Part 6

Rey setengah berlari mengejar langkah Iren. Pria itu sedari rumah sudah mengekori mobil mereka. Iren tak menyangka, ternyata pria ini gigih juga.

'Iren tunggu." panggilnya. Iren menghentikan langkahnya, lalu berpaling menghadap Rey.

"Maaf ya, kakak ku galak." ujar Iren begitu Rey sudah di depannya.

Rey tersenyum sembari mengangguk. "Gak apa apa, tandanya dia sayang adek." sahut Rey.

"Lain kali jangan nekat gitu ya."

Rey tertawa sembari menggaruk rambut belakangnya. "Gak janji." ujarnya sambil nyengir.

"Apaan sih." cebik Iren. Lalu beranjak pergi, melangkah menuju kelas. Rey menyusul, mensejajari langkah Iren, mereka jalan bersisian.

"Pulang nanti barengan ya." ajak Rey.

Iren menoleh sekilas, lalu menggeleng. "Aku bareng kakak." sahut Iren.

"Kok tumben."

Iren kembali menoleh ke Rey. "Iya berkat kamu." sahut Iren sembari tersenyum kecut.

"Me?!" tanya Rey, sembari mengarahkan telunjuk ke tubuhnya.

"Hmmm."

"Karena tadi pagi aku jemput kamu?" tanya Rey penasaran. Iren mencebikkan bibirnya sambil mengangguk.

"Posesif ya dia. Padahal dah gede loh adeknya."

Iya, dia tiba tiba jadi posesif. Padahal selama ini dia acuh dan tak perduli. Dia bahkan irit bicara saat mereka cuma berdua. "Aku sudah mentranfer uang jajan ke rekening mu." Itu kata populer yang sering dia ucapkan. Tapi belakang ini, ada banyak perbendaharaan kata yang keluar dari bibirnya. Bahkan merekþa sampai berdebat panjang.

"Wajarlah, adek cewek. Takut dia adeknya di mangsa buaya." sahut Iren sembari tersenyum.

Rey mengerutkan keningnya dalam. "Kamu gak sedang nyindir aku kan?" tanya Rey.

"Kamu buaya?" Iren balik nanya. Rey menggeleng.

"Ya udah gak usah kesindir." cibir Iren lalu melangkah cepat meninggalkan Rey. Rey tersenyum sembari menggaruk belakang kepalanya. Kenapa susah sekali menaklukkan seorang Iren. Padahal di kampus ini, gadis mana yang tak mau dengannya. Tapi makhluk indah bernama Iren. Kenapa sulit sekali mendapatkannya.

Di kelas, Hilda sudah menunggu di samping tempat duduknya. Dia sibuk menatap layar ponselnya sampai sampai tak menyadari kedatangan Iren di sebelahnya.

"Lihat apa?" tanya Iren. Sembari menempatkan tubuhnya di samping Hilda.

"Ayang." sahut Hilda, tanpa berpaling.

Iren memiringkan tubuhnya lkut menatap layar ponsel Hilda. Ternyata gadis ini tengah menatap beberapa pose bintang terkenal yang sedang mempromosikan dalaman dengan merk brand ternama.

'Bagusan punya Alvaro' batin Iren. Tanpa sadar bayangan Alvaro mengungkung tubuhnya dengan bertelan jang dada berputar di benaknya. Tubuh kekar dan sorot mata buas penuh naf su, Ahhh betapa seksinya...

"Ahhh! Apa apaan sih aku ini." sentak Iren sembari memukul kepalanya berulang kali.

"Lo kenapa?" tanya Hilda heran.

"Jangan bilang, lo naf su liat ginian." bisik Hilda.

Kontan Iren mendaratkan pukulan di bahu Hilda. "Pala lo naf su!" hardiknya.

"Lah reaksi lo gitu. Kan aku jadinya curiga."

"Bagusan juga milik dia.." gerutu Iren bergumam.

Hilda menajamkan pendengarannya. "Lo bilang apa barusan?" tanya Hilda. Membuat Iren tersadar dengan kata-katanya.

"Apa! Gak adak bilang apa apa aku." elaknya.

"Bohong lu, kedengeran jelas tau. Ngaku lo, punya siapa?" desak Hilda. Matanya menyipit menatap Iren curiga.

"Tuh dosen dah masuk." ujar Iren mengalihkan pembicaraan.

"Ini belom kelar ya." bisik Hilda tak puas. Iren tersenyum simpul menanggapi ucapan Hilda.

Iren tak habis pikir dengan isi kepalanya barusan. Apa itu dampak dari perlakuan Alvaro. Tapi sepertinya tidak seperti itu. Atau penyakit me sum Alvaro sebenarnya sudah menular padanya.

Kalau tidak, bagaimana bisa dia memikirkan hal vulgar di tempat ramai begini.

'Apa sebenarnya yang ada di pikiran mu Irene...,

Pulang Kuliah, Rey benar benar menunggunya di tempat parkir. Sepertinya dia tak perduli pada ucapan Iren tadi pagi.

"Aku antar ya." tawar Rey, sembari berjalan di sisi Iren.

Iren menggeleng sambil tersenyum. "Tuh." sahutnya sembari mengerakkan dagunya ke luar gerbang sekolah. Pandangan Rey langsung berpindah kesana.

"Kakak mu?"

"He, em."

"Ck! Bilangin ke dia, besok gak usah jemput. Ada Rey yang siap nganterin adeknya. Sampe'in ya ke kakak mu."

Iren terkekeh sembari mengacungkan jari jempol. "Siip." sahutnya, lalu bergegas menghampiri mobil Alvaro.

Iren masuk kedalam mobil di sambut dengan tatapan dingin Alvaro. "Berandal itu lagi?" tanyanya dengan mata menyipit menatap ke luar jendela.

"Kami satu kampus, bahkan kadang satu kelas. Jadi biasakan kakak selalu ketemu dia." sahut Iren datar.

"Biasakan?"

"Hemmm." sahut Iren sembari mengukir senyum.

"Apa kau suka padanya?" tanya Alvaro datar.

Iren menggeleng. "Enggak, tapi dia suka padaku."

"Aku bisa lihat itu. Tidak masalah dia suka padamu. Asal kau tidak." ujar Alvaro.

"Jalan pak." imbunya.

Mobil melaju di tengah ramainya jalalan di jam makan siang. Beberapa restauran yang terletak dipinggir jalan terlihat penuh sesak.

"Kau sudah makan siang?" tanya Alvaro di tengah kesibukannya berkutat dengan laptop.

"Belum."

"Kau mau makan apa?"

"Nasi." sahut Iren singkat.

Mendengar itu Alvaro menghentikan aktivitasnya, lalu menoleh ke Iren. Sementara Iren yang baru menyadari ucapannya tersenyum canggung. "Terserah kakak, yang penting ada nasibnya." ujarnya.

"Hemmm." sahut Alvaro lalu kembali melanjutkan kegiatannya.

Tak lama mobil mereka berhenti di halaman parkir sebuah restauran mewah. Restauran yang pernah beberapa kali mereka kunjungi bersama ibu angkatnya.

Rupanya Alvaro sudah me-reservasi lebih dulu di tempat ini. Selama dia jadi adik angkat Alvaro, ini kali pertama lelaki dingin itu mengajaknya makan di luar berdua.

Alvaro memesan beberapa hidangan mewah untuk mereka berdua. Tentu saja dengan senang hati Iren menyantapnya.

"Kak." panggil Iren di tengah makannya.

"Hmmm."

"Ini dalam rangka apa?"

"Jangan cerewet, nikmati saja makan mu."

"Baiklah, tapi sikap mu ini membuatku takut." gumam Iren sembari mengunyah nasi di mulutnya.

Siapa yang tidak berpikir aneh melihat pria acuh ini tiba tiba jadi peduli begini.

Alvaro menarik lembar tisu dari tempatnya lalu menyeka mulutnya.

"Kau terlalu banyak berpikir." ujar Alvaro. Pria itu merogoh saku jasnya, mengeluarkan hp dari sana. Lalu terlihat mengutak atik ponselnya.

"Dengar ini." ujarnya lagi. Lalu meletakkan hpnya di atas meja, sembari memperdengarkan suara seseorang.

"Varo, sesekali bawalah Iren makan di luar. Kasian dia kesepian gak ada mami. Dia itu anak cewek beda dengan kamu. Dia butuh temen, butuh di perhatiin. Jadi tolong hibur dia selama mama gak ada-"

Dan masih panjang lagi kalimat berisi pesan dari mama untuk Alvaro. Pantas saja, batu es ini mencair beberapa hari ini. Rupanya karena pesan mama. Iren sempat berpikir kalau Alvaro buang tabiat .

Alvaro mengetuk meja dengan jarinya, untuk menyadarkan Iren dari lamunan. "Sudah pahamkan, semua ini dalam rangka apa?"

Iren mencebik. "Sudah." sungutnya. Padahal dalam hati dia sempat merasa senang. Mendapat perhatian dari kakak angkanya itu. Bukan berarti dia tidak suka atas perhatian ibu angkatnya. Tapi tau bahwa perhatian Alvaro bukan karena kemauannya sendiri, entah mengapa Iren kecewa.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!