Part 11

Kamar Alvaro kembali rapih dalam sekejab. Iren juga sudah membersihkan diri, dia juga sudah makan. Bahkan dia makan dengan sangat lahan.

Dia butuh tenaga untuk menentang Alvaro. Dia tak mau terus terusan menjadi tahanan Alvaro begini.

Iren berdiri di depan pintu kamar sembari berkacak pinggang. Menatap dua pria berwajah dingin itu dengan berani. "Aku ingin bicara dengan kakak." ujarnya, pada bodyguard yang ada di depan pintu kamar.

Dua pria itu memberi salam dengan sedikit membungkukkan separuh tubuhnya. "Nona tidak boleh keluar tanpa izin tuan." sahut Pria bertubuh kekar itu. Dari wajah mereka tergambar jelas, bahwa mereka tak akan mengikuti keinginan Iren.

"Sampaikan padanya, aku akan melompat dari balkon kalau dia tidak mengizinkan aku bicara." ancam Iren. Lalu menutup pintu kamar Alvaro dengan keras.

Tak lama bibik datang membawa ponsel rumah yang biasa bibik gunakan sebagai alat komunikasi.

"Ini, tuan ingin bicara." ujar bibik sembari menyodorkan ponsel padanya.

Iren menempelkan ponsel di telinganya. "Ada apa?" suara berat Alvaro langsung menyambutnya.

"Aku bosan." rajuknya.

"Lalu?" tanya Alvaro dingin.

"Mau keluar." pintanya.

"Kau ingin kabur?"

Iren medesah berat. "Memangnya kenapa aku harus kabur?! Aku bisa gila di kurung begini." sentak Iren, masih dengan nada merujuk. Dia tak bisa bersikap keras pada Alvaro, Alvaro bisa lebih keras darinya.

"Hanya itu yang ingin kau katakan?" tanya Alvaro, masih dengan nada dinginnya. Iren membisu.

"Kalau tidak ada lagi, aku matikan telponya." ujar Alvaro lagi.

"Tunggu." cegah Iren cepat.

"Aku mau ponsel ku." pintanya.

Alvaro tak langsung menyahut. Sepertinya dia tengah berpikir. "Kau akan mendapatkan ponselmu. Tapi jangan coba coba melakukan yang tidak aku sukai. Kau pasti tau apa akibatnya kan?" ancam Alvaro.

Iren menarik nafas lega. "Iya aku tau." sahutnya. Setidaknya dia bisa berkomunikasi dengan orang luar dengan ponselnya.

"Sudah tidak ada lagi?" tanya Alvaro.

"Hmmm." sahut Iren, dan panggilan langsung tertutup.

Tak lama seorang pelayan wanita datang sembari membawa ponsel milik Iren.

"Kata tuan, nona tidak boleh macam macam dengan hp ini." ujar Pelayan berusia sekitar dua puluhan itu, mengingatkan. Iren menatap wanita yang seumuran dengannya itu sembari tersenyum.

"Iya, makasih mbak." sahut Iren sopan.

Iren langsung memeriksa ponselnya begitu pelayan itu pergi. Tapi ternyata ponselnya mati ke habisan daya. Iren terpaksa harus mengisi daya ponselnya dulu.

Setelah ponselnya hidup kembali, ada banyak pesan dan panggilan tak terjawab di poselnya. Terutama dari Rey dan Hilda.

Baru saja Iren memeriksa satu pesan. Tiba tiba ponselnya berdering.

"Halo, Hil."

"Lo ke mana aja sih?! Di telpon gak diangkat di sms gak di bales. Buat orang khawatir aja lo. Rey kelimpungan tuh." cecar Hilda.

Iren tersenyum, suara cempreng Hilda membuat hatinya sedikit tenang. "Maaf aku sakit, jadi gak sempat pegang hp." sahut Iren.

"Ya udah, ntar pulang kuliah aku kesitu bareng Rey." ujar Hilda di ujung telpon.

Kontan membuat Iren kaget. "Hil, kalau mau datang gak usah bawak Rey."

"Loh, kenapa?"

"Itu, Kak Al gak suka dia."

"Masak sih. Bocah ganteng, pinter, tajir gitu Kak Al gak suka."

"Ya pokoknya kalau mau kesini gak usah ajak dia dek. Aku males ribut."

"Ya elah, kesian lo Rey. Baru mau berjuang kakaknya gak restu."

"Apaan sih."

Hilda terbahak mendengar nada merajuk Iren. Tapi percakapan mereka harus berhenti karena dosen Hilda sudah datang.

Iren menatap jam di ponselnya. Sebentar lagi mata kuliah Hilda selesai. Kalau dia jadi datang berkunjung, dia pasti heran melihat Iren terkurung di kamar Alvaro. Melarang Hilda datang juga tak mungkin.

Memberanikan diri Iren mengiri Alvaro pesan. Memberitahu Kakak angkatnya itu kalau Hilda akan berkunjung.

'Kak, Hilda pulang kuliah mau mampir ke rumah.' ketiknya, lalu di kirimnya ke kontak Alvaro.

Pesan Iren tak langsung berbalas. Bahkan sudah hampir dua puluh menit. Pesan iren masih belum di baca.

Bosan menunggu Iren merebahkan dirinya di atas kasur. Sembari membalasi pesan dari Rey. Pria itu juga tadi ingin berkunjung ke rumah, tapi Iren melangnya. Dia terus terang mengatakan kalau Kakaknya tidak suka dia dekat dengan Rey. Tapi dia tidak menceritakan detailnya pada Rey.

Tiba tiba ponselnya berdering. Ternyata Alvaro, pria itu melakukan panggilan Video.

Iren menerima panggilan Alvaro masih dengan posisi berbaring. "Apa?!" sapanya ketus.

Alvaro tak langsung menyahut, dia memindai sosok Iren sesaat. "Kau bilang apa dengan Hilda?" tanyanya dengan ekspresi datar.

"Aku bilang aku sakit." sahut Iren. Netranya membentur sorot mata tajam milik Alvaro, gadis itu cepat mengalihkan pandangan ke tempat lain.

"Kau sengaja mengatakannya agar Hilda mengunjungi mu?"

Iren mendesah, lalu menatap Alvaro dengan tatapan judes. "Aku tidak ada kabar selama dua hari, kakak pikir mereka gak panik. Gak mungkinkan aku cerita ke mereka apa yang kakak lakukan padaku. Jadi aku cari alasan lain agar mereka gak curiga." sentak Iren masih dengan wajah judesnya.

Alvaro tampak mengerutkan keningnya. "Mereka?"

Wajah garang Iren menciut. Dia merutuki kebodohannya. Kenapa harus ada kata mereka pada kalimatnya.

"Iya, Rey juga menghubungiku." sahut Iren dengan wajah tertunduk. Dia harus jujur pada Alvaro, dari pada Alvaro mencari tau sendiri itu bisa jadi bencana.

"Tentu saja baji ngan itu akan melakukannya." gumam Alvaro. Tapi terdengar sangat jelas di telinga Iren.

Kenapa pria itu begitu benci dengan Rey? Apa dia cemburu. Kenapa dia cemburu, apa dia menyukai Iren? Tentu saja, kalau tidak kenapa dia tega menggagahi Iren. Atau dia melakukan itu karena hasrat kelelakiannya semata.

Kepala Iren berdenyut sakit, saat pikiran pikiran seperti itu mampir di kepalanya.

"Apa dia juga akan datang?" tanya Alvaro dengan suara beratnya. Iren menggeleng, dia tidak seberani itu mengundang Rey kerumahnya.

"Baguslah. Kalau Hilda, biarkan dia datang. Dan kau bisa pindah kekamarmu. Tapi jangan coba coba keluar dari sana sejengkal pun. Kau dengar itu?!"

Iren mengangguk patuh, dia juga tak kan berani membangunkan sisi gila abang angkatnya itu. Dia memang akan membujuk Alvaro, tapi dia akan melakukannya perlahan. Karena percuma bersikap keras pada ke pribadian sekeras Alvaro.

Menjelang sore, Hilda datang bareng Sonya. Rupanya gadis itu sudah keluar dari rumah sakit. Walau keadaannya masih belum terlihat sehat.

Ketiga tampak asik dengan obrolan mereka, sampai menjelang malam. Rupanya Hilda dan Sonya betah dan masih belum mau pulang dari rumah Iren. Bosan ngobrol mereka lanjut nonton drakor dengan pemeran pria idola mereka.

Kamar berukuran cukup luas itu terlihat temaram. Suara pemeran drakor terdengar bergema memenuhi ruang kamar. Sedang tiga gadis itu terlihat duduk di sofa saling menyandarkan diri satu dengan yang lain. Mereka terlihat begitu menghayati menjadi peran artis wanita di film itu. Sampai sampai pelayan terpaksa masuk kedalam kamar memanggil mereka.

Iren kaget mendapati pelayan masuk ke kamarnya. "Ada apa mbak?"

"Maaf non. Saya udah ketuk pintu berulang kali, tapi nona gak denger. Jadi saya terpaksa masuk."

"Iya gak apa apa mbak."

"I-tu tuan minta nona dan temen nona makan malam sekarang. Tuan Alvaro sudah menunggu di meja makan."

"Tuan?"

"Iya, non."

Iren menatap dua sahabatnya meminta pendapat mereka. Dua sahabatnya mengangguk setuju.

"Gak apa kalian makan bareng kakak. Atau kita makan sendiri di kamar?" tanya Iren memastikan.

"Bareng kak Al aja." sahut mereka serempak.

"Ya udah ayo, dia dah nunggu tuh."

"Ayok." sahut kedua sohibnya serempak. Lalu bergegas beranjak pergi mendahului Iren.

Di meja makan, Hilda dan Sonya duduk di depan Alvaro. Sedang Iren terpaksa duduk di samping Alvaro, pria itu memberi isyarat padanya agar dia duduk di sebelahnya.

"Makanlah. Semoga menunya sesuai selera kalian." ujar Alvaro dengan wajah datarnya.

Kedua gadis itu mengangguk, lalu menyahut serempak. "Iya kak."

Saat makan, sosok Alvaro tak lepas dari pandangan Hilda dan Sonya. Wajahnya yang sangat tampan tapi dingin itu membuat Kedua gadis itu menelan ludah berulang kali.

Cara dia mengunyah butir demi butir nasi dengan elegan, membuat mata kedua gadis itu berbinar. Mereka tak bisa membayangkan andai setiap hari bisa makan satu meja begini. Ya ampun...

Sementara Iren makan dengan tenang. Kehadiran Hilda dan Sonya mengikis kecanggungan dia dan Alvaro.

"Makan ini." Alvaro memberi Iren sepotong daging. Padahal sedari tadi Iren sengaja tak menyentuhnya.

"Makanlah muka mu pucat, kauBlbbbj bl butuh banyak gizi." imbuhnya lagi, sembari menatap Iren lekat.

Iren hanya mengangguk pelan. Dalam hati dia merutuki Alvaro. 'Bukankah aku begini karena ulah be jatmu!" umpat Iren.

Sementara Hilda dan Sonya melihat itu dengan jantung berdebar. Andai mereka yang di perlakpuan seperti itu. Betapa manisnya.

"Iren, kau kapan masuk kuliah?" tanya Hilda tiba-tiba. Pertanyaan yang membuat Alvaro menghentikan makannya. Pria bermata tajam itu melirik Iren.

Sedangkan Iren menatapnya dengan penuh senyum. "Kapan kak?" tanyanya seolah meminta pendapat pria itu.

"Dua hari lagi." sahut Alvaro, sembari memalingkan wajahnya ketempat lain.

"Kelamaan. Aku bosan.." rengek Iren. Padahal dia tak pernah bersikap begini sebelumnya.

Alvaro sendiri kaget dengan sikap Iren barusan. Bahkan pria berwajah dingin itu terlihat gugup.

"Baiklah." sahutnya, lalu beranjak meninggalkan meja makan tanpa berpamitan.

Iren tersenyum sini, menatap punggung Alvaro. Sementara Hilda dan Sonya terlihat mabuk kepayang oleh pesona Alvaro.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!