Jejak Labirin Amnesia

Jejak Labirin Amnesia

Aku Mencintaimu

"Aku mencintaimu my Rena!" Danu meraih jemari istrinya, lalu mencium punggung tangan Renata dengan mesra usai memasangkan kalung sebagai hadiah anniversary pernikahan mereka yang ke lima.

Sayup-sayup terdengar suara iringan musik romantis dimainkan oleh band restoran itu sesuai pesanan Danu.

Lalu mereka menikmati makanan demi makanan yang tersaji malam itu dengan suasana romantis.

Lalu ditutup dengan mereka berdansa diiringi band dari restoran berbintang malam itu.

Selesai menikmati makan malam, Danu dan Renata bergegas pergi meninggalkan restoran tersebut menuju rumah mereka.

"Kenapa diam saja?" Tanya Danu memulai pembicaraan ketika dalam perjalanan pulang.

"Terima kasih atas makan malamnya yang sangat romantis. Tapi, sepertinya perutku masih lapar." Jawab Renata sambil melirik malu malu menatap Danu.

Sontak Danu tertawa terbahak mendengar jawaban istrinya itu.

"Astaga! Kenapa nggak bilang dari tadi kalau masih lapar."

Danu masih terkekeh sambil memperhatikan kanan kiri jalan mencari warung tenda yang masih buka.

"Mas, kalau repot, nggak usah. Nanti aku masak mi saja di rumah."

Renata makin terlihat tak enak pada Danu.

"Heh, kamu pikir aku juga nggak lapar."

"Hah...?!"

Renata terkejut dan melotot menatap Danu.

Danu menaikan bahunya, sambil menghentikan mobilnya tepat di sebuah gerobak nasi dan mi goreng.

"Jadi, Mas Danu juga masih lapar, nih? Kok nggak bilang. Pake gegayaan ngajakin dinner di restoran mahal, ujung-ujungnya kita makan gerobakan ginian." Gumam Renata sambil mengunyah nasi goreng pesanannya.

"Kita memang cocoknya makanan seperti ini."

"Iya.

Keduanya tertawa sambil menikmati makan malam sesi kedua mereka.

Setelah membayar makanan mereka, Danu dan Renata kembali masuk ke mobil.

Malam semakin larut, gerimis mengiringi perjalanan mereka kembali ke rumah.

Danu fokus menyetir, dan Renata menyandarkan kepalanya di lengan suaminya.

"Aku bahagia kita bisa melewati lima tahun ini, Mas."

"Ya, aku pun begitu." Sahut Danu.

"Maaf, aku belum bisa memberikan keturunan untukmu." Ucap Renata lirih dengan sedih.

"Rena, dengarkan aku! Menikah itu bukan hanya tentang memiliki anak. Tapi, juga tentang hubungan kita. Aku memilih kamu untuk menjadi istri, bukan untuk punya anak, tapi, untuk mendampingiku. Menjadi teman hidup, dalam keadaan apa pun. Kita telah berjanji saling setia sehidup semati. Jadi, urusan anak itu, urutan yang kesekian. Kamu itu akan menjadi istriku seumur hidupmu. Jika belum dikaruniai saat ini, mungkin besok. Mungkin, sekarang kita belum dipercaya oleh Tuhan untuk mendapatkan keturunan. Sabarlah." Danu menceramahi istrinya panjang lebar sambil menatap Renata dengan tatapan lembut.

"Mas, kenapa aku nggak bisa sabar seperti kamu?"

"Mungkin kamu harus mulai mengurangi makan pedas kali." Celetuk Danu sambil bergurau.

"Hadew! Aku tuh tanya serius, Mas." Renata memajukan bibirnya karena kesal.

"Tuh, kalo lagi gini, kamu tuh tambah gemesin loh." Rayu Danu.

"Gombal!"

Mereka saling mengobrol dan tertawa sepanjang perjalanan.

Namun, di arah sebaliknya sebuah truk tronton dengan kecepatan tinggi melaju tak terkendali.

BRAK!

TIN!

"Mas..."

Renata samar-samar melihat tubuh Danu terlontar oleh air bag karena benturan keras. Lalu terlihat kepala Danu membentur setir mobil, dan bagian depan truk telah meringsek bagian depan mobil mereka.

Renata merasa darah menetes dari pelipisnya, dan kakinya terjepit, tak dapat digerakkan.

Renata diam, dan pasrah. Dia melihat sekilas Danu memejamkan mata.

"Mas, jangan tinggalkan aku." Ucap Renata lirih sambil mengulurkan tangannya, meraih wajah suaminya yang dengan darah mengalir di pelipis.

Hujan semakin deras mengguyur mereka malam itu.

Perlahan Renata menutup matanya dan tak sadarkan diri.

*

Perlahan Renata membuka matanya.

Samar-samar, dia melihat ibunya duduk di sampingnya dengan wajah sembap.

"Ibu..." Ucap Renata lirih.

"Rena... Rena... Kamu sadar, Nak?" Dewi, ibu Renata segera mendekati putrinya, dan memastikan Renata telah sadarkan diri.

"Suster, Suster! Anak saya telah sadar!" Teriak Bu Dewi melalui telepon yang ada di kamar itu.

"Bu, Mas Danu?" Tanya Renata pelan, tak terdengar oleh Bu Dewi yang sedang sibuk menunggu perawat untuk datang memeriksa keadaan Renata.

Tak lama perawat datang, lalu memeriksa keadaan Renata dengan seksama, dan mencatatnya.

Lalu seorang dokter tiba, dan memeriksa kembali keadaan Renata, dan melihat catatan yang telah di buat oleh perawat sebelumnya.

"Bagaimana putri saya, Dokter?" Cecar Bu Dewi dengan khawatir.

"Putri ibu kondisinya bagus, biarkan istirahat dahulu sementara ini supaya keadaan lekas pulih." Ucap dokter sambil tersenyum, lalu pamit untuk memeriksa pasien lain.

Bu Dewi mendekati Renata, dan menggenggam tangan putrinya.

"Bu, mana Mas Danu?" Tanya Renata pelan pada ibunya.

"Rena, istirahat dulu. Dokter tadi bilang, supaya kamu segera pulih." Ucap Bu Dewi dengan lembut.

Tapi, Renata menolak untuk merebahkan tubuhnya, dia berusaha untuk duduk dengan tegak.

"Bu, Mas Danu? Apa yang terjadi dengan Mas Danu? Mana dia?" Tanya Renata dengan lebih keras pada ibunya.

Tok tok

Pak Hasan, ayah Renata masuk.

"Bapak langsung datang saat ibu mengabari kamu telah sadar, Nak." Ucap Pak Hasan sambil memeluk putrinya.

"Bapak! Di mana Mas Danu?" Tanya Renata dengan suara keras, sisa kekuatannya.

Pak Hasan dan Bu Dewi saling berpandangan, seolah saling bertanya untuk memberikan jawaban pada Renata.

"Apa yang terjadi pada kami? Mana Mas Danu? Jangan bilang Mas Danu sudah...."

Renata menangis histeris, dia tak bisa membayangkan kehilangan suaminya saat ini.

"Rena, Danu baik baik saja. Percaya pada kami. Kamu istirahat dulu untuk saat ini. Pulihkan tenagamu dulu."

Ucap Bu Dewi sambil memeluk dan membelai lembut punggung putrinya.

Renata melepas pelukan ibunya dan menoleh dan ayahnya.

"Ayah?" Renata bertanya seolah menanyakan kebenaran keberadaan Danu, suaminya.

"Ibumu benar, Rena. Danu baik baik saja. Kamu istirahat dulu, dan pulihkan dirimu dulu. Nanti setelah itu, kamu bisa bertemu dengan suamimu." Ucap Pak Hasan lembut, namun tegas.

Jawaban Pak Hasan meyakinkan Renata, lalu perlahan merebahkan tubuhnya dan menuruti ucapan dokter, dan orang tuanya.

Renata tak sepenuhnya percaya dengan ucapan ayahnya. Dia berencana untuk mencari tahu keberadaan suaminya.

"Bu, apa yang sebenarnya terjadi pada kami? Di mana Mas Danu? Bu, tolong katakan pada Rena." Renata menatap Bu Dewi dengan memelas.

"Rena, kamu baru sadar setelah koma selama dua minggu lebih." Bu Dewi membelai lembut putrinya, dan menatapnya.

"Rena koma? Lalu Mas Danu?"

Bu Dewi terdiam.

"Suamimu keadaannya jauh lebih baik. Tapi,...." Pak Hasan menimpali, namun, ucapannya terhenti sejenak sambil menoleh ke arah Bu Dewi, seolah meminta pendapat.

"Apa yang terjadi pada kami, Yah, Bu?" Kali ini Renata makin terisak, meminta orang tuanya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya dan Danu.

"Danu mengalami amnesia. Dia tak bisa mengingat apa pun ketika sadar. Bahkan, ketika melihatmu, dia juga tak ingat."

Pak Hasan menepuk bahu putrinya dengan rasa simpati.

Mendengar ucapan ayahnya, Renata merasakan kepalanya bagai dipukul dengan palu besar, dan tubuhnya seakan dihempaskan jauh ke bawah.

Renata hanya bisa menundukkan kepalanya.

Bu Dewi mendekap, putrinya, seakan ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Renata.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!