Suasana tenang di rumah minimalis dua lantai perumahan griya perwita dewi no. O47 rusak oleh kedatangan seorang pria pengguna motor herex ‘Honda Exciting Riding Extreme’ di carport rumah tanpa pagar pukul sebelas malam.
Di dalam rumah bercat hijau telur asin dan bermandikan benderang lampu light emitting diode masih terjaga seorang pemuda berusia 19 tahun, Tegar Julio Raydan Abiyasa, si jangkung kelas tiga SMA swasta di Jakarta Selatan sebagai putra ke tiga dari pasangan Harris Abiyasa dengan istri sirinya—Shinta—yang sedang berdandan di kamar.
Tegar menaruh ponselnya di meja seraya bangkit dari sofa dan membuka pintu. “Ayah.” sambutnya hangat. Kedatangannya sudah di tunggu-tunggu ibu dan adiknya. Sementara bagi Tegar yang sanggup menghitung kedatangan Harris setahun terakhir dengan jarinya hanya sebatas oh iya gue punya bokap. Bokap gue datang nih tanpa perasaan yang menggebu-gebu. Tetapi entah kenapa firasat anak lelaki yang sedang menumbuhkan peran sebagai pengganti sang ayah setahun terakhir untuk sang adik membatin ada yang berbeda dari sikap ayahnya, Harris tidak memeluk dan tersenyum seperti biasanya saat mereka bertemu setelah sekian lama. Harris tampak keruh dan tegang sampai mengabaikan uluran tangannya.
Mungkin lagi capek.
“Ma... Mama, ayah udah datang tuh!” seru Tegar sambil menutup pintu.
Shinta meletakkan lipbalm di depan cermin oval seraya tergesa-gesa keluar dari kamar, ia menggunakan daster satin selutut dengan lengan sesiku.
“Ya ampun mas, kangen banget aku sama kamu.”
Tegar menatap orang tuanya yang berpelukan cukup lama dengan muka malas. Tetapi tangan Harris hanya bergeming di sisi tubuh.
Udah tua masih mesra-mesraan. Nggak ingat umur. Tegar memutar matanya.
“Dinda nyariin kamu terus itu mas, nginep lama kan?”
Harris mendorong bahu istrinya hingga membuatnya terperangah, suaminya yang dicintainya berubah. “Kenapa mas?”
Tegar melihat ayahnya menurunkan tas ranselnya ke sofa dan melempar segepok uang sebesar 500 juta ke meja. Tegar terkejut, firasatnya mulai berkecambah dalam dada sementara sang ibu tampak semakin terheran-heran.
“Untuk apa uang sebanyak itu mas? Kamu menang tender, iya?” Shinta berkata dengan nada naik-turun.
“Kalian semua pergi dari Jakarta secepatnya!”
“Loh... loh... emang kenapa mas? Mbak Mike udah tau kamu selingkuh? Iya...” Shinta menatap suaminya lebih dekat.
Harris menyingkirkan tangan Shinta yang memegangi lengan atasnya.
“Aku mau kampanye, Shin. Sainganku bakal cari keburukanku dan berimbas pada kredibilitasku sebagai politikus. Kalian pergi, tenang aja aku akan menafkahi kalian dari sini!”
“Nggak bisa gitu dong mas!” seru Shinta. “Tegar bentar lagi ujian, Dinda juga butuh kamu. Enak aja main ngusir kami. Nggak, nggak bisa, mas sendiri yang minta kami tinggal di sini. Aku nggak setuju kalo kita keluar Jakar—”
“Shin!” bentak Harris, lalu menoleh saat Tegar menggeram terluka atas keributan yang terjadi. “Kamu masuk ke kamar, Gar!”
Tegar membersit hidungnya dengan gaya angkuh lalu berdiri, “Aku jadi ngerti sekarang kenapa papa ngasih nama aku Tegar, gini maksud ayah? Ayah ngusir kami? Ayah takut aib 19 tahun terbongkar?”
Kelopak mata Harris melebar, sedang kesal dan capek-capeknya bekerja dia membentak Tegar untuk masuk ke dalam kamar saja dan menyumpal telinganya dengan headset.
Tegar pergi ke kamarnya seraya membanting pintu dengan keras, dalam gelap kamar ia mendengar perdebatan orang tuanya sambil bersandar di pintu. Dadanya sesak setelah kalimat panjang ayahnya yang mengatakan bahwa keadaan mereka akan merugikan dan tidak bisa dibiarkan terlalu lama menyakiti ibunya dan ia sendiri. Ibunya menjerit, mengatakan ayahnya tidak becus menjadi ayah dan suami, Harris menelantarkan mereka sekian lama bahkan enggan menikahinya secara resmi.
Tegar mengepalkan tangan dan memukul-mukul pintu saking marahnya dengan pertengkaran orang tua. Ia melesat keluar dari kamar saat Harris melayangkan tamparan ke wajah ibunya.
“Sialan! Cukup ayah! Jangan berani menyakiti ibuku! Cukup.” teriak Tegar seraya meraih tubuh ibunya ke dalam pelukannya. “Kita pergi, Ma! Lagian udah 19 tahun ayah susah mengakui kita! Kita pergi, aku udah muak dengan semua ini! Mending kita hidup tanpa ayah!”
“Tapi adikmu butuh bapak, Gar!” ucap Shinta dengan parau, tangannya memegangi pipinya yang perih.
“Gampang, Dinda bakal ngerti kalo ayahnya sudah mati, Ma! Mati rasa!”
“Gar!” Harris melayangkan tamparan ke wajah Tegar, “Jaga mulutmu.” imbuhnya dengan hati yang panas.
Tegar berbalik, seulas senyum sadis ia berikan pada ayahnya yang setinggi dirinya, 170 cm. Sama-sama berperawakan tinggi dan menyukai hobby yang sama, riding dan touring sebagai hiburan kala senggang.
“Masalah buat ayah?” tanyanya serak. “Masalahnya di mana coba? Ayah bisa jelaskan?”
Bahu Harris menegang, butuh beberapa saat hingga pria itu berbalik dan menghilang ke kamar Dinda di lantai dua.
Dengan sayang Tegar membantu ibunya duduk dan mengambil segelas air putih. Shinta terlihat ketakutan dan parahnya lagi seluruh tubuhnya gemetar. Dua bulir air mata jatuh menetes dari matanya.
“Mama nggak tahu harus memperjuangkan hak kalian gimana lagi, Gar? Mama nggak punya akses bebas buat ketemu bapakmu atau istri pertamanya demi kelayakan keluarga ini.” Shinta terisak.
Tegar menggoyangkan jari telunjuknya. “Nggak perlu, Ma. Cukup mempersulit diri sendirinya, kita berhak bahagia dan biarkan ayah seperti itu! Selamanya akan seperti itu! Mama ngerti, cinta mama yang hebat itu sia-sia. 19 tahun, Ma. Mau cari apa lagi di ayah?”
Bulir air mata Shinta yang menetes semakin deras seolah ia tertampar dengan kalimat putranya yang kerap menjadi sasaran empuk mengasuh adiknya yang berusia sepuluh tahun. Dinda Melody Abiyasa.
Shinta memandang Tegar dan mengangguk lemah. “Tapi kamu jadi anak yang baik, Gar. Yang rajin sekolahnya. Jangan bolos terus, mama kepikiran mau jadi anak apa kamu nanti!” ucapnya tersenggal-senggal.
Tegar mengulum senyum sambil geleng-geleng kepala.
19 tahun gue udah didewasakan dalam banyak hal oleh masalah bapak ibu gue sendiri. Besok lebih berasa hidup tanpa ayahnya!
Esok paginya, mereka disibukkan dengan segala sesuatu. Shinta memasukkan barang-barang penting keluarganya ke lima koper besar. Tegar ke sekolah dengan Harris yang menyamar menggunakan tahi lalat palsu di pipinya bersama Dinda yang tak ingin lepas dari ayahnya barang hanya sejam saja untuk melakukan sesi pindah sekolah.
“Ayah, nanti beneran kita naik kereta api ke tempat eyang putri di Solo?” tanya Dinda sambil menggoyangkan tangan ayahnya yang menggandengnya.
Harris mengiyakan lalu menggendong satu-satunya anak perempuannya. “Nanti papa nyusul ke tempat eyang, Dinda sama kakak dan Mama.”
“Yah, ayah nggak asyik. Dinda kan mau jalan-jalan sama ayah! Bareng-bareng.” keluh bocah yang memakai bando kupu-kupu lalu cemberut.
Tegar menghidupkan motor herex ayahnya sambil memakai helm.
“Ayah turuti kemauan Dinda sekali seumur hidup apa susahnya!” sergah Tegar saat ayahnya hendak mengucapkan sepatah alasan baru.
“Lagian Jakarta-Solo berapa jam? Nggak akan bikin ayah rugi besar setelah apa yang ayah lakukan kepada kami bertiga! Gila, egois banget.”
“Oke.” Harris mengiyakan dengan suara terpaksa. “Tapi ingat kamu, Gar. Kamu boleh marah ayah sekarang tapi kamu nggak boleh kurang ajar! Ngerti!”
Dengan seringai aneh Tegar mengiyakan. Mereka pergi dari Jakarta sore menggunakan kereta api eksklusif dari stasiun Gambir ke stasiun Solo Balapan. Tegar membawa serta motor herex ayahnya.
...***...
...Happy Reading....
Senin pagi di kota Solo yang mendung. Motor Tiger herex yang mempunyai suara bak helikopter mini meluncur dari rumah sederhana dari perkampungan pinggir kota menuju SMA Garuda Pradipta Jaya sebagai tempat Tegar melanjutkan pendidikannya setelah melewati beberapa hari di kota itu tanpa semangat.
Di perjalanan, tampilan motor drag bike pretelan itu menjadi pusat perhatian. Modifikasi warna merah dan hitam metalik, penggunaan ukuran ban yang kecil dan stang acerbis-nya termodifikasi dengan mesin dan komponen unggulan dengan sempurna. Meski tak seperti motor-motor drag bike herex lainnya yang cenderung di luar nalar, motor Harris enak di pandang.
Tegar tersenyum kecil. Banyak pelajar berseragam putih abu-abu yang menatapnya sekilas dan tergesa menyusuri jalanan menuju gerbang sekolah. Ia berhasil melewati pintu gerbang tepat ketika gerbang hendak ditutup oleh pak satpam.
Tegar menapakkan kaki kirinya di atas genangan air sisa hujan semalam di lantai parkiran seraya melepas helm full face-nya. Ia menerawang sekolah barunya sambil bersedekap di saat Mikaila Dennise ketua OSIS 18 tahun yang semalam mengikuti acara lamaran kakaknya terlambat datang.
Mikaila memanjat pagar sekolah sesaat setelah rayuannya pada pak satpam gagal total. Dibarengi intrupsi pak satpam, ia berlari tunggang langgang ke arah Tegar dan syurrr... Mikaila menjerit, kedua tangannya terayun ke atas dengan satu kakinya yang terangkat.
Tegar reflek meraih gadis berambut panjang nyaris yang terjungkal karena terpeleset.
Mikaila memegangi dadanya yang rasanya si jantung berdetak cepat hingga napasnya memburu dalam dekapan Tegar yang tercenung.
Hari pertamanya sekolah akan menjadi hari paling diingatnya sebagai hari paling menghibur di kota kecil yang lebih nyaman untuk motoran ketimbang Jakarta yang hampir sebagai jalannya ditemukan kemacetan. Kesialan Mikaila membuat senyumnya mengembang sekilas.
Mikaila mengerjap, menatap takjub laki-laki penolongnya yang berparas tampan tanpa ekspresi itu sambil tersenyum lepas.
“My Hero.” ucapnya lalu mendusel ke dada Tegar yang wangi.
Tegar melepas tangannya dengan tak acuh.
Mikaila terjatuh di genangan air sambil menjerit. Ia bangkit tanpa jeda sambil mendengus jengkel.
“Kamu batal jadi pahlawanku, kamu penipu!”
Mikaila menarik rok belakangnya yang basah lalu mengumpulkan tepian rok dan memeras airnya yang merembes sampai ke celana ketatnya.
“Terserah katamu!” sahut Tegar pendek, tak berniat mengeluarkan sepatah kata lain selagi gadis kecentilan yang mengurusi roknya sampai terlihat kusut itu mengomelinya.
“Semoga kamu dapat karma! Kapok.”
Tegar geleng-geleng kepala lalu pergi meninggalkannya.
Mikaila melangkah cepat-cepat, mendahului Tegar seraya menatapnya sambil berjalan mundur di tengah parkiran motor. Ia menyipitkan mata dan terlihat menyadari sesuatu.
“Siapa kamu?”
Pemuda berwajah muram itu menjawab sambil melepas tas ranselnya dan menaruhnya di stang motor orang, “Aku manusia bumi!”
Mikaila mendesis tak sabar, sementara dari arah lapangan upacara sudah terdengar intrupsi dari guru agar berbaris dengan rapi.
“Aku tau kamu manusia bumi, bukan gorila. Tapi kamu sama kayak gorila sih, sama-sama bernafas dan mahluk hidup!” Mikaila cepat-cepat melengos, ia berhenti di samping tembok kelas sepuluh sambil mengintip ke arah lapangan sekolah.
“Nggak mungkin ke ruang guru sekarang, aku pasti jadi artis dadakan. Ih...” Mikaila menghentakkan punggungnya ke tembok, menguncupkan bibirnya lalu memandang Tegar yang mengulurkan jaket baseball-nya.
“Pakai!”
“Gak ah, ntar kamu bohong kayak tadi.” Mikaila menggeleng. “Lagian kita nggak kenal.”
“Sangat mudah mencari keberadaanmu di sekolah ini!” Tegar menyampirkan jaketnya di kepala Mikaila yang memakai bando berkain batik.
Mikaila berhasil meraih lengan Tegar sebelum pemuda berseragam resik dan baru itu meninggalkannya seorang diri dalam keadaan ngenes.
Mikaila nyengir, meraup kesempatan untuk kepentingan pribadinya yang sedang gawat darurat adalah wajib hukumnya. Tetapi antusiasme yang tak wajar itu membuat Tegar agak ngeri melihat Mikaila dekat-dekat.
Tegar berusaha menepis tangan Mikaila. Tetapi gadis yang memiliki kekuatan ekstra ditengah situasi itu melarangnya dengan memegangi tas Tegar dengan tangan satunya.
Ini cewek nggak paham istilah jauhi orang asing kayaknya. Nggak takut sama gue dia.
“Mau apa?” tanya Tegar dengan malas.
Mikaila melongok sekilas ke arah lapangan, siswa petugas upacara dan para guru bingung mencarinya. Beberapa mengira Mikaila malah tidak masuk sekolah hingga menyarankan untuk mengganti komandan upacara.
“Bolos aja yuk? Aduh, tapi nggak mungkinlah. Tapi malu banget, basah gini, nanti di kira ngompol lagi.”
Mikaila mengekspose Tegar dari atas ke bawah, perawakan Tegar yang tinggi seperti anggota pleton inti paskibraka sekolahnya mencetuskan ide brilian dan edan dalam sekali jadi. Sementara Tegar mengamati wajah gadis asli Solo berwajah manis khas gadis kembang desa dengan seksama. Hatinya berkata cantik, logikanya membantah.
“Sekalian aja kamu jadi pahlawanku sepenuhnya mau gak?”
“Buruan ngomong, lelet!”
“Kamu gantiin aku jadi komandan upacara ya? Ya-ya, mau ya? Aku bayar dua puluh ribu!” bujuknya dengan ekspresi yang di gemas-gemaskan.
Tegar antusias menyingkir tangan Mikaila dari tas dan lengannya. “Uang sakuku sehari seratus ribu, duitmu nggak ada gunanya!”
“Wah sombong, anak baru kamu? Perlu aku ospek secara pribadi? Iya.” benak Mikaila.
“Hei—hei, kalian ngapain di sana, bukan di lapangan! Mika, buruan pimpin upacara!” seru Bu Weni—wali kelas Mikaila—mendatangi mereka dari area parkir khusus guru.
Terburu-buru Mikaila mengikat lengan jaket Tegar di pinggangnya seraya mengaduk-aduk isi tasnya untuk mencari topi upacara dan menaruhnya di kepala Tegar sambil berjinjit.
“Pokoknya bantuin. Ntar aku masih uang bensin seminggu!” desak Mikaila lalu menoleh, tersenyum aneh pada Bu Weni yang mengingat pemuda tampan yang mendatangi sekolah Jumat kemarin bersama ibunya.
“Tegar Abiyasa?” Bu Weni mengulurkan tangan. Dengan perangai berbeda, Tegar tersenyum dan mengangguk. Mereka bersalaman, bercakap-cakap seputar kelas dan sosok Mikaila yang bisa menjadi tempat mencari bantuan.
Baik Tegar ataupun Mikaila mencatat baik-baik keterangan yang diam-diam teramat penting bagi keduanya. Sebuah nama yang langsung terpatri dalam ingatan.
“Terus ngapain kalian berdua masih di sini bukannya upacara!” Bu Weni menjureng curiga. “Mau bolos kalian? Atau mau pacaran? Hayo...” seloroh Bu Weni yang menjadi guru favorit.
Dengan murah hati Mikaila mendesis tajam.
“Aku habis kepeleset, Bu. Nih-nih...” Mikaila mengangkat jaketnya dan menunjukkan roknya dengan sedikit menyunggingkan sebelah pantatnya. “Tegar bisa gantiin aku jadi komandan. Ya kan?”
Tegar menerima kerlingan sebelah mata Mikaila. Dengan berat hati ia mengangguk lalu membetulkan topinya yang terasa sempit di kepala. “Bisa, Bu. Sekalian bisa memperkenalkan diri sebagai siswa baru secara besar-besaran.”
Bu Weni hendak menolak rencana ngawur siswanya, tetapi Mikaila sudah menarik Tegar ke bagian khusus petugas upacara dengan berlari cepat di koridor sekolah yang sepi.
...***...
...Happy Reading....
Tegar mencegat Mikaila di depan kamar mandi siswa setelah membuat kehebohan di lapangan atas kedatangannya sebagai anak baru yang tiba-tiba menjadi komandan upacara. Namanya pun menyusup di antara semilir angin yang begitu mudah membaur di antara tanya dan beragam pendapat lainnya tentang kehadirannya pagi itu.
“Mana uang yang kamu janjikan?” Tegar menengadahkan tangan.
Belum juga sejam udah di tagih. Sambil mendengus Mikaila merogoh kantong baju seragamnya. Mikaila pantang berbohong, sebagai ketua OSIS yang ingin membuat masa akhir jabatannya tetap bagus, mau di mana ia menaruh wajahnya jika berkata jujur bahwa uang sakunya hanya uang 20rb yang berpindah tangan?
Tegar menjejalkan uang lecek ke saku celananya. “Gantian aku yang minta tolong!”
Mikaila tercenung sebentar, benaknya mengira-ngira pemuda yang tampannya berkali-kali menyita perhatian siswi-siswi yang melewatinya menginginkan apa?
Mikaila mendadak was-was, dia sampai melambaikan tangan pada Melody dan Sarina yang mengintipnya dari balik pilar. Keduanya sahabat Mikaila, wakil OSIS dan si penasihat.
“Bentar-bentar, nunggu timku!” Mikaila melambai dengan antusias. “Buruan guys.”
Dua gadis berkacamata fashion berlari kecil ke arahnya. “Kenapa, Mik? Anak baru ganggu kamu?” tukas Sarina, gadis berbadan berisi yang konon katanya ia ingin kuliah hukum setelah lulus SMA.
“Ini Tegar mau minta tolong aku. Gar, kamu mau minta tolong apa? Biar Sarina nih yang atur.” Mikaila menarik lengan Sarina agar lebih dekat dengan Tegar.
Tenggorokan Tegar terasa kering, lagi-lagi mendapati pemandangan serupa, takjub akan pesonanya yang akan membuat kontroversi hati di kemudian hari.
“Mau minta tolong apa, Tegar?” tanya Sarina lembut sambil menatapnya lekat.
Sarina terabaikan. Tegar mendekati Mikaila seraya membetulkan bandonya yang tidak simetris, “Ingat janjimu aja ketua sosis.”
Mikaila terbelalak dengan mulut ternganga. “Dia bilang aku ketua sosis. Woy, gorila!” serunya tidak terima.
Tegar menyeringai di pertengahan anak tangga. “Cewek belagu banget, baru jadi ketua osis aja pakai punya tim penasihat, udah kayak bokap ku aja! Sinting.”
Mikaila menyusul Tegar menaiki anak tangga lalu meraih lengannya. “Maksudmu apa bilang aku ketua sosis? Kamu cari masalah sama aku?” tantangnya berani.
Tegar hanya mampu menyunggingkan senyum ketika Bu Weni mengintruksikan mereka untuk segera masuk ke kelas di temani Melody dan Sarina dari bawah anak tangga.
“Kamu juga Tegar masuk ke kelas ibu!”
“Apa!” Mikaila berseru kelabakan sambil menuruni anak tangga cepat. “Kenapa satu kelas, Bu? Gak ada kelas lain apa?” tanyanya seakan tidak terima.
“Memangnya kenapa, Mik? Kamu punya masalah pribadi sama Tegar sampai nggak mau menerima Tegar di kelas ibu?” Bu Weni memandang keduanya bergantian. “Baru ketemu kok sudah punya masalah pribadi, jangan-jangan... jodoh...” Bu Weni, Melody dan Sarina tertawa melihat Mikaila bergidik ngeri seraya menapaki anak tangga dengan stamina prima sambil mengomeli sahabatnya yang tidak setia kawan.
Untuk Tegar, tuduhan Bu Weni ia tanggapi dengan satu-dua doa yang timbul tenggelam ketika menyamakan langkahnya dengan Bu Weni, Mika cs menuju kelas.
Kedatangan Tegar membuat riuh suasana.
Perkenalan singkat siswa baru di depan kelas berlangsung, Tegar disambut dengan antusiasme berlebih oleh gadis-gadis yang berlomba-lomba memberikan bangku sebelah mereka dengan saling mendorong teman sebangku.
“Tegar, sini aja sama Dela!” seru ketua pemandu sorak.
Tegar mengendikkan bahu di samping Bu Weni yang menepuk-nepuk papan tulis dengan alat penghapus. Diam!
“Kamu duduk sama Mikaila, Gar. Dia punya tugas membantumu beradaptasi dengan kurikulum sekolah ini. Mika... Kamu berbagi buku paket biologi, sekalian nanti temani Tegar ke perpustakaan waktu istirahat!”
Ya... Mikaila tampak kesal, tapi mau bagaimana lagi, dia membagi meja dan kursi sebelahnya untuk Tegar yang berimbas pada seruan tidak terima teman-temannya yang iri.
Mikaila menjulurkan lidah. Meledak Dela dan Mira yang paling keras menyerukan ketidaksetujuan Bu Weni menaruh Tegar dengan si ketua osis yang menjadi musuh besar anggota pemandu sorak itu.
“Iri tanda tak mampu, wek-wek-wek, Tegar punyaku... Eh.” Mikaila terperanjat sendiri dengan ucapannya lalu menutup wajahnya dengan buku.
“Aku salah bicara, Gar. Maafin ya, jangan diamini!” gumamnya pelan.
Melody dan Sarina serempak mengamini dengan semangat di belakang mereka. Tegar mengulum senyum sambil menggeser buku paket biologi yang di buka Mikaila sesuai halaman akhir pelajaran yang kelas pelajari Minggu kemarin. Mikaila yang keberatan menjadi ‘teman belajar’ Tegar hanya mengamati bukunya tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.
“Aku pinjam semua bukumu nanti.” Tegar mengeluarkan laptopnya, “Atau kamu mau balas budi setelah upacara tadi?”
“Maksudmu apa?” Mikaila berbisik
“Salin semua materi pelajaran di laptopku.”
“Ogah!”
Bu Weni berdehem. “Mika, Tegar!”
Konsentrasi kelas langsung tertuju pada Bu Weni yang menjelaskan metamorfosis hewan yang akan menjadi bahan praktikum dua hari lagi. Kodok.
“Maksud Bu Weni kita perlu cari kodok gitu di alam bebas?” ucap Dela setelah mengangkat tangan.
“Betul anak-anakku, kalian sebangku satu kelompok! Cari macam-macam metamorfosis kodok. Satu lagi, kodok dewasa untuk kita bedah.”
Beberapa siswi langsung bereaksi geli dan jijik, lalu melempar tugas pada teman kelompok untuk mencarinya sendiri atau beli di market place sebagai ide paling mudah di era sekarang.
Mikaila menoleh ke belakang, tempat Melody dan Sarina duduk. “Masa iya harus cari telur kodok sampe satu keluarganya. Ngeri banget tugas Bu Weni. Gimana ini guys.”
“Kita cari saja sepulang sekolah nanti.” Tegar menyarankan dengan santai.
Mikaila merinding seraya menggelengkan kepala.
“Aku geli, mending kita beli aja atau bayar orang buat nyariin katak betina sama jantan? Aku gak bisa bedain cuy...” keluhnya jujur.
“Sama!” sahut Melody dan Sarina bersamaan.
Tegar yang mendengar keluhan gadis-gadis di sekelilingnya menghembuskan napas. “Aku bisa.”
“Kita nitip boleh, Gar? Kita bayar deh.”
Tegar menengadahkan tangannya. Melody melirik Sarina hingga uang sebesar seratus ribu Tegar dapatkan.
“Tapi aku belum tau Solo sepenuhnya, jadi kita cari sama-sama, Mik!”
Perhatian Mikaila teralihkan, matanya mulai mengintimidasi rekan barunya yang tampaknya akan menyusahkan. “Kamu darimana emang? Luar Jawa sampai nggak tau Solo?”
“Bukan, aku dari Jakarta.”
“Anak gaul dong? Kenalan dulu deh?” Mikaila mengulurkan tangannya. Curi start dari para saingannya yang menatap iri kedekatan mereka.
Tegar memandang sekilas tangan Mikaila sebelum menggenggamnya.
“Tegar, ibuku yang orang Solo tapi lama di Jakarta.”
Mikaila tersenyum puas sambil menempelkan telapak tangannya di pipi. Matanya memandang Dela yang memandangnya tak suka.
Kapok kamu, Del. Panas itu hati. Hihi.
Bel istirahat berbunyi setelah sekian jam mendalami ilmu pengetahuan, berlomba-lomba para siswa-siswi keluar kelas tanpa membereskan buku-buku mereka terlebih dahulu.
“Mik, ayo kantin. Laper banget ini.” ajak Melody dan Sarina.
Mikaila menyunggingkan senyum aneh. Perutnya lapar, tapi uangnya ludes. Ingin minta traktiran tapi Tegar masih ada, menyalin materi-materi penting pelajaran yang terlewat dari semua buku pelajaran Mikaila.
“Duluan aja, Sar. Aku nyusul, masih ada tugas nih!” Mikaila menunjuk Tegar dengan ekor matanya.
“Kalo mau ke kantin, ke sana aja. Nggak usah nunggu sele—”Tegar mengalihkan perhatiannya dari laptop pada perut Mikaila yang berbunyi.
Mikaila merona sambil memegangi perutnya.
“Aku laper.”
“Pergi sana!” Tegar menegaskan.
Mikaila bertingkah aneh sampai memancing kecurigaan sahabatnya dan Tegar.
“Kenapa, Mik?” tanya Melody.
Mikaila mendesah, “Uangku abis, boleh balikin 10rb dulu nggak, Gar?”
Sarina tepok jidat, sementara Melody tergelak. Mereka bertiga adalah gadis-gadis periang yang menyenangkan.
“Mika... mika, malu-maluin kamu minta uangmu balik. Udah-udah buruan cabut, aku bayar!” seru Sarina sambil menarik tangan Mikaila. Tegar pun menahan tangan Mikaila satunya yang memakai gelang mutiara.
Sarina menarik tangan Mikaila lebih kuat tetapi tenaga Tegar tak perlu diragukan lagi kekuatannya karena sejak di Jakarta ia sudah rajin berolahraga membuat
tubuh Mikaila condong ke kanan-kiri berulangkali sampai rasanya mau copot.
“Udah dong, kalian ngapain sih!”
“Tegar tuh yang ngapain pegang-pegang kamu!” protes Sarina.
Spontan Tegar melepas tangannya hingga Mikaila tersuruk ke arah Sarina dengan Melody yang sigap menahan keduanya.
“Titip makan dan minum, sisanya buat kamu!” Tegar menyerahkan kembali uang Mikaila.
“Ya elah, bukannya traktir anak baru, malah di traktir anak baru! Turun pangkat aku!” protes Mikaila lalu menjejalkan uangnya ke saku seragamnya.
“Tunggu sini, jangan ke mana-mana!” Mikaila cs meninggalkannya seorang diri di kelas.
Tegar menghempaskan punggungnya di sandaran kursi seraya mengurut pelipisnya.
“Pusing gue, gimana caranya cari satu keluarga kodok! Mampus, anjir. Mana pernah ngurus gituan lagi!”
...****...
...Happy Reading....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!