Bab 7

Sementara jauh dari Amara, Bian masih memikirkan siapa tamu yang datang mengunjungi Amara. Entah mengapa, melihat keakraban ibu Amara dan mereka saat berinteraksi, hal itu membuat Bian sedikit tak nyaman.

Hingga malam hari, Bian tak tahu apa yang membuatnya gelisah dan tak keruan. Mungkin karena dirinya yang masih ingin bersama bayi itu, sementara Amara ingin dia pergi.

Mungkin juga karena keberadaan pemuda itu di rumah Amara yang membuat Bian sedikit kesal. Atau, mungkin karena perubahan sikap Amara yang dengan terang-terangan menunjukkan bahwa wanita itu sangat membencinya.

Ketika Bian baru saja pulang dari masjid bersama Alif selepas shalat isya, dia membiarkan Alif makan malam lebih dulu bersama Mirna— kakak perempuan Bian.

Sementara Bian sendiri memilih masuk kamar dan mengambil ponsel untuk menghubungi Amara, berharap wanita itu belum tidur di jam setengah delapan malam seperti sekarang.

__

Masih memandangi wajah bayinya dengan tatapan campur aduk, antara bahagia, tak menyangka dan suka cita— Amara nyaris tak mendengar ponselnya yang terus bergetar di atas meja rias.

Malam Minggu ini dia memang tidak tidur sendiri, tetapi bersama dua adik perempuannya, juga putrinya yang baru berusia satu hari, tentu saja.

Amara masih memikirkan ucapan Zack tentang keinginan pria itu untuk mempersuntingnya, yang bersikeras mengatakan bahwa anak Amara tak akan menjadi penghalang bagi mereka untuk menikah.

Tak peduli Amara sudah dua kali menikah, dan sekarang ditambah keadaannya yang memiliki bayi, Zack tetap tak mengurungkan niatnya untuk menikahi dia.

Mungkin karena sejarah asmara remaja yang pernah terjalin antara mereka, yang membuat Zack tampaknya bertekad untuk tidak kehilangan Amara, sekali lagi.

"Teh, eh ... itu ada yang nelpon," kata salah satu adik Amara sambil menunjuk ke arah meja rias.

Amara menoleh dan melihat lampu indikator berwarna hijau terus berkelap-kelip disertai getaran, sengaja tak memasang nada dering karena khawatir akan mengganggu.

Dia mencondongkan punggung, lalu meraih ponsel tersebut dan melihat sederet nomor asing menghubunginya. Sejenak dia menimbang-nimbang apakah harus menjawab panggilan tersebut meski dia tak mengenali nomornya?

Amara berpikir, si penelepon kemungkinan adalah orang yang akan memesan kue, karena dia mencantumkan nomor telepon pada postingan di sosial media.

Terlebih lagi, akhir-akhir ini begitu cara Amara kebanjiran pesanan kue, hingga kedua adiknya ikut terlibat untuk membantu, karena dia yang tak bisa bekerja dengan maksimal.

Amara langsung menekan tombol jawab dan menempelkan ponsel di telinga kirinya sambil berkata, "Hallo, selamat malam."

"Selamat malam bundanya anakku." Suara Bian dari seberang panggilan terdengar mengalun lembut. Sambil diiringi tawa kecil yang tak asing di telinga Amara, Bian kembali berkata, "Enak amat sambutannya, kayak lagi nelpon operator—"

"Ish! Apaan sih? Kalau tau kamu yang nelpon, aku nggak akan jawab!" gerutu Amara kesal. "Mau ngapain nelpon malem-malem?"

Hening sejenak, Lalu Bian kembali menyahut, "Belum malem-malem banget. Baru setengah delapan. Kamu lagi apa?"

"Mau tidur!" sahut Amara ketus.

"Anakku lagi apa?"

"Nyuci, nyetrika! Nggak mungkin kan dikerjain sama bayi yang berumur satu hari? Dia lagi tidur!"

Hening lagi sejenak, kemudian suara Bian terdengar semakin lembut saat membujuk, "Ra, jangan marah-marah terus. Kamunya sendiri nanti yang bakalan ... Ya, ... Bentar."

Amara berkerut suram ketika mendengar percakapan Bian dengan anak kecil, dan menduga kemungkinan itu adalah suara Alif. Entah mengapa, ada rasa yang tak keruan yang tak bisa dijelaskan oleh Amara mendengar bagaimana Bian berbicara dengan anak itu.

Dia menoleh lagi pada bayinya yang terlelap di balik selimut kuning berbulu lembut. Kemudian darah Amara terasa mendidih. Entah apa yang membuat Amara berpikir, bayi itu juga akan mendapat hal yang sama seperti yang dirasakan Amara saat menjadi istri simpanan Bian.

Tentang Bian yang mungkin hanya akan memberikan sedikit waktu dan perhatian pada bayinya, karena sebagian besar waktu Bian pasti sudah dihabiskan bersama Alif.

Memikirkan gagasan tersebut membuat darah Amara mendidih. Jadi, ketika Bian kembali berkata, "Maaf, barusan—"

"Nggak usah hubungi saya lagi. Nggak usah tanya-tanya saya lagi apa, anak saya lagi apa! Nggak usah peduliin apa yang terjadi pada kami. Kami mati atau hidup, kamu ... abisin aja waktu kamu. Dari dulu kamu emang nggak pernah adil—"

"Ra, kamu kenapa makin—"

"Emang iya 'kan kamu nggak pernah adil?" sergah Amara kasar. "Dulu kamu cuma ngasih saya sedikit waktu, hanya bisa sesekali ketemu sesempetnya kamu setelah seneng-seneng sama istri kamu. Sekarang ... anak saya juga mau ngerasain hal yang sama? Harus ngalah karena waktu kamu habis buat Alif!"

Hening lagi, cukup lama. Kemudian terdengar embusan napas Bian yang sedikit berat.

"Tadi kamu nyuruh aku pulang," kata Bian. "Sekarang kamu bilang aku nggak punya waktu buat anakku? Gitu, ya?"

Gigi Amara bergemeretak, sadar memang dia yang menyuruh pria itu pergi.

Dan suara Bian yang masih tenang membuat Amara semakin kesal hingga mengumpat, "anj*ng!"

"Ra, tadi aku udah nanya, kamu mau aku ngapain?" Suara Bian lembut, tetapi tak berhasil mengurangi kejengkelan yang meliputi hati Amara. "Kamu mau aku ke sana lagi sekarang? Aku bisa, Ra. Kalau pun kamu minta aku luangin waktu lebih dari dua puluh empat jam buat anakku, aku bisa, aku sanggup. Dan kalau kamu minta semua waktuku diabisin buat dia, aku bisa, Ra. Aku mau —"

"Terus kenapa dulu sama aku kamu nggak bisa, anj*ng?!"

"Keadaannya yang udah beda, situasinya yang—"

"Nggak usah datang lagi ke sini!" kata Amara ketus.

"Ra ... aku harus apa?"

"Mati, anj*ng!"

Hening untuk waktu yang lama. Kemudian, Amara merasakan ulu hatinya nyeri— karena tak mampu mengendalikan emosi yang bercampur aduk dan meluap-luap dalam hatinya.

Atau mungkin dia tak bisa berpura-pura tidak marah setelah pria itu menyakitinya dengan brutal.

"Apa itu bisa ngobatin rasa sakit yang udah aku buat?"

"Ya!"

"Nggak apa-apa kalau anak kamu nggak punya ayah?"

"Nggak apa-apa!" Amara memekik kesal. "Dia bisa punya ayah yang—"

"Jangan berani-berani gantiin posisiku sebagai ayahnya dengan laki-laki lain, anj*ng!" Untuk pertama kalinya Bian marah hingga membuat Amara tak bisa berkata-kata. "Aku tau aku salah. Aku tau aku udah nyakitin kamu. Tapi sama kayak kamu yang kemarin bilang nggak mau dia diurus oleh wanita lain, aku juga sama! Aku nggak akan terima kalau ada laki-laki lain yang gantiin peranku sebagai ayahnya. Jangan maksa aku untuk nekat ngambil dia dari kamu!"

Terpopuler

Comments

anti sinetron suara hati istri

anti sinetron suara hati istri

ini knp ko gituch yach,pake hewan d sebut"saya paling ilfil kalau bawa"bahasa binatang,bukan contoh yang baik

2025-01-19

2

Maria Mebanua

Maria Mebanua

kata kebun binatangnya bisa dikurangi thor?

2023-10-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!