Orsgadt
Pagi tiba di kaki pegunungan Ciarten, kerajaan Arsyna. Cahaya matahari yang semula berwarna kemerahan kini telah menjadi kuning terang. Hamparan padang rumput yang sejak semalam ditutupi embun mulai mengering. Keindahan pagi mulai diramaikan oleh penduduk desa yang beraktivitas.
Para pria menyiapkan kapak dan cangkul mereka untuk bekerja di ladang sementara para perempuan membersihkan rumah dan menyiapkan bekal. Seperti para lebah pekerja yang tak kenal lelah, mereka keluar dari rumah dan akan kembali nanti sore saat ladang mereka selesai dikerjakan.
Para pedagang sudah siap dengan barang dagangan mereka. Sebagian akan melakukan perjalanan jauh ke kerajaan lain untuk mencari peruntungan. Anak-anak kecil berlarian sambil tertawa gembira. Tidak ada yang lebih ramai dibandingkan pagi di desa kecil Ulrych.
Di sudut desa, menyendiri dengan dua petak sawah tepat di samping rumah, adalah kediaman keluarga Grantea. Suami istri Grantea adalah salah satu keturunan keluarga tua pembangun desa Ulrych. Meskipun sejarah keluarga ini sangat panjang, sayangnya kakek buyut mereka gemar berjudi sehingga hanya rumah dan dua petak ladang itu yang tersisa bagi generasi berikutnya.
Saat ini suami istri Grantea berhasil memperbaiki kondisi ekonomi keluarga mereka dengan beternak sapi dan kambing. Empat ekor sapi, lima ekor kambing dan belasan ekor ayam adalah harta berharga yang menjamin ketersediaan susu dan telur mereka setiap hari. Susu segar dan keju yang mereka buat sangat digemari penduduk desa dan hasil penjualannya lebih dari cukup untuk membeli daging dan kacang-kacangan yang tidak ditanam di ladang sendiri.
Keributan di pagi hari bukan hal yang aneh karena ketiga anak di keluarga Grantea, dua anak perempuan dan satu anak laki-laki, adalah biang keributan. Siapa lagi yang mereka ganggu kalau bukan Emune? Sungguh kasihan Emune, sejak kecil ia sudah seperti keset bagi ketiganya. Kondisi itu tidak berubah bahkan sampai Emune berusia tujuh belas tahun.
Emune adalah yang paling kecil di rumah itu namun dia tidak pernah merasakan kasih sayang dan perlindungan dari kakak-kakaknya. Ya, mereka memang bukan kakak kandungnya. Sebenarnya dia hanya anak pungut yang terpaksa mereka pelihara karena permintaan ayahnya. Ia sangat bersyukur masih ada tempat berteduh dan makanan untuk mengisi perutnya meski itu berarti ia harus menahan siksaan dari anak-anak Grantea.
Paman Henry adalah teman lama orang tua Emune. Mereka sama-sama berdagang di pinggiran Orsgadt. Tidak ada yang mencolok dari lelaki ini karena ia benar-benar seperti air sungai yang mengalir tenang.
Pria itu jarang berbicara pada siapa pun termasuk anak-anaknya. Pada Emune ia hanya berkata-kata seperlunya. Emune menyukainya karena ia tidak mengganggu sama sekali. Sejak kecil ia menjaga Emune dengan caranya sendiri.
Kebalikan dari sungai yang tenang, Bibi Mary, istri Paman Henry, adalah badai gurun pasir. Bicaranya keras, tegas dan cukup cepat. Tidak ada yang luput dari perhatiannya. Bahkan Thomas tidak bisa menyembunyikan luka kecil di kakinya tanpa diketahui oleh ibunya.
Paman dan Bibi memperlakukannya seperti anak mereka sendiri. Lalu kenapa Emune tinggal di lumbung? Singkat cerita, Emune lebih suka ketenangan yang bisa ia temukan di lumbung. Ia tidak masalah dengan jerami dan debu. Ia hanya tidak ingin diganggu saat sendiri. Ketenangan adalah anugerah terbaik baginya.
Ketiga anak Grantea adalah cobaan yang sulit bagi Emune. Thomas tahun ini berusia hampir dua puluh tahun. Ia tak ada bedanya dengan pemuda-pemuda lain yang ada di Ulrych. Meskipun Mineda dan Daniea, teman-teman bermain Emune, menganggapnya tampan, bagi Emune dia hanya sebatang tongkat sapu yang menyebalkan.
Tidak ada hari tanpa gangguan dari Thomas. Satu-satunya saat bebas tanpa Thomas adalah ketia ia pergi ke alun-alun dan berkencan dengan gadis-gadis. Tentu saja, gadis-gadis bodoh yang terpesona mendengar bualan tentang kehebatan dan kekayaan keluarga Grantea di masa lalu. Kalau mereka cukup pintar, mereka akan tahu berapa sapi dan kambing yang tersisa dari kawanan ternak yang tiap kali Thomas bercerita, jumlahnya terus saja bertambah. Omong kosong, bahkan batu karang tak kan mau percaya, pikir Emune.
Kemudian ada Clemence dan Clarice, si kembar yang montok, berpipi tembam namun bermulut tajam. Mereka sudah berusia delapan belas tahun namun belum juga ada pemuda yang mendekati mereka. Sebenarnya mereka manis namun sikapnya benar-benar tidak menyenangkan.
Kadang Emune berpikir mungkin otak mereka sebenarnya hanya setengah yang berisi. Si kembar ini selalu bersama-sama dan seolah-olah wajah mereka yang sama belum cukup untuk menunjukkan bahwa mereka kembar, pakaian dan dandanan mereka juga selalu seragam. Emune terkadang berdoa agar mereka berdua dijadikan satu agar ia bisa menghemat energi berhadapan dengan satu orang saja.
Sama seperti hari-hari lainnya, pagi-pagi sekali ia sudah disiram dengan seember air. Bajunya yang lusuh jadi semakin lusuh dan rambutnya berantakan karena air bercampur dengan debu jerami yang beterbangan. Ketiga anak-anak Grantea yang selalu bersatu dalam kejahatan berdiri dengan congkak di dekat pintu lumbung. Thomas memegang ember dengan tangan kirinya kemudian melempar ember kayu itu ke arah Emune. Ember kayu jatuh tepat di dekat kaki Emune.
"Susu sapi dan kambing. Perah sekarang," perintahnya datar lalu berbalik pergi.
"Bersihkan kandang!" ucap Clemence.
"Dan kumpulkan telur ayam lalu beri makan semua ternak," sambung Clarice. Ia menggandeng saudari kembarnya pergi. Keduanya melenggang, berbalik sebentar sambil mencibir pada Emune yang masih setengah terbangun kemudian benar-benar pergi meninggalkan lumbung.
Emune menggaruk kepalanya, menyeka wajahnya yang kotor dan mengibaskan bajunya yang basah.
"Aku sudah tahu. Sangat tahu. Itu yang kulakukan sepuluh tahun terakhir ini. Kalian tidak perlu datang dan menggangguku hanya untuk mengulang perintah-perintah yang sama." Emune mengoceh sendiri. "Aku sudah tahu!" serunya kesal.
Ia bergegas mencuci muka dan mengganti bajunya yang basah dengan baju lain yang lebih lusuh lagi karena ia hanya punya tiga lembar baju dan yang basah tadi adalah baju terbaiknya. Bibi Mary sebenarnya sudah memberikan beberapa baju yang cukup bagus untuknya namun Clarice dan Clemence mengambil dan membakarnya. Ia sangat tidak ingin membuat keributan jadi ia terima saja.
Baju ini sekali lihat jelas-jelas sudah ditambal berkali-kali dan dalam beberapa minggu pasti akan hancur karena bahannya adalah yang termurah di pasaran. Ia bukan seorang putri yang bisa meminta apa pun yang diinginkan jadi lagi-lagi ia tidak bisa protes.
Emune keluar dari lumbung perlahan-lahan. Matahari sudah cukup tinggi. Matanya mengerjap karena silau. Seandainya ia hanya mengerjakan tugasnya, yaitu membantu membuat keju, bukannya mengerjakan tugas Thomas dan kedua saudarinya, Emune bisa sedikit santai hari ini.
Ia menyesal tidur larut semalam. Semua gara-gara Urndie, dia berjanji akan membuat perhitungan dengan pedagang keliling itu nanti. Sekarang ia harus mencicil daftar panjang pekerjaan pagi.
Kandang sapi, ke sanalah ia akan memulainya karena memerah susu sapi paling baik dilakukan pada pagi hari. Ia melangkah cepat-cepat dengan dua buah ember bersih. Dua ekor sapi betina sudah menunggunya dan dia ingin semuanya cepat selesai agar ia bisa ke air terjun sore ini.
Emune mengambil secangkir susu sapi segar dan menghabiskannya dalam tiga tegukan. "Lezat!" serunya sambil menghapus sisa susu di sudut-sudut bibirnya dengan ujung lengan baju. Ini memang susu segar terbaik di Ulrych yang nantinya akan menjadi keju terbaik pula. Ia sangat bangga pada hasil kerjanya.
"Paman Henry, ini susu segar dari sapi-sapi betina." Emune meletakkan kedua ember di tanah. Paman Henry, hanya berkata "terima kasih" dan mengangkat dua ember dengan tangan-tangannya yang kekar. Setelah meletakkan ember-ember di atas meja, ia kembali kepada Emune.
"Bocah-bocah itu memaksamu melakukan ini lagi ya? Kau seharusnya tegas pada mereka, Emune."
"Tidak apa-apa, Paman. Aku bisa melakukannya."
"Tidak benar. Tidak baik. Mereka harus diberi pelajaran." Seorang perempuan tiba-tiba muncul dari belakang tong kayu besar. Bibi Mary, perempuan bertubuh montok dengan wajah yang ramah menghampiri Emune. Ia berdecak heran melihat pakaian Emune yang penuh tambalan. "Ayo, ada baju yang lebih baik yang bisa kau gunakan."
"Aku tidak apa-apa dengan baju ini, Bibi. Sungguh," ucap Emune di sela-sela nafasnya yang berusaha mengimbangi kekuatan besar Bibi Mary yang terus menyeretnya ke rumah.
"Kau seperti gembel dan itu tidak sedap dipandang mata. Aku bersumpah akan menghukum bocah-bocah tengil itu kalau mereka mengganggumu lagi," ujar Bibi Mary. Kali ini ia mengendurkan cengkeraman tangannya pada lengan Emune. "Emune, kau bukan pembantu. Kau bagian dari keluarga ini."
Mereka sampai di halaman depan di mana ketiga anak-anak Grantea sedang makan keju dan roti. Mereka langsung berdiri melihat ibunya mendekat bersama Emune.
"Kau buat ulah lagi, Emune?" tanya Thomas dengan seringai yang tidak disukai Emune.
"Diam, Thomas!" hardik Bibi Mary. "Pergi ke kandang kambing, perah susunya dan bersihkan kandang itu sekarang juga! Ibu akan menghukummu lebih berat jika kau tidak selesai sebelum tengah hari."
Thomas pergi ke kandang kambing dengan enggan tanpa berkata apa-apa. Ibunya tidak bisa dibantah. Ia seperti jenderal perang saat memerintah seseorang dan lebih seram dari monster rawa yang diceritakan para pengelana dari barat. Kira-kira seperti itu meskipun dia sendiri tidak pernah melihat langsung seperti apa seramnya monster itu.
Clemence dan Clarice cekikikan melihat kakak laki-laki mereka mati kutu dihardik sang ibu.
"Kalian berdua, pergi ke kandang ayam, kumpulkan telur-telur, beri makan ayam-ayam cantik itu dan bersihkan kandangnya."
Keduanya terdiam sesaat, "Baik Bu," ucap keduanya serempak. Clarice dan Clemence berjalan melewati Emune. Mereka bergumam saat berada tepat di samping Emune, "pengadu".
"Dan siapa pun yang mengambil baju baru Emune dihukum selama satu minggu bekerja di ladang!"
Teriakan Bibi Mary sangat kencang hingga membuat telinga Emune berdengung. Ia yakin "bocah-bocah" Grantea pasti bisa mendengarnya. Emune meringis. Ia sedang mengira-ngira pembalasan apa yang akan ia terima dari ketiganya nanti.
Ia senang mendapat baju baru tapi lebih menyenangkan lagi kalau tidak diganggu oleh mereka. Mungkin sehari, seminggu atau selamanya? Bolehkah ia meminta? Apakah akan terkabul? Hmmmm, berhenti bermimpi, itu tidak akan terjadi, pikir Emune.
Ketika kembali pada kenyataan, Emune melihat Bibi Mary menyerahkan dua buah gaun kepadanya. Satu berwarna biru dan satu lagi berwarna coklat. Keduanya memiliki jahitan yang sederhana dan tanpa renda-renda tapi Emune menyukainya. Bahannya lebih lembut dan baju-baju itu bersih.
"Bawalah ke kamarmu. Kau sudah sangat membantu pagi ini jadi pergilah bermain. Bibi yakin kau pasti ingin ke tempat Urndie. Ingat pulang sebelum gelap ya."
Mata Emune berbinar-binar. Ini seperti mimpi. Ia mendapat baju baru dan bebas bermain sampai sore. Ia memeluk Bibi Mary dengan suka cita. "Terima kasih," ucapnya gembira.
Mary Grantea tersenyum melihat Emune yang tergopoh-gopoh kembali ke lumbung. Ia kasihan sekaligus kagum pada gadis itu. Setelah tiga malam terusir dari kamar-kamar di rumah oleh anak-anaknya yang nakal dan tidak menyukai kehadiran anak baru, Emune meminta ijin untuk tinggal di lumbung. Padahal waktu itu usianya baru tujuh tahun. Ia benar-benar bisa menyesuaikan diri tinggal di lumbung.
Pada musim dingin pertama saat tinggal di lumbung, Mary khawatir Emune akan mati kedinginan. Anak itu dengan cerdiknya menumpuk jerami di dalam kotak tua, meletakkan selembar kain sisa di atasnya lalu tidur berselimut rajutan wol yang diterimanya dari Mary. Mary bersumpah, anak itu terlihat bercahaya. Sangat cantik dan berkilau. Menyadari betapa cepat waktu berlalu dan gadis kecil itu kini sudah menjadi remaja, tanpa sadar air matanya menetes.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Dewi
Emune karakter yang aku sukai, sabar dan baik. Meskipun beberapa tahun ini sering dijahili oleh saudara-saudaranya
2023-08-01
1