Irene melirik tajam sosok lelaki dingin di sampingnya. Menghidu dengan dalam aroma yang meruar dari tubuhnya.Benar. Ini aroma yang menempel di tubuhnya pagi ini. Setelah malam tadi dia mengalami hal aneh.
"Ada apa? Menunya tidak sesuai dengan selera makan mu?" tanya Alvaro saat melihat Irene tidak menyentuh sarapan paginya sama sekali.
Dia kakak angkat Irene. Sebenarnya mereka tinggal berempat. Tapi saat ini ayah dan ibu angkanya sedang berlibur ke luar negeri. Jadi hanya ada dia dan Alvaro di rumah ini. Tentu saja bersama dengan beberapa pelayan rumah.
Irene menghempas nafasnya kasar. "Aku sarapan di kampus aja." sahutnya sembari beranjak bangkit dari duduknya.
Dia sudah akan melangkah pergi saat jemari kekar Alvaro mencekal pergelangan tangannya. Lelaki berwajah tampan tapi dingin itu menengadah menatap Irene. "Duduk. Kau mengganggu mood sarapan pagiku" titahnya dingin.
Tubuh Irene meremang, bukan karena ucapan kakaknya barusan. Tapi sentuhan tangan Alvaro mengingatkan pada kejadian aneh tadi malam.
"Cepat duduk dan nikmati sarapan mu." titahnya lagi. Sembari setengah memaksa Irene agar kembali duduk di tempatnya.
Tanpa kata wanita berparas ayu itu mengikuti kemauan Alvaro. Dia ikut makan dengan tenang di samping Alvaro. Walau sesekali manik hitamnya melirik lelaki bertubuh kekar itu dengan sorot mata penuh selidik.
"Kau pergi ke kampus dengan ku. Sopirmu izin cuti tadi malam." ujar Alvaro datar.
Cepat Irene menoleh ke Alvaro. "Cuti?" tanyanya kaget.
Lelaki berparas angkuh itu mengangguk. "Hmmm." sahutnya, sembari menyeka mulutnya dengan tisu.
Mendengar ucapan Alvaro barusan mungkin Irene akan senang, bila dia tidak mengalami hal aneh tadi malam. Sebab diam diam dia mengagumi kakak angkatnya itu.
"Cepat bersiap." titahnya lagi, lalu beranjak dari duduknya melangkah menuju kamarnya di lantai dua. Kamar yang posisinya bersebelahan dengan kamar Irene.
Irene menarik nafas dalam dalam. Dadanya terasa sesak oleh pikirannya sendiri. Dia benar benar bisa gila karena ini.
Tadi malam di tengah separuh kesadarannya dia mendapati tubuhnya tengah ditindih oleh Alvaro. Lelaki itu dengan ganas melu mati setiap inci bibir merahnya. Bahkan dengan berani jemari kekarnya mere mas dua payu dara miliknya. Tapi anehnya Irene tak bisa sadar sepenuhnya. Dia ingin menganggap itu cuma bunga tidur karena dia sering diam diam membayangkan di sentuh Alvaro. Tapi kenapa saat bangun di pagi hari, aroma tubuh Alvaro melekat di tubuh dan bantalnya.
"Apa yang kau lakukan. Kau ingin aku telat sampai kantor." tegur Alvaro.
Irene terjingkat kaget, setengah berlari dia menapaki anak tangga menuju kamarnya mengambil tas dan keperluan kuliahnya.
Di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Alvaro masih jadi perhatian Irene. Bola mata jernihnya mengawasi setiap gerak Alvaro.
Bahkan dia berpikir apa benar jari jemarinya yang kekar itu yang menjamahinya tadi malam. Jari yang saat ini tengah sibuk menekan tombol keyboard di laptop dengan lihai.
Lalu diam diam perhatiannya beralih pada bibir tipis yang tak pernah mengukir senyum itu. Jantung Irene berdetak kencang saat pandangannya benar benar terkunci di situ. Bulu kuduk Irene meremang, saat teringat sentuhan bibir basah itu pada ceruk lehernya. Sensasi sentuhan itu seperti sengatan listrik yang memacu aliran darahnya.
Tiba tiba Alvaro mengangkat wajahnya, lalu balas menatap Irene. "Ada yang aneh di wajahku?" tanyanya dengan suara rendah dan dalam.
Irene kaget bukan kepalang,lalu dengan cepat dia menggeleng. Sebab bibirnya kelu, suaranya tercekat di tenggoroan.
Tapi Alvaro belum melepas pandangannya. Tatapannya mengunci Irene.
"Irene." panggilnya pelan.
"I-iya kak."
"Apa terjadi sesuatu padamu?" selidiknya. Sorot matanya yang tajam menuntut Irene untuk bicara jujur.
Irene tersenyum sembari menggeleng pelan. "Tidak ada yang terjadi, kenapa kakak tanya itu?" Irene balik bertanya. Jantungnya serasa mau lompat keluar.
"Kau memperhatikan ku sedari tadi. Apa aku melakukan kesalahan? Kalau iya, katakan apa itu."
Irene menelan salivanya kasar. "Tidak ada kak." sahutnya dengan wajah pucat pasih.
"Kalau begitu. Berhentilah memperhatikan aku. Kau membuat konsentrasi ku pecah." ucapnya dengan sorot mata tajam.
Irene cepat mengngguk dengan perasaan gugup. Benar. Kenapa dia harus terus berpikir kalau sentuhan Alvaro tadi malam adalah nyata. Dia bisa memanggil sepuluh wanita dalam semalam bila dia mau. kenapa harus merangkak keranjangnya. Impossible.
Irene turun dari mobil Alvaro tanpa berpamitan terlebih dulu. Gadis berusia dua puluh tahun itu terlalu malu untuk memandang wajah kakak angkatnya itu.
Alvaro memang pria dingin. Tapi dia menerima dengan sangat baik saat papa mamanya membawanya pulang empat tahun lalu. Saat itu Alvaro masih berada di luar negeri.
Mama papa Alvaro datang ke rumah budenya lalu mengadopsi Irene. Irene terpaksa tinggal di rumah budenya waktu itu, setelah kedua orang tuanya mengalami kecelakaan sepuluh tahun lalu. Akibat kecelakaan itu Irene terpaksa menyandang gelar yatim piatu.
Saat datang ke rumah budenya orang tua Alvaro mengatakan bahwa mereka ingin anak perempuan tapi ibu Alvaro tak bisa hamil lagi. Untuk mengadopsi gadis kecil, dia tak mampu merawatnya. Entah dengan alasan apa, saat itu bude langsung setuju. Sedang Irene tak punya pilihan lain. Bude hidup dengan ekonomi pas pasan. Dia merasa menjadi beban bude bila tetap tinggal dengannya.
Ibu angkatnya sendiri memiliki dua anak. Kedua duanya laki-laki dan Alvaro adalah anak kedua sedang anak pertama mereka sudah sangat lama tinggal di luar negeri.
Irene mengaduk aduk kuah bakso yang sudah tak ada isinya sembari melamun.
"Iren. Lo sakit?" tanya Hilda, teman satu kamupusnya.
Irene menoleh, lalu menggeleng. "Enggak, emang kenapa?"
Hilda menyentuh muka Irene dengan ujung jarinya. "Mukalo pucet."
Irene mengernyit. "Masak." tapi memang sedari pagi tubuhnya terasa lemas.
Pagi tadi matanya bahkan tak bisa di buka padahal alarm di ponselnya sudah berdering sebanyak dua kali.
"Gak sakit kok, cuma lemes aja. Eh tapi, Hil. Lo pernah mimpi berasa kayak nyata gak. Misalnya mimpi di sentuh seseorang. Tapi sentuhan itu berasa nyata banget bahkan saat lo bangun aroma tubuhnya masih berasa nempel di tubuh lo gitu." tanya Irene dengan suara pelan.
Hilda menatap Irene bengong. "Lo mimpi gituan?" gadis berkaca mata itu balas bertanya.
"Bukan, tapi nyaris..." lirihnya.
"What! Siapa dia?!"
"Apaan sih! Buruan jawab."
"Pernah." sahut Hida.
"Tapi mimpi gituan." imbuhnya sambil nyengir.
"Asem lo Hil."
"Haahaa. Alah kayak lo gak pernah mimpi gituan aja." cibir Hilda.
Memang gak. Gak pernah sama sekali. Selama ini dia tidak pernah mau memiliki hubungan dengan pria manapun. Jadi bagaimana bisa dia bermimpi seperti itu. Tapi dengan Alvaro dia sedikit ada rasa kagum dengan keindahan tubuhnya. Apa lagi saat lelaki itu berte lanjang dada sambil berenang. Tapi tidak pernah berhayal terlalu jauh.
"Hey, jadi beneran gak pernah?!"
Irene menggeleng lemah. Memang begitu kenyataannya.
"Ya ampun Iren! Kau tau berapa usiamu sekarang?"
"Kenapa dengan usia ku? Lo nya aja yang ke ganjenan." cibir Iren.
"Normallah. Seusai kita memang udah ngerti *** kan?"
"Entah, nyatanya aku belom."
Hilda mengerutkan kening menatap Iren. "Masak. Liat cowok ganteng memangnya hati lo gak tergerak?"
"Ya tergerak, tapi gak menjurus ke *** lah. Gila lo.."
"Haahaa aku kira enggak. Kalau gitu lo masih terbilang normal." ujar Hilda.
Iren memukul bahu Hida. "Asem lo." umpatnya.
Hilda terbahak, dia salut sama Iren yang betah dengan status jomblonya padahal yang mau dengannya ngantri.
Bersambung
Sepi menyelubungi rumah mewah ini, bahkan desah nafas Irene terdengar sangat jelas saking sepinya.
Rumah besar ini memang hanya di huni Irene dan Alvaro saja. Sementara para pelayan tinggal di paviliun yang ada di belakang bangunan rumah. Rumah ini sudah biasa sepi, walau ibu angkatnya ada di sini tetap saja dia jarang di rumah. Sementara Alvaro dan ayah pulang setelah dia terlelap dalam alam mimpi.
Irene berbaring tengkurap di lantai kamar beralaskan karpet permadani. Sembari mengotak atik laptop di depannya. Dia sedang mengerjakan tugas kuliah yang akan di serahkan ke Dosen pembimbing dua hari lagi. Dia sudah mengumpulkan beberapa materi hanya tinggal menyalin dan menyusun menjadi berkas.
Ding....!
Ding....!
Dua notifikasi masuk ke ponsel Irene. Irene menarik tubuhnya ke posisi telentang. Bibirnya tersenyum tipis saat membuka pesan yang masuk. Ternyata pesan datang dari Rey teman sekampusnya.
(Malam Iren.)
(Apa sudah tidur)
Bunyi pesan Reytama. Irene tersenyum membaca pesan lelaki yang diam diam dia kagumi selain Alvaro. Kalau Alvaro bersikap dingin dan acuh. Rey kebalikannya, dia ramah dan hangat. Berada di dekatnya membuat hari harinya terasa ramai. Tidak sesepi saat berada di samping Alvaro.
(Belum Rey, aku lagi ngerjain tugas dari pak Nugi.) balas Irene.
(Ooo. Aku kira sudah tidur. Soalnya udah larut kan.) bunyi pesan Rey berikutnya. Irene melihat jam di ponselnya. Benar, ternyata sudah hampir tengah malam. Sudah hampir jam dua belas malam.
(Gak nyadar kalau udah hampir jam dua belas.) balas Irene di tambahi emote senyum.
(Ya udah, bobok dulu. Besok sambung lagi. Bukannya masih ada waktu sehari lagi kan.)
(Oke bos. Kamu juga bobok . Udah malem.)
Rey, membalas pesan terakhir Irene dengan emote jari jempol. Irene tersenyum, menatap baris percakapan mereka barusan. Ada getar tak biasa saat mereka berinteraksi begini. Lelaki berdada bidang itu sudah mencuri perhatiannya. Sejak pertama kali bertemu. Mungkin bukan hanya Irene yang langsung terkesan saat pertama kali bertemu Rey. Sosoknya memang mengundang decak kagum lawan jenisnya.
Setelah memberesi laptop dan kertas yang berserakan di lantai, Irene pergi ke kamar mandi membersihkan diri. Setelah selesai Irene beranjak ke dapur. Dapur yang hanya di terang cahaya temaram membuat beberapa benda terlihat seperti bayangan manusia. Irene melangkah dengan hati hati, takut kakinya terbentur kaki meja atau kursi.
Langkah kakinya terhenti di depan kulkas dua pintu berukuran besar.
Irene Membuka kulkas lalu mengeluarkan minuman dingin dari sana. Dia baru akan membuka tutup botol di tangannya, tiba tiba suara berat mengejutkannya.
"Malam begini kau minum minuman dingin. Ganti dengan yang hangat." terdengar suara yang tidak asing menegur Irene.
Cepat tubuhnya berbalik ke arah datangnya suara. "Kakak." sentak Irene. Netranya meneliti sosok Alvaro dalam gelap.
"Sudah larut kenapa belum tidur?" tanya Alvaro. Lalu terdengar suara kursi bergeser, beberapa detik kemudian tubuh Alvaro sudah berdiri tepat di depan Irene.
"Aku sedang mengerjakan tugas." sahut Irene, sembari menengadah menatap Alvaro di depannya.
Entah berapa centi tinggi Alvaro, yang jelas Irene harus menengadah menatapnya saat mereka berhadapan dengan jarak yang sangat dekat.
Netra Alvaro mengunci wajah Irene lekat lekat. Biar begitu Irene sama sekali tidak bisa membaca sorot matanya. Irene cepat mengalihkan pandangannya ketempat lain, lalu menarik tubuhnya menjauh dari Alvaro.
"Aku naik dulu kak." pamit Irene lalu bergegas pergi ke kamarnya. Tak terdengar sahutan Alvaro, tapi Irene tak perduli. Dia tak tahan lama lama di samping pria beraura dingin itu, atau dia akan membeku.
Begitu masuk kamar Irene langsung menutup pintu lalu tak lupa menguncinya. Mimpinya tentang Alvaro membuat Irene sedikit waspada. Terdengar gila memang, tapi dia sempat berpikir kalau Alvaro benar benar naik ke ranjangnya. Dia memang mengagumi semua yang di miliki Alvaro, tapi membayangkan Alvaro menyentuhnya begitu sensitif. Ada perasaan aneh menyusup di hatinya.
Setekah memikirkan ini itu cukup lama. Kini mata Irene tampak terpejam, nafasnya terlihat teratur. Pertanda gadis bertubuh indah bak biola itu sudah tertidur pulas.
Entah sudah berapa lama dia tertidur. Tiba tiba ketenangan tidurnya terusik. Di tengah tidurnya. Irene merasakan sentuhan di tubuhnya. Tubuhnya seperti di timpa sesuatu yang sangat berat. Hingga nafasnya terasa sesak. Sekuat tenaga Irene berusaha meraih kesadarannya, tapi sia sia. Dia seperti melayang, nyawanya seperti di hentak dari tubuhnya.
Irene melenguh pelan, saat bibir dan dadanya di sentuh bersamaan. Ditengah separuh kesadarannya Irene menghidu aroma tubuh Alvaro. Bulu kuduk Irene meremang, sekuat tenaga dia berusaha membuat dirinya tersadar. Andai ini mimpi dia ingin segera bangun. Andai nyata dia ingin membuka matanya, melihat dengan jelas. Siapa orang yang sedang berada diatasnya.
Kembali terdengar lenguhan Irene. Bukan karena sentuhan di tubuhnya. Tapi karena dia berusaha membuat dirinya sadar sepenuhnya.
Rahang Irene mengeras, bibirnya terkatup rapat. Sekuat tenaga dia berusaha menolak setiap sentuhan di tubuhnya. Sentuhan yang menimbulkan sensasi yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.
Usaha Irene tak sia sia, dia berhasil membuka matanya perlahan. Dengan nafas tersenggal dan keringat bercucuran. Irene berusaha memindai sosok diatasnya. Lamat lamat netranya melihat sosok Alvaro. Pria bertubuh kekar itu tengah menindihnya dengan bertelanjang dada.
'Kakak!!!' teriak Irene dalam hati. Sebab suaranya tak bisa keluar, tercekat di tenggoroan. Dengan sorot matanya dia berusaha meronta. Mengatakan bahwa dia tidak suka di perlakuan seperti ini.
Seakan baru menyadari kalau Irene bisa membuka matanya. Alvaro menghentikan, gerakannya. Matanya yang tajam menatap mata Irene lekat lekat. Dengan jantung berdetak kencang Irene memohon dalam hati agar Alvaro turun dari tubuhnya.
Irene menatap lelaki berbulu mata lebat itu penuh harap. 'Tinggalkan aku.' pintanya dalam hati. Tapi sayang, seringai yang di perlihatkan Alvaro membuat bulu kuduk Irene meremang.
Kini tatapan Alvaro turun kebawah, menatap dua bukit kembar Irene yang membusung. Napasnya yang tersenggal membuat dua benda itu turun naik tak beraturan. Sialnya gerakan itu membuat mata Alvaro berbinar.
Kini Alvaro menarik separuh tubuhnya ke posisi setengah duduk. Lalu dengan gerakan perlahan dia membuka kancing baju tidur Irene dengan satu tangan, sementara tangan satunya menopang bobot tubuhnya agar tak menindih Irene sepenuhnya. Satu persatu kancing baju Irene terlepas. Sementara netranya menatap bola mata Irene yang tampak bergetar ketakutan.
Tapi Alvaro tak juga berhenti, dia seakan menikmati rasa ketakutan Irene. Semakin Irene ketakutan semakin berbinar sorot matanya.
Irene memejamkan matanya saat Alvaro berhasil melucuti semua kancing bajunya. Pria berwajah tampan tapi dingin itu menghentikan gerakannya sejenak. Memindai setiap inci wajah Irene. Dari mata hidung lalu bibir. Tatapannya terpaku ke bibir, lalu dengan gerakan sangat lambat dia mendekat. Merapatkan tubuhnya dengan jarak sangat dekat, bahkan Irene bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat.
'Please! Hentikan kak!' mohon Irene dalam hati sebelum Alvaro melabuhkan bibir hangatnya.
Matanya meronta, memohon agar kakaknya melepaskannya. Tapi sayangnya Alvaro tak perduli. Membuat Irene menangis. Air mata mulai membasahi sudut matanya, lalu meluber membanjiri pipi.
Alvaro tersentak kaget, saat tak sengaja menyentuh air mata Irene. Lelaki berwajah dingin itu seperti menemukan kembali kesadarnnya. Tatapan dingin yang tadi dia perlihatkan, berubah jadi kebingungan. Lalu dengan cepat dia menarik tubuh kekarnya menjauhi Irene. Jelas dia terlihat sangat gugup lalu bergegas turun dari ranjang Iren. Setelahnya terdengar derap langkah menjauhi kamar Irene.
Irene tergugu bisu dalam tangis. Takut dan lega memenuhi rongga dadanya. Tapi anehnya tubuhnya tak mampu dia gerakkan sama sekali. Sampai akhirnya dia terlelap lagi, karena kelelahan menangis.
Bersambung
"Hahh..!!!"
Iren tersentak dalam tidurnya. Nafasnya tersenggal tak beraturan. Matanya nyalang menatap setiap sudut kamar mencari sosok Alvaro. Tapi tidak ketemu. Dia berusaha menggerakkan tubuhnya dan berhasil.
Dengan tubuh gemetar, cepat dia lari ke pintu, lalu memeriksanya dengan teliti. Tidak...
Pintu itu tetap terkunci seperti saat dia akan pergi tidur. Lalu kejadian tadi malam itu apa?
Jangan bilang itu hanya mimpi! Tidak tidak mungkin mimpi. Iren menatap baju tidurnya, baju itu terkancing rapih. Kalau Iren tidak salah ingat, Alvaro pergi begitu saja tanpa mengancingkan bajunya terlebih dahulu. Tapi saat ini tak satupun kancing bajunya terbuka. Apa memang hanya mimpi?
"Ooo good.." keluh Iren. Dia berjongkok di lantai sembari menyembunyikan wajahnya. Bagaimana bisa mimpinya begitu nyata, dia bahkan masih merasakan ketakutannya sampai detik ini.
Dan satu lagi, wangi tubuh Alvaro masih menempel di tubuhnya. Saat tidur Irene tak pernah memakai parfum dia hanya memakai body lotion.
Iren terlonjak kaget saat Alram di ponselnya berdering. Sudah pukul lima tiga puluh menit. Waktunya Iren bersiap.
Dengan langkah gontai dia masuk kamar mandi. Iren menggosok tubuh mulusnya bermandikan busa. Pikirannya terbang entah kemana. Sudah dua malam ini dia mengalami kejadian aneh.
Terdengar halaan nafas kasar dari bibir Iren. Gadis rupawan itu prustasi dengan pikirannya sendiri. Apa dia mengalami kegilaan hingga mengalami delusi saat tidur. Dia tak meyakini yang di alaminya adalah mimpi. Sebab sentuhan tangan Alvaro saat menjamahi tubuhnya terasa begitu nyata. Sentuhan itu bahkan sempat menimbulkan percikan rasa.
******* Iren kembali terdengar. Dengan malas dia membasuh tubuh polosnya dengan air. Menghalau busa yang menempel di tubuhnya. Sekilas dia melirik kaca besar yang ada di dinding kamar mandi, mengamati pantulan dirinya disana. Iren sudah akan berpaling saat matanya menangkap titik merah di bawah tulang selangka.
Mata Iren menajam, meneliti titik kecil itu dengan seksama. Iren yakin betul, titik itu sama persis dengan milik Hilda. "Tanda gigitan Hery." ucapnya bangga saat itu. Bulu kuduk Iren meremang, dia menutup mulutnya dengan jantung berdetak kencang. Jadi benar tadi malam kejadian itu bukan mimpi.
Tapi bagaimana bisa dia kehilangan separuh kesadarannya. Dan saat bangun semuanya terlihat normal kecuali aroma Alvaro yang tertinggal.
Ada yang tidak beres terjadi padanya....
Iren menarik nafas dalam dalam sebelum membuka pintu kamarnya. Lalu melangkah keluar, menuruni anak tangga menuju meja makan. Disana Alvaro sudah menunggunya.
Seperti biasa, Alvaro makan dengan tenang. Iren juga melakukan hal yang sama. Dia berusaha bersikap biasa, tak ingin mengundang kecurigaan Alvaro.
"Kak, aku pergi dengan taksi aja." ucap Iren pelan. Tanpa mengalihkan pandangannya dari piring di depannya.
Alvaro berdehem. "Kau pergi dengan ku." sahutnya dingin. Mendengarnya, cepat Iren mengalihkan pandangannya menatap Avaro.
"A-ada yang harus ku beli, jadi biar aku naik taksi aja kak." pintanya.
Alvaro menggeser kursinya lalu bangkit "Cepat bersiap. Aku ada rapat pagi ini." titahnya, lalu beranjak pergi menuju kamarnya.
Tubuh Iren seketika layu. Dengan malas dia menapaki anak tangga menyusul langkah Alvaro.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Seperti biasa, Alvaro sibuk dengan laptopnya sementara Iren duduk tenang di sampingnya. Sebenarnya dia tidak benar benar tenang. Aroma tubuh Alvaro yang meruar memenuhi indra penciuman Iren, membuat jantungnya berdegup kencang. Peristiwa tadi malam berseliweran di dalam kepalanya. Bahkan keringat dingin menetes di wajahnya.
Alvaro menghentikan aktivitasnya. Kini perhatiannya beralih ke Iren sepenuhnya. "Kau sakit?" tanya pria berwajah dingin itu, sembari menyentuh kening Iren dengan punggung tangannya. Iren menggeleng.
"Lalu apa yang akan kau beli?" tanyanyanya. Iren gelagapan, sebab itu hanya alasan agar dia bisa pergi sendiri.
"Tidak jadi, nanti saja aku beli saat pulang sekolah."
Alvaro diam menanggapi ucapan Iren. Tapi tatapannya masih terpaku ke gadis itu. Maniknya yang kelam menatap tajam bola mata bening Sakura. "Ada apa kak?" tanya Iren takut takut. Alvaro menggeleng, lalu menarik pandangannya dari Iren.
Seperti kemarin, Iren turun dari mobil tanpa pamit. Gadis itu melangkah cepat meninggal mobil Alvaro, seakan pria itu mengejar langkahnya dari belakang.
Iren cepat mencari Hilda, dia butuh gadis itu untuk di minta pendapat. "Hil!" teriaknya, saat melihat Hilda.
Hilda yang berjalan menuju kantin tampak berhenti. "Mau nyarap dulu laper." sahutnya. Dia tau Iren setiap pagi sarapan di rumah jadi jarang ke kantin.
"Ikut."
"Tumben."
Iren nyengir. "Cuma mau ngobrol." sahutnya.
Iren memilih duduk di gazebo yang ada di luar kantin. Dia ingin ngobrol dengan hilda tanpa ada yang nguping.
"Hil, lo punya kenalan dokter gak?" tanya Iren.
Hilda yang sedang mengunyah makanan menghentikan kunyahannya. "L vjho sakit?" Iren menggeleng.
"Terus ngapain butuh dokter?"
Iren menari nafas dalam dalam, semoga Hilda percaya ucapnya. "Aku salah minum obat kemarin malam. Jadinya tubuhku gak bisa gerak sama sekali. Tapi aku sadar dan hanya mataku yang bisa gerak. Aku khawatir itu bahaya jadi aku niat periksa ke dokter."
Hilda melongo menatap Iren. "Ren, lo gak macem macem kan konsumsi obat terlarang?"
"Apaan sih! Aku masih waras tau. Cuma salah minum obat doang. Ihh pikiran lo tuh ya." gerutu Iren.
Hilda bernafas lega. "Mau secepatnya?"
"Iya."
"Kalau gitu, gimana kalau pulang kuliah. Gak perlu kenalan kalau mau periksa kayak gitu. Langsung aja datang ke rumah sakit." ujar Hilda.
Iren mengangguk setuju. Iren merasa curiga dengan kondisinya kemarin malam. Sebab dia sadar sepenuhnya, tapi saraf motoriknya seperti kehilangan pungsi. Ini sangat mencurigakan. Untuk meyakinkan dugaannya dia harus melakukan pemeriksaan. Kalau benar Alvaro memberinya obat, bukankah bukti itu masih tertinggal di tubuhnya.
Hatinya sedikit takut akan hasilnya nanti. Bagaimana jika terbukti benar Alvaro melakukan itu. Apa yang harus dia lakukan.
**********
Iren dan Hilda menunggu di ruang tunggu, depan ruang laboratorium. Menurut Dokter yang memeriksa Iren, hasil pemeriksaan fisik Iren semuanya normal. Jadi tinggal menunggu hasil lab nya keluar.
"Saudari Irene." panggil petugas lab, dari balik ruang yang di batasi kaca bening.
"Iya saya." sahut Iren.
"Ini hasil labnya udah keluar ya, bisa di serahkan ke dokter yang tadi memeriksa."
"Ah, iya terimakasih buk."
Iren dan Hilda membawa berkas ke ruang dokter Eko. Dia yang tadi melakukan pemeriksaan terhadap Iren.
Lelaki berkaca mata itu terlihat serius membaca, laporan yang di bawa Iren dari ruang laboratorium.
Pria itu menarik nafas dalam sebelum membacakan hasilnya. "Tidak ada yang aneh dari hasil pemeriksaanya. Tidak ada kandungan obat tertentu dalam darah nona Iren. Seperti dugaan nona sebelumnya. Mungkin yang nona alami itu reaksi normal saat anda terlalu lelah beraktivitas. Atau terlalu memikirkan sesuatu terlalu berat, itu bisa juga terbawa sampai kealam bawah sadar nona." ujar Dokter Eko.
Rasanya Iren tak percaya dengan hasil pemeriksaan ini. Ingin rasanya dia memperlihatkan bukti nyata dari buah mimpinya. Tapi dia takut dianggap aneh. Jadi dia memilih percaya ucapan Dokter Eko.
"Baiklah dok. Syukurlah kalau memang tidak ada yang aneh dari hasil pemeriksaanya. Terimakasih atas bantuan Dokter."
"Sama sama. Nona boleh pulang. Karena tidak ada yang serius, jadi saya tidak meresepkan obat untuk nona. Hanya saja saya memberi nona vitamin untuk di minum setiap hari." jelas Dokter Eko.
Dokter Eko menatap kepergian Irene dengan helaan nafas berat. Siapa sebenarnya gadis itu, hingga dia terpaksa beberurusan dengan orang penting di kota ini.
Begitu bayangan Iren menghilang di balik ruang. Ponsel Dokter Eko berdering.
"Halo."
"Sudah sesuai yang bapak perintahkan." ucapnya entah pada siapa.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!