Part 10

Iren membuka matanya perlahan. Cahaya temaram membuat pandangannya sedikit kabur. Dia berusaha mempertajam penglihatannya untuk mengenali tempat ini.

"Kamar Alvaro." desisnya.

Perlahan dia beranjak dari ranjang menuju pintu. Lalu membuka pintu itu perlahan. Dan, matanya nyalang menatap dua bodyguard yang siaga di depan pintu kamar Alvaro.

"Nona tidak boleh keluar." ujar salah satu bodyguard itu sembari menahan langkah Iren.

"Ini bukan kamar ku. Biarkan aku pergi kekamar ku." pinta Iren dengan suara yang terdengar lemah.

"Maaf nona, tuan tidak mengizinkan nona pergi dari kamar ini tanpa izin tuan Alvaro." ujar pria bertubuh kekar itu dengan ekspresi kaku.

"Hhh! Bereng sek!" umpat Irene, lalu berbalik ke belakang. Dia kembali melangkah ke tempat tidur. Percuma dia menghabiskan tenaga, dia tetap tak kan bisa keluar dari kamar ini tanpa izin Alvaro. Tiba tiba dia begitu merindukan ibu angkatnya. Mungkin hal seperti ini tak kan terjadi kalau dia ada di sini.

Irene menyentuh perutnya yang terasa perih karena belum menyentuh nasi dari pagi tadi, dan sekarang sudah hampir tengah malam. Pandangannya tertuju ke meja kecil yang ada di tengah tengah ruang kamar. Dengan langkah pelan dia menuju kesana. Rupanya Alvaro menyiapkan makanan untuknya di meja ini.

Iren duduk bersila di lantai beralaskan permadani, sambil mengunyah buah segar. Di meja ini ada nasi dan lauk pauk. Tapi dia sama sekali tak berselera, demi perutnya yang harus di isi dia terpaksa mengunyah buah.

Setelahnya, Iren malah tak bisa tidur. Padahal sudah pukul tiga dini hari. Iren menarik langkahnya ke balkon kamar, duduk di sana sembari membungkus tubuhnya dengan selimut tebal.

Iren tiduran di atas sofa dengan posisi miring, menatap butiran bintang di atas sana dengan pikiran kosong.

Tidak ada yang dia pikirkan saat ini, dia hanya menatap langit malam hingga tanpa sadar terlelap menjelang subuh.

Alvaro mengendurkan tubuhnya, dia tengah bersandar di kursi kerja di kantornya. Sudah pukul enam pagi. Dia belum ada memejamkan mata barang sejenak pun, semalaman ini.

Dia seperti sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaan. Mungkin saja dia memang benar benar sangat sibuk, sampai sampai tak sempat tidur barang sejenak.

Lelaki itu beranjak bangkit dari duduknya, menyaut kunci mobil dan ponselnya di atas meja lalu beranjak pergi.

Satu jam kemudian Alvaro sudah sampai di depan rumahnya. Dengan langkah lebar dia melangkah menuju kamarnya.

"Di mana dia?" tanya Alvaro pada dua bodyguard yang berjaga di depan pintu kamarnya.

Dua lelaki itu separuh membungkukkan tubuh mereka memberi hormat. "Nona masih di dalam tuan."

"Bagus." sahut Alvaro, kemudian melangkah masuk setelah membuka pintu kamar.

Alvaro memindai setiap jengkal sisi kamarnya, tapi dia tak melihat sosok Iren di manapun. Alvaro menggeram kesal, dan nyaris berteriak. Tapi urung dia lakukan saat melihat pintu balkon terbuka setengahnya.

Dengan langkah lebar cepat dia menuju kesana. Langkahnya berhenti di ambang pintu, menatap tubuh Iren yang terlelap di bawah sinar matahari pagi.

Alvaro mendekati Iren, berjongkok tepat didepannya sembari memindai wajah pucat itu dengan seksama. Pria berwajah dingin itu mengangkat jarinya menutupi wajah Iren dari sinar matahari. Cukup lama dia melakukan itu, kemudian dengan perlahan dia membopong tubuh Iren masuk kedalam kamar.

Tepat saat tubuhnya menyentuh kasur, mata Iren terbuka. Sadar siapa yang ada di sisinya, Iren menarik tubuhnya menjauh.

"Kau tidur di luar semalaman?" tanya Alvaro, tanpa perduli ekspresi ketakutan Iren.

"Kau bisa kena flu, jangan lakukan hal itu lagi." imbuh pria itu. Lalu melangkah pergi.

Iren menatap langkah Alvaro dengan jantung berdebar. Sementara pria itu terlihat santai masuk kedalam kamar mandi.

Iren mendesah berat. Sampai kapan Alvaro akan memperlakukannya seperti ini. Setan apa sebenarnya yang merasuki Alvaro, sampai tega melakukan hal keji pada adik angkatnya sendiri.

Lalu langkah apa yang harus di ambil untuk mencegah agar Alvaro tidak melakukannya lagi. Tidak tertutup kemungkinan kalau Alvaro akan melakukan hal itu lagi terhadapnya.

Ceklek..

Pintu kamar mandi terbuka, terlihat Alvaro keluar dengan memakai handuk yang hanya menutupi separuh tubuhnya.

Mata Iren terpejam erat. Dia tak berani menatap tubuh itu, tubuh yang mengingatkan Iren pada kebuasan Alvaro. Mengingat itu hatinya nyeri.

"Mandilah, biar bibik bawakan baju untuk mu." ujar Alvaro lalu pergi ke ruang ganti.

Iren tak bergeming. Dia tidak bisa hanya diam di perlakukan begini oleh Alvaro. Kalau dia melawan mungkin Alvaro akan membebaskannya.

"Kenapa belum mandi?" tanya Alvaro saat keluar dari ruang ganti, dan Iren masih duduk di tepi ranjang.

"Aku akan mandi di kamar ku." ujar Iren, memberanikan diri. Alvaro menatap Iren sejenak, lalu melangkah ke meja kerjanya.

"Bik, suru orang ambilkan baju di kamar Iren. Bawa kekamar ku." titahnya pada kepala pelayan, melalui interkom.

Mendengar kalimat itu Iren meradang. Ada hak apa dia memperlakukan Iren seperti tahanan begini. "Kak!" panggil Iren dengan suara meninggi.

Alvaro seperti tak mendengar suara Iren memanggil namanya. Pria itu terlihat santai menyusun beberapa berkas lalu memasukannya kedalam tas hitamnya.

Di abaikan begitu membuat Iren kalap. Dengan langkah lebar dia mendekati meja Alvaro, lalu dengan penuh amarah dia menarik semua barang yang ada di atas meja hingga luruh kelantai. Amarahnya tak berhenti di situ, dia masih mengamuk. Menyerakkan semua barang yang ada di kamar ini hingga berjatuhan kelantai, dalam sekejab kamar Alvaro terlihat seperti kapal pecah.

Iren berdiri ditengah tengah kamar dengan nafas terengah, matanya nyalang menatap Alvaro yang bergeming di tempatnya. Tidak ada ekspresi marah di wajah pria itu, dia memperhatikan tingkah Iren dengan ekspresi datar.

Pria itu mendesah berat, saat melihat benda cair berwarna merah menetes dari ujung jari Iren. Dia menatap ke pintu, setengah berteriak dia memerintah dua orang yang berada di luar kamar. "Panggil bibik dan dua pelayan, minta mereka bawa p3k kemari!" ujar Alvaro. Pria itu meletakkan tas yang sedari tadi dia jinjing di atas nakas. Lalu menjangkau tubuh Iren, menarik tubuh itu dengan paksa ke bibir ranjang.

"Kau lihat hasil perbuatan mu ini." ujarnya, sembari menekan kuat ujung jari Iren yang terluka. Iren meringis tapi tidak mengaduk sakit.

Tok..

Tok...

"Tuan." terdengar suara bibik di balik pintu.

"Masuk." titahnya dengan suara berat.

Tiga wanita itu tercekat, melihat kamar Alvaro yang biasanya rapih kini hancur seperti habis kena ledakan.

"Mana barang yang ku minta?" tanya Alvaro, tatapannya masih terpaku pada Iren yang diam bak patung.

Wanita yang biasa di panggil bibik itu meletakkan sepasang baju dan kotak p3k di samping Iren. "Ini tuan." ujarnya.

"Berkesan tempat ini. Iren belum makan dari semalam, bibik tau kan apa yang harus bibik lakukan." ujar Pria itu, sembari membersihkan luka itu dengan alkohol lalu mengolesi luka itu dengan obat merah, kemudian membalutnya.

"Iya tuan." sahut wanita paruh baya itu patuh.

Alvaro menatap Iren yang masih mematung di tempatnya. "Aku pergi kerja dulu." ujarnya lalu beranjak pergi meninggalkan kamar.

Bahu Iren luruh begitu Alvaro melewati pintu. Kemudian tergugu dalam tangis. Dia menangis sekuatnya tanpa memperdulikan orang suruhan Alvaro yang menatapnya entah dengan perasaan apa.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!