Part 4

Di sepanjang jalan pulang, Irene diam membisu. Apa benar itu hanya delusi yang dia alami. Kenapa semuanya terlalu nyata, bahkan titik merah itu bukankah bukti bahwa dugaannya benar.

"Iren, lo gak apa apa?" tanya Hilda khawatir. Sebab sedari tadi sahabatnya itu hanya diam. Iren mengulas senyum sembari menggeleng.

"Gak apa apa kok." sahutnya.

"Hil, boleh gak aku nginep di rumah lo."

"Apaan sih. Ya boleh lah. Aku kan udang sering bawak lo nginep. Lo nya aja yang gak pernah mau." sungut Hilda. Iya sih. Tapi dia kan memang jarang main. Irene lebih suka menghabiskan waktu luangnya di dalam rumah ketimbang di luar.

"Masih sore, masak mau langsung pulang sih. Gimana kalau kita nonton dulu." usul Hilda.

Iren tampak berpikir sejenak. Mungkin usul Hilda terdengar bagus untuk situasinya saat ini. Dia butuh udara segar. Mungkin berbaur dengan orang ramai bisa sedikit melupakan beban pikirannya saat ini.

Kini keduanya sudah berada di pusat perbelanjaan di sebuah mall di kota ini. Hilda memilih mall yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

Mereka duduk di gerai minuman kekinian, sembari memperhatikan gerak gerik bocah ABG yang lalu ladang. Iren tersenyum kecut, melihat wajah tanpa beban bocah bocah ABG itu. Dia sendiri tak pernah mengecap indahnya masa masa ABG. Dia kehilangan masa masa itu, karena orang tuanya meninggal.

"Lucu ya mereka." gumam Hilda. Netranya tertuju pada sepasang ABG yang terlihat malu malu. Padahal jelas jelas kalau mereka saling suka.

"Jadi keinget cinta pertama." imbuhnya lagi.

Irene memandang Hilda sembari menyesap minuman dingin di depannya. "Kelas berapa tuh?" tanyanya.

"Dua SMP." sahutnya sambil nyengir.

"Idih gatel."

Hilda terbahak, tapi benar. Kalau di pikir lagi dia dulu memang keganjenan. Masih SMP bukannya serius belajar, malah cinta cintaan. Sama kakak kelas lagi. "Kalau kamu kelas berapa?" Hilda balik nanya.

Irene menatap Hilda lalu menggeleng. "Belum nemu."

"Hah! Serius lo?!"

"He, em."

"Lo secakep ini gak pernah pacaran. Kenapa, gak ada yang lo suka?"

Irene tersenyum. "Entahlah, akunya aja gak berani deket ke cowok. Ya mana tau ada yang suka atau gak."

"Jadi bibir lo, masih Virgin dong?" tanya Hilda iseng.

Irene cuma senyum. Dalam hati dia ragu, benarkah bibirnya masih Virgin?

"Eh liat tuh. Manisnya..." Hilda mengarahkan dagunya ke rombongan ABG yang lewat. Diantara mereka ada yang diam diam saling menautkan jari. Irene tertawa pelan, bisa mereka bayangkan betapa berbunganya hati si cewek.

"Pengen balik lagi ke SMA." rengek Hilda manja.

"Udah gak usah bertingkah, nikmati aja masa sekarang." ujar Irene. Dia sendiri berpikir andai dia mampu mengulang waktu, apa orang tuanya akan baik baik saja.

Hilda mendesah berat. "Dewasa itu gak asik, terlalu rumit." keluhnya. Irene tertawa, hidupnya berkecukupan, keluarganya juga utuh tapi dia masih saja mengeluh. Lalu apa kabar dengan Irene?

Mereka keluar dari bioskop hampir jam sepuluh malam. Sampai rumah jam sebelas, karena mampir dulu beli cemilan di pinggir jalan.

Sampai di rumah, keduanya tak langsung tidur. Mereka ngemil di teras kamar sambil ngobrol sana sini. Kebetulan kedua orang tua Hilda lagi tak di rumah. Keduanya dinas keluar kota. Jadi cuma mereka berdua di rumah ini.

"Iren, kayaknya Reytama suka sama lo deh." ujar Hilda, sembari menggigit biji kuaci bunga mata hari. Membuang kulitnya ke dalam plastik bekas roti. Lalu mengunyah bijinya perlahan. Iren menatap Hilda lalu tersenyum.

"Lo, udah tau?" tebaknya. Irene kembali tersenyum.

"Ya ampun, gerak lo lambat banget sih Iren. Keburu di samber orang tau gak."

Irene mendesah berat. "Aku cuma anak angkat. Lo tau status Rey, kan." ujarnya. Ya siapa yang tidak kenal orang tua dari Reytama. Pemilik perusahaan ternama di kota A ini.

"Aku dan dia ibarat langit dan bumi." ujar Iren menerawang.

Hilda menepuk pundak Iren pelan. "Lo gak boleh rendah diri gitu dong Ren. Mungkin Rey bukan lelaki seperti itu."

"Mungkin bukan dia yang aku khawatir kan. Tapi keluarganya. Aku gak mau jalanin hubungan yang sia sia. Udah keliatankan perbedaan kami berdua, kalau di paksain. Nanti malah bikin sakit ati." tutur Iren. Dia punya status tinggi karena keluarga angkatnya, tapi tetap saja darah yang mengalir di tubuhnya darah orang biasa.

Mungkin perasaan seperti itu yang membuat Irene, membangun dinding pematas pada lelaki yang menaruh hati padanya.

Obrolan mereka terhenti oleh bunyi bel rumah Hilda. "Siapa Hil?" tanya Iren. Hilda menggeleng.

"Biar ku liat dulu ya." Hilda bergegas ke ruang tamu memeriksa siapa yang datang.

Alvaro berdiri tegak di depan pintu saat Hilda membuka pintu rumahnya. "Kak Alvaro?!" sentak Hilda kaget. Sedang apa lelaki berwajah tampan itu berdiri di depan rumahnya.

"Hmmm. Aku menjemput Iren." sahutnya datar.

"Ooh, kalau gitu masuk dulu kak. Biar ku panggilin Iren nya." Hilda mempersilahkan masuk.

"Tidak usah, aku menunggu di sini saja." sahutnya. Lalu duduk di kursi teras.

"Baiklah, aku kedalam dulu kak." ujar Hilda. Lalu bergegas kekamar menyusul Iren.

Hilda tergesa masuk kedalam kamar, menghampiri Irene yang sedang berbaring di ranjang sembari bermain hp.

"Iren, kakak lo yang dateng." ujar Hilda memberitahu.

"Alvaro?"

"He, em."

"Ngapain dia?"

"Jemput lo."

"Apa?!"

Iren tersentak bangkit dari tempat tidur. Bergegas menemui Alvaro. Sementara Hilda mengekori dari belakang.

Iren tertegun melihat sosok Alvaro yang tengah duduk di kursi teras. Dia pasti baru pulang kerja, jas dan kemeja masih menempel di tubuhnya.

"Kak." panggil Iren. Dia berdiri di ambang pintu.

Alvaro berdiri, lalu memperbaiki jas yang tampak sedikit kasut. "Aku menjemput mu pulang." ucapnya datar.

Iren mengangguk. Lalu berpamitan pada Hilda. "Hil, aku pulang dulu ya. Lain kali kalau ada waktu aku nginep sini. " ujarnya.

"Beneran mau pulang?"

"Iya, ambilin tak ku dong."

Hilda mengangguk lalu kembali masuk kedalam mengambil tas Iren yang tertinggal di kamar. Tak lama Hilda kembali lagi bersama tas milik Iren.

"Nih, aku dah seneng ada temennya. Eh, lo balik." gerutu Hilda, sekilas dia melirik ke Alvaro.

Iren tertawa. "Aku tadi lupa bilang kalau mau nginep sini. Lain kali aku bilang dulu biar gak di susul."

"Cih, udah kayak bocah SD." cibir Hilda. Iren terbahak, dia tau Hilda pasti kesel dia mendadak pulang begini. Tapi melihat tampang Alvaro yang tidak mau kompromi Iren bisa apa.

Kalau dia menolak pulang, mereka pasti akan berdebat di sini. Dia tidak ingin Hilda memandang Alvaro dengan tatapan Aneh.

Di sepanjang jalan keduanya diam membisu. Memang selalu seperti ini saat mereka berdua. Alvaro jarang sekali bicara, sementara Iren tak berani mengajak bicara kalau bukan Alvaro yang mulai.

Sesampainya di rumah, Iren turun lebih dulu kemudian di susul Alvaro. Dengan langkah cepat, Iren menapaki anak tangga satu persatu. Suasana sepi yang hanya di terangi cahaya temaram membuat Iren mendadak takut. Takut pada sosok yang ada di belakang langkahnya.

Iren memegang handle pintu hendak membukanya. Tapi gerakannya berhenti karena Alvaro memanggilnya.

"Iren." suara berat itu mengintrupsi Iren. Iren menarik nafas sebelum berbalik menatap Alvaro.

"Iya, kak."

Alvaro terlihat mengendurkan dasinya, lalu melangkah mendekati Iren. Dia berhenti saat jarak mereka sudah sangat dekat. Iren bahkan nyaris mundur kebelakang saking dekatnya.

"Kau tidak pernah meninggalkan rumah saat malam. Apa lagi menginap di luar." ujar Alvaro dengan intonasi rendah. Dia menjeda ucapannya, sementara netranya meneliti wajah Iren dengan sorot mata dinginnya.

"Kenapa malam ini Kau ingin melakukannya?" imbuhnya lagi.

Irene mengernyitkan alisnya. Berusaha mencerna kata kata kakak angkatnya itu. "Melakukan apa maksud kakak?" tanya Iren tak paham kalimat Alvaro barusan. Memangnya apa yang dia lakukan.

"Bermalam di luar." sahutnya.

Iren menarik bibir mengukir senyum. "Aku udah dua puluh tahun loh kak, bukan gadis kecil yang gampang tersesat." sahut Iren. Kata kata ini ingin dia lontarkan saat di rumah Hilda tadi. Tapi dia tidak ingin Hilda banyak berpikir tentang anehnya seorang Alvaro.

"Tapi aku tidak suka kau meninggalkan rumah karena hal yang tidak penting." tegas lelaki itu dengan wajah mengeras. Jelas sekali dia sedang memendam amarah.

Iren tertawa pelan, lalu menarik diri mundur selangkah kebelakang. "Kakak mengekang ku?" tanyanya dengan mengumpulkan segenap keberaniannya.

"Kau adik ku." tegasnya.

Tangan Iren mengepal. Adik katanya? Lalu apa yang dia lakukan dua malam kemarin. Apa itu pantas dilakukan seorang kakak pada adiknya. Dia tidak bermaksud menuduh tanpa bukti, tapi apa yang dia rasa dan apa yang dia lihat malam itu dia meyakini itu nyata.

"Tapi aku bukan anak kecil lagi. Aku berhak menentukan apa yang aku lakukan tanpa izin kakak. Selagi itu dalam tahap wajar dan tak menyalahi aturan." ujar Iren sembari menatap bola mata kelam Alvaro lekat-lekat.

Alvaro menyeringai, lalu melangkah mendekat. Mengikis jarak diantara mereka berdua. "Kau tidak berhak sama sekali. Hanya aku yang berhak menentukan apa yang harus kau lakukan dan apa yang tidak boleh kau lakukan." ujar lelaki itu penuh penekanan. Jarinya bergerak menyelipkan anak rambut Iren kebelakang telinga.

Ire membeku, tubuhnya kaku bak di paku ke bumi. Dia tak percaya melihat sorot mata itu. Itu benar benar dia.

Rasa takutnya membuat Iren tak mampu berpikir lagi. Cepat dia berlari masuk ke kamarnya lalu mengunci pintu itu rapat rapat.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Tarmi Widodo

Tarmi Widodo

Alvaro tu gila

2023-12-29

1

Emilia Elisa

Emilia Elisa

lanjut Thor 💪💪💪

2023-07-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!