NovelToon NovelToon

Jejak Labirin Amnesia

Aku Mencintaimu

"Aku mencintaimu my Rena!" Danu meraih jemari istrinya, lalu mencium punggung tangan Renata dengan mesra usai memasangkan kalung sebagai hadiah anniversary pernikahan mereka yang ke lima.

Sayup-sayup terdengar suara iringan musik romantis dimainkan oleh band restoran itu sesuai pesanan Danu.

Lalu mereka menikmati makanan demi makanan yang tersaji malam itu dengan suasana romantis.

Lalu ditutup dengan mereka berdansa diiringi band dari restoran berbintang malam itu.

Selesai menikmati makan malam, Danu dan Renata bergegas pergi meninggalkan restoran tersebut menuju rumah mereka.

"Kenapa diam saja?" Tanya Danu memulai pembicaraan ketika dalam perjalanan pulang.

"Terima kasih atas makan malamnya yang sangat romantis. Tapi, sepertinya perutku masih lapar." Jawab Renata sambil melirik malu malu menatap Danu.

Sontak Danu tertawa terbahak mendengar jawaban istrinya itu.

"Astaga! Kenapa nggak bilang dari tadi kalau masih lapar."

Danu masih terkekeh sambil memperhatikan kanan kiri jalan mencari warung tenda yang masih buka.

"Mas, kalau repot, nggak usah. Nanti aku masak mi saja di rumah."

Renata makin terlihat tak enak pada Danu.

"Heh, kamu pikir aku juga nggak lapar."

"Hah...?!"

Renata terkejut dan melotot menatap Danu.

Danu menaikan bahunya, sambil menghentikan mobilnya tepat di sebuah gerobak nasi dan mi goreng.

"Jadi, Mas Danu juga masih lapar, nih? Kok nggak bilang. Pake gegayaan ngajakin dinner di restoran mahal, ujung-ujungnya kita makan gerobakan ginian." Gumam Renata sambil mengunyah nasi goreng pesanannya.

"Kita memang cocoknya makanan seperti ini."

"Iya.

Keduanya tertawa sambil menikmati makan malam sesi kedua mereka.

Setelah membayar makanan mereka, Danu dan Renata kembali masuk ke mobil.

Malam semakin larut, gerimis mengiringi perjalanan mereka kembali ke rumah.

Danu fokus menyetir, dan Renata menyandarkan kepalanya di lengan suaminya.

"Aku bahagia kita bisa melewati lima tahun ini, Mas."

"Ya, aku pun begitu." Sahut Danu.

"Maaf, aku belum bisa memberikan keturunan untukmu." Ucap Renata lirih dengan sedih.

"Rena, dengarkan aku! Menikah itu bukan hanya tentang memiliki anak. Tapi, juga tentang hubungan kita. Aku memilih kamu untuk menjadi istri, bukan untuk punya anak, tapi, untuk mendampingiku. Menjadi teman hidup, dalam keadaan apa pun. Kita telah berjanji saling setia sehidup semati. Jadi, urusan anak itu, urutan yang kesekian. Kamu itu akan menjadi istriku seumur hidupmu. Jika belum dikaruniai saat ini, mungkin besok. Mungkin, sekarang kita belum dipercaya oleh Tuhan untuk mendapatkan keturunan. Sabarlah." Danu menceramahi istrinya panjang lebar sambil menatap Renata dengan tatapan lembut.

"Mas, kenapa aku nggak bisa sabar seperti kamu?"

"Mungkin kamu harus mulai mengurangi makan pedas kali." Celetuk Danu sambil bergurau.

"Hadew! Aku tuh tanya serius, Mas." Renata memajukan bibirnya karena kesal.

"Tuh, kalo lagi gini, kamu tuh tambah gemesin loh." Rayu Danu.

"Gombal!"

Mereka saling mengobrol dan tertawa sepanjang perjalanan.

Namun, di arah sebaliknya sebuah truk tronton dengan kecepatan tinggi melaju tak terkendali.

BRAK!

TIN!

"Mas..."

Renata samar-samar melihat tubuh Danu terlontar oleh air bag karena benturan keras. Lalu terlihat kepala Danu membentur setir mobil, dan bagian depan truk telah meringsek bagian depan mobil mereka.

Renata merasa darah menetes dari pelipisnya, dan kakinya terjepit, tak dapat digerakkan.

Renata diam, dan pasrah. Dia melihat sekilas Danu memejamkan mata.

"Mas, jangan tinggalkan aku." Ucap Renata lirih sambil mengulurkan tangannya, meraih wajah suaminya yang dengan darah mengalir di pelipis.

Hujan semakin deras mengguyur mereka malam itu.

Perlahan Renata menutup matanya dan tak sadarkan diri.

*

Perlahan Renata membuka matanya.

Samar-samar, dia melihat ibunya duduk di sampingnya dengan wajah sembap.

"Ibu..." Ucap Renata lirih.

"Rena... Rena... Kamu sadar, Nak?" Dewi, ibu Renata segera mendekati putrinya, dan memastikan Renata telah sadarkan diri.

"Suster, Suster! Anak saya telah sadar!" Teriak Bu Dewi melalui telepon yang ada di kamar itu.

"Bu, Mas Danu?" Tanya Renata pelan, tak terdengar oleh Bu Dewi yang sedang sibuk menunggu perawat untuk datang memeriksa keadaan Renata.

Tak lama perawat datang, lalu memeriksa keadaan Renata dengan seksama, dan mencatatnya.

Lalu seorang dokter tiba, dan memeriksa kembali keadaan Renata, dan melihat catatan yang telah di buat oleh perawat sebelumnya.

"Bagaimana putri saya, Dokter?" Cecar Bu Dewi dengan khawatir.

"Putri ibu kondisinya bagus, biarkan istirahat dahulu sementara ini supaya keadaan lekas pulih." Ucap dokter sambil tersenyum, lalu pamit untuk memeriksa pasien lain.

Bu Dewi mendekati Renata, dan menggenggam tangan putrinya.

"Bu, mana Mas Danu?" Tanya Renata pelan pada ibunya.

"Rena, istirahat dulu. Dokter tadi bilang, supaya kamu segera pulih." Ucap Bu Dewi dengan lembut.

Tapi, Renata menolak untuk merebahkan tubuhnya, dia berusaha untuk duduk dengan tegak.

"Bu, Mas Danu? Apa yang terjadi dengan Mas Danu? Mana dia?" Tanya Renata dengan lebih keras pada ibunya.

Tok tok

Pak Hasan, ayah Renata masuk.

"Bapak langsung datang saat ibu mengabari kamu telah sadar, Nak." Ucap Pak Hasan sambil memeluk putrinya.

"Bapak! Di mana Mas Danu?" Tanya Renata dengan suara keras, sisa kekuatannya.

Pak Hasan dan Bu Dewi saling berpandangan, seolah saling bertanya untuk memberikan jawaban pada Renata.

"Apa yang terjadi pada kami? Mana Mas Danu? Jangan bilang Mas Danu sudah...."

Renata menangis histeris, dia tak bisa membayangkan kehilangan suaminya saat ini.

"Rena, Danu baik baik saja. Percaya pada kami. Kamu istirahat dulu untuk saat ini. Pulihkan tenagamu dulu."

Ucap Bu Dewi sambil memeluk dan membelai lembut punggung putrinya.

Renata melepas pelukan ibunya dan menoleh dan ayahnya.

"Ayah?" Renata bertanya seolah menanyakan kebenaran keberadaan Danu, suaminya.

"Ibumu benar, Rena. Danu baik baik saja. Kamu istirahat dulu, dan pulihkan dirimu dulu. Nanti setelah itu, kamu bisa bertemu dengan suamimu." Ucap Pak Hasan lembut, namun tegas.

Jawaban Pak Hasan meyakinkan Renata, lalu perlahan merebahkan tubuhnya dan menuruti ucapan dokter, dan orang tuanya.

Renata tak sepenuhnya percaya dengan ucapan ayahnya. Dia berencana untuk mencari tahu keberadaan suaminya.

"Bu, apa yang sebenarnya terjadi pada kami? Di mana Mas Danu? Bu, tolong katakan pada Rena." Renata menatap Bu Dewi dengan memelas.

"Rena, kamu baru sadar setelah koma selama dua minggu lebih." Bu Dewi membelai lembut putrinya, dan menatapnya.

"Rena koma? Lalu Mas Danu?"

Bu Dewi terdiam.

"Suamimu keadaannya jauh lebih baik. Tapi,...." Pak Hasan menimpali, namun, ucapannya terhenti sejenak sambil menoleh ke arah Bu Dewi, seolah meminta pendapat.

"Apa yang terjadi pada kami, Yah, Bu?" Kali ini Renata makin terisak, meminta orang tuanya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya dan Danu.

"Danu mengalami amnesia. Dia tak bisa mengingat apa pun ketika sadar. Bahkan, ketika melihatmu, dia juga tak ingat."

Pak Hasan menepuk bahu putrinya dengan rasa simpati.

Mendengar ucapan ayahnya, Renata merasakan kepalanya bagai dipukul dengan palu besar, dan tubuhnya seakan dihempaskan jauh ke bawah.

Renata hanya bisa menundukkan kepalanya.

Bu Dewi mendekap, putrinya, seakan ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Renata.

Bertemu

Renata berjalan-jalan menggunakan kursi rodanya, untuk menghilangkan rasa bosan.

Aroma obat dan karbol khas rumah sakit mulai tercium pada indera penciuman Renata.

Melaju melewati koridor rumah sakit, melihat pemandangan taman di sudut rumah sakit, lalu kembali menyusuri lorong tempat itu. Hingga Renata, melihat sosok yang sangat dirindukannya selama ini.

"Mas Danu!" Renata melajukan kursi rodanya dengan cepat menuju ke arah suaminya yang terlihat keluar dari sebuah ruang dokter.

Danu menoleh, menatap Renata tanpa ekspresi. Danu merasa bingung.

Danu diam sesaat, lalu menoleh ke kanan dan kirinya, seolah memastikan bahwa dirinya lah yang dipanggil oleh Renata.

"Mas, ini aku. Kamu nggak ingat?" Renata perlahan mendekati Danu.

"Siapa kamu?" Tanya Danu sambil mendekati Renata.

"Aku Rena, Mas. Renata. Istrimu. Apa kamu tidak ingat?"

Danu menggelengkan kepalanya perlahan sambil menatap Renata dari atas ke bawah.

"Mengapa kamu memakai kursi roda?"

Tanya Danu yang masih bingung.

"Kecelakaan yang menimpa kita, Mas."

Danu tercenung sejenak.

Dia semakin mendekati Renata yang masih menatapnya dengan penuh cinta.

"Mas, ini aku, Rena. Lihatlah, ini cincin pernikahan kita, dan ini kalung yang kemarin baru kamu berikan padaku pada perayaan pernikahan kita yang ke lima."

Renata menunjuk cincin di jari manisnya sebelah kanan, dan kalung yang ada pada lehernya.

Danu masih terpaku menatap Renata. Dia berusaha untuk mengingat, namun tiba-tiba rasa pusing kembali menyerang.

Danu terhuyung, sambil memegang kepalanya.

"Aduh!"

"Mas, kamu kenapa?" Tanya Renata dengan cemas sambil mendekati Danu.

Danu menggelengkan kepala sambil memberi isyarat bahwa dirinya tidak apa apa.

Renata menatap Danu dengan cemas.

"Mau apa kamu!" Tiba-tiba seseorang keluar dari ruang dokter itu, dan menegur Renata dengan bentakan, lalu menarik lengan Danu menjauhkan dari Renata.

"Mama bilang, jangan percaya dengan orang lain, selain keluarga kita!" Tegas Sonya dengan suara galak.

Sonya menatap tajam pada Renata dengan tatapan tak suka.

"Ayo, kita pulang. Tidak usah dipedulikan wanita itu."

Sonya, ibu Danu menggamit lengan putranya dan sesegera mungkin menjauhi Renata.

"Ma? Mengapa Mas Danu tak boleh bersamaku? Aku istrinya, Ma!" Renata memajukan kursi rodanya.

Sontak dengan reflek, Sonya mendorong dengan keras Renata hingga kursi rodanya meluncur ke belakang dan menabrak tembok dan oleng.

BRUK!

"Aduh!" Teriak Renata kesakitan, saat jatuh dan tubuhnya terjatuh di pantai rumah sakit.

"Ma! Mama tunggu! Mas Danu suamiku! Ma? Apa salahku?" Teriak Renata sambil menangis di lorong ruang dokter itu.

"Mas Danu!" Panggil Renata dengan suara keras.

"Ma, siapa dia?"

Danu menepis cengkraman Sonya.

"Dia bukan siapa siapa! Dia wanita pembawa sial. Ayo kita pergi!"

Sonya kembali memegang lengan Danu, dan langsung menariknya, menjauh dari Renata.

Beberapa orang yang menyaksikan hal itu hanya menatap tajam ke arah Sonya, dan berlari ke arah Renata.

Sonya tak memedulikan sekitarnya, tetap berjalan dengan gagah sambil menarik lengan Danu.

Beberapa perawat berlari menolong Renata yang terjatuh.

Danu yang kebingungan, menoleh ke belakang.

Namun, Sonya terus berjalan cepat dan segera pergi keluar meninggalkan rumah sakit.

Renata hanya bisa menatap pilu kepergian Danu dan ibu mertuanya.

Dia merasa sangat sedih. Namun, Renata berusaha untuk tetap tegar. Selama ini, ibu mertuanya memang tak menyukainya, apalagi dia belum memberikan keturunan bagi Danu.

Renata menyimpan kejadian yang menimpanya pagi itu sendiri. Dia tak ingin membebani keluarganya lagi dengan cerita sedihnya.

Renata bertekad untuk sembuh, setelah itu, dia akan menemui Danu untuk membantu memulihkan ingatan suaminya.

*

*

"Hai, Putri tidur!" Sapa seseorang dari ambang pintu.

Renata dan Bu Dewi menoleh, menyambutnya dengan senyum lebar.

"Kamu kemana saja, Res? Kakakmu sakit, malah ditinggal pergi. Sibuk pacaran ya?" Sahut Renata, menyambut kedatangan Restu, adiknya.

"Pacaran? Ini pasti, Ibu biang keroknya." Restu langsung menoleh pada Bu Dewi.

"Heh, nggak boleh nuduh ibu sendiri, loh. Dosa!" Celetuk Renata seraya melotot pada adiknya.

"Gimana keadaanmu, Kak? Maaf, saat kakak sadar, aku sedang ada pekerjaan di luar kota. Tadi pagi, baru sampai, langsung aku kemari."

Restu mengambil tempat di sisi lain, samping tempat tidur kakaknya.

"Kerja apa? Bukannya kamu belum lulus?"

"Tempo hari aku ada tugas kuliah, nah kebetulan aku minta tolong sama Mas Danu. Nah, aku dibantu olehnya. Tapi, Mas Danu juga meminta tolong padaku untuk membantu di cabang perusahaannya yang sedang kekurangan tenaga IT." Restu menerangkan pada Renata.

"Sepertinya, Danu belum cerita padamu soal itu, Ren. Karena, kata Danu perusahaan cabang itu baru dibelinya, dan dalam tahap pengembangan. Makanya, dia minta tolong pada Restu." Imbuh Bu Dewi.

"Ibu kok tahu?" Protes Renata.

"Kata Mas Danu perusahaan itu, akan dibangun lagi, untukmu."

"Bu, kapan Mas Danu bilang itu?"

"Sekitar enam bulan yang lalu, setelah Restu minta tolong pada suamimu. Danu, datang ke rumah. Meminta kami merahasiakan rencana ini. Tempat itu adalah kawasan ruko terbengkalai di daerah Bogor."

Renata mendengarkan dengan seksama penjelasan ibunya.

Tok tok tok!

Terdengar suara pintu diketuk dari luar.

Restu bergegas membukakan pintu.

"Hai, Kak Sarah. Silahkan masuk!" Restu menyambut kehadiran seorang tamu di ambang pintu.

"Hai, Sarah! Apa kabar?"

Renata merentangkan keduanya tangannya, menyambut kehadiran sahabatnya yang selama ini tinggal di Surabaya.

"Jauh jauh ke sini cuma mau menjenguk aku?"

Ucap Renata sambil memeluk Sarah.

"Kamu temanku. Maaf, aku tidak bisa langsung datang saat mendapat kabar mengenai kecelakaan yang menimpa kamu dan Danu."

"Ah, tak masalah. Kamu bisa datang ke Jakarta saja, aku sudah sangat senang. Bagi wanita karir yang sibuk seperti kamu, hal seperti ini pasti sangat langka."

"Jangan menyindir aku." Protes Sarah.

"Menyindir?" Tanya Renata bingung.

"Wanita karir yang sibuk tadi katamu."

"Lah, memang gitu, kan? Tapi aku senang kamu bisa datang menjenguk aku."

"Iya. Bagaimana keadaan kamu saat ini?"

Sarah menatap Renata, lalu menoleh pada Bu Dewi dan Restu.

"Renata sempat koma selama dua minggu lebih. Minggu ini dia mulai terapi untuk pemulihan kakinya." Terang Bu Dewi.

"Kakimu kenapa?" Sarah mengerutkan keningnya sambil menatap kaki Renata.

"Kakiku yang sebelah kiri sempat tak dapat merasakan sesuatu, lalu yang kanan patah. Jadi aku dalam masa pemulihan."

Sahut Renata.

"Lalu Danu?"

Renata hanya diam, dan menatap Sarah.

Sarah menautkan alisnya, membalas tatapan Renata, lalu menoleh ke arah Bu Dewi dan Restu.

"Mas Danu keadaannya jauh lebih baik sebenarnya, tapi, dia amnesia. Tidak dapat mengingat apa-apa, termasuk Kak Renata."

Kali ini Restu yang menerangkan.

"Astaga!" Sarah terperanjat, sambil menutup mulutnya dengan tangannya.

Renata mengangguk lalu raut wajahnya berubah menjadi sedih.

"Sabar, Rena. Kamu pasti bisa melewati ini semua."

Sarah memeluk sahabatnya, lalu melepas pelukan perlahan sambil tersenyum memberi semangat pada Renata.

Renata membalas dengan senyuman juga.

Dia senang, mendapat dukungan dari sahabatnya.

Namun, Renata tak tahu, sebenarnya Sarah sudah berada di Jakarta dua hari setelah mendapat kabar dari ibu Renata, karena kebetulan ada pekerjaan di Jakarta.

Sarah ke rumah sakit, untuk menjenguk Renata dan Danu. Namun, tak sengaja mendengar ucapan dokter yang menangani Danu pada Bu Sonya, yang mengatakan bahwa Danu mengalami hilang ingatan.

Sarah yang selama ini memendam perasaannya pada Danu, sempat merasa bimbang.

Danu tak pernah sekali pun melirik Sarah, meski pun tak jarang, Sarah memberi sinyal bahwa dirinya menyukai Danu

Terlebih, ketika meminta bantuan Sarah untuk mendekati dan melamar Renata. Betapa hancur hati Sarah kala itu.

Semalaman Sarah tak dapat tidur, memikirkan ucapan dokter yang mengatakan bahwa Danu amnesia.

Akhirnya, Sarah bertekad untuk memanfaatkan kesempatan itu untuk merebut Danu dari Renata.

Sarah yang kebetulan sedang melakukan kerja sama bisnis dengan salah satu perusahaan milik keluarga Danu, mulai berkenalan dengan Bu Sonya.

Sarah berusaha untuk mendekati dan mengambil hati ibunda Danu.

Sarah

Danu membuka matanya perlahan-lahan. Kepalanya masih sering terkena serangan pusing mendadak akibat benturan saat kecelakaan yang menimpanya.

Danu bangun dan duduk di tepi ranjang kamarnya, memandangi sekeliling ruangan kamar yang besar itu.

Hanya ada foto besarnya bersama mama dan papanya.

Mama mengatakan, bahwa, papanya sedang menjalankan bisnisnya yang berada di Amerika. Dan, dengan sangat sedih, tak dapat pulang untuk menemani Danu.

Danu berusaha mengingat tempat itu, tapi, semakin dia berusaha untuk mengingat, rasa pusing semakin menyerang dirinya.

Perlahan, Danu menghela napas dalam-dalam, mencoba mengikuti perasaannya saat itu saja.

Tatapan Danu berhenti pada sebuah meja kerja yang berada di kamar besarnya itu.

"Mengapa aku merasa asing di sini?" Gumam Danu, bertanya-tanya sendiri pada dirinya.

Danu mengambil segelas air mineral yang disediakan oleh pelayan rumah itu untuk dirinya.

Lalu meneguk segelas air hingga habis. Air segar membasahi tenggorokannya yang kering.

Ingatannya kembali pada seorang gadis yang didorong oleh mamanya sewaktu di rumah sakit tempo hari.

Renata.

"Dia istriku? Mengapa aku tak ingat, jika telah menikah. Lalu mana foto foto pernikahanku selama ini. Jangan jangan, benar kata Mama, orang hanya memanfaatkan hilang ingatanku untuk kepentingan mereka saja."

Danu kembali menghela napas, lalu menatap ke luar dari balik jendela kamar.

Saat melihat ke luar, Danu melihat sebuah mobil sedan memasuki halaman rumah besar itu.

Danu melihat Sarah keluar dari mobil, dan menatap ke atas, tepat ke arah kamarnya.

Saat melihat Danu sedang melihatnya dari balik jendela, Sarah tersenyum sambil melambaikan tangannya.

"Pagi, Tante! Sedang apa?" Sapa Sarah saat melihat Sonya sedang menata bunga ke dalam vas bunga.

"Eh, Sarah. Masuk sini. Tante sedang menata bunga. Banyak yang sedang berbunga di taman, sayang kalau nggak di manfaatkan." Ucap Sonya sambil tersenyum menatap Sarah.

"Aku bantu, ya." Ucap Sarah berbasa-basi.

"Nggak usah. Kamu temui saja Danu di kamarnya. Bangunkan dia. Sudah jam sepuluh, belum keluar dari kamar juga." Sahut Sonya.

"Sambil aku bawakan sarapan buat Danu, ya, Tante."

Sonya mengangguk setuju.

"Harusnya, Danu menikah dengan wanita seperti Sarah, bukan Renata." Batin Sonya.

"Kok, tante, baru kenal sekarang." Ucap Sonya sambil menghampiri Sarah yang sedang menyiapkan sarapan untuk Danu.

"Dari dulu kita sudah pernah bertemu, Tante. Cuma, Tante terlalu fokus pada yang lain." Sahut Sarah sambil tersenyum.

"Aku nggak habis pikir, mengapa Danu lebih memilih wanita itu dibanding kamu."

"Mungkin dia lebih cantik, Tante. Lagi pula, Renata itu teman dekat saya juga."

"Hush! Jangan pernah sebut nama wanita itu di sini. Jujur, tante, nggak suka sama wanita itu. Dengar, meskipun, dia temanmu. Tante tetap memiliki pandangan berbeda tentang kalian. Jadi, agak nyesel, kenapa kamu baru kelihatan setelah sekian lama." Sonya menghela napas dalam, ada sesal di raut wajahnya.

"Tante, nggak enak bicara seperti ini. Aku jadi nggak enak sama Ren..."

"Eits...! Jangan sebut nama itu!" Sonya mengacungkan telunjuknya dan menggerakkan ke kiri dan kanan, isyarat tidak boleh.

Sarah mengangguk pelan. Dalam hatinya bersorak kegirangan dengan apa yang dikatakan oleh Sonya.

Dia telah mendapat lampu hijau oleh Sonya, untuk mendekati Danu.

"Sarah, bawa ke atas dulu, ya, makanan untuk Danu."

"Kalian seharian ngamar juga boleh." Sahut Sonya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Sarah tersenyum malu.

"Ah, nggak Tante. Dosa!" Sahut Sarah sambil tertawa kecil, dan berlalu ke atas, ke kamar Danu.

Sonya tersenyum sambil memandang punggung Sarah.

"Cantik, sopan, terpelajar, tau tata krama. Huh, dia wanita yang cocok untuk Danu." Gumam Sonya sambil meneruskan kegiatannya kembali.

Tok tok

Sarah mengetuk pintu kamar Danu perlahan.

"Masuk! " Sahut Danu dari dalam.

Sarah membuka pintu dengan susah payah.

Melihat Sarah masuk dengan membawa nampan, Danu bergegas menghampiri dan membantu melebarkan pintunya dan menutupnya kembali.

"Mengapa repot repot kemari? Apalagi ini, bawa makanan ke kamar segala, memangnya aku masih sakit." Ucap Danu dengan nada protes.

"Nggak apa apa. Aku cuma mau memastikan, kamu baik baik saja. Jangan sampai terlambat makan, supaya asam lambungmu nggak kumat lagi. Lagipula, memangnya kamu nggak ingin tahu pekerjaan di kantor?" Sarah menatap Danu sambil menyatukan alisnya.

Danu tersentak. Ucapan Sarah seakan menyindirnya.

Menyindir tentang pekerjaannya, yang sejujurnya, Danu pun tak ingat apa apa.

Apan pekerjaannya, di mana kantornya, apa posisinya, dia tak tahu, apa yang harus dilakukan olehnya.

"Memangnya kamu tahu?" Tanya Danu.

"Aku tahu. Tapi, kamu harus makan dulu."

Danu menatap Sarah lekat lekat.

Sejujurnya, Danu sama sekali tak ada perasaan dekat pada wanita di depannya ini. Berbeda saat dia melihat Renata, saat di rumah sakit.

Sorot mata Sarah dan Renata berbeda.

Namun, dia pun juga ragu dengan apa yang dirasakan saat itu. Dia harus waspada dengan semua orang yang ada si sekelilingnya saat ini.

"Apalagi yang kamu tahu tentang aku?" Tanya Danu sambil meraih sepotong roti lapis buatan Sarah.

Sarah tak langsung menjawab. Sarah, menatap Danu dengan lembut.

"Kamu menyukai kopi dengan krimer. Lalu menyukai udara yang sejuk."

Jawab Sarah. Tentu saja, semua itu diketahuinya dari cerita Renata mengenai Danu.

"Hhhmm... Aku rasa semua orang suka hal itu."

Danu merasa hal yang dikatakan Sarah tentang dirinya adalah hal yang biasa.

"Kamu sering melarikan diri di tempat yang sepi, saat sibuk di kantor. Pergi ke suatu tempat, di pelosok desa, lalu duduk di tepi sungai atau sawah, sambil menikmati secangkir kopi. Lalu kamu juga suka bersepeda, ke pelosok-pelosok saat libur."

Itulah, kebiasaan Danu, kala penat dengan pekerjaan dan meeting yang berlarut-larut.

Dia melarikan diri dari pekerjaannya, mencari Renata yang sering menyendiri sambil melukis.

Danu menemani Renata sambil menikmati secangkir kopi, sambil mengobrol bersama.

Kebiasaan Danu itu, sering diceritakan oleh Renata pada Sarah.

Asam lambung yang diderita Danu, atau hobi Danu bersepeda.

Danu memandang Sarah, meyakinkan dirinya untuk mempercayai wanita yang ada di depannya itu.

Saat membuka matanya, Sarah telah menemaninya. Lalu terlihat sangat akrab dengan mamanya.

"Bagaimana aku bisa kecelakaan?"

Tanya Danu.

Sarah tak langsung menjawab pertanyaan Danu.

Sarah membalas tatapan Danu sambil menghela napas berat.

"Malam itu, kita usai menikmati makan malam bersama. Kita, asyik mengobrol dan tertawa bersama. Lalu, sebuah truk yang hilang kendali menabrak kita."

Sarah terdiam dengan raut wajah sedihnya, yang tentu saja itu adalah bohong.

"Kita beruntung, airbag mobil bekerja dengan baik. Aku hanya lecet saja. Namun, kamu yang masih harus perlu mendapat perawatan. Lalu kamu bangun, tanpa dapat mengingat aku, dan dirimu sendiri." Sarah menepuk pundak Danu dengan lembut.

"Siapa Renata? "

"Renata adalah wanita dari masa lalu mu. Dia meninggalkan dirimu untuk orang lain. Lalu kita bertemu, dan kita menjadi sangat dekat."

Sarah menatap Danu untuk meyakinkan lelaki itu.

Danu memajukan tubuhnya menatap lekat wajah Sarah yang hanya berjarak dua senti saja.

Danu semakin mendekat, dan dekat.

Sarah gentar, ada rasa ingin memajukan tubuh dan mencium Danu. Tapi, Sarah tak ingin terburu buru

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!