"Bolehkah itu dibiarkan?"
Pertanyaan seorang gadis berambut cokelat pendek berhasil memancing atensi enam pasang mata di dekatnya.
"Dia baru saja menganiaya Tuan Putri," sambung gadis itu sambil diam-diam melirik Kion.
Sementara orang-orang di meja bertukar pandang, Kion tetap hanyut dalam aliran kata yang tercetak di sebuah buku. Buku berbahasa Perancis itu agak tebal, bersampul cokelat dengan judul timbul Freedom. Di bawah judul tersemat tulisan lebih kecil yang merupakan nama pena penulisnya, Artemis.
Kion sendiri dapat merasakan tatapan mereka mengharap suaranya. Bagaimanapun, jangankan membalas, matanya bahkan tak bergeser seinci pun dari buku.
"Kion tidak mempermasalahkannya, maka ini tidak perlu dibesar-besarkan, bukan?" Seorang lelaki berambut hitam di sebelah kiri Kion berbicara, mewakili diamnya, "Lagi pula, tadi itu sudah merupakan pembalasan yang memuaskan."
Airo, yang duduk di hadapan Kion, tampak tidak setuju, "Tapi, Roze adalah anggota keluarga kerajaan... eh, maksudku, Putri. Putri Roze."
"Tindakan tadi sudah masuk ke dalam kategori penghinaan," Si Gadis Berambut Cokelat Pendek ikut bicara lagi, pantang menyerah. Sekalipun ia duduk tepat di sisi kanan Kion, suaranya sengaja diperkeras demi memancing reaksi pangeran itu.
"Sudahlah, Volta. Kion bahkan tidak mempermasalahkannya. Jangan memperburuk keadaan!" Sergah Si Lelaki Berambut Hitam.
Luna, yang menempati kursi di sebelah kiri Airo dan berhadapan dengan Volta, dengan gelisah menunggu reaksi Kion. Kedua tinjunya yang mengepal keras di atas pangkuan sudah mulai memutih.
Di sebelah kiri Luna, seorang gadis berambut cokelat panjang hanya diam menyimak perdebatan, sama sekali tak termakan atmosfer sekitar. Begitu pula dengan Saga yang duduk berhadapan dengannya. Mereka lebih memilih menyingkir sebagai penonton.
"Driko." Kion tiba-tiba menoleh ke Si Lelaki Berambut Hitam. Driko dan kelima orang lainnya menoleh, menatapnya penasaran.
"Apa?" Sahut Driko, serta-merta gelisah karena tak pernah menyangka Kion akan mengambil tindakan. Meski Driko tahu itu adalah tindakan yang wajar, mengingat yang mengalami kejadian tak menyenangkan tadi adalah tunangannya sendiri. Namun tetap saja, untuk orang yang tidak menyukai keributan seperti Kion, itu adalah hal langka.
Kion menarik napas lama, kemudian mengembuskannya lambat-lambat dengan mata melekat pada buku.
Enam pasang mata menunggu dia membuka bibir penuhnya. Bahkan Luna dan Airo sudah kedapatan beberapa kali meneguk saliva dalam antisipasi.
Dan kemudian, kata-kata itu pun terucap keluar.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Tak dapat dipungkiri, Juni tak sepenuhnya salah. Pertama kalinya "penghinaan" semacam itu terjadi padanya. Saat bersama dengan teman-teman—keluarganya—ia tak pernah absen menerima kasih sayang. Tak ada alasan lain selain karena dirinya—bersama Obi—adalah yang termuda di antara mereka.
Berjalan mundur dalam garis waktu, teringat olehnya momen dimana dirinya terpaksa kabur menjelang hari ulang tahunnya, lantaran kakak-kakaknya—terutama yang perempuan—sudah menyusun rencana licik untuk mengerjainya. Ketika ia kembali, markas telah porak-poranda oleh krim kue, botol-botol arak, balon, dan hiasan ulang tahun lainnya. Mereka berpesta dengan atau tanpanya. Tak ketinggalan kado-kado aneh, terlalu banyak hingga membuatnya kewalahan menyimpan semua. Belum lagi ciuman selamat di pipi yang mencecarnya tanpa henti. Itu terjadi nyaris setiap tahun.
Zeze tertawa mengenang keabsurdan hidupnya, berjalan tak tentu arah sampai lelah sendiri dan memutuskan kembali ke kelas. Kelasnya hinggap di ujung lorong sehingga area depannya tidak terlalu padat. Berita di kantin tampaknya belum mencapai daerah atas.
Melangkah ke dalam kelas, Zeze bersyukur karena tidak banyak yang menaruh perhatian terhadap eksistensinya. Kursi yang menjadi korban tendangannya masih tidak berubah posisi. Yup. Suasana hatinya langsung terjun bebas. Lagi.
Sungguh mengejutkan. Sesuatu yang sama sekali tidak diharapkan justru muncul di atas mejanya. Sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa yang dialaminya di kantin.
Usai membetulkan posisi kursi Glen, Zeze menempati kursinya sendiri dan mengamati segelas Thai tea yang berpijak di atas mejanya. Rasa cokelat karamel. Rasa yang seharusnya sudah habis di kantin. Di dekat gelas itu terbujur sebuah sedotan yang masih terbungkus plastik.
Telunjuknya menyusuri tetesan air yang mengalir di luar gelas. Zeze tidak ingin tahu dan tidak akan mencari tahu siapa idiot yang menaruh minuman bodoh itu di mejanya.
Detik-detik akhir waktu istirahatnya Zeze habiskan untuk menikmati minuman gratisnya dan sibuk menyanjung arak-arakan awan yang berlayar melintasi langit di luar jendela.
Murid-murid yang mejeng di luar kelas berhamburan masuk ke dalam kelas setelah bunyi bel. Semua kursi telah terisi, kecuali kursi di sebelahnya.
Mata birunya terus mengharap ke pintu, menanti kedatangan si pemilik kursi. Namun selain guru biologi, Madam Viologos, yang melenggang ke ruang kelas bersama ketukan high heels-nya yang nyaring, tidak ada siapa pun lagi.
Ke mana dia pergi?
Pening menyerang, ia memijit pangkal hidungnya. Apakah mengacaukan pikirannya merupakan suatu hobi bagi lelaki itu? Dan adalah hal yang aneh bagi Zeze bahwa ia masih tak kunjung menaruh kebencian terhadapnya setelah semua yang dia perbuat. Ataukah mungkin Zeze sudah membencinya dan hanya tak mampu menyadarinya saja? Pertanyaan itu mendadak mengingatkannya pada ucapan Obi:
"Cinta dan benci adalah dua sisi dalam satu koin. Kau akan kaget saat menyadari bagaimana koin itu berputar mempermainkanmu."
Jika itu benar, maka tidak ada satu orang pun di muka bumi yang paling dicintai sekaligus dibencinya selain dia.
Bahkan setelah pelajaran terakhir usai, kursi itu masih berstatus kosong. Zeze benar-benar duduk di samping kehampaan. Orang-orang telah meninggalkannya sendirian di kelas. Ia merasa aneh. Ia sendirian. Benar-benar sendiri. Padahal biasanya ia memiliki bonus waktu mengobrol dengannya sepulang sekolah.
Zeze memutuskan untuk memasukkan alat-alat tulis yang masih berserakan di atas meja Glen ke ransel hitamnya. Tak lupa pula dengan brush pen sialan itu. Membawa ransel Glen sama sekali bukan ide yang bagus, dan ia tidak mau punggungnya sakit. Akhirnya ransel hitam itu terbenam di kolong meja seperti sedia kala.
Glen terus menggerayangi pikirannya bahkan setelah ia mencapai area parkir yang lima meter lebih rendah dari lantai satu gedung akademi. Ucapan dua orang gadis yang tengah mengapitnya pun tak ada yang menyangkut di telinga.
Saat sedang mengedarkan pandangan, matanya tanpa sengaja terkunci di visual seorang lelaki bertopi merah yang sedang menduduki kap mobil berwarna senada. Dia tidak sendirian, siapa pun dapat melihat bahwa ia tergabung dalam suatu kelompok. Setidaknya berjumlah sebelas orang. Orang-orang yang melintas sama sekali tidak ada yang berani mendekat. Bahkan tidak ada mobil yang terparkir di sekitar mobil-mobil mereka. Pemimpin kelompok itu juga sudah bisa ditebak dengan sekali lihat. Si Topi Merah.
Tanpa peringatan, lelaki itu membalas tatapan Zeze. Dua biru yang berbeda bertemu dalam diam. Safir dan turquoise. Juni yang menyaksikan peristiwa intens itu seketika menjadi murung. Tangan yang semula semangat merangkul pundak Zeze langsung melunglai.
Rhea yang juga melihat si Topi Merah langsung menyenggol iseng bahu Juni. "Kai melihat ke arahmu!" Bisiknya, tersenyum antusias kepada Juni, yang malah mengabaikannya, berjalan dengan kepala tertunduk.
Bahkan setelah bokongnya menyentuh jok mobil, kunci yang membungkam mulut Juni masih belum ditemukan, sehingga Rhea yang sedang menyetir di sebelah kirinya terundang untuk memberinya perhatian. "Ada apa denganmu?" Tanyanya.
Juni hanya menggeleng, kemudian menyibukkan diri dengan memainkan kuku-kukunya yang telah dipoles kuteks berwarna hijau juniper. Tingkahnya begitu absurd. Rhea lalu mengecek Zeze lewat kaca spion atas. Si bungsu sedang sibuk menonton tutorial masak di kursi belakang.
Tidak ada yang berbicara selama perjalanan sehingga semakin membuat Rhea terheran-heran. Biasanya beragam lelucon lolos dari mulut mereka bila sedang berkumpul. Tapi sekarang, jangankan lelucon, sepatah kata pun tak terdengar.
Meski tidak ada apa pun di depannya, Rhea memukul klakson. Jeritan yang dihasilkan sukses mengangkat wajah kedua gadis itu kepadanya.
"Ada apa denganmu?" Tanya Juni, alis tebalnya bertaut.
"Itu adalah pertanyaanku. Apa yang sebenarnya terjadi?" Tumben sekali seorang Rhea meninggikan nada bicaranya.
"Seseorang membuatku kesal," gumam Zeze dari belakang.
Rhea memutar bola matanya, "Kau bisu jika sedang marah, kami semua tahu itu. Lagipula, siapa yang tidak marah bila ada orang yang secara tiba-tiba menyiram jus jeruk ke atas kepalamu." Ia menghela napas saat memutar stir ke kanan, memasuki terowongan di kaki bukit yang mengarah ke lift khusus untuk kendaraan. "Yang jadi masalah di sini adalah kau, Juni. Ada apa denganmu? Bahkan kau tidak menatap Kai sama sekali di area parkir."
Bibir tebal Juni mengerucut. "Untuk apa aku menatapnya jika matanya hanya tertuju pada Zeze."
Alis Rhea terangkat mendengarnya. "Apa maksudmu?"
Juni mendengus keras dan membuang tampang murungnya ke jendela. "Seharusnya aku sadar sejak awal bahwa Kai tidak akan pernah melihatku. Dia menyukai Zeze."
Gelak tawa membanjiri seisi kabin. Terlalu mendadak hingga memicu kaget. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Zeze. "Orang aneh," ucapnya setelah tawanya reda, mendengus geli, "Idiot."
Juni terpancing oleh kata terakhir, ia menoleh ke belakang dengan dahi mengernyit.
"Konklusi yang sungguh di luar nalar. Hanya karena seorang laki-laki? Serius, Juni? Hah! Kau tidak seperti Juni yang selama ini kukenal." Zeze kembali mendengus geli, seakan kalimat yang sebelumnya ia dengar adalah hal paling konyol dan tidak masuk akal yang pernah terucap di muka bumi.
Rhea mengangguk, "Dia benar. Kau menjadi aneh."
Juni melotot pada dua orang itu. Karena emosinya tidak digubris, ia pun mengusir perasaan sebalnya ke luar jendela.
"Jangan sekali-kali bertengkar dengan kami hanya karena seorang laki-laki," tiba-tiba Rhea menambahkan. Lift kini sedang membawa mobilnya ke dataran atas, wilayah perumahan.
"Aku tahu. Lupakan apa yang kukatakan tadi. Dan maaf," gumam Juni, merasa bersalah, "Aku hanya... mungkin... yah, kau tahu, masalah bulanan."
"Aku tahu. Aku juga menjadi sangat sensitif setiap datang bulan."
Bukit perumahan di Ibukota memiliki enam tingkat lapisan dengan istana-istana kerajaan berdiri di wilayah tertingginya. Namun atas dasar keamanan, lift umum hanya bisa mencapai tingkat ketiga. Untuk seterusnya, semua kendaraan wajib mendaki secara manual, menyusuri jalan beraspal yang berkelok-kelok. Setelah menurunkan Zeze di kaki bukit wilayah Istana Timur, Rhea kembali menancap gas guna mengantar Juni pulang.
Cuaca di hati Zeze benar-benar sedang buruk. Ia bahkan tidak menyentuh makanannya dan langsung molor di sofa ruang santai sayap timur istana.
\=\=\=\=\=\=\=
Sementara itu, masih di lantai yang sama, tiga orang remaja sedang menyantap sajian hidangan di sebuah ruang makan bernuansa cokelat. Mereka adalah Driko, Volta, dan Luna, yang sudah mengganti seragam mereka dengan pakaian rumahan masing-masing.
"Aku tidak menyangka Kion akan meminta hal seperti itu," ujar Driko sambil memotong steak-nya.
"Benar, tidak ada yang menyangka Pangeran akan meminta dibelikan thai tea," balas Volta di hadapan Driko.
"Aku sudah sangat gelisah sewaktu Pangeran Kion menanggapi obrolan kalian," Luna, yang duduk di sebelah kiri Volta, ikut bicara. "Tidak seperti biasanya. Tapi, nyatanya malah..."
"Kira-kira apakah minuman itu diminum olehnya?" Tanya Volta.
"Apa pendapat kalian tentang Putri itu?" Driko malah balik bertanya.
Volta memiringkan kepala, menelisik langit-langit. "Entah mengapa aku melihat sedikit kemiripan antara dia dengan Pangeran," jawabnya kemudian.
"Tentu saja mereka mirip, Pangeran Kion adalah kakak sepupunya," sergah Luna.
"Bukan itu maksudku! Auranya... Benar. Aura yang dipancarkan mereka berdua terasa tak jauh berbeda. Hm! Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Pokoknya aku sangat kaget sewaktu mendengar Yang Mulia Putri Vourtsa memiliki seorang anak.”
"Aku sebenarnya sudah lama tahu, tapi tidak pernah menyangka dia akan menjadi tunangan Kion."
"Apa? Kau sudah tahu sejak lama?" Desak Volta dengan mulut penuh steak.
“Ayahku adalah salah satu duke yang memiliki hubungan kerabat dengan keluarga kerajaan, sama seperti keluargamu, ingat? Dan jangan lupakan aku dan Kion berteman lebih lama dari kalian. Sebenarnya kalian tidak perlu sekaget itu. Tidak aneh bila sesama anggota kerajaan menikah demi menjaga kemurnian darah keturunan mereka.”
Volta menghela napas dan bergumam, "Berita tentang larinya Putri Vourtsa 18 tahun silam sudah cukup menggemparkan seisi negara... kira-kira apa reaksi para petinggi jika tahu beliau memiliki seorang anak dari... um, seorang lelaki yang tak jelas asal-usulnya?"
"Hmm, Kion pasti sudah punya siasat agar debut sang Putri diterima dengan baik. Menurutku dia lebih dari beruntung karena tunangannya adalah Kion. Tapi kita tidak bisa berbuat banyak untuk mengulik asal-usulnya. Kau tahu kan, singa hanya akan menantang singa. Kucing seperti kita tidak perlu mengambil risiko."
"Maksudmu singa itu..."
Driko mengangguk, "Sesama keluarga kerajaan. Hanya mereka yang dapat mengambil tindakan atas gadis itu."
"Kalau menurutku, dia kurang baik untuk Pangeran." Pendapat mendadak Luna menyebabkan aktivitas mengunyah mereka terjeda secara mendadak.
Mata Driko memicing padanya. "Luna..."
“Aku tahu!” Luna menyergah, kerutan yang dalam terukir di antara alisnya. “Selama ini aku terlalu percaya diri menganggap bahwa akulah satu-satunya yang berhak mendampingi Pangeran. Walaupun suatu saat aku kalah, aku akan menerimanya selama orang itu cukup baik untuknya. Tetapi, dia...”
Luna menghimpun oksigen dengan alis berkedut-kedut. "... dia tidak pantas untuknya!"
Volta dan Driko terbungkam melihat Luna. Mereka adalah bagian dari saksi hidup perjuangan Luna, bagaimana sejak kecil dia telah dibentuk oleh Marquess Vierhent untuk berlomba dengan para gadis bangsawan lain agar layak menjadi pendamping Kion, bagaimana orang tuanya mendoktrinnya dengan gagasan yang egois dan tidak masuk akal, sehingga membuat gadis malang berambut pirang itu rela belajar sampai muntah-muntah untuk selalu menempati posisi pertama di kelasnya.
Bagaimana ia dijadikan boneka serba bisa oleh orang tuanya.
Namun, usahanya mengkhianati hasil.
Tidak, lebih tepatnya, hasil tersebut tidak pernah ada.
Pundaknya yang bergetar diusap lembut oleh seseorang. Ia menoleh dan menerima senyum menenangkan dari Volta.
Bulir air lolos dari sudut matanya. Seberapa pun kuatnya seseorang, jika sendirian pasti akan sulit.
Ia menangis. Menangisi semuanya. Masa lalunya, masa depannya.
Masa lalu yang sia-sia, dan masa depan yang tak akan pernah datang.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Bertahanlah," Seorang wanita, masih cukup muda, kira-kira akhir 20-an, tampil buram di netranya. Wanita itu menunduk di atasnya yang terbaring di tanah pegunungan, di sebelah gundukan tanah kecil yang dibuat asal-asalan—makam anak kecil. "Aku akan membawamu ke tempatku. Apa kau bisa berjalan?"
Sepasang mata biru terbuka seketika auman guntur menggetarkan alam mimpi, mengaburkan kilas balik. Bulir peluh langsung meluncur deras begitu Zeze melompat duduk.
Berbagai model pedang dan tameng di dinding memantulkan cahaya perak yang menyusup melalui ventilasi berukir bunga. Itu adalah satu-satunya sumber penerangan untuk ruangan yang gelap dan kosong, masih dalam kondisi yang sama dengan sebelum ia tinggal tidur, mengingat ia selalu melarang siapa pun melangkahkan kaki ke ruang santai lantai satu sayap timur tanpa seizinnya.
Satu tangan terbang ke dahi. Dengan volume keringat sebanyak itu, Zeze merasa baru saja keluar dari kolam renang.
Jaket denim beraroma jeruk ia lepas dari tubuhnya. Mengingat ia tidak membersihkan diri, rambutnya menyiarkan aroma serupa, ditambah tekstur lengket ketika ia mengusapnya dengan tangan.
Sial.
Bahkan saat kesadaran baru ditemukannya, hal pertama yang terlintas di otak adalah orang itu dan wajah super idiotnya. Zeze menggigit bibir bawahnya. Mengapa ia harus repot-repot merasa khawatir? Apa yang perlu dikhawatirkan? Dia hebat, kuat, dia—
Dan peristiwa pemukulan yang terjadi tempo hari langsung mematahkan argumennya.
Mengapa dia begitu bodoh!? Apakah dia tidak datang saat sesi pembagian otak!?
Zeze terkekeh, menertawakan diri sendiri. Ah, sudahlah...
Ia kalah. Lagi. Dan mungkin bukan yang terakhir. Seharusnya ia sudah bisa menebak bagaimana ujungnya.
Pemikiran itu memaksanya beranjak dari sofa dan melakukan apa yang seharusnya seorang pecundang lakukan. Ia berderap menuju kamar, yang hanya berfungsi sebagai lemari pakaian, mengingat ia tidak benar-benar menggunakan kamar itu dan memasukinya hanya bila ingin mandi dan mengganti pakaian.
Pilihannya jatuh di kemeja zamrud gelap lengan pendek yang tak dikancing. Sablon logo di tengah sebuah kaus hitam mengintip dari balik kemeja. Cuaca malam itu tidak terlalu menggigit kulitnya, maka ia memilih ripped jeans agar pergerakan kakinya tidak terhambat. Setelah selesai, ia berderap ke balkon kamar. Ternyata sudah larut malam. Awan hitam masih menampung hujan, sementara bunyi guntur telah merajai langit.
Berdiri di atas tembok pembatas balkon, Zeze merasa baik-baik saja sewaktu mengukur betapa ekstrem jarak antara rumput istana dengan kakinya, tanpa merasa pusing atau mabuk. Hidupnya telah terbiasa dengan ketinggian. Dengan lompatan dari tiang ke tiang, ia tiba di atap bangsal timur istana. Mengendap-endap adalah salah satu spesialisasi Artemis. Hanya perlu hitungan menit sampai telapak kakinya yang dibalut sneaker berwarna putih, menapaki trotoar di pinggir jalan.
Baiklah. Pertama-tama ayo ke Akademi, batinnya, mengembuskan napas panjang.
Setibanya di sana, ia langsung melesat ke ruang CCTV. Langkah pertama adalah menghapus bukti-bukti keberadaannya. Sejumlah petugas manusia yang berjaga telah ia bereskan dengan suntikan obat tidur di bagian leher, sementara robot asisten mengalami shut down. Walaupun sudah berulang kali mengutak-atik rekaman, Zeze masih belum menemukan keberadaan Glen. Keraguan menjalari tulangnya, namun di saat yang sama ia percaya pada instingnya, bahwa Glen ada di dalam gedung.
Tak ingin buang waktu, ia melanjutkan pencariannya secara manual, mengambil peran sebagai an*jing pelacak. Tujuan pertama adalah ruang kelas. Kepalanya menyembul melewati jendela di samping pintu masuk yang selalu terbuka. Gelap.
Begitu ia masuk dan mengangkat jari telunjuk, sebagian aura yang membawa panas tubuhnya lantas berkumpul di ujung kuku, membentuk perwujudan dari dýnami-nya; api merah menyala. Dengan cahaya yang dipancarkannya, Zeze bisa memastikan bahwa ransel Glen masih bersarang di tempat semula ia menaruhnya.
Decak kesal langsung terlontar dari mulutnya. Dia memang benar-benar bodoh! Merusak suasana hati saja!
Masih mempertahankan apinya, Zeze menjejaki setiap sudut bangunan yang telah ia hafal itu, mengingat ia pernah melakukan pencarian yang sama sebelumnya terhadap orang yang sama pula, orang yang ternyata adalah teman sebangkunya sendiri. Sungguh konyol. Takdir benar-benar komedi.
Sesuatu merayap cepat di depan kakinya. Berhenti mendadak, Zeze memekik dan menyumpah di bawah napasnya yang tersendat. "Di sini ada tikus?" desisnya ngeri, memegangi dada yang berdebar. Lalu ia kembali berjalan sambil memeluk tubuhnya sendiri, mata waspada memindai lantai.
Saatnya seorang seeker Énkavma unjuk gigi. Petunjuk demi petunjuk ia dapatkan hingga membawanya pada satu titik terang. Langkahnya karam di depan pintu gudang lantai tiga. Bila dugaannya benar, Glen seharusnya ada di dalam. Pintu itu mengablak terbuka oleh tendangannya.
Benar. Dia ada di dalam; sedang duduk melunglai bersandarkan tumpukan kardus yang menggunung dengan kedua kaki terulur ke depan.
Ck, idiot.
Zeze melangkah maju. Semakin ia mendekat, semakin leluasa cahaya api di jari telunjuk melingkupi ruangan luas-gelap yang sesak dengan banyak barang itu.
Lalu ia menemujan wajahnya; terpejam, babak-belur. Seragam yang tadi pagi rapi kini berantakan, ternoda oleh bercak darah di mana-mana.
Zeze berjongkok di sebelah kirinya, menyingkap surai hitam yang jatuh menutupi matanya dengan jari-jari. Ditatapnya wajah penuh tanda biru itu dengan mata meredup. Bagaimana dia bisa berakhir seperti ini?
Ekor matanya menangkap kacamata pemberiannya, tergenggam erat di tangan kanan lelaki itu, seolah bermaksud melindungi, atau mungkin ia hanya salah mengintepretasi. Ketika ia hendak menggapainya, tangan itu bergerak menjauh.
"Jangan mengambil kembali apa pun yang pernah kau berikan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
athala
cuma kion doang emang orang marah dikasih thai tea 🤣
2020-07-08
8