satunya sumber penghangat di tengah dingin.

"Empat hari lalu aku bertemu denganmu, dengan Tera dan juga Kak Sageta." Zeze memulai. Suaranya masih terjaga. Di saat yang sama, setetes darah terjun dari lubang hidungnya.

"Aku kira kau akan mengajakku bergabung denganmu seperti delapan tahun yang lalu." Ia mengeratkan pelukan pada lututnya.

"Ternyata aku salah."

Embusan napasnya melahirkan uap panjang.

“Mengapa kau bersikeras menahanku di sini? Jika kau bahkan lebih memilih untuk pergi, aku yakin kau pasti juga sudah muak dengan dunia ini. Tapi, mengapa aku tidak boleh ikut denganmu? Apa yang kau harap akan aku lakukan di sini?”

Zeze menidurkan kepalanya di atas lutut, "Apa yang harus aku lakukan?" Ia meraup salju dalam genggaman dan menahannya di hidung yang terus meneteskan darah.

Tak terasa langit telah menggelap. Dinginnya salju kini menyatu dengan dinginnya malam. Namun Zeze masih enggan beranjak dari duduk.

Makam Sageta—makam di sebelah makam Afrodi—ditatapnya dengan gamang. Telah genap satu tahun perempuan itu meninggalkan dunia yang fana. Sudut mata Zeze berkedut-kedut. Tak ada yang keluar; air matanya telah membeku di malam itu, malam di mana semuanya berakhir di kaki Gunung Gorgon.

Ia tenggelamkan wajahnya di lutut. "Maaf," suaranya terdengar amat tersiksa. "Maaf, Ge, aku tidak bisa menjaga anakmu... bayimu...."

Pelukannya di lutut semakin kuat, seolah-olah dengan memeluknya dapat menekan rasa bersalahnya. Walau ia tahu itu bukan kesalahannya, namun penyesalan karena tidak mampu mempertahankan satu-satunya peninggalan Sageta, permintaan terakhirnya, membuatnya ingin menghilang saja dari muka bumi.

"Jaga dia. Namanya... Lampsi. Tolong... kumohon, Zeze, walau hanya dia. Kumohon..."

Zeze menjambak rambutnya sendiri. Masih belum ada air mata, hanya jerit tertahan yang malah lebih menyiksa dari tangis.

Ia sudah tidak peduli dengan gelapnya malam. Ia sudah tidak peduli dengan beban salju di atas kepalanya. Ia ingin ditenggelamkan oleh lautan putih itu, agar mereka dapat menutupi rasa malunya.

Kalau Tera memergokinya dalam keadaan semenyedihkan sekarang, lelaki berambut merah itu pasti akan sigap memarahinya dengan suara lembutnya itu. Kelewat lembut hingga bahkan sulit untuk mengatakan apakah dia sungguh marah. Amarah sama sekali tidak cocok untuk Tera.

Bunyi gemeresik terdengar merobek sunyi. “Kukira hantu,” Suara bernada rendah menyusul tak berselang lama. Itu adalah satu-satunya hal yang berhasil membuat wajah Zeze terangkat dari peraduannya.

Zeze menyipitkan mata. Ia takut jika pemandangan itu hanya delusi yang bermanifestasi dari hasratnya untuk melupakan sedih. "Glen?"

“Apa?” Dia membalas. Itu berarti semua yang terjadi adalah sungguhan. Lelaki itu bersandar ke pohon enam meter di depan Zeze. Tubuhnya terlindungi di balik jaket kulit hitam dan kaus berwarna hijau gelap. Tangan kirinya tenggelam di dalam saku celana jeans, sementara tangan kanannya menggenggam sebuket mawar putih.

Zeze meluruskan kakinya, menciptakan bekas lintasan pada lapisan salju, "Kenapa kau tidak hadir di kelas? Apa kau membolos? Keperluan misi?"

Glen memiringkan kepala, "Sepertinya pertanyaan itu lebih cocok diberikan kepadamu yang menghilang tanpa kabar selama tiga hari penuh."

"Apa kau kesepian?" Zeze menggodanya sambil mengulum senyum.

Glen tidak menyahut. Detik demi detik berlalu dan ia hanya menatap Zeze dengan sorot ambigu. Persis di momen itu Zeze tersadar bahwa warna mata Glen telah kembali ke warna aslinya. Hijau zamrud. Warna yang indah, warna favoritnya selain merah dan hitam.

"Mengapa kau memakai lensa kontak?"

"Aku rabun jauh."

"Tapi kau memakai kacamata juga."

"Lebih mudah bagiku untuk berjalan tegak jika ada sesuatu di wajahku."

“Kalau begitu gunakan saja kacamata berlensa minus? Warna matamu cantik. Aku suka.”

Glen tidak berbicara lagi.

Aksi saling tatap itu terulang dan berlangsung lebih lama, kemudian Glen berjalan ke makam di sebelah kiri makam Afrodi, berlutut dan meletakkan mawar putih di atas tumpukan tanah itu.

Zeze memperhatikan semuanya sampai Glen kembali bersandar di pohon semula.

"Langit sudah gelap, bukankah begitu?" Glen menyinggung.

Zeze mengernyitkan dahi. Jadi kenapa kalau sudah gelap? Meski bingung dengan arah pembicaraan, ia tetap mengangguk sebagai jawaban.

Hening menyatu dengan dingin. Kedua insan itu kembali saling tatap.

"Tidak berniat pulang dalam waktu dekat?" Tanya Glen akhirnya.

Zeze menunduk, susah payah menahan tawa. Apa sesulit itu berbicara terus terang?

Setelah berhasil menguasai ekspresinya, Zeze mengangkat wajah dan bertanya, "Siapa itu?" Dagunya menuding ke arah makam yang sebelumnya diziarahi oleh Glen.

Hening lagi. Glen masih enggan menjawab untuk waktu yang terbilang lama, sampai lelaki itu mendudukkan dirinya di tanah dengan satu kaki terulur ke depan.

Zeze masih menunggu. Menunggu dan menunggu. Entah sejak kapan berbicara dengan seorang Glen memerlukan banyak kesabaran untuk dikuras. Meski kadang pikiran impulsif Zeze berteriak lebih keras di dalam kepalanya dan menyuruhnya untuk menerjang lelaki itu di leher dan menggoyang-goyangkan. Zeze segera menggeleng pada bayangan itu sambil menggigit tawa.

"Kau tahu siapa," jawab Glen kemudian.

Zeze berkedip, tidak mengerti. Seseorang yang kami kenal telah meninggal dunia... Ia mulai membayangkan nama serta wajah yang memungkinkan.

“Seseorang yang telah kau bunuh.”

Daftar nama yang telah Zeze susun di dalam kepalanya runtuh dalam sekejap mata.

Glen terkekeh melihat ekspresi syoknya. “Tidak ingat? Yah, kenapa aku tidak terkejut? Lagipula, orang sepertimu memangnya sudi mengingat mereka yang telah kau bunuh?”

Iris hijau itu memerangkap dan membekukan jiwa Zeze. Guratan-guratan halus tercipta di sudut matanya saat ia menunduk, membiarkan bayang-bayang menutupi wajahnya. Glen melihatnya, tapi ia sama sekali tidak merasa menyesal atas apa yang telah ia katakan. Gadis itu pantas mendapatkannya. Dia perlu tahu efek dari semua perbuatan kejinya.

Tak berselang lama, Zeze berdiri sambil menepuk-nepuk bagian belakang celana jeans-nya dari salju. Ketika dia mengangkat wajahnya, air muka Glen seketika berubah.

Sebuah tatapan yang sangat dingin, berbahaya, mengancam, seolah dia siap menerkamnya pada detik itu.

Tanpa sepatah kata, Zeze berbalik pergi. Ia berpaling, berpaling dari Glen, sesuatu yang jarang sekali dapat ia lakukan. Tapi kali ini ia menunjukkan punggungnya untuk lelaki itu, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

\=\=\=\=\=\=\=\=

Gak kerasa Asphyxia sudah masuk chapter ke-20. Untuk para pembaca, terlebih lagi yang suka dengan novel ini, jangan lupa kasih apresiasi dan dukungannya lewat like dan komennya, oke? Jempolku yang sudah keriting ini mengharapkan hadiah dari kalian 😅 Terima kasih banyak.

Scroll dan lanjut baca. Enjoy dan semangat untuk yang marathon 💪

Terpopuler

Comments

penyuka novel <3 :D

penyuka novel <3 :D

otak aku gak nyampe ama nih novel tapi aku suka...

2022-02-07

4

Salma

Salma

sebnarnya ap hbungan glen dan zeze??
hubungan mrka msih terkesan misterius

2020-03-01

7

lihat semua
Episodes
1 1. Burn • [ VOLUME 1 ]
2 2. Started
3 3. Cracked Mask
4 4. Fiancé
5 5. Whisper
6 6. Academy
7 7. Empty Chair
8 8. Untitled
9 9. Goddess
10 10. Orange
11 11. Idiot
12 12. Red Rose
13 13. Smooth Criminal
14 14. New Toy
15 15. Heaven Is A Place Where Nothing Ever Happens
16 16. Punishment
17 17. Misner Space
18 18. Light
19 19. Deal
20 20. Cemetery
21 21. Rozeale Ankhatia
22 22. If It Was You
23 23. Old Friend
24 24. Falling
25 25. Imbalance
26 26. Struggle
27 27. The Healer
28 28. Reset
29 29. Fairytale
30 30. Forgotten
31 31. Debutante
32 32. Silly
33 33. Artemis
34 34. Partner In Crime
35 35. Nuts
36 36. Framed
37 37. Cola
38 38. Bored
39 39. Variable
40 40. Help!
41 41. Zero
42 42. Trick Or Treat?
43 43. The Game
44 44. Chapter Two
45 45. Continued
46 pengumuman: CAST
47 46. Discussion • [ VOLUME 2 ]
48 47. Lust
49 48. Home
50 49. Right Side
51 50. Riddle
52 51. Decode
53 52. Sweet Seventeen
54 53. Spring Cup
55 54. Mystery
56 55. Mr. Rious
57 56. Interrogation
58 57. Database
59 58. Dancing
60 59. Suspect
61 60. May, 1st
62 61. UNO
63 62. Damn
64 63. Wait For Me
65 64. Sacrifice
66 65. Bloody Rose
67 66. Raflesia
68 67. Lottery
69 68. Racing
70 69. Asanatha
71 70. Bury The Hatchet
72 71. Tree
73 72. The Winner
74 73. Healed
75 74. Reminisce
76 75. Andromeda
77 76. Grim
78 77. Farewell
79 78. Encounter
80 79. Sleep
81 80. Once Upon A Time
82 81. Prison
83 82. Open
84 83. Falsity
85 84. Second Meeting
86 85. Axiom
87 86. Helpless
88 87. Misfortune
89 88. Animus
90 CHAPTER BONUS [1-A]
91 CHAPTER BONUS [1-B]
92 CHAPTER BONUS [2-A]
93 CHAPTER BONUS [2-B]
94 CHAPTER BONUS [3-A]
95 CHAPTER BONUS [3-B]
96 CHAPTER BONUS [4-A]
97 CHAPTER BONUS [4-B]
98 89. Funeral • [ VOLUME 3 ]
99 90. Crestfallen
100 91. Agreement
101 92. Pizza Delivery (Part 1)
102 93. Pizza Delivery (Part 2)
103 94. Narrow (Part 1)
104 95. Narrow (Part 2)
105 96. Possessed
106 97. Sorrow (Part 1)
107 98. Sorrow (Part 2)
108 99. Jack O'Lantern
109 100. Beginning Of The End
110 101. Laxity
111 102. Savior
112 103. Hostage
113 104. Bad Idea
114 105. Underestimate
115 106. Memorials
116 107. Solving
117 108. Misunderstand
118 109. Curiosity Killed The Cat
119 110. Agony
120 111. Distance
121 112. Foolish
122 113. Fall To Pieces
123 114. Aphrodite
124 115. Loosing Grip
125 116. Insanity
126 117. Ruthless
127 118. Ignorance
128 119. Hypocrisy
129 120. Complicated
130 121. Dignity
131 122. Stupidity
132 123. Catacombs
133 124. Absurd
134 125. Backlash
135 126. Vanished
136 127. Break Free
137 128. Darkness In The Light
138 129. Ambush On All Sides
139 130. Mare's Nest
140 131. Tenet
141 132. Clandestine
142 133. Judas
143 134. Sinister
144 135. Desire
145 136. Ares
146 137. Embrace
147 138. Up In The Air
148 139. Prejudice
149 pengumuman: LIST TOKOH
150 140. Diverge
151 141. Noticed
152 142. Float Kiss
153 143. Liars
154 144. Reunion
155 145. The Answer
156 146. Liberated
157 147. Carnage
158 148. Vendetta
159 149. 1 Stone For 2 Birds
160 150. Better Place
161 151. Pleasure
162 152. Trust & Hope
163 153. Rest
164 154. Good & Bad News
165 155. Bald Cypress
166 156. Leave
167 157. Painful
168 158. Invitation
169 159. A Guest
170 160. Piece Of Art
171 161. Aware
172 162. Journey
173 163. Inland
174 164. Westafo Hall
175 pengumuman: BREAK
176 165. Madam Derba
177 166. Good Side
178 167. The Stage
179 168. Breakfast • [ VOLUME 4 ]
180 169. Deception
181 170. Evaluate
182 171. Dissent
183 172. Gratuitous
184 173. Departure
185 174. Voyage
186 175. Almost
187 176. Anger
188 177. Scratches
189 178. Discover
190 179. Out of Control
191 180. Perforce
192 181. Her
193 182. Myth
194 183. Him
195 184. Bleeding
196 185. Perfidy
197 186. Take Me Out of This Town
Episodes

Updated 197 Episodes

1
1. Burn • [ VOLUME 1 ]
2
2. Started
3
3. Cracked Mask
4
4. Fiancé
5
5. Whisper
6
6. Academy
7
7. Empty Chair
8
8. Untitled
9
9. Goddess
10
10. Orange
11
11. Idiot
12
12. Red Rose
13
13. Smooth Criminal
14
14. New Toy
15
15. Heaven Is A Place Where Nothing Ever Happens
16
16. Punishment
17
17. Misner Space
18
18. Light
19
19. Deal
20
20. Cemetery
21
21. Rozeale Ankhatia
22
22. If It Was You
23
23. Old Friend
24
24. Falling
25
25. Imbalance
26
26. Struggle
27
27. The Healer
28
28. Reset
29
29. Fairytale
30
30. Forgotten
31
31. Debutante
32
32. Silly
33
33. Artemis
34
34. Partner In Crime
35
35. Nuts
36
36. Framed
37
37. Cola
38
38. Bored
39
39. Variable
40
40. Help!
41
41. Zero
42
42. Trick Or Treat?
43
43. The Game
44
44. Chapter Two
45
45. Continued
46
pengumuman: CAST
47
46. Discussion • [ VOLUME 2 ]
48
47. Lust
49
48. Home
50
49. Right Side
51
50. Riddle
52
51. Decode
53
52. Sweet Seventeen
54
53. Spring Cup
55
54. Mystery
56
55. Mr. Rious
57
56. Interrogation
58
57. Database
59
58. Dancing
60
59. Suspect
61
60. May, 1st
62
61. UNO
63
62. Damn
64
63. Wait For Me
65
64. Sacrifice
66
65. Bloody Rose
67
66. Raflesia
68
67. Lottery
69
68. Racing
70
69. Asanatha
71
70. Bury The Hatchet
72
71. Tree
73
72. The Winner
74
73. Healed
75
74. Reminisce
76
75. Andromeda
77
76. Grim
78
77. Farewell
79
78. Encounter
80
79. Sleep
81
80. Once Upon A Time
82
81. Prison
83
82. Open
84
83. Falsity
85
84. Second Meeting
86
85. Axiom
87
86. Helpless
88
87. Misfortune
89
88. Animus
90
CHAPTER BONUS [1-A]
91
CHAPTER BONUS [1-B]
92
CHAPTER BONUS [2-A]
93
CHAPTER BONUS [2-B]
94
CHAPTER BONUS [3-A]
95
CHAPTER BONUS [3-B]
96
CHAPTER BONUS [4-A]
97
CHAPTER BONUS [4-B]
98
89. Funeral • [ VOLUME 3 ]
99
90. Crestfallen
100
91. Agreement
101
92. Pizza Delivery (Part 1)
102
93. Pizza Delivery (Part 2)
103
94. Narrow (Part 1)
104
95. Narrow (Part 2)
105
96. Possessed
106
97. Sorrow (Part 1)
107
98. Sorrow (Part 2)
108
99. Jack O'Lantern
109
100. Beginning Of The End
110
101. Laxity
111
102. Savior
112
103. Hostage
113
104. Bad Idea
114
105. Underestimate
115
106. Memorials
116
107. Solving
117
108. Misunderstand
118
109. Curiosity Killed The Cat
119
110. Agony
120
111. Distance
121
112. Foolish
122
113. Fall To Pieces
123
114. Aphrodite
124
115. Loosing Grip
125
116. Insanity
126
117. Ruthless
127
118. Ignorance
128
119. Hypocrisy
129
120. Complicated
130
121. Dignity
131
122. Stupidity
132
123. Catacombs
133
124. Absurd
134
125. Backlash
135
126. Vanished
136
127. Break Free
137
128. Darkness In The Light
138
129. Ambush On All Sides
139
130. Mare's Nest
140
131. Tenet
141
132. Clandestine
142
133. Judas
143
134. Sinister
144
135. Desire
145
136. Ares
146
137. Embrace
147
138. Up In The Air
148
139. Prejudice
149
pengumuman: LIST TOKOH
150
140. Diverge
151
141. Noticed
152
142. Float Kiss
153
143. Liars
154
144. Reunion
155
145. The Answer
156
146. Liberated
157
147. Carnage
158
148. Vendetta
159
149. 1 Stone For 2 Birds
160
150. Better Place
161
151. Pleasure
162
152. Trust & Hope
163
153. Rest
164
154. Good & Bad News
165
155. Bald Cypress
166
156. Leave
167
157. Painful
168
158. Invitation
169
159. A Guest
170
160. Piece Of Art
171
161. Aware
172
162. Journey
173
163. Inland
174
164. Westafo Hall
175
pengumuman: BREAK
176
165. Madam Derba
177
166. Good Side
178
167. The Stage
179
168. Breakfast • [ VOLUME 4 ]
180
169. Deception
181
170. Evaluate
182
171. Dissent
183
172. Gratuitous
184
173. Departure
185
174. Voyage
186
175. Almost
187
176. Anger
188
177. Scratches
189
178. Discover
190
179. Out of Control
191
180. Perforce
192
181. Her
193
182. Myth
194
183. Him
195
184. Bleeding
196
185. Perfidy
197
186. Take Me Out of This Town

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!