Jerat Kakak Angkat

Jerat Kakak Angkat

Part 1

Irene melirik tajam sosok lelaki dingin di sampingnya. Menghidu dengan dalam aroma yang meruar dari tubuhnya.Benar. Ini aroma yang menempel di tubuhnya pagi ini. Setelah malam tadi dia mengalami hal aneh.

"Ada apa? Menunya tidak sesuai dengan selera makan mu?" tanya Alvaro saat melihat Irene tidak menyentuh sarapan paginya sama sekali.

Dia kakak angkat Irene. Sebenarnya mereka tinggal berempat. Tapi saat ini ayah dan ibu angkanya sedang berlibur ke luar negeri. Jadi hanya ada dia dan Alvaro di rumah ini. Tentu saja bersama dengan beberapa pelayan rumah.

Irene menghempas nafasnya kasar. "Aku sarapan di kampus aja." sahutnya sembari beranjak bangkit dari duduknya.

Dia sudah akan melangkah pergi saat jemari kekar Alvaro mencekal pergelangan tangannya. Lelaki berwajah tampan tapi dingin itu menengadah menatap Irene. "Duduk. Kau mengganggu mood sarapan pagiku" titahnya dingin.

Tubuh Irene meremang, bukan karena ucapan kakaknya barusan. Tapi sentuhan tangan Alvaro mengingatkan pada kejadian aneh tadi malam.

"Cepat duduk dan nikmati sarapan mu." titahnya lagi. Sembari setengah memaksa Irene agar kembali duduk di tempatnya.

Tanpa kata wanita berparas ayu itu mengikuti kemauan Alvaro. Dia ikut makan dengan tenang di samping Alvaro. Walau sesekali manik hitamnya melirik lelaki bertubuh kekar itu dengan sorot mata penuh selidik.

"Kau pergi ke kampus dengan ku. Sopirmu izin cuti tadi malam." ujar Alvaro datar.

Cepat Irene menoleh ke Alvaro. "Cuti?" tanyanya kaget.

Lelaki berparas angkuh itu mengangguk. "Hmmm." sahutnya, sembari menyeka mulutnya dengan tisu.

Mendengar ucapan Alvaro barusan mungkin Irene akan senang, bila dia tidak mengalami hal aneh tadi malam. Sebab diam diam dia mengagumi kakak angkatnya itu.

"Cepat bersiap." titahnya lagi, lalu beranjak dari duduknya melangkah menuju kamarnya di lantai dua. Kamar yang posisinya bersebelahan dengan kamar Irene.

Irene menarik nafas dalam dalam. Dadanya terasa sesak oleh pikirannya sendiri. Dia benar benar bisa gila karena ini.

Tadi malam di tengah separuh kesadarannya dia mendapati tubuhnya tengah ditindih oleh Alvaro. Lelaki itu dengan ganas melu mati setiap inci bibir merahnya. Bahkan dengan berani jemari kekarnya mere mas dua payu dara miliknya. Tapi anehnya Irene tak bisa sadar sepenuhnya. Dia ingin menganggap itu cuma bunga tidur karena dia sering diam diam membayangkan di sentuh Alvaro. Tapi kenapa saat bangun di pagi hari, aroma tubuh Alvaro melekat di tubuh dan bantalnya.

"Apa yang kau lakukan. Kau ingin aku telat sampai kantor." tegur Alvaro.

Irene terjingkat kaget, setengah berlari dia menapaki anak tangga menuju kamarnya mengambil tas dan keperluan kuliahnya.

Di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Alvaro masih jadi perhatian Irene. Bola mata jernihnya mengawasi setiap gerak Alvaro.

Bahkan dia berpikir apa benar jari jemarinya yang kekar itu yang menjamahinya tadi malam. Jari yang saat ini tengah sibuk menekan tombol keyboard di laptop dengan lihai.

Lalu diam diam perhatiannya beralih pada bibir tipis yang tak pernah mengukir senyum itu. Jantung Irene berdetak kencang saat pandangannya benar benar terkunci di situ. Bulu kuduk Irene meremang, saat teringat sentuhan bibir basah itu pada ceruk lehernya. Sensasi sentuhan itu seperti sengatan listrik yang memacu aliran darahnya.

Tiba tiba Alvaro mengangkat wajahnya, lalu balas menatap Irene. "Ada yang aneh di wajahku?" tanyanya dengan suara rendah dan dalam.

Irene kaget bukan kepalang,lalu dengan cepat dia menggeleng. Sebab bibirnya kelu, suaranya tercekat di tenggoroan.

Tapi Alvaro belum melepas pandangannya. Tatapannya mengunci Irene.

"Irene." panggilnya pelan.

"I-iya kak."

"Apa terjadi sesuatu padamu?" selidiknya. Sorot matanya yang tajam menuntut Irene untuk bicara jujur.

Irene tersenyum sembari menggeleng pelan. "Tidak ada yang terjadi, kenapa kakak tanya itu?" Irene balik bertanya. Jantungnya serasa mau lompat keluar.

"Kau memperhatikan ku sedari tadi. Apa aku melakukan kesalahan? Kalau iya, katakan apa itu."

Irene menelan salivanya kasar. "Tidak ada kak." sahutnya dengan wajah pucat pasih.

"Kalau begitu. Berhentilah memperhatikan aku. Kau membuat konsentrasi ku pecah." ucapnya dengan sorot mata tajam.

Irene cepat mengngguk dengan perasaan gugup. Benar. Kenapa dia harus terus berpikir kalau sentuhan Alvaro tadi malam adalah nyata. Dia bisa memanggil sepuluh wanita dalam semalam bila dia mau. kenapa harus merangkak keranjangnya. Impossible.

Irene turun dari mobil Alvaro tanpa berpamitan terlebih dulu. Gadis berusia dua puluh tahun itu terlalu malu untuk memandang wajah kakak angkatnya itu.

Alvaro memang pria dingin. Tapi dia menerima dengan sangat baik saat papa mamanya membawanya pulang empat tahun lalu. Saat itu Alvaro masih berada di luar negeri.

Mama papa Alvaro datang ke rumah budenya lalu mengadopsi Irene. Irene terpaksa tinggal di rumah budenya waktu itu, setelah kedua orang tuanya mengalami kecelakaan sepuluh tahun lalu. Akibat kecelakaan itu Irene terpaksa menyandang gelar yatim piatu.

Saat datang ke rumah budenya orang tua Alvaro mengatakan bahwa mereka ingin anak perempuan tapi ibu Alvaro tak bisa hamil lagi. Untuk mengadopsi gadis kecil, dia tak mampu merawatnya. Entah dengan alasan apa, saat itu bude langsung setuju. Sedang Irene tak punya pilihan lain. Bude hidup dengan ekonomi pas pasan. Dia merasa menjadi beban bude bila tetap tinggal dengannya.

Ibu angkatnya sendiri memiliki dua anak. Kedua duanya laki-laki dan Alvaro adalah anak kedua sedang anak pertama mereka sudah sangat lama tinggal di luar negeri.

Irene mengaduk aduk kuah bakso yang sudah tak ada isinya sembari melamun.

"Iren. Lo sakit?" tanya Hilda, teman satu kamupusnya.

Irene menoleh, lalu menggeleng. "Enggak, emang kenapa?"

Hilda menyentuh muka Irene dengan ujung jarinya. "Mukalo pucet."

Irene mengernyit. "Masak." tapi memang sedari pagi tubuhnya terasa lemas.

Pagi tadi matanya bahkan tak bisa di buka padahal alarm di ponselnya sudah berdering sebanyak dua kali.

"Gak sakit kok, cuma lemes aja. Eh tapi, Hil. Lo pernah mimpi berasa kayak nyata gak. Misalnya mimpi di sentuh seseorang. Tapi sentuhan itu berasa nyata banget bahkan saat lo bangun aroma tubuhnya masih berasa nempel di tubuh lo gitu." tanya Irene dengan suara pelan.

Hilda menatap Irene bengong. "Lo mimpi gituan?" gadis berkaca mata itu balas bertanya.

"Bukan, tapi nyaris..." lirihnya.

"What! Siapa dia?!"

"Apaan sih! Buruan jawab."

"Pernah." sahut Hida.

"Tapi mimpi gituan." imbuhnya sambil nyengir.

"Asem lo Hil."

"Haahaa. Alah kayak lo gak pernah mimpi gituan aja." cibir Hilda.

Memang gak. Gak pernah sama sekali. Selama ini dia tidak pernah mau memiliki hubungan dengan pria manapun. Jadi bagaimana bisa dia bermimpi seperti itu. Tapi dengan Alvaro dia sedikit ada rasa kagum dengan keindahan tubuhnya. Apa lagi saat lelaki itu berte lanjang dada sambil berenang. Tapi tidak pernah berhayal terlalu jauh.

"Hey, jadi beneran gak pernah?!"

Irene menggeleng lemah. Memang begitu kenyataannya.

"Ya ampun Iren! Kau tau berapa usiamu sekarang?"

"Kenapa dengan usia ku? Lo nya aja yang ke ganjenan." cibir Iren.

"Normallah. Seusai kita memang udah ngerti *** kan?"

"Entah, nyatanya aku belom."

Hilda mengerutkan kening menatap Iren. "Masak. Liat cowok ganteng memangnya hati lo gak tergerak?"

"Ya tergerak, tapi gak menjurus ke *** lah. Gila lo.."

"Haahaa aku kira enggak. Kalau gitu lo masih terbilang normal." ujar Hilda.

Iren memukul bahu Hida. "Asem lo." umpatnya.

Hilda terbahak, dia salut sama Iren yang betah dengan status jomblonya padahal yang mau dengannya ngantri.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Mamah Kekey

Mamah Kekey

hadir

2024-03-01

0

Adila Ardani

Adila Ardani

mampir thor

2024-02-01

0

Mawar🌹

Mawar🌹

hadir ☝

2023-09-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!