"Coba dari dulu kamu nikah lagi, pasti anak kamu sekarang udah gede. Lah, ini mah umur udah tiga puluh sembilan, kamu baru punya—"
"Bisa diem nggak sih, Na? Berisik banget dari tadi," tegur Bian pada Mirna, kakak perempuannya yang menimang-nimang Biandra sambil menguliahi Bian sejak dua jam lalu.
"Aku dateng ke sini buat ketemu Alif sekaligus pamerin anak perawanku, bukan butuh diceramahin. Udah padet kupingku dari tadi sama ceramahmu."
"Uh, aduh duh … jangan dengerin bapak kamu, ya …" Ejekan Mirna terputus ketika mendongak pada Bian yang berdiri di ambang pintu dan baru selesai menjawab telepon. "Ini seriusan, manggilnya 'Bian'?"
"Ya, iyalah, orang aku bilang namanya udah jelas 'Biandra Faradisa'," gerutu Bian sambil melangkah ke kursi di mana kakak perempuannya duduk menggendong Biandra. "Kan nggak lucu kalau harus dipanggil dengan sebutan 'Ndra'. Dia cewek, bukan cowok!"
"Siapa tau kan mau dipanggil 'Rara, Fara, atau Disa'. Manggil 'Bian' itu udah kayak almarhum mama sama bapak manggil kamu waktu kecil tau."
"Manggil Disa ntar ujung-ujungnya jadi Icha. Lebih parah kalau dia udah dipanggil 'Chacha'. Ah, bundanya dia udah bagus namain …"
Bian menghentikan kalimatnya ketika terpikirkan Amara. Setelah menerima telepon dari Zack yang dengan lancang mempertanyakan mengapa dia membawa Biandra, entah mengapa Bian ingin sekali mencekik calon suami Amara itu.
Dia tahu dirinya memang salah karena pergi diam-diam. Semua itu karena dirinya tak tahan melihat Amara berbicara dengan pria lain. Terutama nada bicara Amara yang mengalun lembut, seperti dulu ketika mereka masih berumah tangga.
Harus diakui, Bian amat sangat merindukan sikap Amara yang seperti itu padanya. Semenjak mereka bertemu satu minggu lalu, tingkah manja dan segala tingkah laku Amara benar-benar berubah drastis.
Kendati demikian, meskipun Amara memandangnya seperti musuh yang tak berhak mendapat pengampunan, tetapi tetap saja hal itu tak mengurangi besarnya rasa cinta Bian yang terpatri dalam hati, hanya pada Amara.
Mungkin karena wanita itu memang berbeda. Dan kehadiran Biandra jelas menyuburkan rasa cintanya semakin besar— karena jelas wanita itu bisa memberikan apa yang tidak bisa diberikan wanita lain.
Sekalipun itu adalah Tiara, mantan kekasih yang pernah mengandung anaknya— meski sang buah hati tak pernah lahir dan mereka tak ditakdirkan bersama.
Jadi, ketika melihat dan memikirkan Amara akan menikah dengan Zack, ulu hati Bian seolah dihantam ghada. Rasanya luar biasa nyeri, dan jauh lebih buruk daripada ketika dia menyaksikan video panas Yuanita dan pria selingkuhannya.
Memikirkan Amara dan Zack membuat Bian jengkel, terutama setelah dia mengirimkan pesan berisi alamat kakaknya. Mana mungkin dia mau melihat Amara datang bersama pria terkutuk itu?
Akhirnya Bian kembali mengeluarkan ponsel dari saku celana, kemudian menggerakkan jemari dan mengetik pesan.
To: MTS (Datengnya ke Heritage Villa III aja. Tapi, jangan harap aku bakal bukain pintu kalau kamu datang sama cowok itu.)
____
Lutut Amara sedikit gemetar ketika ojek yang dia tumpangi berhenti di depan villa tempat terakhir kali dia dan Bian bertemu, tempat di mana Bian mengukir luka luar biasa yang hingga detik ini sulit dia lupakan.
Bahkan, ketika penjaga villa membuka pintu gerbang menjulang tinggi, yang tampaknya Bian sudah memberitahu akan kedatangan Amara, dia masih kesulitan mengendalikan diri saat kembali teringat ucapan Bian ketika menjatuhkan talak.
Amara menghela napas dalam-dalam ketika melihat Fortuner hitam mengilap terparkir di pelataran villa yang membentang luas.
Setelah berhasil mengendalikan emosi yang tiba-tiba menggelegak dalam hati, akhirnya dia mempercepat langkahnya menjajaki teras marmer yang mengilap.
Saat melewati deretan empat pilar tinggi, dari kaca jendela yang membentang dia melihat sosok Bian berdiri sambil menimang-nimang Biandra. Sudah dapat dipastikan bahwa pria itu memang sedang menunggunya.
Jadi, Amara segera masuk melewati daun pintu bergandengan yang terbuka lebar.
"Selamat datang, Bundanya Biandra," sambut Bian dengan senyum hangat ketika Amara baru saja masuk. "Kamu nggak datang sama pria laknat itu 'kan?"
"Jaga mulut kamu," sahut Amara dingin, sedingin kepalan tangannya yang mulai berkeringat akibat sedikit kesulitan mengendalikan gejolak emosi. "Dia nggak lebih laknat daripada kamu."
"Yang jadi pertanyaan saya, Amara mana yang mau pria itu nikahi?" tanya Bian ketika Amara berjalan mendekat, tampak ingin merebut Biandra dari pelukan pria itu.
Ketika langkah Amara terhenti di jarak dua meter, Bian menambahkan dengan tenang, "Amara si gadis lemah lembut yang dia kenal di masa lalu, atau sisi lain dari seorang Amara yang kamu sembunyiin dari semua orang? Mengingat kamu pernah bilang kalau si Zack itu anaknya pemilik madrasah, aku yakin kamu nggak bener-bener terbuka tentang siapa diri kamu …"
Saat Amara tampak mencerna kalimatnya, Bian kembali melanjutkan, "Perlu kamu tau, semakin seorang pria itu ngerasa dirinya suci, makin tinggi juga kriteria calon istri yang dia inginkan. Bahkan, nggak sedikit cowok ngerasa kecewa kalau dia nemuin sesuatu yang nggak pernah dia tahu, terus seandainya dia tau kalau kamu pernah menjadi wanita malam—"
Ucapan Bian terputus ketika Amara langsung melangkah cepat dan melayangkan tamparan keras di pipinya.
Sepersekian detik berikutnya, Bian melihat Amara Amara menggigil gemetaran— sementara wajah wanita itu merah padam, semerah manik matanya yang kini mulai digenangi air.
"Udah cukup kamu hina aku!" Amara bahkan bisa mendengar suaranya cukup bergetar, sama halnya dengan seluruh tubuh Amara yang kini semakin gemetaran diselimuti rasa sakit yang menggunung menjadi luapan emosi.
"Seenggaknya, Zack nggak tau sisi terburukku. Dia nggak akan hina aku seperti yang kamu lakuin enam bulan lalu," lanjut Amara dengan susah payah.
Kemudian tangannya terangkat menunjuk pada sofa yang posisinya masih sama seperti beberapa bulan lalu.
"Di sana, kamu nuduh aku udah nularin penyakit seksual yang bahkan aku baru denger namanya. Di sofa itu, kamu sedikit pun nggak mau peduliin aku yang nggak mau cerei sama kamu … kamu nggak gubris saat aku bilang kalau kamu nggak adil nyerein aku gitu aja."
Ketika Bian membeku melihat wajah Amara berurai air mata, wanita itu kembali berkata dengan suara terpatah-patah, "Di sofa itu kamu nggak cuma ngancurin hati saya, tapi juga berhasil ngancurin mimpi tentang kebahagiaan yang baru mau saya bangun."
Amara tak tahu sejak kapan pipinya basah oleh air mata, tetapi dadanya terasa dihimpit batu besar hingga napasnya begitu sesak.
Kendati demikian, meski dengan terisak-isak menahan nyeri, tetapi Amara tetap melanjutkan, "Kamu nggak pernah tau apa dampak dari tuduhan tentang penyakit itu. Aku nyampe takut bakalan nularin penyakit itu ke anakku. Setelah tau hasil tes menunjukkan kalau aku sehat, nggak punya penyakit menular apa pun, aku nanya ke petugas medis gimana cara penularan penyakit itu. Katanya, itu akibat dari ketidaksetiaan pasangan. Terus aku sadar, hanya dua orang yang pernah berhubungan denganku tanpa pengaman …"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments