Adegan di sudut ruang kelas 2-D itu memiliki satu orang penonton. Ia nyaris kehilangan akal karena sungkan bertanya pada saudaranya, dan saat ia menemukan gadis itu sedang asyik melodrama dengan orang lain, lelaki lain, ia tak bisa menahan gertakan gigi-giginya.
Sekarang semuanya jelas. Mereka berdua berbagi rasa yang sama. Entah mengapa fakta itu membakar dadanya. Apa yang salah dengannya? Gigi-giginya menggertak lebih keras. Segala hal menyangkut elf itu selalu berhasil memporak-porandakan nalarnya. Begitu besar dampak yang dia bubuhkan terhadap dirinya, dan hal itu semakin membuatnya berselera untuk menghancurkan mereka berdua.
Esok hari dan seterusnya, Glen dan Zeze tetap bersikap normal seakan tak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Bahkan beberapa hari belakangan, Zeze terang-terangan berinteraksi dengan Glen. Ia sudah tidak peduli. Toh, setiap mata dan telinga sudah tahu tentang kedekatan si murid baru dengan Glen Leios. Bukankah kata mereka, 'pecundang' hanya akan menempel dengan sejenisnya? Jika menjadi pecundang bisa membuatnya lebih dekat dengan Glen, ia akan dengan senang hati menyandang gelar itu seumur hidupnya.
Pada pelajaran biologi, Madam Viologos mengimbau semua murid di dalam kelas itu untuk berkelompok dengan teman sebangku dalam rangka mengamati berbagai jenis sel. Kini sebuah mikroskop telah berpijak di antara meja Glen dan Zeze.
"Aku tidak tahu bagaimana menggunakannya," tutur Zeze. Ditatapnya Glen yang berdiri kaku di sisi kanannya dengan sorot penuh harap.
“Internet,” balas Glen dari sela gigi tanpa sedikit pun memberinya lirikan.
Sebenarnya Zeze telah menduga Glen tidak akan mau repot-repot mengajarinya, tapi mengapa jawaban lelaki itu masih saja membuatnya sebal?
Mereka membagi tugas. Ketika tiba di giliran sel epitel, mereka menjadi ragu dan canggung. Lelah karena harus terus-terusan saling lirik, Zeze pun mengalah dan mengajukan diri untuk melakukannya sendiri.
Zeze menukil bagian dalam pipinya dengan cotton budd, mengoleskannya di kaca preparat, lalu menoleh pada teman sebangkunya, "Siapa yang akan lihat?"
"Silakan," Glen bergumam tanpa menatapnya.
Sementara Zeze mengobservasi, Glen mencatat poin-poin yang diberikannya.
"Glen, kau tahu, ada sebagian dýnami-ku di sana," Zeze menyeringai lebar.
Glen mengabaikannya, fokus mengeluarkan kaca preparat berisi daging pipi bagian dalam Zeze dari penjepit mikroskrop, ketika tahu-tahu benda yang dipegangnya terbakar! Kaget, benda tipis itu refleks terlempar dari jepitan jari-jarinya.
Tawa Zeze meledak terhadap reaksi Glen, sehingga membuatnya mendelik dan mendesis ke arahnya, "Cobalah untuk serius."
Zeze mengangkat bahu, "Aku sudah memperingatkanmu."
Pelajaran berpedang menggantikan jam pelajaran biologi. Setelah melakukan pemanasan bersama di lapangan, Mr. Spathi mengintruksikan kepada dua puluh enam murid yang telah mengganti seragam mereka dengan kaos dan celana training loreng untuk membuat barisan. Dua tangan terjalin di belakang pinggang sementara kedua kaki memisah, pundak tegak, dagu naik.
"Pada Tahun Pertama, kalian telah diperkenalkan dengan empat macam pedang yang masih relevan di masa kini. Sekarang, pada Tahun Kedua, kalian dibebaskan untuk memilih satu jenis pedang yang akan kalian gunakan di sepanjang semester. Ingat, pilihlah yang benar-benar sesuai dengan kemampuan fisik dan keahlian kalian. Saya akan mengadakan duel setiap dua minggu sekali untuk mencatat perkembangan kalian, untuk mengetahui apakah jenis pedang yang kalian pilih telah benar-benar sesuai. Ini penting untuk penilaian di tingkat akhir," jelas Mr. Spathi di hadapan mereka semua.
"Namun sebelum itu, Miss Dianova, tolong jelaskan karakteristik dari masing-masing keempat jenis pedang tersebut. Cukup poin-poinnya saja." Mr. Spathi menunjuk seorang siswi di deretan kedua dari depan. Zeze tahu siapa itu; Si Pirang menyebalkan.
Dia tersentak karena tidak menyangka namanya akan dipanggil. Mr. Spathi pasti memergokinya sedang berbisik-bisik dengan siswi lain di belakangnya. Pria itu masih menunggunya buka suara. Namun yang dia ucapkan hanya berupa cicitan, "Saya... tidak tahu, Sir. Saya lupa."
"Aku tidak tahu libur panjang bisa menghapus sebagian memori dari otak seseorang." Mr. Spathi menatap Si Pirang dari balik bulu mata, sehingga membuatnya semakin menunduk ketakutan.
Lalu pria itu melayangkan tatapan ke ujung barisan, tepat di mana Zeze berdiri.
"Bagaimana aku tahu pedang apa saja yang masih relevan," gumam Zeze yang menyadari tatapan itu.
Glen, yang berdiri di sisi kiri Zeze, tentu saja mendengar keluhannya. Laki-laki berkaus abu gelap itu kemudian membisikkan keempat jenis pedang yang dimaksud dalam satu tarikan napas ke telinga kiri Zeze, "Longsword, katana, rapier, sabre."
Zeze membalas informasinya dengan satu anggukan, meskipun terkejut.
"Miss Finn?"
Visual sejumlah pedang antik yang terpajang di dinding ruang santai sayap timur istana langsung muncul di dalam kepalanya.
"Longsword, pedang bermata dua. Bentuknya lurus dan panjangnya sekitar satu meter. Lebih mengutamakan power dan diciptakan sebagai senjata penusuk. Memiliki hasil tebasan yang tidak sebaik katana.
"Selanjutnya, Katana, pedang bermata satu dari Jepang. Bilahnya agak melengkung untuk mendukung fungsi utamanya, yaitu menebas. Lebih mengutamakan kecepatan dan ketepatan, sehingga buruk dalam pertarungan yang memakan waktu.
"Lalu, Rapier, pedang bermata dua berbentuk ramping dan lurus serta meruncing di bagian ujungnya. Diutamakan sebagai senjata pendorong dan penusuk. Rapier memiliki gagang yang rumit untuk melindungi tangan. Gagang rapier didesain untuk penggunaan satu tangan, itulah yang nembedakannya dengan longsword.
"Terakhir, Sabre, pedang bermata satu yang merupakan hasil penggabungan rapier dan katana, karena memiliki gagang rumit sebagai pelindung tangan dan sisi melengkung untuk menebas. Merupakan pedang yang digunakan dengan satu atau dua tangan. Fungsi utamanya adalah untuk memotong."
Mr. Spathi mengangguk, “Terimakasih. Sekarang, saya akan beri waktu kepada kalian untuk memutuskan pedang apa yang akan kalian gunakan. Setelahnya, pilih satu orang sebagai partner battle kalian.” Usai mengumumkan, ia menghilang ke dalam ruang penyimpanan pedang. Murid-murid pun mengekorinya.
Zeze sedikit memundurkan langkahnya agar bisa sejajar dengan Glen. "Apa pilihanmu?" Tanyanya.
"Katana."
Zeze hanya mengangguk tanpa menanggapi sehingga mengundang lirikan mata Glen. "Kau?"
Mata Zeze mengerjap. Ditengoknya laki-laki itu dengan pandangan heran. Dia bertanya?
"Sabre, kurasa," jawabnya ragu. "Aku tidak pandai menggunakan pedang."
Glen tak menyahut, justru memacu langkahnya agar bisa mendahului Zeze.
Mereka memasuki sebuah ruangan yang lebih pantas disebut museum dibanding tempat penyimpanan. Di dalamnya berjejer ratusan pedang yang dikelompokkan berdasarkan jenis dengan model dan warna yang beraneka ragam, masing-masing bersemayam di dalam lemari kaca.
*Credits to the artist
Zeze tampak sangat tertarik, terbukti dari caranya mondar-mandir membandingkan pedang yang satu dengan yang lain.
Jika pedang-pedang ini diperjualbelikan, aku pasti akan ada di antrian paling depan. Yah, bukan berarti aku akan menggunakannya, tapi berani taruhan usia pedang-pedang ini pasti lebih tua dari kakek buyutku.
“Cocok untuk melengkapi koleksi barang antikku,” gumam Zeze, dan terlintas niat buruk untuk mengendap-endap pada malam hari dan mencuri pedang-pedang itu. Sebagai kolektor barang antik, Zeze mengerti betul kualitas dan nilai mereka. Baginya, tidak ada yang lebih menakjubkan dari saksi bisu sejarah.
Mungkin lain kali.
Pilihannya jatuh pada sabre di sudut ruangan dengan gagang berwarna hitam keemasan. Tertoreh ukiran kata 'Apollo' di sepanjang mata pisaunya yang saat dibawa keluar menguapkan spektrum warna ke udara bebas atas pantulan sinar mentari. Entah apa yang membuatnya tertarik dengan benda itu, padahal banyak pedang serupa dengan desain yang lebih menarik. Hanya saja aura pedang itu menggugah minatnya. Mengusiknya di titik yang sulit dimengerti.
Dilihatnya sekeliling, semuanya telah berpasangan. Zeze memilih duduk bersila di pinggir lapangan sambil menyaksikan teman-teman sekelasnya diobservasi oleh Mr. Spathi.
Hingga tiba saatnya Mr. Spathi memanggil namanya, "Siapa partnermu, Miss Finn?"
Otomatis mata birunya melayang pada Glen yang tengah duduk melamun di pinggir lapangan, kepala menunduk ke telapak tangan. Merasa diperhatikan, Glen mengangkat kepalanya, dan mata mereka bertemu.
"Dia," Zeze menunjuknya.
Mr. Spathi mengangkat alis tidak yakin. Ia tahu seperti apa anak itu di setiap mata pelajaran, dan semua murid pasti akan langsung menghindarinya.
Glen menyipitkan mata, lalu dengan perlahan—nyaris tidak terlihat—ia menggeleng. Namun Zeze tidak peduli, ia masih menantinya untuk beranjak.
Mr. Spathi masih menilik Glen dengan sorot ragu. Murid Baru ini sepertinya belum mengerti apa pun. Namun durasi tak memberinya pilihan. “Mr. Leios?”
Glen membuang kasar napasnya. Tidak bisakah ia seperti sedia kala; diabaikan, tidak dianggap, dikucilkan? Sepertinya akan sulit selama Zeze ada di dekatnya.
Menyerah, Glen bangkit dari tempatnya duduk dan dengan berat hati mengayunkan kaki menuju Zeze, yang menunggunya dengan senyum iseng.
"Maaf sebelumnya, Sir," ucap Glen setibanya di hadapan mereka, "Tanganku sedang terluka."
Zeze mengangkat sebelah alis, apa yang sedang dia rencanakan?
Glen yang menyadari tatapan curiga itu pun mengangkat tangan kanannya, suatu tindakan yang nyaris mengeluarkan bola mata Zeze dari sarangnya. Luka melepuh tertoreh di sepanjang jempol hingga jari manis Glen!
"Ah, benar. Sebaiknya jangan. Baiklah, Miss Finn, Anda harus mencari partner yang lain."
Zeze mematung dengan rahang terkatup. Sepasang mata birunya adalah lelehan es yang menghujankan beribu model permintaan ampun atas kebodohan yang telah diperbuatnya. Siapa sangka leluconnya malah menghalanginya untuk bisa merasakan serunya pertarungan melawan Glen. Lebih parah dari itu, ia baru saja melukainya!
Glen hanya memberinya lirikan ringkas sebelum kembali ke tempat semula; pinggir lapangan. Bahkan setelah bokongnya kembali terhubung dengan tanah berumput, tatapan penuh rasa bersalah itu masih menggelayutinya.
Sebenarnya ia lebih dari sehat untuk sekedar meladeni permainan kekanakan Zeze. Luka sekecil itu hanyalah gigitan serangga baginya. Namun, ia tidak bisa menunjukkan kartu asnya sekarang—karena ia yakin Zeze tidak akan membiarkannya bertarung dengan tanggung-tanggung.
Glen menggeleng, sebelum pikirannya mengakar. Ia tidak boleh melewatkan kesempatan untuk mempelajari gaya bertarung gadis berambut platinum yang diikat satu itu. Artemis sesaat lagi akan bertarung. Lawannya adalah seorang siswa yang wajahnya cukup familier—Glen ingat dia juga sesekali ambil bagian dalam memukulinya, dan dari caranya menatap Zeze, Glen tahu dia menyimpan ketertarikan terhadap gadis itu.
Mereka saling berhadapan. Zeze dengan sabre, lelaki itu dengan katana.
"Aktifkan Engýisi di pedang pilihan kalian," imbau Mr. Spathi.
Di saat lawannya telah mengangkang—membangun kuda-kuda—Zeze masih dalam posisi normal dengan sebilah pedang menggantung di tangan kiri. Gadis itu sama sekali tidak mau repot mengukuhkan pedangnya ke depan dada sebagai sikap siap menyerang, ataupun menerima serangan. Ia hampir tidak membuat gerakan. Bahkan saat lawannya maju—dengan tangan kiri memegangi sarung kayu katana, dan tangan kanan menggenggam gagangnya—posisinya belum berubah.
Barulah saat lelaki itu mencabut katana dari sarungnya, tangan Zeze bergerak untuk menahan serangannya. Kedua mata pisau itu beradu, melahirkan dentingan yang berdengung membelah udara. Kecepatan serangan Zeze sangat tidak normal hingga bahkan untuk sesaat, lawannya tidak yakin apa yang baru saja terjadi.
Dia merenggut kembali katana yang baru saja beradu dengan sabre sambil melompat mundur. Kakinya menggesek tanah lapangan sampai melepaskan rerumputan dari akarnya. Sebaliknya, kaki Zeze masih menapaki tanah yang sama, tak berpindah satu inci pun.
Setiap orang yang menonton menganggap apa yang dilakukan Zeze tadi luar biasa, kecuali Glen dan Mr. Spathi. Dia tidak berbohong saat menyatakan bahwa dirinya tidak pandai menggunakan pedang. Gerakannya berdasar hanya pada insting petarung sejati ketika mencium aroma bahaya. Tak ada teknik khusus dan seni yang terkandung di dalamnya.
Orang itu mulai lagi, kali ini dia mencoba menyerang Zeze dari titik butanya. Dia bergerak lurus menuju target yang masih mematung, lalu mengubah haluannya ke barat daya.
Kecohan yang buruk. Meski tubuh Zeze tak bergerak, bukan berarti matanya tidak mengikuti.
Di pinggir lapangan, Glen menyadari bahwa laki-laki itu mengubah arahnya dua kali, dan berhenti di belakang Zeze untuk membungkam leher belakangnya.
Sekalipun pertandingan itu merupakan bagian dari latihan, tetapi para murid akademi diwajibkan untuk bertarung seakan nasib mereka ditentukan oleh hasil akhirnya. Tak perlu mengkhawatirkan kecelakaan yang tidak disengaja karena setiap pedang dilengkapi oleh Engýisi, semacam sistem keamanan reaktif—bilah pedang akan menumpul dan menjadi seempuk busa—yang akan langsung aktif saat mendeteksi tekstur kulit dan suhu tubuh suatu makhluk hidup.
Dan sekarang yang menjadi incaran lelaki itu adalah leher, bagian tubuh manusia paling riskan, sasaran wajib bagi para pengguna katana yang dikenal dengan kecepatan dan ketangkasannya. Dia menyadari bahwa adu pedang merupakan skenario buruk bagi para pengguna katana. Itu berisiko merusak mata pisau, mengingat katana didesain untuk pukulan final yang memberikan kematian cepat.
Tinggal sedikit lagi, dan dia melihat Zeze mengulurkan tangan kanannya ke belakang tanpa peringatan. Katana-nya pun membentur sabre Zeze, bukan leher seperti yang direncanakan.
Tanpa menoleh!? Sungguh, gerakan itu mengagetkannya.
Lelaki itu mencoba mundur untuk mengatur ulang strategi. Namun sayangnya sudah terlambat. Dengan sabre yang masih menahan katana lelaki itu, Zeze memutar tubuhnya dengan tumit sebagai poros. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, Zeze merendahkan tangannya dan membalik posisi pedangnya, menusukkan bagian tumpul gagang sabre ke perut samping lawannya. Tekanannya menyeterum seluruh persendian, lelaki itu terbungkuk paksa dan meringis kesakitan. Katana lolos dari tangan dan berdentang di dekat kakinya.
"Maaf," Sama sekali tidak ada penyesalan di dalam suara itu. Ditatapnya rambut hitam lelaki yang tengah membungkuk di hadapannya itu dengan acuh tak acuh, seakan sudah seharusnya dia merendahkan kepala untuknya.
"Baiklah, cukup," seru Mr. Spathi yang mendekat ke arahnya.
Tak ada komentar, kritik maupun saran, yang pria itu kerahkan untuk Zeze, tidak seperti yang dilakukannya kepada murid-murid yang lain. Bukan karena Zeze tak bercela, sebaliknya. Gerakannya sama sekali tidak mencerminkan seni berpedang mana pun yang ada di dunia. Gerakannya tidak mempunyai ciri khas. Dia bergerak hanya karena keharusan belaka.
Dalam pertarungan sungguhan, hal tersebut justru dianggap sebagai suatu keuntungan—pihak musuh tidak akan mudah menebak pola gerakannya. Namun kali ini Zeze sedang berada di dalam sebuah akademi yang terikat akan prosedur dan tata tertib. Oleh karena itu, menurut Mr. Spathi, Zeze telah keluar jalur.
Itu... tidak salah lagi adalah ‘systema’. Dari mana seorang gadis muda sepertinya mempelajari teknik yang begitu mengesankan sekaligus mengerikan itu? Dia seolah tidak asing dengan pertarungan nyata.
"Cukup sampai di sini pertemuan kita kali ini. Sampai bertemu minggu depan," tutup Mr. Spathi usai memastikan lawan Zeze yang tengah mengaduh kesakitan itu baik-baik saja.
Glen yang sejak awal menonton kejadian itu pun beranjak menuju ruang penyimpanan pedang. Ia merasakan seseorang tengah berupaya mengimbangi langkahnya dari sisi kiri tubuhnya, dan ia tidak perlu menebak siapa.
"Seharusnya kau yang menjadi lawanku," keluh Zeze. "Pasti tidak akan berakhir secepat itu."
Glen tidak menyahut. Sesampainya di dalam ruang penyimpanan, ia langsung meletakkan katana yang tidak terpakai di tempatnya semula dan menutup pintu kacanya, lalu menoleh ke arah Zeze yang sedang asyik mengagumi senjata-senjata antik.
Merasakan beratnya tatapan, Zeze pun membalik badan dan mendapati pelakunya adalah Glen. Dia menatapnya dengan tatapan yang selalu sulit untuk diartikan dalam sekali baca.
Zeze mendekati Glen dan berhenti dua langkah darinya. Suasana jauh lebih sunyi karena semua orang tengah menikmati waktu istirahat, meninggalkan mereka berdua di dalam.
"Maaf soal tanganmu," sesalnya.
Glen masih membisu, menyelam lebih dalam dan semakin dalam di kedalaman sepasang kubangan biru yang tersaji tepat di depan matanya.
Mendapat kuncian mata dari Glen membuat Zeze menjadi salah tingkah sehingga melirik ke segala arah, ke mana pun kecuali di sepasang manik hitam itu.
Glen terkekeh melihat tingkahnya. Ia mendesah pelan dan berkata, "Tidak apa..."
Dari balik bulu matanya, Zeze memberanikan diri untuk menatapnya lagi.
"... anggap saja itu hukuman untukku."
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Longsword
Lebih mengandalkan kekuatan otot karena bobotnya yang berat. Bisa buat nebas tapi lebih worthy buat nusuk. Karena berat, pedang ini biasa dipegang menggunakan dua tangan. Yang bisa megang menggunakan satu tangan biasanya tangannya kuat banget, tuh.
.
.
Katana
Lebih mengutamakan kecepatan tangan. Fungsi utamanya untuk menebas. Gak cocok buat bertarung lama-lama. Makanya penggunanya langsung mengincar nadi.
.
.
Rapier
Nah, ini pedang yang biasa ada di olahraga anggar. Itu tuh yang bertarungnya harus menggunakan baju khusus dan pelindung kepala. Lebih diutamakan sebagai senjata penusuk.
.
.
Sabre
Pedang ini yang tadi dipilih Zeze. Dari bentuknya kita bisa lihat kalau pedang ini adalah gabungan dari katana dan rapier. Pisaunya melengkung seperti katana, dan ada pelindung tangannya seperti rapier. Sabre fungsi utamanya untuk motong-motong tubuh.
.
Pilih yang mana nih? Kalau aku sih sreg di katana, cepet gitu kan soalnya, terus lebih mengutamakan dexterity dan crit atk. Yang biasa main game pasti tahu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
elena
ù💖💖💖💖💖💖👍👍💝💝💝💘💘
2021-08-20
1
Lala
siapa suruh iseng
2020-04-20
2