Ketos & Geng Motor (Dark Road, Loving You)
Suasana tenang di rumah minimalis dua lantai perumahan griya perwita dewi no. O47 rusak oleh kedatangan seorang pria pengguna motor herex ‘Honda Exciting Riding Extreme’ di carport rumah tanpa pagar pukul sebelas malam.
Di dalam rumah bercat hijau telur asin dan bermandikan benderang lampu light emitting diode masih terjaga seorang pemuda berusia 19 tahun, Tegar Julio Raydan Abiyasa, si jangkung kelas tiga SMA swasta di Jakarta Selatan sebagai putra ke tiga dari pasangan Harris Abiyasa dengan istri sirinya—Shinta—yang sedang berdandan di kamar.
Tegar menaruh ponselnya di meja seraya bangkit dari sofa dan membuka pintu. “Ayah.” sambutnya hangat. Kedatangannya sudah di tunggu-tunggu ibu dan adiknya. Sementara bagi Tegar yang sanggup menghitung kedatangan Harris setahun terakhir dengan jarinya hanya sebatas oh iya gue punya bokap. Bokap gue datang nih tanpa perasaan yang menggebu-gebu. Tetapi entah kenapa firasat anak lelaki yang sedang menumbuhkan peran sebagai pengganti sang ayah setahun terakhir untuk sang adik membatin ada yang berbeda dari sikap ayahnya, Harris tidak memeluk dan tersenyum seperti biasanya saat mereka bertemu setelah sekian lama. Harris tampak keruh dan tegang sampai mengabaikan uluran tangannya.
Mungkin lagi capek.
“Ma... Mama, ayah udah datang tuh!” seru Tegar sambil menutup pintu.
Shinta meletakkan lipbalm di depan cermin oval seraya tergesa-gesa keluar dari kamar, ia menggunakan daster satin selutut dengan lengan sesiku.
“Ya ampun mas, kangen banget aku sama kamu.”
Tegar menatap orang tuanya yang berpelukan cukup lama dengan muka malas. Tetapi tangan Harris hanya bergeming di sisi tubuh.
Udah tua masih mesra-mesraan. Nggak ingat umur. Tegar memutar matanya.
“Dinda nyariin kamu terus itu mas, nginep lama kan?”
Harris mendorong bahu istrinya hingga membuatnya terperangah, suaminya yang dicintainya berubah. “Kenapa mas?”
Tegar melihat ayahnya menurunkan tas ranselnya ke sofa dan melempar segepok uang sebesar 500 juta ke meja. Tegar terkejut, firasatnya mulai berkecambah dalam dada sementara sang ibu tampak semakin terheran-heran.
“Untuk apa uang sebanyak itu mas? Kamu menang tender, iya?” Shinta berkata dengan nada naik-turun.
“Kalian semua pergi dari Jakarta secepatnya!”
“Loh... loh... emang kenapa mas? Mbak Mike udah tau kamu selingkuh? Iya...” Shinta menatap suaminya lebih dekat.
Harris menyingkirkan tangan Shinta yang memegangi lengan atasnya.
“Aku mau kampanye, Shin. Sainganku bakal cari keburukanku dan berimbas pada kredibilitasku sebagai politikus. Kalian pergi, tenang aja aku akan menafkahi kalian dari sini!”
“Nggak bisa gitu dong mas!” seru Shinta. “Tegar bentar lagi ujian, Dinda juga butuh kamu. Enak aja main ngusir kami. Nggak, nggak bisa, mas sendiri yang minta kami tinggal di sini. Aku nggak setuju kalo kita keluar Jakar—”
“Shin!” bentak Harris, lalu menoleh saat Tegar menggeram terluka atas keributan yang terjadi. “Kamu masuk ke kamar, Gar!”
Tegar membersit hidungnya dengan gaya angkuh lalu berdiri, “Aku jadi ngerti sekarang kenapa papa ngasih nama aku Tegar, gini maksud ayah? Ayah ngusir kami? Ayah takut aib 19 tahun terbongkar?”
Kelopak mata Harris melebar, sedang kesal dan capek-capeknya bekerja dia membentak Tegar untuk masuk ke dalam kamar saja dan menyumpal telinganya dengan headset.
Tegar pergi ke kamarnya seraya membanting pintu dengan keras, dalam gelap kamar ia mendengar perdebatan orang tuanya sambil bersandar di pintu. Dadanya sesak setelah kalimat panjang ayahnya yang mengatakan bahwa keadaan mereka akan merugikan dan tidak bisa dibiarkan terlalu lama menyakiti ibunya dan ia sendiri. Ibunya menjerit, mengatakan ayahnya tidak becus menjadi ayah dan suami, Harris menelantarkan mereka sekian lama bahkan enggan menikahinya secara resmi.
Tegar mengepalkan tangan dan memukul-mukul pintu saking marahnya dengan pertengkaran orang tua. Ia melesat keluar dari kamar saat Harris melayangkan tamparan ke wajah ibunya.
“Sialan! Cukup ayah! Jangan berani menyakiti ibuku! Cukup.” teriak Tegar seraya meraih tubuh ibunya ke dalam pelukannya. “Kita pergi, Ma! Lagian udah 19 tahun ayah susah mengakui kita! Kita pergi, aku udah muak dengan semua ini! Mending kita hidup tanpa ayah!”
“Tapi adikmu butuh bapak, Gar!” ucap Shinta dengan parau, tangannya memegangi pipinya yang perih.
“Gampang, Dinda bakal ngerti kalo ayahnya sudah mati, Ma! Mati rasa!”
“Gar!” Harris melayangkan tamparan ke wajah Tegar, “Jaga mulutmu.” imbuhnya dengan hati yang panas.
Tegar berbalik, seulas senyum sadis ia berikan pada ayahnya yang setinggi dirinya, 170 cm. Sama-sama berperawakan tinggi dan menyukai hobby yang sama, riding dan touring sebagai hiburan kala senggang.
“Masalah buat ayah?” tanyanya serak. “Masalahnya di mana coba? Ayah bisa jelaskan?”
Bahu Harris menegang, butuh beberapa saat hingga pria itu berbalik dan menghilang ke kamar Dinda di lantai dua.
Dengan sayang Tegar membantu ibunya duduk dan mengambil segelas air putih. Shinta terlihat ketakutan dan parahnya lagi seluruh tubuhnya gemetar. Dua bulir air mata jatuh menetes dari matanya.
“Mama nggak tahu harus memperjuangkan hak kalian gimana lagi, Gar? Mama nggak punya akses bebas buat ketemu bapakmu atau istri pertamanya demi kelayakan keluarga ini.” Shinta terisak.
Tegar menggoyangkan jari telunjuknya. “Nggak perlu, Ma. Cukup mempersulit diri sendirinya, kita berhak bahagia dan biarkan ayah seperti itu! Selamanya akan seperti itu! Mama ngerti, cinta mama yang hebat itu sia-sia. 19 tahun, Ma. Mau cari apa lagi di ayah?”
Bulir air mata Shinta yang menetes semakin deras seolah ia tertampar dengan kalimat putranya yang kerap menjadi sasaran empuk mengasuh adiknya yang berusia sepuluh tahun. Dinda Melody Abiyasa.
Shinta memandang Tegar dan mengangguk lemah. “Tapi kamu jadi anak yang baik, Gar. Yang rajin sekolahnya. Jangan bolos terus, mama kepikiran mau jadi anak apa kamu nanti!” ucapnya tersenggal-senggal.
Tegar mengulum senyum sambil geleng-geleng kepala.
19 tahun gue udah didewasakan dalam banyak hal oleh masalah bapak ibu gue sendiri. Besok lebih berasa hidup tanpa ayahnya!
Esok paginya, mereka disibukkan dengan segala sesuatu. Shinta memasukkan barang-barang penting keluarganya ke lima koper besar. Tegar ke sekolah dengan Harris yang menyamar menggunakan tahi lalat palsu di pipinya bersama Dinda yang tak ingin lepas dari ayahnya barang hanya sejam saja untuk melakukan sesi pindah sekolah.
“Ayah, nanti beneran kita naik kereta api ke tempat eyang putri di Solo?” tanya Dinda sambil menggoyangkan tangan ayahnya yang menggandengnya.
Harris mengiyakan lalu menggendong satu-satunya anak perempuannya. “Nanti papa nyusul ke tempat eyang, Dinda sama kakak dan Mama.”
“Yah, ayah nggak asyik. Dinda kan mau jalan-jalan sama ayah! Bareng-bareng.” keluh bocah yang memakai bando kupu-kupu lalu cemberut.
Tegar menghidupkan motor herex ayahnya sambil memakai helm.
“Ayah turuti kemauan Dinda sekali seumur hidup apa susahnya!” sergah Tegar saat ayahnya hendak mengucapkan sepatah alasan baru.
“Lagian Jakarta-Solo berapa jam? Nggak akan bikin ayah rugi besar setelah apa yang ayah lakukan kepada kami bertiga! Gila, egois banget.”
“Oke.” Harris mengiyakan dengan suara terpaksa. “Tapi ingat kamu, Gar. Kamu boleh marah ayah sekarang tapi kamu nggak boleh kurang ajar! Ngerti!”
Dengan seringai aneh Tegar mengiyakan. Mereka pergi dari Jakarta sore menggunakan kereta api eksklusif dari stasiun Gambir ke stasiun Solo Balapan. Tegar membawa serta motor herex ayahnya.
...***...
...Happy Reading....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
may
Hai kak selfi, aku mampir kesini❤️
2023-10-28
0
Vlink Bataragunadi 👑
kok aku baru tauuu, aku malah setia ngendong di Kinasih lo Viii >_<
2023-09-26
0
Lidya Mirosih Janah
oke Thor
2023-09-02
0