"Anak-anak, hari ini, kita akan belajar tentang bangun ruang. Adapun contohnya... Siapa yang bisa menyebutkan bangun ruang?"
Renata menatap ke sekeliling kelas.
Hari ini dia mulai membantu mengajar di sekolah.
Anak anak menyukainya. Dengan polos dan jujur beberapa anak mengatakan menyukai Renata karena cantik dan baik.
Renata menggunakan alat peraga sebagai contoh untuk membantu anak anak memahami pelajaran. Renata mengajar dengan metodenya sendiri. Hal itu membuat anak anak menyukai cara mengajar Renata yang berbeda dengan guru yang lain.
"Permisi, Bu Reni."
Renata berdiri di depan Bu Reni yang sedang menatap layar laptopnya.
"Ya, silahkan, Bu Rena. Ada apa?" Bu Reni menoleh pada Renata sambil melepas kacamatanya.
"Apakah saya boleh menaruh barang saya di kelas yang kosong, dan saya minta ijin, sepulang mengajar saya tetap tinggal di sekolah untuk melukis. Saya rasa di belakang sekolah tempatnya enak juga untuk melukis."
"Oh, tentu saja. Tidak masalah. Saya nitip kunci kelas saja pada Bu Renata."
"Terima kasih, Bu."
Renata menerima kunci kelas kosong yang akan dipakainya untuk menaruh lukisan karyanya.
Renata mengerjakan lukisan karyanya setelah selesai mengajar. Tak jarang beberapa siswa menonton Renata saat melukis, anak-anak kagum dengan kemahiran Renata memainkan kuas pada kanvas.
"Bu, kapan kapan, kami mau juga belajar melukis seperti Ibu."
Renata tersenyum, sambil menoleh ke arah siswa yang tengah memperhatikan.
Renata mengangguk pelan.
"Kapan-kapan, ya."
Anak-anak itu bersorak girang, lalu mereka berlari menuju ke arah sungai dan bermain di sana.
"Hati-hati, ya!"
Teriak Renata mengawasi siswanya.
"Baik, Bu!"
Keesokan harinya, usai mengajar, seperti biasa, Renata kembali menyelesaikan karyanya. Dia memiliki lima pesanan lukisan, dan baru menyelesaikan dua.
Renata bertekad menyelesaikan satu lagi untuk hari ini.
Renata mulai memainkan kuas pada kanvas dengan aneka warna, membuat warna warna itu menjadi pemandangan, bunga, bahkan wajah orang. Renata tenggelam dalam pekerjaannya siang itu, tanpa menyadari bahwa awan mulai berubah menjadi gelap.
Suara petir menyadarkan Renata.
"Astaga! Aku terlalu fokus melukis, hari mau hujan."
Renata membereskan perlengkapan melukisnya dengan cepat.
Tiang penyangga kanvas pun segera diseret supaya lukisan yang masih belum kering tidak terkena air hujan.
"Aduh, bodohnya aku!" Renata mulai mengomeli dirinya sendiri.
Lalu setelah memeriksa kembali perlengkapan melukisnya dan dirasa aman dari air hujan, Renata segera mengunci pintu kelas, dan bergegas menuju ke paviliun.
Belum setengah perjalanan menuju tempat tinggalnya, air hujan sudah turun rintik-rintik.
Renata berlari kecil menyusuri jalan setapak, hingga terlihat warung emak nya Mang Ucup di kejauhan, sekitar tiga ratus meter lagi.
Renata terengah-engah berlari berlomba dengan air hujan yang semakin deras. Jarak yang tinggal sedikit lagi, tapi terasa jauh karena hujan.
Renata makin mempercepat laju larinya hingga bagian teras warung Emak.
BRUK!
"Auch....!"
"Aduh...!"
Tubuh Renata tertahan, seseorang menarik tubuhnya, dan mendekap nya secara reflek.
Renata terkejut, menoleh pada sosok yang menahan tubuhnya itu.
Malik menatap Renata dengan lekat sambil memegangi tangan Renata.
Sejenak dia tertegun menatap wajah Renata, jantungnya berdetak lebih kencang, dadanya berdesir, tatapan Malik seolah takjub menatap Renata. Malik tidak pernah merasakan hal seperti ini, kecuali saat bersama tunangannya yang telah tiada. Malik tidak pernah merasakan perasaan seperti ini selama enam tahun belakangan.
Dalam dekapan Malik ada seorang wanita cantik, parasnya ayu dan lembut, rambut dikuncir ekor kuda, dan memiliki bibir tipis bagai mempesona Malik. Rasanya, saat ini Malik tak rela untuk berkedip. Tak ingin wanita cantik di dekatnya menghilang
"Ma-maaf, bisa tolong dilepaskan." Pinta Renata sambil melirik pada tangannya dalam genggaman Malik, menyadarkan Malik.
"Oh, ya... Maaf! Saya..." Malik berkata terbata-bata masih mengagumi kecantikan Renata.
"Tidak apa apa. Saya juga minta maaf, tidak melihat."
Keduanya saling melempar senyum.
Jantung Malik sungguh berdegup kencang, dan aliran darah seakan memompa dengan cepat ke jantung. Mendengar suara Renata, bagai mendengar lantunan nyanyian bidadari diiringi kecapi.
"Neng Renata, dari mana hujan hujan gini?" Tanya Emak pemilik warung.
"Dari sekolah, Mak." Sahut Renata sambil menyomot pisang goreng yang ada di piring.
"Lah, anak anak sudah pulang dari tadi. Ngapain baru pulang?"
"Masih ada sedikit kerjaan, Mak, sambil menyiapkan untuk belajar besok."
"Sejak ada Neng Renata, cucu Emak semangat sekolahnya. Tiap pagi, bangun pagi sendiri, lalu belajar, tanpa harus dimarahi lagi. Katanya Bu guru Renata keren kalau mengajar."
Pujian Emak membuat Renata tersenyum tipis.
"Oya, ini mau pada makan apa?"
Emak menatap Renata dan Malik bergantian.
"Mi....!" Renata dan Malik menjawab bersamaan.
Lalu keduanya saling pandang, dan tertawa kecil.
"Eh, yang sehati. Emang bener, ya, kalo hujan itu makin romantis."
Sela Emak sambil senyum penuh arti.
"Saya mau mi kuah, pakai sayur dan rawit, ya, Mak." Pinta Renata.
Emak mengangguk, lalu menoleh pada Malik.
"Sama." Jawabnya singkat.
Emak melotot penuh tanya, Renata pun ikut menoleh pada Malik.
"Eh, iya, sama. Mi kuah, tapi nggak usah pakai sayur dan rawit, pakai telor." Ucap Malik yang telah kembali sadar.
"Oke, deh. Tunggu ya. Eh, Neng, mau pakai telor juga?"
"Mak, saya mau telor dadar, nasi, kasih sambal bawang. Sama teh panas."
Sontak permintaan Renata membuat Malik langsung menatap ke arah Renata, begitu pula Emak.
"Mi kuahnya, jadi, Neng?"
"Jadi, Mak!"
Sahut Renata dengan santai sambil mengunyah pisang goreng.
Begitu makanan tiba, Renata mulai menyantap makanannya.
Malik sesekali melirik ke arah Renata yang sibuk menikmati makanan yang ada.
Renata menikmati makanannya, seolah tak peduli jika sedang diperhatikan oleh Malik.
("Siapa wanita ini? Tubuhnya biasa saja, cenderung kurus, tapi makannya luar biasa.")
Renata menghabiskan mi kuah, lalu segera menikmati nasi plus telor dadar pesanannya.
Malik sesekali mencuri pandang ke arah Renata yang sibuk makan.
"Aku nggak menyangka, ternyata makanmu sangat banyak."
Malik takjub melihat Renata sangat menikmati makanannya. Malik sudah merasa kenyang saat menatap Renata yang tengah menyantap pesanannya.
" Hhmmm... Enak nih. Kamu mau?"
Malik hanya tersenyum.
"Kok malah senyum sih? Ayo cobain!"
Renata menyodorkan semangkuk mi kuahnya di depan Malik.
Malik mengambil sendok yang ada di mangkuk mi nya, lalu menyendok ke mangkuk milik Renata.
Malik memasukkan satu suapan mi dalam mulutnya. Sejenak dia terdiam, lalu menoleh ke arah Renata sambil melotot.
"Enak?" Renata menatap Malik sambil tersenyum.
Malik tersenyum tertahan, lalu buru-buru menyambar gelas yang berisi air putih.
"Huaaahh...!"
Malik mengerjapkan matanya, keringat mulai keluar dari sela kulitnya.
Sambil menahan rasa pedas, Malik kembali meminum air.
"Astaga! Maaf, kamu kepedasan? Maaf, maaf!" Renata menepuk punggung Malik sambil mengusap keringat Malik dengan tisu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments