Meskipun Amara menolak gagasan Bian untuk membelikan pakaian dan berbagai kebutuhannya, tetapi pria itu tetap berjalan masuk ke area kebutuhan wanita sambil mendorong kereta bayi— dan meninggalkan Amara seorang diri yang berdiri tercengang.
Jadi, mau tak mau Amara menghentakkan kaki sambil menggerutu, "Ya udah tungguin!"
Sambil menyeringai puas, Bian berhenti sejenak dan berbalik sambil mengulurkan tangan pada Amara.
"Nah, gitu dong, nggak usah jaim-jaim gitu sama aku," goda Bian dengan seringai jahil.
Kemudian Amara tak menangkis tangan Bian ketika pria itu menggandeng tangan Amara— meremas jemarinya seolah dia sedang menggandeng anak kecil yang khawatir akan tersesat di antara kerumunan orang yang berlalu lalang.
Dulu, Bian bukan tak pernah berkeliling di pusat perbelanjaan bersama istri dan anaknya— Yuanita dan Alif. Hal terakhir yang dia lakukan satu tahun lalu, sebelum akhirnya mereka bercerai di hari yang sama ketika dia menceraikan Amara.
Namun, Bian tahu, pengalaman itu dan sekarang sangat jauh berbeda, tentu saja. Dulu, keharmonisannya dengan Yanti jelas-jelas bukan kehendaknya.
Sekarang, hanya dengan menghabiskan waktu bersama Amara dan Biandra setelah mereka berpisah selama beberapa bulan lalu, tentu saja hal itu membuat Bian terasa seperti sedang berkelana dalam dunia mimpi, dan dia tak ingin mimpi terindahnya ini terlalu cepat berakhir.
Itulah alasan mengapa Bian memaksa agar Amara mau belanja dan membeli barang kebutuhannya, karena dia masih ingin berlama-lama berada bersama Biandra dan Amara— meski statusnya bukan lagi sebagai suami istri seperti dulu.
Amara mengedarkan pandangan pada deretan baju yang menggantung, yang dibatasi partisi untuk setiap brand dan modelnya. Dulu, Amara senang sekali memakai celana jeans ketat dan kaus atau blus sederhana, atau dipadukan tunik di bawah lutut jika dia ingin memakai jilbab.
Namun, semenjak mengandung dan tubuhnya menjadi melar, Amara mendapati dirinya lebih nyaman memakai pakaian longgar, terutama gaun panjang rumahan atau pun daster sekalipun.
Sebagai wanita normal yang jelas-jelas masih muda, terkadang Amara juga ingin berpenampilan modis tanpa mengurangi nilai kesopanan dalam berpakaian, tetapi sayangnya setelah melahirkan, pakaian yang dia miliki sekarang sudah tak lagi muat di tubuhnya.
Mungkin dia harus banyak berolahraga atau menjaga pola makan. Namun, saat ini Amara berpikir mungkin tak ada salahnya juga menerima tawaran Bian untuk membeli pakaian baru.
Lagi pula, saat menjadi suaminya dulu, Bian memang belum pernah membelikan dia pakaian baru 'kan? Memikirkan gagasan tersebut membuat Amara menyeringai jahat saat melihat brand-brand pakaian mahal yang sejak awal sudah mencuri perhatiannya.
"Aku pengen yang itu, Om," kata Amara tanpa banyak berpikir dan menunjuk pada gaun biru muda menjuntai yang terpajang pada manekin.
Ketika Bian mengikuti arah pandang Amara, wanita itu menunjukkan pada deretan pakaian lain sambil menambahkan, "Celana jeans juga."
"Ya udah ambil aja," kata Bian enteng, lalu mengedikkan kepala pada pramuniaga yang menyambut mereka. "Minta ukurannya yang sesuai, terus kamu cobain."
"Tapi sama baju tidur juga," ujar Amara dengan senyum kaku. Sebelum Bian bisa berkomentar, Amara kembali menambahkan, "Sama baju atasan juga, ya?"
"Ambil semua apa yang kamu pengen, Sayang." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Bian dengan suara dan sikap memanjakan.
Kemudian, Bian mengedarkan pandangan ke sekeliling, berpikir ada barang lain yang mungkin terlewatkan oleh Amara.
Ketika pandangan Bian tertuju pada area yang menjual pakaian dalam, dia kembali menoleh pada Amara, dan tiba-tiba tersenyum jahil sambil berkata, "Ra, beli itu juga ..."
Amara kemudian mengikuti ke mana Bian melirikkan matanya. Saat dia menyadari yang ditunjukkan Bian adalah lingerie transparan berwarna merah menyala, pipi Amara tiba-tiba langsung merona dan terasa panas. Dia tahu benar itu adalah baju terkutuk itu pastinya cocok dipakai seorang istri untuk memanjakan suaminya.
"Apaan sih!" gerutu Amara sambil memelototi Bian, tetapi dia tak bisa menyembunyikan rona malu yang terpancar di wajahnya.
Bian menahan diri agar tidak tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi Amara yang sedikit salah tingkah.
Namun, tentu saja dia juga tak ingin membuat Amara malu di depan pramuniaga dengan membahas tentang lingerie transparan tersebut — yang kemungkinan akan cocok di tubuh Amara.
Kemudian sensasi aneh tiba-tiba merayapi tubuh Bian, terutama ketika benaknya dipenuhinya bayangan tentang malam-malam penuh gairah yang pernah dia lewati bersama Amara.
Bian menahan tawa tercekik, menyadari bahwa dia sangat merindukan bercinta dengan Amara. Jika dulu dia selalu bisa memaksakan kehendaknya hingga membuat Amara tak bisa menolak untuk bercinta dengannya, sekarang gagasan itu sepertinya sedikit sulit.
Terutama setelah mendengar Amara dengan menggebu-gebu meluapkan penyesalan dan rasa sakit yang pernah dia timbulkan.
"Om, aku cobain bajunya dulu, ya?" tanya Amara setelah pramuniaga memberikan pakaian dalam ukuran yang diminta Amara.
Pertanyaan Amara berhasil membuyarkan lamunan Bian dari memikirkan tentang bercinta dengan Amara.
Ketika satu-satunya reaksi yang diberikan Bian adalah anggukan kecil, Amara menambahkan, "Awas aja kalau kamu kabur bawa Biandra saat aku lagi di kamar pas."
"Nggak akan atuh, Ra. Aku nggak sekonyol itu juga," ujar Bian sambil terkekeh geli.
Sementara Amara pergi mencoba pakaiannya, Bian memutuskan untuk berjalan-jalan santai sambil mengasuh Biandra. Lalu, ketika tatapannya tertuju pada gerai yang menjual aksesoris dan perhiasan emas, lagi-lagi yang terpikirkan oleh Bian adalah bayangan Amara yang tak pernah terlihat memakai benda-benda itu.
Bohong jika tujuan Bian ke sana hanya untuk mengajak Amara untuk memanjakan Biandra. Faktanya, memanjakan Amara dan melihatnya tersenyum juga menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Bian— mengingat wanita itu sudah cukup banyak terluka oleh perlakuannya.
Bian tahu, entah seberapa banyak jumlah uang yang bisa dia keluarkan, mungkin memang tak akan bisa menebus rasa sakit di hati Amara— dan dia tak berniat menjadikan harta yang dimilikinya sebagai alat transaksi untuk menyembuhkan sebuah luka.
Kendati demikian, Bian memutuskan untuk tetap berderap ke toko perhiasan tersebut— lalu membeli beberapa set aksesoris emas putih dengan kandungan emas tujuh belas karat.
Dia tak berniat memberikan itu sekarang pada Amara, mungkin akan menjadi hadiah pernikahan bagi Amara dan Zack— meski rasanya sulit membayangkan Amara bersanding dengan pria lain.
Namun, mengingat ucapan penuh keputusasaan Amara beberapa jam lalu saat berkata, 'Aku nggak mau sakit hati lagi. Aku capek. Aku pengen bahagia sebentar. Kamu ngerti nggak?'
Mungkin memang benar, Bian harus memberi kelonggaran pada wanita itu untuk memilih bahagia versi dirinya sendiri.
Bian tak berlama-lama di toko itu dan langsung kembali pada Amara yang kemungkinan sudah selesai mencoba pakaiannya. Ketika Bian kembali, mendapati Amara tampak bermuram durja saat melihat dirinya dan Biandra.
"Dari mana sih?" gerutu Amara yang langsung menghampiri Bian dan Biandra. "Kamu mah bikin aku panik terus tau nggak?"
"Kenapa? Takut aku nggak muncul saat mau bayar belanjaan?" goda Bian jahil.
"Bukan! Tadi kan aku bilang, kamu jangan coba-coba pergi bawa Biandra saat aku di kamar pas," kata Amara murung. "Kan bener dugaanku, kamu malah nggak ada waktu aku selesai nyobain—"
"Aku sama Biandra nggak pergi ke mana-mana, Amara sayang," tukas Bian, mencoba menenangkan saat melihat Amara benar-benar tak bisa menyembunyikan kepanikannya. "Kamunya yang terlalu khawatir berlebihan kayak—"
"Gimana nggak khawatir, kamu baru nyulik Biandra tadi siang," protes Amara.
"Iya, iya ... maafin, aku lupa." Nada bicara Bian sedikit tak berdaya. Kemudian dia berupaya untuk mengalihkan topik pembicaraan dengan berkata, "Udah cocok bajunya?"
"Udah. Tinggal kamu bayar." Amara mengerucutkan bibir. "Sekarang aku lapar, pengen makan."
"Udah puas belanja baru nyadar kalau kamu butuh makan?" Bian mengulangi sambil terkekeh geli. "Mau makan apa?"
Amara terdiam sejenak, memikirkan apa yang dia inginkan. "K*C aja deh yang tadi kita lewatin di lantai bawah," kata Amara akhirnya. "Biar nggak usah berhenti lagi di perjalanan juga kan? Udah jam delapan malem, aku pengen istirahat. Si Biandra juga pasti kecapean dari tadi dibawa keliling terus."
Jadi, mereka buru-buru pergi ke restoran cepat saji tersebut setelah Bian menyelesaikan pembayaran apa yang dibeli Amara.
Sementara Bian memesan makanan, Amara berjalan menuju meja di sudut ruang sambil mendorong kereta bayi.
Ketika dia baru saja akan duduk, tiba-tiba terdengar suara tak asing yang berseru, "Amara?"
Amara langsung menoleh ke arah suara, lalu menyadari bahwa orang yang memanggilnya adalah ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments