Part 16

Jam makan siang di kantin kampus suasana lumayan ramai. Selain enak makanan di sini harganya sesuai dengan kantong mahasiswa.

Di sudut ruang terlihat Iren dan Hilda tengah menyantap bakso, sembari ngobrol.

"Gimana dengan Rey, udah jadian?" tanya Hilda sembari menatap wajah Iren yang tertunduk menatap mangkuknya yang hampir kosong.

Iren menggeleng, sembari melepas nafas berat. Jadian? Apa Iren masih berani memberikan harapan pada Rey, setelah apa yang terjadi antara dia dan Amvaro.

Hilda mengernyit, netranya menatap titik merah di balik kemejanya. Titik itu terlihat karena posisi Iren yang menunduk di hadapannya. Kulit Iren yang putih membuat titik merah, yang di kenali Hilda sebagai sebuah kiis mark itu terlihat sangat jelas.

Kalau belum jadian, lalu darimana anak ini mendapatkan tanda percintaan itu. Selama ini Iren bahkan terlihat tak pernah dekat dengan lelaki manapun.

"Mikir apa? Natap aku segitunya. Aku sama Rey hanya bisa jadi temen. Gak akan bisa lebih." ujar Iren. Hilda cuma nyengir sambil gelang kepala.

"Hil, kemaren kamu bilang kafe bundamu butuh karyawan. Dah dapat?"

Hilda menggeleng. "Gak tau, bunda gak ada cerita lagi. Kenapa? Ada yang mau kerja?"

"Iya, tanyain ya."

"Oke."

Dia tidak mungkin terus tinggal dirumah itu, kalau Alvaro menikah dan tetap tinggal disana. Dia tak mau jadi duri dalam pernikahan mereka. Itulah sebabnya dia ingin mencari kerja, guna menghidupi dirinya sendiri.

Dia juga tak ingin menyakiti mama yang tulus menyanginya seperti anak kandungnya sendiri.

Pulang dari kuliah Iren di jemput Tery. Karna memang mobilnya di bawa oleh Tery.

"Sudah makan siang?" tanya Tery.

"Sudah tadi di kantin." Sahutnya sembari focus ke jalan.

"Gak apa apa deh maka lagi. Aku udah janji bawa kamu, sama Alvaro."

"Maksudnya?"

"Aku tadi ajal Alvaro makan siang bareng kamu." jelas Tery.

"Ooh, tapi gak bareng aku harusnya loh. Ini kan momen mbak buat memupuk kembali rasa yang sedikit berkurang. Kalau ada aku malah ganggu kan?"

"Aku sengaja bawa kamu, biar ada temen kalau di cuekin Alvaro."

"Hahaha, mbak bisa aja."

"Benerkan?"

"Hehehe iya sih."

Tapi apa benar dengan Tery, Alvaro juga bersikap dingin? Iren tak melihatnya seperti itu. Pria itu menatapnya dengan tatapan hangat, membuat sudut hati Iren berdenyut sakit.

Iren menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah restoran mewah.

"Mbak yakin aku ikut turun. Bukannya harusnya mbak sama kakak aja berdua. Biar quality time gitu."

Tery tertawa. "Apaan sih, udah ayok. Quality time-nya lain kali aja." ujarnya.

Pasrah Iren mengikuti langkah Tery masuk dalam restoran.

Rupanya Alvaro sudah menunggu di sana. Pria itu terlihat sibuk dengan loptonya, hingga tak menyadari kedatangan Tery dan Iren.

"Sayang.." Tery langsung bergelayut manja di samping Alvaro. Membuat Iren mau tak mau melihat adegan yang membuat hatinya seperti di remas remas.

"Hey sudah datang." sapa Alvaro dengan mode ramah. Kembali hati Iren berdenyut sakit. Lelaki itu bahkan memperlihatkan garis tipis yang begitu indah di bibirnya saat menatap Tery.

Membuang nafas kasar Iren, menatap kerah lain. Dia tak kan sanggup terus melihat kedekatan mereka. Tapi pamit pulang juga tak mungkin.

Di saat begini dia baru ingat tuhan, meminta zat yang maha Agung itu menyelamatkannya dari situasi menyakitkan ini.

Riiingg....

Ponsel Iren berdering dalam sling bag miliknya. Dia sungguh berharap telpon ini bisa menyelamatkannya dari tempat ini.

"Iya Rey." sahut Iren. Membuat Alvaro mengarahkan tatapan tajamnya ke Iren.

"Oke, baiklah. Aku otw kesana." sahut Iren lagi. Kali ini alis Alvaro mengernyit menatap Iren yang terlihat akan beranjak pergi.

"Kak, aku pergi dulu ya. Ada tugas kuliah yang harus aku kerjain bareng temen-temen." pamitnya dia menggeser kursinya sudah bersiap akan pergi.

"Teman yang mana?!" tanya Alvaro dengan sorot mata tajam.

"Rey dan yang lain." sahut Iren.

"Sampai nanti ya mbak." imbuhnya lalu bergegas pergi tanpa meperdulikan tatapan marah Alvaro.

Iren tak benar benar mengerjakan tugas kuliah. Tadi Rey hanya mengajaknya ketemuan di luar. Dan Iren mengiyakan tanpa pikir panjang.

"Rey, kamu mau ajak aku ketemu dimana?" Iren terpaksa menghungi Rey lagi. Sebab tadi Rey belum memberi tahu, Iren udah main otw aja.

"Lapangan bulu tangkis Sudirman. Tau kan?"

Iren berpikir sejenak. "Oke aku tau."

"Ya udah aku tunggu."

Tak berapa lama mobil Iren sudah terpakir di Gor bulutangkis. Iren terpana melihat pria bertubuh kekar itu melabai kearahnya.

"Kamu main di sini?" tanya Iren. Netranya menatap Rey tak berkedip. Dengan pakaian olah raga berlengan pendek Rey terlihat sangat seksi.

"Aku tanding. Makanya aku minta kamu datang. Aku pikir kamu gak mau, mengingat kamu yang selalu ngindari aku beberapa hari ini. Tapi kamu mau datang, aku senang." ucap pria itu terharu. Iren tercenung. Kalau bukan karena kemesraan Alvaro dan Tery mungkin dia benar benar tak akan datang ke tempat ini.

Iren duduk di deretan penonton yang ada di tengah tribun. Rupanya turnamen ini sudah masuk final. Dan Rey tampil memukau di hadapan Iren. Kalau tidak ingat siapa dirinya, Iren sudah pasti membiarkan perasaan ini berkembang sempurna. Tapi dia cepat membuat batasan agar perasaannya tak berkembang jauh.

Iren terlonjak gembira saat pukulan terakhir Rey mendapat skor yang menentukan gelar juara di turnamen ini. Matanya berbinar menatap tubuh kekar bermandi keringat itu. Dia tak lagi ingat batasan saat pria itu melambai ke arahnya lalu mengembangkan kedua tangan kearahnya. Iren berlari menuruni tribun, lalu berlabuh dalam pelukan Rey.

"Hebat kamu Rey." pujinya dengan mata penuh binar. Lawan Rey bukan lawan yang bisa di anggap remeh, tapi Rey bisa menjatuhkannya dengan selisih empat angka.

Rey hanya tertawa. Dia tak mampu berucap. Jantungnya hampir meledak. Dia tak menyangka Iren benar benar berlari kearahnya dan jatuh dalam pelukannya. Dia hanya melakukan selebrasi untuk kemenangannya, yang di persembahan untuk wanita yang sangat dia cintai. Dia benar benar mendapat keberuntungan berlipat ganda hari ini

"Terimakasih." ucapnya lirih di telinga Iren. Iren mengangguk dengan jantung berdebar. Dia baru sadar tentang apa yang telah dia lakukan. Tapi entah kenapa hatinya tak mau menjauh. Dia hanya diam saat Rey malah memeluknya semakin erat.

Iren menatap Rey dengan penuh binar, saat medali emas di kalungkan di leher Rey. Dari tempatnya duduk dia bisa melihat binar mata para gadis menatap Rey. Mereka bahkan langsung mengejar Rey begitu Rey turun dari podium, meminta izin Rey untuk foto bersama mereka.

Rey menatap Iren, dengan gerakan mulut dia bertanya pada Iren. "Boleh?" Iren tertawa. "Tidak apa." sahutnya dengan gerakan bibir.

Rey sempat di buat kuwalahan oleh kemauan para gadis itu. Rata rata mereka masih anak SMA. Masih manis manisnya.

"Wah, yang mendadak seleb." ledek Iren setelah Rey bisa lepas dari kerumunan para gadis.

Rey tertawa. "Seleb apaan. Oh ya ini buat kamu." ujarnya sembari mengalingkan medali pada Ire.

"Kok buatku sih."

Rey mengangguk. "Aku memang ingin menghadiahimu kemenangan ini." ujar Rey.

Iren menunduk menatap medali yang tergantung di lehernya. Senyumnya mereka dengan indah. Perasaan ini terlalu indah untuk dia tepis. Sekuat tenaga Iren mendorongnya menjauh, sekuat itu pula perasaan itu datang.

"Terimaksih." ucap Iren akhirnya.

Biarlah dia jalani semuanya seperti aliran mengalir, perasaan ini terlalu indah. Dia ingin menikmatinya. Andai suatu hari dia harus di hadapkan dengan satu kata pisah, dia akan terima. Walau mungkin hatinya akan terluka.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!