[ REVISI ]
\=\=\=\=\=\=\=\=
Apa itu tidak kekecilan?
Pertanyaan itu menggema di kepala Zeze dipicu oleh sebuah patung hitam bergaun putih dengan leher bertahtakan berlian yang menjulang satu meter lebih tinggi di atas mimbar.
Jangan sampai aku disuruh diet hanya untuk memakainya.
Zeze menoleh ke kiri, meminta keterangan pada Volta yang berdiri dengan tangan bertaut di belakang pinggang. Namun orang yang ditatap justru memiringkan kepala kepadanya.
Menghela napas, Zeze lalu menggeser bola matanya ke kanan, dimana ada Luna bersama aura tak bersahabatnya.
Merasakan lirikannya, Luna hanya membalas sekilas sebelum menatap lurus lagi ke depan.
Ruangan yang sedang mereka kunjungi itu adalah lemari pakaian terbesar yang pernah Zeze lihat. Jejeran patung memamerkan prototipe busana berbagai model dan warna rancangan eksklusif tiga desainer istana. Tokoh utamanya adalah sebuah patung hitam berbalut gaun putih yang berdiri di lantai yang tingginya unggul satu meter dari patung-patung di bawah. Di belakang patung itu terpasang kaca jendela besar penuh ukiran rumit bunga mawar yang saling terhubung melalui liukan tangkai. Sinar mentari menyusup masuk dan mengaktifkan kemilau berlian yang menghiasi gaun.
"Apakah Anda ingin mencobanya terlebih dahulu, Yang Mulia?"
Tawaran Volta membuat Zeze meneguk salivanya.
"Apa tidak ada yang lain?" Yang dapat memudahkanku bergerak jika ada serangan mendadak, tambahnya dalam hati.
Volta menguraikan jalinan tangan di belakang pinggangnya, bertanya dengan cemas, "Apakah gaun ini tidak sesuai dengan selera Anda?"
Suhu turun drastis dalam sekejap, sehingga memicu Volta bergidik. Zeze tahu penyebabnya. Gadis bangsawan yang berdiri di sebelah kanannya adalah satu-satunya pelaku. Sepertinya pertanyaan Zeze terlalu sensitif untuk ditanyakan di depannya.
Volta sedikit bergeser ke belakang Zeze untuk menegur Luna lewat tatapan mata. Luna hanya meliriknya sekilas lalu mendecak keras-keras.
Dengan perasaan waswas, Volta melirik Zeze, dan menghela napas lega saat sang Putri tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia tersinggung.
"Ini adalah gaun rancangan desainer yang dipilih Pangeran Kion secara pribadi," tandas Luna tiba-tiba. Lagi-lagi tatapan Volta harus memperingatinya.
"Oh." Hanya sebatas itu respons dari Zeze.
Volta kembali melirik Zeze, apa yang ia temukan masih ekspresi yang sama.
Zeze menoleh ke Volta. “Aku akan mencobanya nanti. Tidak ada lagi yang harus aku lakukan, bukan?”
Volta mengangguk kikuk, "Ya."
"Kalau begitu aku akan bersiap-siap ke sekolah," Zeze melenggang meninggalkan mereka.
Setelah raga Zeze menghilang di balik pintu, barulah Volta memulai terang-terangan. "Luna, aku tahu kau tidak menyukainya, tapi tolong jaga sikapmu untuk kebaikanmu sendiri."
Luna bergeming. Mata kelabunya menancap pada gaun putih di depan dengan sorot yang sulit diartikan.
Volta hanya bisa mendesah menghadapi sikap temannya, "Kita juga harus bersiap-siap."
Cuaca di hati Lady Luna Vierhent sedang buruk hari ini. Walaupun sudah mendung semenjak kedatangan Putri Ankhatia di Istana Timur, namun kini berada di level yang berbeda. Seolah guntur bisa menyambar dari tatapan matanya. Volta serta seluruh penghuni istana yakin temannya itu akan semakin memburuk besok malam, di hari ulang tahun Pangeran Kion yang ke-18.
Pada saat jam kosong di kelas, biasanya Luna akan antusias terhadap apa pun yang diobrolkan teman-teman bangsawannya. Meski ada kalanya Luna menyimpan rasa lelah pada cara kaumnya bersosialisasi, melewatkan buah bibir sama sekali bukan pilihan yang bijak jika kau ingin bertahan di pergaulan kelas atas. Namun, kali ini berbeda.
"Besok adalah pesta ulang tahun Yang Mulia Pangeran Kion, aku sangat menantikannya!"
"Pasti akan mewah sekali."
"Aku sudah menyiapkan gaun rancangan Madam Seraphine dari jauh-jauh hari."
"Yang Mulia pasti akan terlihat sangat tampan dengan pakaian kerajaannya."
“Hei, kau tidak lihat ada Lady Luna di sini?” Tegur seseorang, yang Luna sama sekali tidak ingin tahu siapa.
Gadis itu meneguk ludah, "Itu kenyataan, bukan? Aku hanya memujinya."
"Tidak masalah bila hanya sebatas pujian, asalkan jangan berharap lebih."
"Tentu saja! Kita semua tahu siapa yang paling cocok untuk mendampingi Yang Mulia." Gadis di sebelah kiri Luna menggoyang-goyangkan lengannya, "Benar kan, Luna?"
Luna mengangkat kepala, menatap linglung gadis itu. "B—benar."
Terus bersama mereka hanya akan membuatku gila. Luna bangkit dari kursinya, "Aku harus ke toilet."
"Perlu kami temani?"
Luna menggeleng, "Tidak, terima kasih." Ia memilih menghampiri Volta yang duduk dua meja di depannya. Gadis itu terlihat tengah mengukir sketsa gaun di sebuah sketch book.
Dia adalah bangsawan kelas atas, satu tingkat di atasku. Dan tidak satupun teman terlihat di mejanya. "Volta, mau ke kantin?"
Volta mengangkat wajah kepadanya, berpikir sebentar lalu mengangguk. “Lagipula tidak ada alasan untuk tetap berada di kelas di saat Mrs. Millens absen untuk menghadiri rapat guru wali kelas.”
“Aku ingin mencoba menu baru di kantin lantai Tiga,” ucap Luna waktu melangkahi pintu.
“Apa? Mereka sudah punya menu baru lagi? Selalu Lantai Tiga yang penuh inovasi. Membuat iri saja!"
Setibanya di tempat yang dituju, mereka malah menemukan pemandangan yang tidak seharusnya. Tunangan dari keturunan kerajaan yang mereka layani sedang duduk bersama sekumpulan murid yang dikenal sering melanggar tata tertib di Exousia, golongan murid dengan reputasi buruk.
Mata Luna memicing dalam penghakiman. Apa yang ada di pikirannya? Dia adalah tunangan dari seorang Kion Ropalo Zesto, bagaimana bisa dia bergaul dengan mereka? Mengapa orang sepertinya harus....
Tatapan Luna luruh ke lantai. Ia datang ke kantin untuk mendinginkan pikiran. Tidak ada alasan baginya untuk memikirkan hal-hal yang dapat menambah kegelapan suasana hatinya.
Luna menggiring Volta untuk menempati meja yang letaknya tak jauh dari meja mereka. Volta, yang duduk di seberangnya, kini malah mengabaikannya demi desain pakaian. Sebagai sesama penikmat dan penggiat fashion, itu adalah salah satu rutinitas Luna selain menonton rekaman fashion week dan video kritikus. Tetapi cuaca di hatinya sekarang sayangnya sedang tidak mendukung pertumbuhan bibit inspirasi.
"Aku tidak tahu kalian saling mengenal," kata seseorang di belakang Luna. Suaranya memberitahu Luna bahwa dia adalah putri kedua dari seorang pemilik pabrik kertas terbesar kedua di Aplistia, Charty Jevrinich.
"Sebenarnya kami sudah tidak tahan ingin mengobrol dengan Zeze mengingat kami sudah cukup lama tidak bertemu. Tapi Kai selalu melarang kami," balas seseorang, yang Luna yakini dari suaranya adalah putra kedua dari keluarga Marquess yang memimpin para tentara penjaga perbatasan di wilayah barat, Kaló Anaptires.
"Zeze?" Tanya Charty, nadanya bingung.
"Itu panggilan kami untuknya. Kau belum sadar dia tidak bisa menyebut huruf R dengan benar? Dia selalu nyaris menelan lidahnya sendiri." Timpal yang lain; Norofi Sima, putra pertama Earl Sima.
Zeze yang duduk di sebelah kiri Norofi langsung meninju lengannya. “Aw!” Rengek Norofi sambil mengusap-usap bagian yang ditinju.
"Berhenti mengolok-olok logat bicara seseorang!" Zeze mengomel. "Dan sebelum ke sini aku sudah berlatih."
“Zeze, lenganku! Lenganku tidak dapat digerakkan! Bagaimana ini!?”
Zeze hanya memutar matanya lalu lanjut mengoleskan kuteks merah ke kuku-kukunya yang panjang dan terawat.
"Kau sangat keren saat konfrontasi di kantin waktu itu, kau tahu," ungkap seseorang. Luna mengenali suaranya. Dia adalah putri sulung pengusaha permen karet ternama di Aplistia, Cardi Karmelo.
"Orang sejenis Velani memang harus sekali-kali diberi pelajaran. Terima kasih sudah mewakili keresahan kami, Ze," timpal Charty.
"Seharusnya kau tidak perlu menggosok gigimu pada saat itu, Ze," Kaló terbahak.
"Ngomong-ngomong, Roze. Apakah kau masih single?" Tanya seseorang. Dia adalah Raven Kronicles, putra kedua Viscount Kronicles. Senyuman menggoda menggantung di suaranya.
"Dia sudah punya pacar," sergah Kaló. "Yaitu aku. Jadi jangan coba-coba."
"Zeze bisa gila memiliki penipu ulung sepertimu sebagai pacarnya," cetus Norofi.
Zeze hanya menggeleng tak habis pikir pada tingkah Kaló dan Norofi. Dunia akan jauh lebih damai seandainya mereka mewarisi setidaknya satu persen saja ketenangan yang dimiliki oleh kakaknya yang duduk di kepala meja; lelaki bertopi merah yang membaur bersama teman lelakinya yang berjumlah lima orang, termasuk Raven. Sepuntung rokok yang masih menyala terjepit di antara bibir penuhnya. Zeze tahu dia sengaja duduk menjauh darinya agar asap rokok itu tidak membuatnya terganggu.
Sudah sepuluh menit sejak kedatangannya, Zeze hanya mendengar satu-dua patah kata saja darinya. Si Topi Merah hanya bicara seperlunya dan akan tetap mengunci mulut kecuali jika itu penting. Kaló dan Norofi harus belajar banyak darinya.
"Pagi semua," sapa Juni yang baru datang bersama Rhea yang tampak membawa sekotak makanan. Keduanya mendudukkan diri di hadapan Zeze.
Rhea meletakkan kotak berisi beraneka macam donat itu di meja. "Silakan," ujarnya dipadu senyum ramah.
“Wow! Terima kasih, Rhea. Kau tampak lebih cantik hari ini,” Kaló mengedip, tanpa menyadari raut tidak suka di wajah Norofi atas perlakuannya terhadap Rhea.
“Kalian juga tidak ada kelas?” Tanya Zeze.
“Bukankah semua guru yang menjadi wali kelas memiliki jadwal rapat hari ini?” Rhea menyahut.
“Well, ada pun apa gunanya? Hanya akan membuatku mati kebosanan,” dengus Juni. “Mereka perlu mengasah teknik presentasi mereka jika ingin membuatku tertarik mendengarkan.”
Hanya ada dua belas donat di dalam kotak, maka ada satu orang yang tidak akan kebagian. Di kotak itu tersisa satu, rasa matcha. Zeze cukup menyukainya, tapi ketika melihat si Topi Merah belum kebagian donat, ia pun mengurungkan niat untuk mengambilnya dan lebih memilih lanjut menikmati minuman.
Akan tetapi, tiba-tiba saja kotak itu telah hadir di hadapannya. Ternyata Kaló-lah yang menggesernya. "Mau, Ze?" Dia menawarkan.
Zeze melirik si Topi Merah, "Bagaimana dengan Kai?"
"Bos bilang ini untukmu. Mau?"
Zeze mengangguk lalu meraih donat itu.
Sedari tadi Luna—yang telah memindahkan bokongnya di samping Volta supaya bisa mendapatkan sudut terbaik dari ketiga belas orang itu—tak pernah melewatkan satu kata pun, sekalipun kelihatannya tidak peduli. Rasa penasaran terhadap calon pendamping dari orang yang sudah lama dikaguminya telah mengaktifkan insting penguntit Luna, yang Luna bahkan tidak menyangka dia memilikinya.
"Juni, kau sudah dengar? Orang-orang itu mulai lagi," kata seorang laki-laki, yang Luna tidak tahu siapa namanya. Tapi yang pasti, dia bagian dari geng berandalan itu. Tak sulit menebak mereka dari gaya berpakaiannya.
"Kali ini rumornya kau berkencan dengan seorang pengusaha kayu yang umurnya lebih dari 40 tahun."
"Hebat." Kaló mendecak sambil geleng-geleng kepala.
Juni hanya mengangkat bahu, "Seperti yang diharapkan, orang gila bebas berkicau semaunya."
"Rumor apa itu?" Tanya Zeze, kebingungan dan agak kaget.
"Sudah seperti koran pagi di sini," kata Kaló. "Mereka menyebar gosip bahwa Juni sering merayu pengusaha-pengusaha tua kaya raya demi mengincar harta mereka."
Kedua alis Zeze mencuat tinggi usai mendengarnya.
"Sudah menjadi rahasia umum di sini," tambah Rhea.
"Bagaimana pendapatmu mendengar hal ini?" Tanya Norofi.
"Ew..." Zeze bergidik dengan ekspresi jijik sehingga meledakkan tawa Kaló, Norofi, dan Rhea.
Ada apa dengannya? Luna mengerutkan kening. Dia baru saja menerima kabar bahwa temannya difitnah namun responsnya justru merendahkan. Dan teman-temannya yang lain menanggapinya dengan tawa! Aku sama sekali tidak bisa memahami cara bergaul orang sejenis mereka.
“Ternyata sebagai siswa sekolah ternama mereka tidak sepintar yang dikatakan. Jika rumor itu diciptakan olehku, akan lebih masuk akal bila membuatnya berkencan dengan pengusaha muda atau aktor muda terkenal. Melihat kecantikan wajahnya, dia bisa mendapatkan lebih dari seorang pria yang mungkin seumur dengan ayahnya sendiri,” cetus Zeze, yang makin membuat tawa mereka menjadi-jadi. Seorang Zeze yang selalu melihat semua hal dari perspektif logis justru adalah sumber komedinya.
"Itu hanya akan membuatnya tampak keren. Sedangkan rumor itu diciptakan untuk memperburuk citranya," timpal Rhea.
"Hah! Sudah kuduga jadinya akan seperti ini," Juni memutar bola matanya.
"Berhenti tertawa! Bukankah Juni teman kalian?" Charty mengomel.
"Justru itu," timpal Zeze dengan anggukan mantap.
"Pertemanan kalian sungguh aneh," Charty mengernyit.
Luna mengangguk dari kejauhan.
"Sebentar lagi pergantian jam. Kau sungguh tidak ingin menghadiri satu pun kelas, Ze?" Tanya Norofi.
"Tidak," balasnya cepat. Apa gunanya jika orang yang ingin kulihat tidak ada.
Absennya Glen membuatnya jengkel. Padahal waktu untuk menikmati kebebasan berinteraksi dengannya di lingkungan sekolah kian menipis, dan semuanya terbuang sia-sia gara-gara wanita sialan itu.
“Kalau begitu, bagaimana kalau ke studio karaoke?” Usul Kaló, menoleh ke Zeze, “Sebentar lagi bel istirahat. Kantin pasti akan ramai pengunjung,” dia membisikkan kalimat berikutnya, “Kau tahu, kata Kai, kita belum boleh terlihat akrab.”
"Tidak bisa," tolak Zeze sambil berdiri. "Ada tempat yang harus aku kunjungi."
"Ke mana?" Tanya Kaló.
Zeze menandaskan minumannya dengan sedotan terakhir sebelum menjawab sambil mengedik ke arah jendela, “Musim dingin.”
Hanya sebatas itu, tapi Juni, Rhea, Kaló, Norofi, dan Kai—yang sedari tadi menyimak di ujung meja—tahu pasti makna di baliknya.
Norofi tersenyum miris. "Hati-hati di jalan."
Zeze mengangguk. “Apa mobilmu bisa kupinjam?”
Norofi melempar kunci mobil ke Zeze. "Jangan sampai kena tilang. Ingat kau belum punya surat izin berkendara."
"Aku tahu." Zeze meraih jaket denimnya dari sandaran lalu pamit kepada semua, "Aku pergi."
Di penghujung waktu, mata Zeze bertemu dengan mata Kai—lelaki itu tengah mengembuskan asap rokoknya. Zeze mengangguk sebagai tanda pamit, dan dibalas olehnya dengan gerakan serupa.
Sebenarnya ia bisa mengunjungi tempat tersebut kapan saja semaunya. Namun waktu spesial adalah pada saat musim dingin, terlebih saat salju pertama turun, yang kebetulan jatuh tepat pada sore hari ini.
Musim dingin adalah kapan ia melihat mereka bertiga untuk terakhir kalinya dalam tahun yang berbeda. Ia sempat curiga bahwa mereka janjian atau semacamnya. Jika itu benar, sepertinya mereka mempunyai selera yang buruk dalam memilih waktu kematian.
Zeze membaringkan sebuket mawar merah di atas makam dengan nisan berbentuk salib bertuliskan 'Afrodi'. Tidak ada tanggal lahir yang terukir di sana karena memang tidak ada yang tahu. Hanya ada tahun lahir dan tanggal wafatnya, 2109 - 21 Desember 2130. Lima tahun sudah dia tertidur di balik tumpukan tanah itu.
Tak lupa pula dengan dua makam lainnya. Diletakkannya mawar merah masing-masing satu buket di dua nisan salib yang mengukir tulisan ‘Sageta, 25 November 2112 – 21 Desember 2133’ dan ‘Tera, 21 Januari 2109 – 21 Desember 2129’.
Zeze tidak berdoa. Berharap adalah satu-satunya hal yang menurutnya layak untuk ia lakukan; berharap supaya Tuhan bersedia meringankan siksaan-Nya. Karena ia sadar doa dari manusia sepertinya nyaris mustahil untuk dikabulkan.
Berdiri di hadapan ketiga makam itu, kenangan bak film mulai berputar dan mengisi tiap sudut kepalanya. Setelah puas menikmati film dengan genre campuran itu, ia pindah ke belakang batu nisan Afrodi, duduk di depannya dan menyandarkan punggung yang sakit di batu nisan, memeluk lutut seakan itu adalah satu-satunya sumber penghangat di tengah dingin.
"Empat hari lalu aku bertemu denganmu, dengan Tera dan juga Kak Sageta." Zeze memulai. Suaranya masih terjaga. Di saat yang sama, setetes darah terjun dari lubang hidungnya.
"Aku kira kau akan mengajakku bergabung denganmu seperti delapan tahun yang lalu." Ia mengeratkan pelukan pada lututnya.
"Ternyata aku salah."
Embusan napasnya melahirkan uap panjang.
“Mengapa kau bersikeras menahanku di sini? Jika kau bahkan lebih memilih untuk pergi, aku yakin kau pasti juga sudah muak dengan dunia ini. Tapi, mengapa aku tidak boleh ikut denganmu? Apa yang kau harap akan aku lakukan di sini?”
Zeze menidurkan kepalanya di atas lutut, "Apa yang harus aku lakukan?" Ia meraup salju dalam genggaman dan menahannya di hidung yang terus meneteskan darah.
Tak terasa langit telah menggelap. Dinginnya salju kini menyatu dengan dinginnya malam. Namun Zeze masih enggan beranjak dari duduk.
Makam Sageta—makam di sebelah makam Afrodi—ditatapnya dengan gamang. Telah genap satu tahun perempuan itu meninggalkan dunia yang fana. Sudut mata Zeze berkedut-kedut. Tak ada yang keluar; air matanya telah membeku di malam itu, malam di mana semuanya berakhir di kaki Gunung Gorgon.
Ia tenggelamkan wajahnya di lutut. "Maaf," suaranya terdengar amat tersiksa. "Maaf, Ge, aku tidak bisa menjaga anakmu... bayimu...."
Pelukannya di lutut semakin kuat, seolah-olah dengan memeluknya dapat menekan rasa bersalahnya. Walau ia tahu itu bukan kesalahannya, namun penyesalan karena tidak mampu mempertahankan satu-satunya peninggalan Sageta, permintaan terakhirnya, membuatnya ingin menghilang saja dari muka bumi.
"Jaga dia. Namanya... Lampsi. Tolong... kumohon, Zeze, walau hanya dia. Kumohon..."
Zeze menjambak rambutnya sendiri. Masih belum ada air mata, hanya jerit tertahan yang malah lebih menyiksa dari tangis.
Ia sudah tidak peduli dengan gelapnya malam. Ia sudah tidak peduli dengan beban salju di atas kepalanya. Ia ingin ditenggelamkan oleh lautan putih itu, agar mereka dapat menutupi rasa malunya.
Kalau Tera memergokinya dalam keadaan semenyedihkan sekarang, lelaki berambut merah itu pasti akan sigap memarahinya dengan suara lembutnya itu. Kelewat lembut hingga bahkan sulit untuk mengatakan apakah dia sungguh marah. Amarah sama sekali tidak cocok untuk Tera.
Bunyi gemeresik terdengar merobek sunyi. “Kukira hantu,” Suara bernada rendah menyusul tak berselang lama. Itu adalah satu-satunya hal yang berhasil membuat wajah Zeze terangkat dari peraduannya.
Zeze menyipitkan mata. Ia takut jika pemandangan itu hanya delusi yang bermanifestasi dari hasratnya untuk melupakan sedih. "Glen?"
“Apa?” Dia membalas. Itu berarti semua yang terjadi adalah sungguhan. Lelaki itu bersandar ke pohon enam meter di depan Zeze. Tubuhnya terlindungi di balik jaket kulit hitam dan kaus berwarna hijau gelap. Tangan kirinya tenggelam di dalam saku celana jeans, sementara tangan kanannya menggenggam sebuket mawar putih.
Zeze meluruskan kakinya, menciptakan bekas lintasan pada lapisan salju, "Kenapa kau tidak hadir di kelas? Apa kau membolos? Keperluan misi?"
Glen memiringkan kepala, "Sepertinya pertanyaan itu lebih cocok diberikan kepadamu yang menghilang tanpa kabar selama tiga hari penuh."
"Apa kau kesepian?" Zeze menggodanya sambil mengulum senyum.
Glen tidak menyahut. Detik demi detik berlalu dan ia hanya menatap Zeze dengan sorot ambigu. Persis di momen itu Zeze tersadar bahwa warna mata Glen telah kembali ke warna aslinya. Hijau zamrud. Warna yang indah, warna favoritnya selain merah dan hitam.
"Mengapa kau memakai lensa kontak?"
"Aku rabun jauh."
"Tapi kau memakai kacamata juga."
"Lebih mudah bagiku untuk berjalan tegak jika ada sesuatu di wajahku."
“Kalau begitu gunakan saja kacamata berlensa minus? Warna matamu cantik. Aku suka.”
Glen tidak berbicara lagi.
Aksi saling tatap itu terulang dan berlangsung lebih lama, kemudian Glen berjalan ke makam di sebelah kiri makam Afrodi, berlutut dan meletakkan mawar putih di atas tumpukan tanah itu.
Zeze memperhatikan semuanya sampai Glen kembali bersandar di pohon semula.
"Langit sudah gelap, bukankah begitu?" Glen menyinggung.
Zeze mengernyitkan dahi. Jadi kenapa kalau sudah gelap? Meski bingung dengan arah pembicaraan, ia tetap mengangguk sebagai jawaban.
Hening menyatu dengan dingin. Kedua insan itu kembali saling tatap.
"Tidak berniat pulang dalam waktu dekat?" Tanya Glen akhirnya.
Zeze menunduk, susah payah menahan tawa. Apa sesulit itu berbicara terus terang?
Setelah berhasil menguasai ekspresinya, Zeze mengangkat wajah dan bertanya, "Siapa itu?" Dagunya menuding ke arah makam yang sebelumnya diziarahi oleh Glen.
Hening lagi. Glen masih enggan menjawab untuk waktu yang terbilang lama, sampai lelaki itu mendudukkan dirinya di tanah dengan satu kaki terulur ke depan.
Zeze masih menunggu. Menunggu dan menunggu. Entah sejak kapan berbicara dengan seorang Glen memerlukan banyak kesabaran untuk dikuras. Meski kadang pikiran impulsif Zeze berteriak lebih keras di dalam kepalanya dan menyuruhnya untuk menerjang lelaki itu di leher dan menggoyang-goyangkan. Zeze segera menggeleng pada bayangan itu sambil menggigit tawa.
"Kau tahu siapa," jawab Glen kemudian.
Zeze berkedip, tidak mengerti. Seseorang yang kami kenal telah meninggal dunia... Ia mulai membayangkan nama serta wajah yang memungkinkan.
“Seseorang yang telah kau bunuh.”
Daftar nama yang telah Zeze susun di dalam kepalanya runtuh dalam sekejap mata.
Glen terkekeh melihat ekspresi syoknya. “Tidak ingat? Yah, kenapa aku tidak terkejut? Lagipula, orang sepertimu memangnya sudi mengingat mereka yang telah kau bunuh?”
Iris hijau itu memerangkap dan membekukan jiwa Zeze. Guratan-guratan halus tercipta di sudut matanya saat ia menunduk, membiarkan bayang-bayang menutupi wajahnya. Glen melihatnya, tapi ia sama sekali tidak merasa menyesal atas apa yang telah ia katakan. Gadis itu pantas mendapatkannya. Dia perlu tahu efek dari semua perbuatan kejinya.
Tak berselang lama, Zeze berdiri sambil menepuk-nepuk bagian belakang celana jeans-nya dari salju. Ketika dia mengangkat wajahnya, air muka Glen seketika berubah.
Sebuah tatapan yang sangat dingin, berbahaya, mengancam, seolah dia siap menerkamnya pada detik itu.
Tanpa sepatah kata, Zeze berbalik pergi. Ia berpaling, berpaling dari Glen, sesuatu yang jarang sekali dapat ia lakukan. Tapi kali ini ia menunjukkan punggungnya untuk lelaki itu, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
\=\=\=\=\=\=\=\=
Gak kerasa Asphyxia sudah masuk chapter ke-20. Untuk para pembaca, terlebih lagi yang suka dengan novel ini, jangan lupa kasih apresiasi dan dukungannya lewat like dan komennya, oke? Jempolku yang sudah keriting ini mengharapkan hadiah dari kalian 😅 Terima kasih banyak.
Scroll dan lanjut baca. Enjoy dan semangat untuk yang marathon 💪
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
penyuka novel <3 :D
otak aku gak nyampe ama nih novel tapi aku suka...
2022-02-07
4
Salma
sebnarnya ap hbungan glen dan zeze??
hubungan mrka msih terkesan misterius
2020-03-01
7