Derita Istri Yang Kuceraikan
"Hamil? Kok bisa?"
Amara nyaris tak percaya ketika dokter menjelaskan kabar tersebut sambil menunjukkan strip uji kehamilan dengan dua garis merah, yang menyatakan dirinya positif hamil.
Dokter wanita paruh baya yang bertugas di puskesmas itu sedikit mengernyit melihat reaksi Amara yang tercengang. Dia membetulkan kacamata baca yang bertengger di hidungnya saat berupaya menjelaskan.
"Gini, ya, Teh Amara. Tadi kan saya udah bilang, memang mual muntah sama meriang yang dikeluhin sama Teteh itu bisa aja gejala asam lambung. Tapi, tadi kan Tetehnya tau di perutnya udah kepegang kayak gitu. Udah saya bilang Teteh hamil, masih aja nggak percaya. Sekarang hasil tespeknya garis dua kayak gini, masih nggak percaya juga?"
"Tapi, Bu Dokter, aku udah sebulan lebih nggak berhubungan. Kenapa bisa hamil kayak gini?"
"Hmm?" Sang dokter terdiam sejenak sebelum kemudian bertanya dengan sabar, "Kapan HPHT—Hari Pertama Haid Terakhir?"
Amara tercengang mendengar pertanyaan tersebut. Kapan terakhir kali dia mendapat haid? Amara lupa, tetapi dia ingat betul haidnya dimulai setelah berhubungan intim pertama kali dengan Fabian, tepat saat perceraiannya dengan Angga menginjak lima bulan.
"Tanggal 13 Juli," kata Amara, berharap ingatannya tak meleset.
"Lalu, kapan terakhir kali berhubungan?"
Mata Amara terpejam sesaat, mencoba mengingat-ingat lagi. Lalu, teringat serangkaian pertemuannya dengan Fabian, dan berapa kali mereka berhubungan intim benar-benar bisa dihitung jari, yaitu: Satu minggu setelah haid saat Fabian menjemputnya ketika dia sedang mengisi acara di villa Andip, kemudian minggu berikutnya ketika Fabian langsung menyeret Amara ke Villa satu hari setelah mereka resmi menikah.
Mereka melakukan dua kali hubungan intim di villa, malam dan saat subuh. Lalu, sore harinya sebelum Fabian pulang di malam Jum'at. Setelah itu, mereka tak melakukan hubungan lagi karena Fabian yang mengalami gagal ereksi. Jadi, Amara ingat benar kapan terakhir mereka berhubungan.
"Tanggal 31 Juli."
"Kalau dihitung berdasarkan hari menstruasi terakhir, di tanggal-tanggal itu si Teteh lagi ada di masa subur. Sel telur lagi mateng-matengnya dan siap untuk dibuahi," sang dokter menjelaskan dengan perlahan, mengerti bahwa pasien di hadapannya mungkin memang terlalu muda dan belum memahami bagaimana dirinya bisa hamil.
"Besar kemungkinan saat itu sel ****** si ayah berhasil menembus sel telur, dan itulah kenapa sekarang si Teteh hamil," lanjut sang dokter, sekilas ada sorot geli melihat kepolosan pasien di hadapannya, tetapi sebagai dokter, tentu saja dia merasa perlu menjelaskan hal tersebut dengan seksama.
"Tapi, Dok, kita cuma sekali ngelakuin ... mm—" Ucapan Amara terputus ketika dirinya tiba-tiba merasa malu membahas tentang hubungan seksual. Namun, dia juga mengerti bahwa orang di hadapan adalah seorang dokter, yang pasti membahas masalah seksual dari sisi dunia medis, dan bukan hal tabu untuk dibicarakan.
"Begini, Teh ... Pembuahan biasanya terjadi dalam waktu 24 jam setelah sel telur dihasilkan," kata sang dokter yang memahami bahwa Amara tampak canggung. "Setelah salah satu ****** berhasil menembus sel telur, sel telur akan berubah bentuk, juga membentuk lapisan hingga ****** lain nggak bisa menembus masuk. Inilah yang disebut sebagai proses pembuahan, dan terjadinya kehamilan."
Akhirnya Amara mengangguk, mengerti bahwa dia mungkin harus benar-benar menerima fakta dirinya hamil.
"Terus sekarang berapa bulan usia kehamilannya?" tanya Amara lagi sambil memegangi perutnya yang masih datar. Ada getir yang tiba-tiba membuat tenggorokan Amara seolah tersumbat sesuatu.
Sang dokter melihat kalender lipat yang berada di atas meja sebelum berkata, "Sekarang tanggal 16 Oktober. Jika dihitung berdasarkan HPHT, usia kehamilan si Teteh udah masuk 14 minggu, atau tiga bulan lebih dua minggu. Pantesan aja atuh udah kerasa pas dipegang. Masa si Teteh nggak ngerasa sama sekali? Harusnya ada pergerakan lho?"
Amara tertegun mendengar penjelasan sang dokter. Apakah dia sebegitu tak memedulikan kondisi perubahan dirinya karena terlalu larut dan tenggelam dalam kesedihan karena sudah bercerai dengan suaminya?
Untuk kesekian kalinya bulir air mata menyumbat tenggorokan Amara. Namun, ada hal lain yang membuat dia sedikit takut. Walau bagaimana pun, ada janin yang kini usianya buka saja hanya satu dua minggu, tetapi tiga bulan.
"Bu Dokter," kata Amara sedikit ragu-ragu. "Kalau ibunya punya penyakit sipilis, bisa nular ke anak yang dikandungannya nggak?"
"Sipilis?" Sang dokter mengulangi dengan hati-hati, terutama ketika menyadari sorot mata Amara sedikit berkabut.
Amara mengangguk.
Dia memindai penampilan Amara yang tertutup, bahkan mengenakan kerudung hitam yang menjuntai menutupi dada. Sedikit tak yakin apakah wanita muda yang terlihat baik-baik mengidap sipilis? Namun, dia tahu Amara berhak mendapatkan penjelasan dari pertanyaannya.
"Sifilis memang bisa menular dari Ibu Hamil ke Janin," sang dokter mulai menjelaskan. "Bahkan, bayi lebih mungkin mengalami sifilis kongenital saat ibunya memang sudah terinfeksi selama kehamilan ..."
"Sipilis kontinental itu apa?" tanya Amara semakin cemas dan gelisah.
Sang dokter tersenyum lembut, sedikit tak tega saat melihat tatapan Amara. Jadi, dia merendahkan suaranya saat menjelaskan, "Sifilis kongenital itu adalah sifilis pada bayi. Jika tidak diobati, sipilis itu bisa menyebabkan keguguran atau kematian segera setelah bayi lahir. Atau, bisa juga menyebabkan komplikasi yang bisa dialami oleh bayi hidup, seperti: gangguan pendengaran, pembengkakan hati dan limpa, kelainan batang hidung dan bagian tulang lainnya, atau gangguan otak."
Wajah Amara berubah pucat, ketakutan yang menjadi-jadi semakin merayap hatinya. Dan reaksi panik itu rupanya tertangkap oleh sang dokter, karena dokter itu kembali berbicara.
"Maaf, Teteh ... apa si Teteh memang terinfeksi sifilis?"
Amara menelan ludah dengan susah payah. Lalu menggelengkan kepala. "Nggak tau," kata Amara dengan suara tersendat.
"Kalau belum tahu terinfeksi atau enggak, kenapa harus takut?" kata sang dokter dengan perlahan. "Bukan sebaiknya nyari tahu dulu untuk mastiin apa si Teteh emang kena sipilis atau enggak?"
"Caranya gimana?"
Dokter itu tak tahu apakah dia harus tertawa atau bersimpati karena pasien di hadapannya itu tampak benar-benar tak mengetahui tentang apa yang dia tanyakan.
"Gini, Teh," kata sang dokter dengan sabar. "Di Puskesmas ini kan peralatannya belum lengkap untuk nyari tau apakah si Teteh memang terinfeksi sifilis atau enggak. Tapi, Teteh bisa dateng ke rumah sakit yang punya fasilitas lengkap, atau datang ke Pr*dia—jaringan laboratorium kesehatan, yang udah jelas punya alat untuk deteksi berbagai macam virus, bahkan bisa memastikan kondisi janinnya."
Secercah harapan muncul dari sorot mata Amara. Benar apa yang dikatakan sang dokter, dia tidak bisa berasumsi bahwa dirinya mengidap penyakit tersebut hanya berdasarkan ucapan Fabian yang mengatakan bahwa pria itu 'kemungkinan' tertular sifilis dari Amara.
"Nanti bilang ke dokternya mau periksa apa?" tanya Amara lagi dengan polosnya, karena dia meyakini bahwa orang yang malu bertanya akan sesat di jalan.
"Sebenarnya, saya pengen merekomendasikan supaya si Teteh sekalian aja tes TORCH," kata sang dokter, memuaskan keingintahuan Amara. "Biayanya memang sedikit mahal. Tapi, tes TORCH ini tujuannya emang untuk mendeteksi penyakit atau infeksi pada ibu hamil supaya bisa mencegah komplikasi pada si bayi ..."
Sang dokter tersenyum lembut ketika melihat antusiasme Amara yang tampaknya tertarik. Lalu, dokter itu kembali melanjutkan, "Istilah TORCH ini singkatan dari Toksoplasmosis, Other diseases—penyakit-penyakit menular kayak Sifilis, HIV, Hepatitis B. Rubella, Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes."
"Itu udah satu paket semuanya?" tanya Amara dengan sedikit kelegaan yang selama membuatnya takut.
"Iya, tapi mahal."
"Berapa?"
"Setiap rumah sakit biasanya memasang harga bervariasi," balas sang dokter. "Mulai dari 250 ribu, hingga tiga juta-an. Tergantung pemeriksaan apa saja yang dilakukan. Tapi, semua hasilnya akan seimbang jika memang bisa mencegah kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan."
Ketika Amara mengangguk mengerti, sang dokter tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menulis resep obat pada secarik kertas.
"Tapi, si Teteh bisa tes-nya nanti pas usia kandungan 18-20 mingguan. Siapa tau mau sekalian USG buat liat jenis kelamin bayinya 'kan?" kata sang dokter. "Buat sekarang, saya resepin asam folat, obat untuk ngurangi mual sama pusing ... Ah, ada riwayat pernah keguguran nggak sebelumnya? Kalau ada, saya resepin vitamin penguat kandungan. Kalau nggak ada di sini, bisa dicari di apotik lain nantinya."
"Ngga ada, Bu dokter," kata Amara yakin dengan segaris senyum yang terukir di bibirnya. "Ini kehamilan pertama."
"Wah, kalau kehamilan pertama biasanya dinanti-nanti pasangan pengantin baru," komentar sang dokter masih sambil menggulirkan pulpen di atas kertas. "Pasti seneng ayahnya."
Senyum Amara lenyap seketika. Sekali lagi rasa sakit menghantam ulu hati Amara mendengar ucapan terakhir sang dokter, yang jelas-jelas tidak tahu seberapa kuat kalimat tersebut membuatnya tertusuk.
Apakah dia harus mengabari Fabian? Apakah pria itu akan bereaksi seperti yang sekarang dirasakan Amara? Atau, apakah pria itu akan percaya bahwa dia mengandung anaknya?
Terutama ketika teringat percakapan terakhir Fabian sebelum pria itu menjatuhkan talak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments