Part 7

Ruang temaram itu terasa sepi dan dingin. Desah angin yang menyapu dedauan terdengar samar di luar jendela. Alvaro sengaja membuka jendela kamarnya lebar lebar. Mengizinkan angin malam keluar masuk kamar mewahnya sesuka hati.

Pria berwajah dingin itu tengah duduk di sofa panjang, sembari memegang gelas wine di tangannya. Dengan pose menawan. Matanya yang kelam menatap ke depan menembus gelap malam. Wanita manapun yang melihatnya seperti ini, sudah pasti akan berfantasi.

Decak kesal berulang kali terdengar keluar dari bibir tipisnya. Lalu dengan kasar dia meneguk wine dalam gelas mini itu tak tersisa, setelahnya dia kembali mengisi gelas mungil itu hingga penuh. Bahkan sebagian meluber keatas meja.

Saat ini di kepalanya tengah bergema suara suara aneh. Mereka berusaha menghasut Alvaro, menyesatkan kesadaran Alvaro yang nyaris hilang.

Ada gejolak tak biasa yang datang menerjang bak ombak di tepi pantai. Semakin kuat Alvaro melawan, semakin kuat pula gejolak itu menggulung kesadaran Alvaro.

Rasa tak biasa itu datang saat hatinya rindu pada sosok Irene. Sosok yang memanggilnya dengan panggilan kakak. Yang membuat sudut hatinya ngilu saat mendengarnya. Bukan tak mau meluahkan Rindu, tapi dia takut sifat bina tangnya keluar. Dan menyakiti Iren. Sudah cukup apa yang dia lakukan waktu itu.

Alvaro menggeram perlahan. Kembali dia meneguk gelas mungil itu hingga isinya tandas tak tersisa. Dia sudah sangat mabuk, tapi masih belum mau berhenti.

Pria itu kembali menuangkan isi botol coklat itu, tapi hanya tetesan-tetesan kecil yang keluar.

Dia terkekeh pelan, lalu beranjak bangkit. Dengan tubuh terhuyung-huyung dia membuka lemari di sudut ruang. Mengambil dua botol wine dengan dua tangannya. Lalu kembali ke sofa.

"Kau lihat, aku bahkan lupa berapa kodenya" gumamnya pada botol wine yang berserak di meja. Dia bicara seorang diri, sembari mengarahkan jarinya ke pintu kamar. Lalu kembali terkekeh.

Dengan gerakan lemah, kepalanya menengadah menatap jam dinding di sudut kamarnya. Sudah jam tiga dini hari. Dia tersenyum smirk, menertawakan dirinya sendiri. Yang berjuang setengah mati, agar tak merangkak ke ranjang adik angkatnya.

Paginya di kamar Iren. Gadis itu sudah bersiap, lalu bergegas ke ruang makan. Sampai di sana meja masih kosong. Biasanya jam segini Alvaro sudah duduk menunggunya sembari menyesap teh di cangkirnya.

"Sepertinya tuan belum bangun. Non." ujar bibik yang sedang menata hidangan.

Iren mengerutkan keningnya dalam. Netranya menatap ke lantai atas. Tepatnya ke kamar Alvaro. "Lagi?" gumamnya. Sebab ini bukan yang pertama kali Alvaro telat begini.

Iren naik kelantai atas, ke kamar Alvaro. Sedikit ragu dia mengetuk pintu kamar Alvaro. "Kak." panggilnya sedikit kencang.

Terdengar langkah mendekat. "Kau pergilah dulu." terdengar suara lemah Arvaro dari dalam.

"Buka pintunya. Aku menunggu di luar." ujar Iren.

Alvaro terdengar menekan kombinasi angka di pintu. Tapi ...

"Kak." panggil Iren lagi. Sebab pintunya tak kunjung terbuka.

Tak ada sahutan dari dalam. Tapi sepertinya Alvaro kembali menekan kombinasi angka di pintu. Tapi tak pintu tak kunjung terbuka. Iren masih menunggu dengan diam sembari mendengarkan Alvaro berulang kali mengulang memasukkan angka kombinasi di pintunya.

Lalu sunyi beberapa saat. Kemudian terdengar lagi suara tombol pintu di tekan dan...

Klik..!

Sosok Alvaro menyembul dari balik pintu. Masih dengan jubah tidurnya Alvaro bersandar di pintu. Memamerkan dada bidangnya dari balik jubah yang sedikit terbuka. "Aku sudah memintamu pergi duluan. Kenapa masih berdiri disini." ujarnya dengan suara serak. Bau alkohol seketika meruar dari mulutnya. Iren mendekap mulutnya, netranya menatap Alvaro dengan tatapan tajam. Dari tampangnya terlihat kalau dia baru bangun tidur.

"Kenapa lama sekali kakak bukain pintunya." tanya Iren curiga. Alvaro memalingkan wajahnya menghindari tatapan Iren.

Bagaimana mau membuka pintu dengan cepat, kalau kombinasi angka yang terpaksa dia ganti setiap malam itu tidak dia ingat. Dia sengaja mengganti nomornya sebelum berpesta bersama gelas wine. Agar saat mabuk dia tak bisa keluar kamarnya.

"Pergilah." pinta Alvaro. Tanpa menatap Iren yang sedari tadi menatapnya lekat lekat.

Iren tak menggubris. Dia mendorong pintu kamar Alvaro agar terbuka sepenuhnya lalu masuk kedalam.

Langkah terhenti di tengah ruang kamar Alvaro. Ini pertama kali dia masuk ke kamar ini, kamar ini sangat luas. Luasnya dua kali kamarnya.

"Kau. Lancang sekali kau masuk kamarku!" bentak Alvaro setelah sadar kalau Iren dengan enaknya melenggang masuk.

Iren tak menyahut. Dia menggulung kemejanya sebatas siku, lalu mulai memunguti botol wine yang berserak di atas meja. Sementara Alvaro berdiri kaku memperhatikan gerak Iren. "Aku akan membuatkan minuman pereda mabuk." Ucapnya, lalu melangkah keluar kamar membawa botol wine yang sudah tak berisi.

Alvaro menghempas nafasnya kasar. Netranya menatap punggung Iren yang bergerak menjauh. Lalu beranjak kekamar mandi.

Alvaro menguyur tubuhnya dengan air dingin yang mengucur dari shower yang berada di atas kepalanya. Saat bangun tadi kepalanya terasa berdenyut sakit, kali ini dia benar benar melewati batas toleransi minumnya. Tidak apa, dari pada dia bangun pagi sedang berada diatas tubuh kaku Irene. Ini lebih baik baginya. Memikirkan itu jemari Alvaro mengepal erat.

"Ini minumlah." Iren meletakkan. gelas batu berisi air hangat serta dua butir pil pereda mabuk di atas meja makan. Tanpa kata Alvaro mengambil pil itu lalu meminum keduanya sekaligus.

Iren menggeser kursi di sebelah Alvaro, lalu duduk disana. Mengambil potongan roti lalu di olesi dengan selai kemudian menyantapnya dengan tenang. Ada banyak pertanyaan berkecamuk di kepala Iren. Tapi dia tak mau bertanya, karena percuma dia takkan mendengar jawabannya dari Alvaro.

"Kau telat." ujar Alvaro, sembari menatap Iren. Wanita itu sedang mengunyah roti dengan mulut penuh. Bahkan selainya sampai menempel di sudut bibirnya.

"Hmmm." sahut Iren acuh.

Alvaro mendesah berat. Menarik tisu dari tempatnya lalu menyodorkan ke Iren. "Lap bibir mu." titahnya.

Iren menoleh, mulutnya masih penuh dengan roti. Lalu meraih tisu dari tangan Alvaro. Dengan hati hati dia menyeka sudut bibirnya. ******* kembali terdengar dari mulut Alvaro.

'Bagaimana bisa dia terlihat cantik dengan mulut penuh begitu.' gerutu Alvaro dalam hati. Cepat dia berpaling sebelum jantungnya meledak.

"Kak pulang nanti gak usah jemput aku." ujar Iren memberitahu.

Alvaro langsung berpaling menatapnya. "Kenapa?" tanyanya dengan intonasi rendah.

"Temanku ada yang sakit, jadi rencananya pulang kuliah aku mau ikut temen temen jenguk ke rumah sakit." jelas Iren.

Alvaro tampak berpikir sejenak. "Abis itu langsung pulang." titahnya.

"Iya kak." sahut Iren. Netranya melirik sekilas kakak angkatnya itu. Dadanya berdesir halus, dengan kemeja putih yang hanya terkancing separunya. Alvaro mampu membuat jantung Iren hampir meledak.

Entah sejak kapan, dada Iren selalu berdesir saat melihat sisi sensual Alvaro. Dia bahkan akan langsung terbayang keganasan Alvaro di atas tubuhnya.

Tiba tiba Iren terpikir sesuatu. Membuat wajahnya berubah pucat pasih. Tiba tiba terpikir olehnya, sejauh mana Alvaro melakukan itu padanya. Apa benar dia masih Virgin.....

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!