Pagi tiba di kaki pegunungan Ciarten, kerajaan Arsyna. Cahaya matahari yang semula berwarna kemerahan kini telah menjadi kuning terang. Hamparan padang rumput yang sejak semalam ditutupi embun mulai mengering. Keindahan pagi mulai diramaikan oleh penduduk desa yang beraktivitas.
Para pria menyiapkan kapak dan cangkul mereka untuk bekerja di ladang sementara para perempuan membersihkan rumah dan menyiapkan bekal. Seperti para lebah pekerja yang tak kenal lelah, mereka keluar dari rumah dan akan kembali nanti sore saat ladang mereka selesai dikerjakan.
Para pedagang sudah siap dengan barang dagangan mereka. Sebagian akan melakukan perjalanan jauh ke kerajaan lain untuk mencari peruntungan. Anak-anak kecil berlarian sambil tertawa gembira. Tidak ada yang lebih ramai dibandingkan pagi di desa kecil Ulrych.
Di sudut desa, menyendiri dengan dua petak sawah tepat di samping rumah, adalah kediaman keluarga Grantea. Suami istri Grantea adalah salah satu keturunan keluarga tua pembangun desa Ulrych. Meskipun sejarah keluarga ini sangat panjang, sayangnya kakek buyut mereka gemar berjudi sehingga hanya rumah dan dua petak ladang itu yang tersisa bagi generasi berikutnya.
Saat ini suami istri Grantea berhasil memperbaiki kondisi ekonomi keluarga mereka dengan beternak sapi dan kambing. Empat ekor sapi, lima ekor kambing dan belasan ekor ayam adalah harta berharga yang menjamin ketersediaan susu dan telur mereka setiap hari. Susu segar dan keju yang mereka buat sangat digemari penduduk desa dan hasil penjualannya lebih dari cukup untuk membeli daging dan kacang-kacangan yang tidak ditanam di ladang sendiri.
Keributan di pagi hari bukan hal yang aneh karena ketiga anak di keluarga Grantea, dua anak perempuan dan satu anak laki-laki, adalah biang keributan. Siapa lagi yang mereka ganggu kalau bukan Emune? Sungguh kasihan Emune, sejak kecil ia sudah seperti keset bagi ketiganya. Kondisi itu tidak berubah bahkan sampai Emune berusia tujuh belas tahun.
Emune adalah yang paling kecil di rumah itu namun dia tidak pernah merasakan kasih sayang dan perlindungan dari kakak-kakaknya. Ya, mereka memang bukan kakak kandungnya. Sebenarnya dia hanya anak pungut yang terpaksa mereka pelihara karena permintaan ayahnya. Ia sangat bersyukur masih ada tempat berteduh dan makanan untuk mengisi perutnya meski itu berarti ia harus menahan siksaan dari anak-anak Grantea.
Paman Henry adalah teman lama orang tua Emune. Mereka sama-sama berdagang di pinggiran Orsgadt. Tidak ada yang mencolok dari lelaki ini karena ia benar-benar seperti air sungai yang mengalir tenang.
Pria itu jarang berbicara pada siapa pun termasuk anak-anaknya. Pada Emune ia hanya berkata-kata seperlunya. Emune menyukainya karena ia tidak mengganggu sama sekali. Sejak kecil ia menjaga Emune dengan caranya sendiri.
Kebalikan dari sungai yang tenang, Bibi Mary, istri Paman Henry, adalah badai gurun pasir. Bicaranya keras, tegas dan cukup cepat. Tidak ada yang luput dari perhatiannya. Bahkan Thomas tidak bisa menyembunyikan luka kecil di kakinya tanpa diketahui oleh ibunya.
Paman dan Bibi memperlakukannya seperti anak mereka sendiri. Lalu kenapa Emune tinggal di lumbung? Singkat cerita, Emune lebih suka ketenangan yang bisa ia temukan di lumbung. Ia tidak masalah dengan jerami dan debu. Ia hanya tidak ingin diganggu saat sendiri. Ketenangan adalah anugerah terbaik baginya.
Ketiga anak Grantea adalah cobaan yang sulit bagi Emune. Thomas tahun ini berusia hampir dua puluh tahun. Ia tak ada bedanya dengan pemuda-pemuda lain yang ada di Ulrych. Meskipun Mineda dan Daniea, teman-teman bermain Emune, menganggapnya tampan, bagi Emune dia hanya sebatang tongkat sapu yang menyebalkan.
Tidak ada hari tanpa gangguan dari Thomas. Satu-satunya saat bebas tanpa Thomas adalah ketia ia pergi ke alun-alun dan berkencan dengan gadis-gadis. Tentu saja, gadis-gadis bodoh yang terpesona mendengar bualan tentang kehebatan dan kekayaan keluarga Grantea di masa lalu. Kalau mereka cukup pintar, mereka akan tahu berapa sapi dan kambing yang tersisa dari kawanan ternak yang tiap kali Thomas bercerita, jumlahnya terus saja bertambah. Omong kosong, bahkan batu karang tak kan mau percaya, pikir Emune.
Kemudian ada Clemence dan Clarice, si kembar yang montok, berpipi tembam namun bermulut tajam. Mereka sudah berusia delapan belas tahun namun belum juga ada pemuda yang mendekati mereka. Sebenarnya mereka manis namun sikapnya benar-benar tidak menyenangkan.
Kadang Emune berpikir mungkin otak mereka sebenarnya hanya setengah yang berisi. Si kembar ini selalu bersama-sama dan seolah-olah wajah mereka yang sama belum cukup untuk menunjukkan bahwa mereka kembar, pakaian dan dandanan mereka juga selalu seragam. Emune terkadang berdoa agar mereka berdua dijadikan satu agar ia bisa menghemat energi berhadapan dengan satu orang saja.
Sama seperti hari-hari lainnya, pagi-pagi sekali ia sudah disiram dengan seember air. Bajunya yang lusuh jadi semakin lusuh dan rambutnya berantakan karena air bercampur dengan debu jerami yang beterbangan. Ketiga anak-anak Grantea yang selalu bersatu dalam kejahatan berdiri dengan congkak di dekat pintu lumbung. Thomas memegang ember dengan tangan kirinya kemudian melempar ember kayu itu ke arah Emune. Ember kayu jatuh tepat di dekat kaki Emune.
"Susu sapi dan kambing. Perah sekarang," perintahnya datar lalu berbalik pergi.
"Bersihkan kandang!" ucap Clemence.
"Dan kumpulkan telur ayam lalu beri makan semua ternak," sambung Clarice. Ia menggandeng saudari kembarnya pergi. Keduanya melenggang, berbalik sebentar sambil mencibir pada Emune yang masih setengah terbangun kemudian benar-benar pergi meninggalkan lumbung.
Emune menggaruk kepalanya, menyeka wajahnya yang kotor dan mengibaskan bajunya yang basah.
"Aku sudah tahu. Sangat tahu. Itu yang kulakukan sepuluh tahun terakhir ini. Kalian tidak perlu datang dan menggangguku hanya untuk mengulang perintah-perintah yang sama." Emune mengoceh sendiri. "Aku sudah tahu!" serunya kesal.
Ia bergegas mencuci muka dan mengganti bajunya yang basah dengan baju lain yang lebih lusuh lagi karena ia hanya punya tiga lembar baju dan yang basah tadi adalah baju terbaiknya. Bibi Mary sebenarnya sudah memberikan beberapa baju yang cukup bagus untuknya namun Clarice dan Clemence mengambil dan membakarnya. Ia sangat tidak ingin membuat keributan jadi ia terima saja.
Baju ini sekali lihat jelas-jelas sudah ditambal berkali-kali dan dalam beberapa minggu pasti akan hancur karena bahannya adalah yang termurah di pasaran. Ia bukan seorang putri yang bisa meminta apa pun yang diinginkan jadi lagi-lagi ia tidak bisa protes.
Emune keluar dari lumbung perlahan-lahan. Matahari sudah cukup tinggi. Matanya mengerjap karena silau. Seandainya ia hanya mengerjakan tugasnya, yaitu membantu membuat keju, bukannya mengerjakan tugas Thomas dan kedua saudarinya, Emune bisa sedikit santai hari ini.
Ia menyesal tidur larut semalam. Semua gara-gara Urndie, dia berjanji akan membuat perhitungan dengan pedagang keliling itu nanti. Sekarang ia harus mencicil daftar panjang pekerjaan pagi.
Kandang sapi, ke sanalah ia akan memulainya karena memerah susu sapi paling baik dilakukan pada pagi hari. Ia melangkah cepat-cepat dengan dua buah ember bersih. Dua ekor sapi betina sudah menunggunya dan dia ingin semuanya cepat selesai agar ia bisa ke air terjun sore ini.
Emune mengambil secangkir susu sapi segar dan menghabiskannya dalam tiga tegukan. "Lezat!" serunya sambil menghapus sisa susu di sudut-sudut bibirnya dengan ujung lengan baju. Ini memang susu segar terbaik di Ulrych yang nantinya akan menjadi keju terbaik pula. Ia sangat bangga pada hasil kerjanya.
"Paman Henry, ini susu segar dari sapi-sapi betina." Emune meletakkan kedua ember di tanah. Paman Henry, hanya berkata "terima kasih" dan mengangkat dua ember dengan tangan-tangannya yang kekar. Setelah meletakkan ember-ember di atas meja, ia kembali kepada Emune.
"Bocah-bocah itu memaksamu melakukan ini lagi ya? Kau seharusnya tegas pada mereka, Emune."
"Tidak apa-apa, Paman. Aku bisa melakukannya."
"Tidak benar. Tidak baik. Mereka harus diberi pelajaran." Seorang perempuan tiba-tiba muncul dari belakang tong kayu besar. Bibi Mary, perempuan bertubuh montok dengan wajah yang ramah menghampiri Emune. Ia berdecak heran melihat pakaian Emune yang penuh tambalan. "Ayo, ada baju yang lebih baik yang bisa kau gunakan."
"Aku tidak apa-apa dengan baju ini, Bibi. Sungguh," ucap Emune di sela-sela nafasnya yang berusaha mengimbangi kekuatan besar Bibi Mary yang terus menyeretnya ke rumah.
"Kau seperti gembel dan itu tidak sedap dipandang mata. Aku bersumpah akan menghukum bocah-bocah tengil itu kalau mereka mengganggumu lagi," ujar Bibi Mary. Kali ini ia mengendurkan cengkeraman tangannya pada lengan Emune. "Emune, kau bukan pembantu. Kau bagian dari keluarga ini."
Mereka sampai di halaman depan di mana ketiga anak-anak Grantea sedang makan keju dan roti. Mereka langsung berdiri melihat ibunya mendekat bersama Emune.
"Kau buat ulah lagi, Emune?" tanya Thomas dengan seringai yang tidak disukai Emune.
"Diam, Thomas!" hardik Bibi Mary. "Pergi ke kandang kambing, perah susunya dan bersihkan kandang itu sekarang juga! Ibu akan menghukummu lebih berat jika kau tidak selesai sebelum tengah hari."
Thomas pergi ke kandang kambing dengan enggan tanpa berkata apa-apa. Ibunya tidak bisa dibantah. Ia seperti jenderal perang saat memerintah seseorang dan lebih seram dari monster rawa yang diceritakan para pengelana dari barat. Kira-kira seperti itu meskipun dia sendiri tidak pernah melihat langsung seperti apa seramnya monster itu.
Clemence dan Clarice cekikikan melihat kakak laki-laki mereka mati kutu dihardik sang ibu.
"Kalian berdua, pergi ke kandang ayam, kumpulkan telur-telur, beri makan ayam-ayam cantik itu dan bersihkan kandangnya."
Keduanya terdiam sesaat, "Baik Bu," ucap keduanya serempak. Clarice dan Clemence berjalan melewati Emune. Mereka bergumam saat berada tepat di samping Emune, "pengadu".
"Dan siapa pun yang mengambil baju baru Emune dihukum selama satu minggu bekerja di ladang!"
Teriakan Bibi Mary sangat kencang hingga membuat telinga Emune berdengung. Ia yakin "bocah-bocah" Grantea pasti bisa mendengarnya. Emune meringis. Ia sedang mengira-ngira pembalasan apa yang akan ia terima dari ketiganya nanti.
Ia senang mendapat baju baru tapi lebih menyenangkan lagi kalau tidak diganggu oleh mereka. Mungkin sehari, seminggu atau selamanya? Bolehkah ia meminta? Apakah akan terkabul? Hmmmm, berhenti bermimpi, itu tidak akan terjadi, pikir Emune.
Ketika kembali pada kenyataan, Emune melihat Bibi Mary menyerahkan dua buah gaun kepadanya. Satu berwarna biru dan satu lagi berwarna coklat. Keduanya memiliki jahitan yang sederhana dan tanpa renda-renda tapi Emune menyukainya. Bahannya lebih lembut dan baju-baju itu bersih.
"Bawalah ke kamarmu. Kau sudah sangat membantu pagi ini jadi pergilah bermain. Bibi yakin kau pasti ingin ke tempat Urndie. Ingat pulang sebelum gelap ya."
Mata Emune berbinar-binar. Ini seperti mimpi. Ia mendapat baju baru dan bebas bermain sampai sore. Ia memeluk Bibi Mary dengan suka cita. "Terima kasih," ucapnya gembira.
Mary Grantea tersenyum melihat Emune yang tergopoh-gopoh kembali ke lumbung. Ia kasihan sekaligus kagum pada gadis itu. Setelah tiga malam terusir dari kamar-kamar di rumah oleh anak-anaknya yang nakal dan tidak menyukai kehadiran anak baru, Emune meminta ijin untuk tinggal di lumbung. Padahal waktu itu usianya baru tujuh tahun. Ia benar-benar bisa menyesuaikan diri tinggal di lumbung.
Pada musim dingin pertama saat tinggal di lumbung, Mary khawatir Emune akan mati kedinginan. Anak itu dengan cerdiknya menumpuk jerami di dalam kotak tua, meletakkan selembar kain sisa di atasnya lalu tidur berselimut rajutan wol yang diterimanya dari Mary. Mary bersumpah, anak itu terlihat bercahaya. Sangat cantik dan berkilau. Menyadari betapa cepat waktu berlalu dan gadis kecil itu kini sudah menjadi remaja, tanpa sadar air matanya menetes.
Secangkir madu hangat dan pai buah terhidang di atas meja. Emune sudah tidak sabar menunggu aba-aba dari Urndie untuk menyantapnya. Sementara itu Urndie, pria tua berjenggot putih dan berjubah panjang sedang sibuk membongkar sebuah kotak di meja kerjanya. Benda-benda yang tidak diinginkan sekarang tertumpuk di atas meja. Gulungan perkamen, pena bulu, baling-baling kayu dan benda lainnya ia dorong ke tengah meja.
Emune mengenal Urndie sejak ia masih kecil. Awalnya ia takut karena pondok Urndie ada di dekat hutan dan agak jauh dari pemukiman penduduk. Anak-anak di Ulrych menyebutnya penyihir karena ia selalu memakai jubah panjang dan membawa tongkat kayu yang kepalanya melengkung.
Waktu itu ia dan teman-temannya bermain di dekat hutan. Kaki Emune tergores ranting hingga berdarah dan karena sakit, Emune tidak bisa mengimbangi lari teman-temannya hingga akhirnya ia tertinggal. Hari mulai gelap dan ia tidak bisa lagi berjalan.
Saat itulah Urndie yang hendak kembali ke pondok melihatnya duduk di atas batu sambil membersihkan darah yang mengering di sekitar lukanya dengan daun. Ia takut pada Urndie tapi lelaki tua itu memberinya setangkai bunga rumput dan berkata akan mengobati lukanya sebelum mengantarnya pulang. Paman Henry dan Bibi Mary sangat khawatir namun mereka menjadi sangat lega saat tahu bahwa Urndie yang telah menolongnya.
“Urndie itu orang yang pintar. Kau tidak perlu takut padanya. Dia bukan penyihir.” Bibi Mary mengagumi Urndie dan ia suka jika Emune mau belajar dari pria tua itu.
“Apa aku boleh ke pondoknya dan berterima kasih karena telah ditolong?” tanya Emune.
“Tentu saja. Setelah kau sembuh, kau boleh ke sana. Bawakan ia roti dan keju terbaik yang kita punya,” jawab Bibi Mary.
Izin dari paman dan bibinya membuat Emune mempercayai Urndie. Ketika ia membawa sekeranjang kecil keju dan roti sebagai ucapan terima kasih pada Urndie, ia dipersilahkan masuk dan langsung tertegun melihat betapa rapinya pondok Undrie. Pondok itu tidak seperti pondok penyihir yang diceritakan orang-orang padanya. Ada meja besar, rak-rak berisi gulungan kertas dan bunga-bunga dalam pot kecil.
Urndie menawari Emune untuk belajar membaca dan menulis. Awalnya Emune tidak begitu suka karena harus menghafal dan menulis huruf-huruf yang terlihat seperti deretan benang kusut tapi setelah beberapa waktu ia jadi terbiasa. Setiap kali Urndie kembali dari perjalanannya, ia selalu membawakan oleh-oleh dan cerita yang seru. Jika diingat-ingat, cerita-cerita Urndielah yang membuatnya kuat dan bersemangat terutama saat berhadapan dengan bocah-bocah Grantea.
“Ah, bersabarlah denganku, Emune. Ada yang ingin kutunjukkan padamu. Oh, kau boleh memakan painya. Cobalah madu hangat itu. Aku membelinya di Beva. Kau tahu Beva itu dimana?”
“Eimersun,” jawab Emune singkat. Ia buru-buru menyambar pai buah yang tampak begitu menggoda. Pai itu sangat lezat. Indera pencernaannya seperti sedang menari-nari. Ia jamin tidak semua penduduk desa ini pernah memakannya. “Enak sekali. Aku belum pernah makan pai seperti ini.”
“Ya, penduduk desa ini pencinta roti dan keju. Kau tahu Tuan Hendell? Ia pernah membawa pulang pai seperti ini sekembalinya dari Imperia. Keluarganya hanya menonton pai itu. Mereka pikir itu semacam hiasan dan ya, pai itu akhirnya berjamur lalu dibuang.”
“Kalau mereka tahu betapa lezat rasanya, mereka pasti akan sangat menyesal.”
“Aha, ini dia!” seru Urndie. Sebuah gulungan perkamen ada di tangannya. Ia membawanya dan meletakkan di atas meja. “Ini adalah perkamen tua. Aku hampir saja melewatkannya.”
“Memang terlihat sangat tua,” ucap Emune sambil meringis.
Sejak mengenal Urndie, dia sudah disodorkan berbagai hal menakjubkan. Mulai dari belajar membaca dan menulis, menggambar, menjahit dan satu-satunya yang Emune anggap konyol adalah tata cara makan formal. Ia tak habis pikir untuk apa ia mempelajari yang satu itu. Ia jelas-jelas bukan bangsawan dan tidak ada lelaki bangsawan yang akan mau menikahi anak pungut sepertinya.
Ia ingat Urndie berkata padanya, “Tidak ada ruginya untuk tahu. Kelak kau mungkin akan menemukan manfaatnya”.
Urndie membuka gulungan perkamen dengan hati-hati. Perkamen itu pasti sudah berusia ratusan tahun namun bahan kulitnya sangat kuat. Matanya berbinar saat melihat sebuah peta tergambar di atas lapisan kulit.
“Kau tahu ini apa, Emune?”
“Peta?”
“Ya, ini peta asli Dunia Artamea. Hanya ada sau peta asli dan lima salinannya.”
“Bagaimana kau tahu kalau ini asli?” Tanya Emune penuh rasa ingin tahu.
“Karena di bawah sini ada tulisan asli Raja Agung Osgardt.” Urndie menunjuk bagian bawah peta. Sebuah kalimat tertulis indah dengan tinta emas. “Bisakah kau membacanya?”
“Artamea, dunia yang damai.” Emune membaca pelan-pelan bukan karena ia tidak bisa membaca cepat tapi karena tulisan itu sangat rapi, bersih dan indah. Seperti inikah tulisan seorang raja? Ia langsung membayangkan seperti apa rupa Raja Agung Orsgadt.
“Benar sekali. Raja Agung Orsgadt mengesahkan peta ini ratusan tahun lalu.”
“Kenapa peta asli bisa ada di luar istana? Apakah tidak berguna lagi?”
Urndie menghela nafas. “Sejak pemberontakan Goenhrad, setelah semua keluarga istana dieksekusi di tempat ia memerintahkan untuk memusnahkan semua catatan kerajaan. Sudah belasan tahun dan dia masih saja mengerahkan pasukannya untuk mencari para pengikut setia Raja Agung Orsgadt. Para pengikut setia sepertinya berhasil menemukan cara menyeludupkan beberapa benda keluar dari istana.”
“Sungguh mengerikan. Mengeksekusi seluruh anggota kerajaan. Apakah ada anak-anak juga? Kenapa aku tidak pernah mendengar cerita ini?” Emune terperangah.
“Orang tua, anak-anak, semuanya dibunuh. Tentu saja kau tidak pernah mendengarnya. Seluruh rakyat Orsgadt dilarang membicarakan apapun yang terkait dengan Raja Agung Orsgadt. Mereka bahkan tidak boleh menyebut namanya, hukuman mati bagi yang melanggar. Jadi setelah belasan tahun, sudah tidak ada lagi jejak masa keemasan pemerintahan sang Raja Agung.” Urndie tersenyum miris.
“Apa kau akan ditangkap jika membicarakan sejarah itu meskipun kau bukan penduduk Orsgadt?” tanya Emune.
“Meskipun kita ada di luar wilayah Orsgadt, kita tetap harus berhati-hati. Sudah lama diketahui bahwa Goenhrad menyebar mata-mata ke seluruh Artamea. Begitulah ketakutan seorang pemberontak bahwa kelak ia akan mengalami nasib yang sama dengan raja yang ia khianati.”
“Maukah kau menceritakannya padaku?”
“Hanya jika kau berjanji tidak menyebut dan membicarakannya kepada orang lain.” Urndie melihat telapak tangan kirinya. Ia mengepalkan tangannya lalu membukanya lagi.
“Aku berjanji,” ucap Emune dengan sungguh-sungguh. ”Aku rasa sebaiknya kita tunda lain hari ceritanya. Hari ini aku akan mengajarimu cara membaca peta ini. Kau harus mengingatnya, Emune. Mungkin kelak kau satu-satunya yang mengetahui sejarah Orsgadt yang sesungguhnya.”
Emune menatap wajah Urndie. Lelaki tua itu biasanya penuh canda namun hari ini semua terdengar serius. Urndie satu-satunya orang terpelajar di Ulrych. Setahu Emune, hanya beberapa orang yang lancar membaca dan menulis di desa ini. Sekolah ada di kota namun penduduk desa tidak mampu membayar biaya pendidikan yang mahal. Pendidikan hanya untuk para bangsawan dan rakyat jelata lebih baik belajar bagaimana bertahan hidup sehari-hari.
“Peta ini adalah peta lama Artamea namun tidak banyak yang berubah selain Orsgadt. Coba lihat, di utara Arsyna ada tiga kerajaan manusia, yaitu Imperia, Orsgadt dan Eimersun. Setiap perbatasan dijaga ketat dan tidak sembarang orang bisa masuk ke wilayah suatu kerajaan tanpa izin.” Urndie mengeluarkan sebuah kertas kecil dari kantung jubahnya. “Ini adalah cap masuk yang diberikan saat memasuki gerbang utama Orsgadt. Hanya berlaku satu minggu dan harus diserahkan saat keluar dari Orsgadt. Kerajaan lain tidak menerapkan system ini tapi mereka punya petugas khusus yang akan memeriksa setiap orang yang keluar-masuk wilayah kerajaan. Menarik bukan?”
“Sangat menarik. Aku berharap suatu saat bisa pergi ke kerajaan-kerajaan itu. Apakah seramai Arsyna?”
“Lebih ramai dari Arsyna. Arsyna adalah kerajaan terkecil dan Ulrych adalah desa terjauh dari Orsgadt.”
“Aku jadi merasa seperti orang yang dibuang. Apa sih yang dipikirkan oleh Ayah saat menyerahkanku pada Paman Henry?” Emune menggaruk pelipisnya dan mendesah berat.
“Ayahmu pasti menginginkan yang terbaik untukmu. Kulihat Henry dan Mary merawatmu dengan baik. Kau ada di sini, sehat, ceria dan berpakaian layaknya gadis baik-baik.”
“Ya, Paman dan Bibi memang baik. Entah apa jadinya kalau mereka tidak merawatku.”
Urndie tersenyum. Kumis dan janggutnya yang beruban terlihat lucu menutupi sekeliling bibirnya. “Kau mau tambah pai dan madu hangatnya?”
“Mau.” Emune tidak mungkin menolak. Pai yang lezat, madu hangat yang beraroma lembut dengan sedikit rasa asam hanya ada di pondok Urndie.
“Jadi hari ini kau boleh bermain sampai sore?”
“Iya. Senangnya terbebas dari bocah-bocah Grantea. Mereka sangat merepotkan. Pagi ini aku disiram dan disuruh mengerjakan tugas mereka. Untunglah ada Bibi Mary yang menyelamatkanku.”
“Henry dan Mary adalah orang-orang yang baik. Ayahmu tidak akan menyerahkanmu jika ia tidak mempercayai mereka. Keluarga Grantea sudah membaik sekarang. Sayang sekali harta mereka hampir habis karena kelakuan kakek buyutnya.”
“Ya, aku mendengar tentang itu dari Thomas. Ia suka sekali membual pada gadis-gadis.” Emune tertawa geli.
“Sudah saatnya dia menikah bukan?”
“Aku tahu beberapa gadis yang menyukainya tapi mereka pasti akan kecewa saat tahu bahwa dia tidak sehebat ceritanya. Apa semua pemuda selalu membual?”
“Itu pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Tanyakan langsung pada Thomas.” Urndie tertawa.
“Tidak mungkin. Aku bahkan tidak mau melihatnya. Si kembar juga menyusahkanku. Apa jadinya jika tak ada Paman Henry dan Bibi Mary? Aku pasti akan jadi babu dan pelampiasan kemarahan mereka,” ucap Emune ketus.
“Tidak ada yang tidak bisa kau atasi. Kau bisa bertahan hidup dengan mereka selama ini. Itu luar biasa.”
“Aku berjuang keras untuk tetap hidup,” seloroh Emune. “Oh iya, apa cerita tentang Orsgadt sangat panjang? Haruskah aku membatalkan makan siang dengan teman-temanku?”
“Tidak … tidak perlu. Datanglah setelah makan siang. Ingat, ini rahasia kita berdua, jangan bercerita kepada siapa pun.”
“Aku mengerti.”
Urndie meminum madu hangatnya. “Imperia saat ini sedang sibuk menyiapkan diri mengadapi badai pasir yang menimbun sebagian wilayah mereka setiap tahun. Kita di Arsyna cukup beruntung karena ada Hutan Dumina yang menahannya. Jika kau kelak berkeliling Artamea, sempatkanlah berkeliling Imperia. Kerajaan itu punya bukit-bukit dan danau yang indah. Berkebun dan beternak menjadi mata pencaharian utama rakyatnya. Raja Imperia yang sekarang, Raja Leoric, adalah keturunan kesebelas. Masih lebih muda jika dibandingkan sejarah Eimersun dan Orsgadt. Beliau memimpin dengan baik. Mengutamakan keamanan kerajaan dan kesejahteraan rakyatnya.”
“Aku suka raja yang baik. Goenhrad terdengar sangat tidak baik,” ucap Emune setengah berbisik.
“Dia memang tidak baik,” balas Urndie, ikut berbisik seperti Emune.
Keduanya tertawa karena merasa konyol harus berbisik-bisik seperti itu. Emune meneguk madu hangat yang baru dibuatkan oleh Urndie.
“Bagaimana dengan Orsgadt dan Eimersun?”
“Eimersun. Negeri yang luar biasa. Kerajaan terdekat dengan wilayah kerajaan peri. Pedang dan baju zirah terbaik berasal dari Eimersun. Kerajaan itu sedang bersiap untuk Festival Matahari yang akan diadakan di musim panas. Apa kau tahu bahwa Eimersun adalah satu-satunya kerajaan dengan dua musim? Musim panas dan musim hujan. Rajanya saat ini adalah Raja Duncan, keturunan kelima belas. Ia memiliki seorang putra yang tampan. Dua atau tiga tahun lebih tua darimu. Aku rasa ia akan menyukaimu.”
“Huh, itu hanya khayalan. Mana ada pangeran yang mau pada perempuan desa sepertiku? Dia pasti mengira aku hanya seorang pembantu yang kebetulan tersesat di kerajaannya.”
“Begitukah? Emune, tanpa menjadi seorang putri raja sekalipun kau adalah gadis yang hebat.”
“Terima kasih, aku bisa meleleh jika dipuji terus.” Emune meneguk sisa madu hangat kemudian bangkit dari kursi kayu yang didudukinya. “Baiklah, aku akan pergi sekarang dan kembali setelah makan siang. Kau masih hutang satu cerita. Terima kasih untuk hidangan pagi ini.”
“Hati-hati di jalan, Emune.”
Urndie tersenyum melihat sosok Emune yang menghilang di balik pintu pondoknya. Ia suka pada gadis itu. Emune mengingatkannya pada putrinya yang telah meninggal. Ia berjanji akan melindunginya dengan cara apapun selama ia masih hidup. Gadis itu pantas untuk bahagia.
Makan siang bersama Mineda dan Daniea tadi sangat menyenangkan. Mineda membuat sup wortel yang lembut dengan rempah dan sedikit susu kambing. Menurut Mineda, itu adalah resep neneknya.
Setelah sepotong roti dan beberapa irisan daging kambing, Emune merasa sangat kenyang. Daniea membawa anggur dan dua buah saputangan berwarna biru muda yang ia berikan masing-masing satu kepada Mineda dan Emune. Nama-mereka disulam rapi dengan benang biru tua. Emune sendiri seperti biasa hanya bisa membawa keju buatan keluarga Grantea namun karena keju itu sangat terkenal, itu menjadi hadiah yang mewah bagi teman-temannya.
Perbincangan siang itu lebih banyak tentang Ulrych. Kedua temannya tidak tertarik saat Emune menceritakan soal Imperia yang setiap tahun terkena badai pasir dan Eimersun yang akan mengadakan festival matahari.
“Aku tidak tertarik. Pertama, aku tidak akan pernah keluar dari desa ini. Kedua, untuk apa membicarakan kerajaan yang jauh? Kita harus bersiap untuk acara kita sendiri, Emune,” tegas Mineda.
“Betul. Perayaan Ulrych. Masa kau tidak ingat? Purnama sebentar lagi,“ tambah Daniea
Emune mengernyitkan keningnya. “Ah, iya. Perayaan Ulrych. Terima kasih sudah mengingatkanku.”
Mineda meletakkan kedua sikunya di atas meja kayu, kedua tangannya menutupi pipi-pipinya yang bersemu merah alami. Matanya tertutup dan bibirnya bergerak-gerak seperti sedang mengucapkan sesuatu namun tanpa suara.
“Mantra apa yang sedang kau rapalkan?” Emune tiba-tiba menepuk bahu Mineda. Daniea tertawa melihat Mineda yang gelagapan.
“Aduh, bukan mantra. Aku sedang berpikir, pada perayaan nanti, siapa yang akan mengencani Neville?”
Emune dan Daniea saling melihat dan serempak bertanya dengan nada tinggi, “Neville?”
“Dia cukup tampan. Aku suka rambutnya yang rapi.”
“Hai, Nona, Tuan Berambut Rapi itu terakhir kali, tiga hari yang lalu kalau tidak salah, terlihat berkencan di semak-semak dekat mata air. Nyonya Beatrien yang menangkap basah mereka,” ucap Daniea.
“Apa? Siapa teman kencannya?”
“Maude,” jawab Emune. Ia tidak melihat langsung tapi sempat mendengar bisik-bisik ibu-ibu dalam perjalanannya ke rumah Mineda.
Mineda menepuk-nepuk pipinya tanda kesal mendengar berita itu.
“Hei, ada apa dengan Thomas? Bukankah Thomas sudah mengajakmu ke perayaan itu?” tanya Emune.
Mineda berdiri, bersedekap sambil memonyongkan bibirnya. “Huh, Thomas memang mengajakku tapi tidak hanya aku. Merry, Alice, Eren dan entah siapa lagi. Saudara angkatmu itu gila!”
“Tidak, jangan kaitkan denganku. Dia adalah masalah yang harus dihindari oleh siapa pun,” Emune membela diri. Ia selalu memastikan ada batasan khusus antara dirinya dan bocah-bocah Grantea.
“Setidaknya pemuda-pemuda dari desa sebelah akan datang jadi kita punya pilihan bukan?”
“Daniea benar. Ayolah Mineda. Kau seperti tidak tahu Thomas saja. Dia itu G-I-L-A!”
Ketiga gadis muda itu tertawa ramai. Mereka lalu sibuk membicarakan pakaian, bunga dan hiasan rambut untuk perayaan nanti. Karena mereka sudah berusia tujuh belas tahun, mereka bisa bebas pergi ke perayaan tanpa harus memohon-mohon pada orang tua mereka.
***
Emune kembali ke pondok Urndie sambil berlari. Ia mengangkat sedikit ujung bajunya agar bisa berlari lebih kencang. Ia hampir menubruk anak-anak kecil yang bermain di sekitar air mancur dan ayam-ayam berterbangan menghindarinya. Walaupun sedang berlari, Emune bisa melihat Tuan dan Nyonya Schulliz sedang beradu mulut di depan toko roti mereka. Beberapa meter berikutnya, Nyonya Beatrien terlihat sedang memberi makan seekor anak kucing.
“Halo Nyonya Beatrien!” serunya sambil terus berlari. Ia menoleh sebentar dan melihat Nyonya Beatrien melambaikan tangan padanya.
Urndie berdiri di depan pondoknya. Pot-pot kecil yang berderet di samping pintu bertambah lagi. Bunga-bunga musim semi mekar dengan indahnya. Ia sedang menunggu Emune. Gadis itu pasti sedang berlari-lari ke sini, pikirnya. Benar saja, ia mendengar derap kaki mendekat. Emune sampai dengan nafas terengah-engah.
“Apa aku terlambat? Aku tidak terlambat bukan?”
Urndie tertawa kecil. “Kau tidak terlambat. Ayo masuk dan beristirahat dulu.”
Emune duduk di kursi dengan nyaman. Nafasnya sudah kembali normal. Kali ini Urndie membuatkannya minuman dari sari buah delima. Rasa haus Emune hilang seketika hanya dengan satu tegukan. Urndie duduk di seberang, mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang. Emune menegakkan duduknya dan menunggu Urndie mulai bercerita.
“Selama ribuan tahun yang lalu, Artamea adalah dunia yang dihuni oleh manusia, hewan dan makhluk mistis seperti peri, raksasa dan lainnya. Tidak jauh berbeda dengan saat ini. Masa itu adalah masa kelam, tidak ada pemerintahan dan tidak ada aturan. Ibaratnya rimba belantara, hanya yang kuat yang bertahan dan berkuasa. Manusia hampir tidak punya kesempatan hidup karena mereka diburu oleh para pemangsa sepanjang waktu.”
Urndie meletakkan sebuah perkamen di atas meja. Ia sudah menimbang-nimbang sejak tadi pagi apakah ia perlu memperlihatkannya pada Emune atau tidak. Kali ini ada jawaban “ya” di kepalanya. Ia menyodorkan perkamen itu kepada Emune.
Emune yang penasaran langsung saja meraih lalu membuka perkamen dengan hati-hati. Matanya melotot ngeri.
“Naga, cerberus dan raksasa? Aku tak mau membayangkannya. Pasti sangat mengerikan,” ucap Emune lirih. Perkamen di tangannya menggambarkan masa kegelapan yang disebutkan oleh Urndie. Ia menggulung perkamen itu lalu mengembalikannya kepada Urndie.
“Kekacauan terus berlangsung sampai sebuah insiden merubah segalanya. Pada bulan purnama di musim semi, para peri melakukan perjalanan suci dari utara Artamae, dulu disebut Norkdarn, sekarang adalah wilayah Imperia. Mereka sampai di Gurun Harapan namun tidak mau mengambil resiko terjebak di sana dan jadi mangsa empuk para pemangsa. Para peri memiliki kekuatan luar biasa namun dengan kehadiran peri-peri kecil yang tak sekuat peri dewasa, mereka menjadi rentan. Raja Peri Dougraff memutuskan untuk membawa rombongannya melalui Eupher yang sekarang adalah wilayah Orsgadt.
Ketika hari mulai gelap, rombongan itu diperintahkan untuk beristirahat. Cucu raja peri yang masih kecil bermain sendiri dan terpisah jauh dari rombongan. Saat itu sekelompok penyihir hitam sedang mencari peri-peri muda untuk dijadikan ramuan sihir mereka. Mereka berhasil menangkap si peri kecil yang sayapnya belum kuat untuk terbang dan memberontak.”
Dari balik rerimbunan semak, seorang pemuda melompat keluar dan melawan mereka dengan mengibas-ngibaskan tongkat kayu yang sudah ia bakar ujungnya. Ia berhasil menyambar ujung pakaian seorang penyihir. Kejadiannya begitu cepat, para penyihir mencoba kabur dengan sapu terbang namun mereka bertabrakan di udara dan api menyebar membakar mereka. Untunglah si peri kecil yang hampir terjatuh ke lidah api berhasil ditangkap oleh pemuda itu. Si peri kecil akhirnya bisa dibebaskan dari benang sutra yang melilit tubuhnya.”
“Oh, syukurlah. Apa dia bisa bicara bahasa manusia?” tanya Emune. Ia tersenyum senang.
“Semua peri bisa berbahasa manusia namun peri kecil tidak diperbolehkan berbicara dengan manusia.”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Jeritan para penyihir terdengar sampai jauh. Raja Peri Dougraff muncul bersama beberapa pengawalnya. Ia hampir saja mengamuk karena cucu kesayangannya hilang. Ia berterima kasih dan berjanji akan mengabulkan apapun permintaan pemuda itu.
Wilhelm Orsgadt, pemuda yang menolong cucunya, adalah pemuda yang baik hati dan pintar. Meskipun keluarganya miskin, ia tidak tergiur pada harta yang ditawarkan oleh sang raja peri. Ia meminta agar sang raja mengerahkan kekuatannya untuk membuat wilayah yang aman untuk ditinggali oleh manusia. Raja Peri Dougraff mengabulkan permintaan pemuda pemberani itu. Bagian utara menjadi wilayah huni manusia dan bagian selatan menjadi tempat tinggal bagi semua makhluk mistis.”
“Luar biasa! Benar-benar penyelamat manusia. Bagaimana bisa terbentuk kerajaan-kerajaan seperti sekarang?”
“Semua orang begitu menghormati dan mencintai Raja Agung Orsgadt yang telah membebaskan mereka dari masa kelam. Beberapa waktu kemudian raja menikah dan memiliki keturunan. Awalnya hanya ada satu kerajaan, yaitu Orsgadt, namun ketika manusia semakin banyak raja sendiri mengutus tiga orang temannya untuk mencari dan membuka wilayah baru yang bisa ditempati banyak orang.”
Rakyatnya diberikan kebebasan untuk pindah ke wilayah-wilayah baru tersebut. Kerajaan-kerajaan baru tumbuh pesat. Keempat kerajaan tersebut menjalin hubungan yang erat di segala bidang. Tidak ada pertumpahan darah dan semua berjalan damai.”
“Jika nenek moyang kita berteman, mengapa tidak ada yang membantu Orsgadt saat pemberontakan Goenhrad terjadi?”
“Pemberontakan itu benar-benar di luar nalar semua orang. Goenhrad tidak punya pasukan yang besar, hanya sekelompok kecil pembunuh bayaran, orang-orang rakus yang mau melakukan apapun demi harta. Mereka adalah makhluk rendah yang tidak berharga. Serangan itu terjadi malam hari, tepat saat istana sedang menantikan kelahiran cucu sang raja. Pertama mereka membantai seluruh pengawal, mengunci istana dan membunuh para penghuninya. Keluarga raja langsung dieksekusi. Hanya beberapa pengikut yang berhasil keluar melalui jalan rahasia. Mereka membawa semua yang bisa mereka ambil saat itu.”
“Cucu sang raja! Apakah … apakah ….” Emune tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Lidahnya terasa kaku dan matanya berkaca-kaca.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!