"Apalagi yang kamu sukai selain melukis?" Tanya Malik sambil memperhatikan Renata yang sibuk memainkan kuas pada kanvas di depannya.
"Aku suka mengajar." Renata meletakkan kuas, lalu menoleh pada Malik.
"Sebenarnya, ini hanya hobiku saja. Mulanya aku bersekolah di sekolah keguruan, lalu mengajar di salah satu sekolah di Jakarta."
"Lalu mengapa berhenti?"
Renata terdiam. Dia ragu menceritakan perkawinannya pada Malik. Lagi pula, Malik adalah orang yang baru dikenalnya.
"Aku mendapat proyek besar waktu itu, yang membuatku tidak bisa lagi fokus mengajar sambil melukis. Lukisan ku tak bisa selesai tepat waktu. Lalu, aku memutuskan untuk memilih melukis saja. Karena waktu itu, nilai kontrak yang aku dapatkan cukup besar."
Renata sengaja tak menceritakan tentang pernikahannya. Proyek itu adalah pemberian dari Danu padanya, membuat lukisan untuk beberapa hotel milik Danu.
Malik menatap takjub pada Renata.
"Nilai kontraknya pasti jauh lebih besar dari gajimu menjadi guru, bukan?"
Sela Malik.
"Kamu menyindirku?" Protes Renata.
"Tidak. Aku mengatakan logikaku saja. Mungkin, aku pun akan melakukan hal yang sama sepertimu, jika mendapat penghasilan yang lebih."
Renata menyelesaikan lukisannya, Malik hanya memperhatikan, tanpa mengganggu Renata.
Entah mengapa, Malik seakan familiar dengan goresan yang Renata buat. Malik tak menyadari, beberapa lukisan karya Renata pernah dilihatnya di hotel milik keluarga Danu yang berada di Jerman.
Malik menatap Renata hampir tak berkedip. Setiap gerakan yang dilakukan oleh Renata bagai slow motion yang akan selalu diingat dalam otaknya.
Bibir tipis, namun berisi milik Renata, lalu mata belok, peluh yang mulai menetes di sela telinga Renata, Malik ingin menyekanya, namun, Renata masih terlalu asik dengan dunianya.
"Mengapa suka melukis?"
Renata tak langsung menjawab pertanyaan Malik. Dia sibuk menyelesaikan lukisannya, lalu meletakkan kuas pada meja kecil bersama dengan paket dan cat warna yang berhamburan.
Malik hanya memperhatikan setiap gerak tangan Renata.
"Aku merasa menemukan ketenangan saat menggoreskan kuas pada kanvas. Melukis itu seperti healing bagiku. Dulu, aku suka menggambar apa pun dengan buku. Bahkan buku buku pelajaran ku selalu jadi sasaran goresan ku saat bosan ketika guru sedang menerangkan."
Renata menjawab pertanyaan Malik.
Malik tersenyum.
"Mengapa memilih keguruan, bukan sekolah seni?"
"Orang tuaku adalah orang tua yang konservatif. Mereka beranggapan seniman itu pemalas, sulit untuk menghasilkan uang, tidak memperoleh penghasilan yang stabil. Seni hanyalah sekedar hobi saja. Waktu itu, aku melihat biaya kuliah lumayan mahal, jadi aku mendaftar sekolah keguruan dengan beasiswa. Aku lolos."
"Beruntung, kamu lolos. Jika tidak, apa yang terjadi?"
"Ayahku tetap menyekolahkan aku di sekolah keguruan. Sebenarnya, ayahku, menginginkan aku sekolah perawat. Aku tidak mau."
"Kenapa?"
"Aku malas berpikir."
Malik menyipitkan matanya menatap Renata, bingung.
Renata tertawa geli.
"Aku itu senang kebebasan. Makanya aku memilih kelas IPS saat sekolah dulu, aku sengaja, supaya ayahku tak dapat memaksa aku masuk sekolah perawat."
"Kamu memang bandel."
Renata terkekeh.
"Ya. Aku ingat, saat aku sekolah nilai ku selalu bagus, bahkan selalu langganan juara."
"Sombong!" Sindir Malik sambil menjebik.
Renata menganggukkan kepala.
"Ya, aku memang termasuk salah satu anak yang cerdas." Balas Renata.
"Lalu mengapa mau ips? Mengapa tidak mau sekolah perawat?"
"Bayangkan, jika aku jadi perawat, hidupku akan habis di rumah sakit, mengurus orang lain. Aku tak kan pernah bisa meluangkan waktuku untuk melukis atau menikmati keindahan alam. Makanya, meski aku seharusnya masuk IPA, aku sengaja meminta guruku untuk pindah ke IPS. Ya, dengan banyak alasan khas remaja."
Renata melayangkan pandangannya, teringat akan ayahnya yang sangat marah kala itu. Namun, hanya sebentar, ayah dan ibu Renata tetap tidak tega, Renata menjadi stress karena terbebani pelajaran di kelas IPA.
"Ternyata, kamu seperti itu dulu, ya. Tak kuduga." Malik melipat dia tangannya di depan dada sambil geleng-geleng kepala pura-pura syok.
Renata terbahak. Tapi, dia tiba-tiba terdiam. Renata teringat akan Sarah. Sahabatnya semasa sekolah dulu.
Luka hatinya yang mulai mengering, kini terasa perih kembali. Mengingat masa sekolah, bagai membuka luka lamanya.
Panggilan ponsel Malik menyadarkan Renata akan lamunannya.
"Maaf, aku harus terima panggilan ini."
Renata mengangguk pelan.
Malik menjauh sedikit sambil berbicara melalui ponsel. Renata membereskan lukisannya dan perlengkapan.
"Maaf, Bu Renata, sepertinya aku harus kembali ke kantor."
Malik merasa tidak enak pada Renata.
"Ya, tidak apa-apa, Pak. Tapi, sebaiknya, panggil saja Renata."
Malik membalas dengan senyuman.
"Renata." Panggil Malik kemudian.
Renata menatap pada Malik.
"Maukah, kapan kapan jalan denganku?"
Pertanyaan Malik, bagai pernyataan bagi Renata. Namun, entah mengapa, Renata mengangguk pelan untuk menjawab Malik.
*
Keesokan harinya, sepulang mengajar, Malik telah menunggu Renata di sekolah.
Malik mengajak Renata berkeliling desa. Malik dan Renata berjalan kaki menyusuri jalan setapak.
Malik mengajak Renata ke sebuah bukit yang ada di sudut desa kecil itu.
"Bagaimana kamu menemukan tempat ini?" Renata menatap Malik takjub sambil melihat sekelilingnya.
Malik tersenyum penuh kemenangan.
"Aku tak sengaja menemukan tempat ini, karena tersesat. Lalu hujan turun, dan aku berlari secepat mungkin hingga melihat sebuah tempat untuk berteduh, dan aku menabrak seorang bidadari yang tengah berlari juga." Malik melirik ke arah Renata.
"Jangan menyindirku!" Protes Renata.
Malik menatap Renata, dan mereka saling beradu pandang.
Renata tersadar, lalu mengalihkan pandangannya ke arah depan.
"Apa aku menganggumu?"
Renata menggeleng pelan.
"Apa akan ada yang marah, jika aku dekat denganmu?"
Renata menggeleng kembali.
"Aku dulu memiliki seorang yang sangat berarti dalam hidupku."
Malik mulai bercerita tentang dirinya, Renata terhenyak, perlahan Renata menoleh ke arah Malik.
"Kami menjalin hubungan sangat lama, sejak sekolah menengah atas, hingga kuliah. Lalu, aku mendapat beasiswa ke Amerika. Sebelum berangkat, kami bertunangan. Tapi, yang terjadi adalah, dia ternyata sakit parah, dan menyembunyikan dariku selama itu. Dia takut, penyakitnya akan menghalangi mimpiku bersekolah yang tinggi. Saat aku kembali ke tanah air, kesehatannya semakin memburuk. Hatiku sangat hancur, sakit sekali rasanya. Ingin aku mengutuk diriku sendiri sebagai manusia tak berperasaan saat itu. Apalagi saat melihatnya menahan rasa sakit yang mulai menggerogoti tubuhnya. Aku merasa sangat bersalah."
Suara Malik bergetar saat bercerita, matanya mulai berkaca-kaca.
Renata masih diam, mendengar cerita Malik, seolah ikut merasakan yang dialami oleh Malik.
Hatinya tersentuh, Renata menaruh tangannya pada punggung jemari Malik, memberi semangat dan simpati.
"Maaf, aku tidak tahu.... "
"Tidak perlu meminta maaf. Mungkin Tuhan lebih menyayangi dia, supaya tidak merasakan sakit lagi. Aku berusaha untuk ikhlas, namun, rasa bersalah itu terus membayangiku. Hingga saat ini, aku tak berani mengunjungi makamnya. Aku takut."
Tiba-tiba Malik memeluk Renata dan menangis menumpahkan kesedihannya.
Renata diam, membalas pelukan Malik dengan membelai lembut punggung Malik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments