Part 14

Irene menggeliat pelan, mengendurkan tubuhnya yang terasa pegal. Dia selalu begini saat bangun tidur, tubuhnya berasa pegal. Itu karena dia tidur tubuhnya banyak miring ke satu sisi saja.

Begitu matanya terbuka dia kaget bukan kepalang saat tak mengenali ruang kamar ini. Dia mencoba mengingat lagi, kamar siapa yang memiliki interior seperti ini. Tapi ingatannya tak menemukan siapapun.

Iren beranjak bangkit, lalu duduk di tepi ranjang. Netranya memindai setiap jengkal ruang kamar ini.

"Kamar siapa sih?!" gumamanya sembari meraih ponselnya di atas nakas.

Ada beberapa pesan masuk di sana. Salah satunya datang dari Alvaro.

"Aku harus pergi pagi-pagi sekali. Ada urusan penting yang harus aku kerjakan di luar kota. Aku menghadiahkan partemen itu untuk mu. Pinnya tanggal lahir mu. Selesai kuliah nanti, pulanglah ke apartemen. Aku akan kesana sepulang dari luar kota." bunyi pesan Alvaro. Iren termangu sembari menggulir pandangan ke seluruh ruang kamar. Ini semua miliknya?

Tunggu?! Apa Alvaro memberikan apartemen ini sebagai kompensasi atas apa yang sudah mereka lakukan? Hah! Sungguh keterlaluan. Dia tidak menjual mahkotanya hanya dengan sebuah apartemen. "Harusnya kau bayar aku lebih. Bukankah aku masih perawan. Hah! keterlaluan!" Iren menggeram marah. Harga diri Iren benar benar terlukai. Dia tak pernah berpikir menggadaikan kehormatannya demi seonggok materi. Andai Alvaro mengatas namakan cinta, mungkin Iren akan lebih terima.

Iren tak masuk kuliah hari ini, dia sedang tak ingin bertemu dengan siapapun. Dia sedang ingin sendiri saat ini. Begitu selesai membersihkan diri dia langsung pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah dia tak sangka mama dan Tery sedang menunggunya.

"Iren, kamu nginep di luar?" tanya mama begitu Iren masuk kedalam rumah.

Setengah gugup Iren menjawab. "Iya ma. Hilda, papa mamanya keluar kota, jadi minta di temenin." sahutnya berbohong.

"Oooh, pantes. Mama pagi tadi kekamar kamu, kamunya gak ada. Mama mau kasih tau kalau siang ini kita mau pergi belanja keperluan Tery." ujar Mama. Sedang Tery tersenyum sembari mengangguk mengiyakan.

Iren terpana, senyum itu bersinar bak mentari di pagi hari. Ahhh, dia tak kan mampu bersaing dengan Tery dari segi manapun. Bodoh sekali. Mikir apa sih dia.

Tery ternyata akan tinggal dengan mereka. Mama berniat mendekorasi kamar Kak Kelvin jadi kamar Tery.

Sebenarnya Iren sudah menawarkan kamar miliknya, tapi mama menolak. "Itu kamarmu Iren, kenapa harus pindah. Kalau mereka menikah, Tery lah yang harus pindah ke kamar Alvaro." ujar mama.

Kalau mereka jadi menikah, mungkin Irenlah yang akan pindah rumah.

Mama membawa mereka ke pusat perbelanjaan yang ada di dekat tempat tinggal mereka. Beberapa perabot isi kamar baru mereka beli.

Setelah semua perabot yang di butuhkan sudah terbali, mama membawa mereka belanja perlengkapan wanita. Iren memilih ikut aja, sebab kemarin dia baru aja belanja dengan Hilda dan Sonya.

"Iren." panggil Tery, tangannya melabai memanggil Iren agar mendekat.

"Pilih satu." pintanya, sembari menyodorkan dua baju tidur. Keduanya berwarna Pink lembut, hanya berbeda model. Tapi sayangnya keduanya bukan selera Iren. Baju tidur berbahan tipis dengan belahan kerah sangat rendah, sama sekali bukan selera Iren.

"Kayaknya buat kamu, dua duanya bagus." ujar Iren berpendapat.

"Iya sih. Tapi aku minta pilih satu buat kamu." ujar Tery. Gadis berparas sangat cantik itu, menyodorkan dua pasang baju tepat di depan Iren.

"Ooh ya udah, aku pilih yang ini." Iren mengambil salah satu baju yang di sodorkan Tery. Dia tak harus memilih, karena keduanya bukan selera Iren.

Tery menatap Iren dengan seksama. Memperhatikan dengan teliti, adik angkat suaminya itu. Ada sesuatu yang menganjal dalam hatinya tentang hubungan keduanya. Dia sangat mengenal Alvaro luar dalam, bahkan dia mampu membaca sorot mata pria itu.

"Iren." panggil Tery. Iren yang sedang melihat lihat sling bag, cepat menoleh ke Tery.

"Iya mbak."

"Kak Al, suka warna apa?" tanya Tery. Matanya mengerjab berulang kali menunggu jawaban Iren. Hatinya berdebar kencang, menunggu jawaban Iren.

Iren menggeleng pelan. "Aku gak tau kakak suka warna apa. Tapi dia suka warna gelap sih kayaknya."

Wajah Tery berubah murung seketika. Tapi hatinya mendadak lega. "Jadi kamu gak tau ya." ucapnya pura pura kecewa.

"Hmmm. Aku dan kakak gak terlalu dekat. Dia bahkan jarang sekali bicara padaku." jelas Iren. Itu dulu sebelum mereka tidur seranjang. Sekarang Alvaro sudah banyak bicara.

"Ohh begitu ya. Alvaro yang kukenal memang begitu sih." ujar Tery, di barengi senyum simpul.

"Mbak Tery udah lama kenal kakak?" tanya Iren. Dia penasaran tentang hubungan Tery dan Alvaro. Tapi baru sekarang ada kesempatan bertanya.

Tery menatap Iren, lalu melangkah pelan mengitari deretan etalase baju. Iren mengikuti langkahnya dari belakang.

"Kami pernah menjalin hubungan selama dua tahun saat kuliah. Lalu aku terpaksa harus pindah, untuk mengobati penyakitku yang sangat parah. Saat itu aku kira, aku tak akan bisa melihat Alvaro lagi. Tapi ternyata perjuangan papa dan mama membuahkan hasil. Aku dinyatakan sembuh total setengah tahun yang lalu." tutur Tery, sembari menghentikan langkahnya. Lalu berbalik menghadap Iren. Iren mengangguk pelan mendengar penuturan Tery.

"Bantu aku ya." imbuhnya sembari menggengam kedua tangan Iren. Iren tampak kaget, juga bingung.

"Bantu apa mbak?"

Tery menarik nafas dalam. "Kami sudah lama tidak berkomunikasi. Aku melihat kecanggungan pada sikap Alvaro. Jadi aku minta bantuanmu, untuk dekat kembali seperti dulu." ujarnya.

Iren terdiam. Apa tidak salah Tery minta bantuan padanya. Hubungannya dengan Alvaro sendiri entah seperti apa.

"Bantuan seperti apa yang mbak mau dariku. Mbak tau sendiri kan, kepribadian kakak seperti apa. Dia bukan orang yang gampang dipengaruhi. Apa lagi oleh aku. Yang ada aku yang nurut ke dia. Bukan dia yang nurut ke aku." ujar Iren, sembari tertawa di akhir kalimat.

Tery tersenyum mendengar ucapan Iren. Tery bisa melihat kejujuran di matanya. "Begitu ya." ujarnya.

Iren mengangguk. "Aku sama sekali buta tentang kepribadian kakak. Selama empat tahun ini kami bahkan tak pernah bicara dari hati kehati sebagai kakak adik. Saat bicara kakak hanya menanyakan kabar, selebih itu tidak ada." jelas Iren lagi.

Tery mengangguk pelan berulang kali, seakan memahami penjelasan Iren. Mungkin Iren benar, tapi bagaimana dengan Alvaro?

Iren menghempas kasar tubuhnya di atas kasur. Menemani Tery belanja sungguh melelahkan. Gadis itu mampu menghabiskan banyak waktu demi membeli satu barang yang harus sesuai dengan keinginannya. Dari model, kualitas, sampai warna tidak perduli berapapun harganya. Asal sesuai keinginan dia akan beli. Beda dengan Iren, yang membeli barang hanya sesuai kemampuan.

Iren baru ingin memejamkan matanya ketika ponselnya berdering. Dengan malas Iren meraih ponselnya di atas nakas.

Kak Al. Tertera nama itu di layar hpnya. Iren mendesah kasar, lalu merubah dering ponselnya ke mode silent. Kemudian di selipkannya hp yang masih dalam panggilan itu ke bawah bantal .

Dia sedang tak ingin berurusan dengan Alvaro. Hatinya sedang marah dengan pria itu tentang apartemen tadi pagi. Ditambah lagi permintaan Tery padanya. Membuat dia benar benar tak ingin mendengar apapun tentang Alvaro.

Paginya Iren bangun dengan di suguhi aroma tubuh Alvaro. Keningnya mengernyit sebelum membuka mata. Aroma Alvaro terasa begitu tajam memenuhi rongga penciumannya. Seakan sosok pria itu ada di ruangan ini, di dalam kamarnya.

Iren juga merasakan pelukan hangat dari tubuh Alvaro. Dia tidak mungkin salah mengenali, kehangatan yang membalut tubuhnya ini jelas milik Alvaro.

Iren cepat membuka matanya, mengulir pandangannya kesisi sampingnya. Seketika matanya terbelalak lebar, demi melihat tubuh kekar bertelan jang dada milik Alvaro sedang memeluknya dengan sangat tenang. Apa dia gila..!

"Kak.." Iren mengguncang pelan tubuh Alvaro. Sepelan suaranya membangunkan kakak angkatnya itu. Tubuh Alvaro bergeming.

"Kak..." kali ini Iren sedikit memakai tenaganya. Alvaro menggeliat, memperlihatkan otot otot tubuhnya yang indah. Tapi kemudian tertidur lagi. Iren merutuki Alvaro, kenapa harus bertelan jang dada di dekatnya. Membuat darah Iren berdesir kencang.

"Kak.. bangun. Ada ibu di rumah, nanti ketahuan," rengek Iren sembari mengguncang tubuh Alvaro. Pria itu menggeram, lalu membuka sedikit matanya menatap Iren.

"Ada apa?!" bentaknya dengan suara meninggi. Bukannya takut, Iren malah membekap mulut Alvaro dengan tangannya.

"Sssttt. Kecilkan suara kakak, kakak mau seisi rumah tau kakak disini." dengkus Iren kesal.

"Kau yang terlalu heboh kan. Kalau kau diam mereka tidak akan tau." sahut Alvaro, lalu kembali memejamkan matanya.

Iren menggeram prustasi. "Kak, cepat pindah kekamarmu. Mumpung masih gelap, orang orang juga belum pada bangun." buruk Iren.

"Iren, kau bisa diam tidak. Aku ngantuk, dari luar kota aku langsung pulang ke apartemen. Tapi kau malah enak-enak tidur disini." omel Alvaro tanpa membuka matanya.

Iren baru akan membuka mulutnya menyahuti Alvaro. Tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk seseorang.

"Iren, kau sudah bangun?"

Iren membulatkan matanya demi suara Tery di luar kamarnya.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Ummu Qalbu

Ummu Qalbu

haahah kasian iren🤭

2024-04-07

0

Durrotun Nasihah

Durrotun Nasihah

/Grin//Grin//Grin/

2024-01-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!