Bab 16

"Kamu beli makanan cuma maunya doang," kata Bian dengan sedikit tak senang. "Itu jajanan sebanyak itu masa cuma buat diliat doang sih, Ra? Makan lagi atuh jajanannya."

Amara hanya meninggikan bahu untuk menanggapi ucapan Bian.

Sambil mengemudikan mobil setelah melewati kawasan yang membuat lalu lintas terhambat, Bian kembali berupaya membujuk dengan lembut, "Katanya tadi laper? Masa makan sebutir mochi doang langsung bilang kenyang? Nggak enak?"

"Bukan nggak enak," kata Amara pelan. "Tapi nggak nafsu."

Sesungguhnya, saat Amara menggigit sebutir mochi rasa durian dalam boks kecil yang terbuat dari anyaman bambu itu, sebenarnya dia hanya merasakan dirinya seolah menelan serpihan gergaji.

Saat itu, Amara tengah berupaya untuk menyusui Biandra, tetapi si bayi tampak sedikit rewel. Hal itu berhasil membuat Amara gelisah hingga duduknya sedikit tak karuan dan tak nyaman.

"Kamu kenapa sih, De?" Amara bergumam murung sambil berupaya mengarahkan putik pay*daranya pada bibir mungil si bayi. "Ayo atuh mimi dulu, jangan bikin Bunda cemas coba."

"Bunda sayang, kamunya juga harus tenang," kata Bian ketika melihat ekspresi panik di wajah Amara, sementara mata wanita itu jelas-jelas masih sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. "Mau keluar dulu nyari tempat istirahat sekalian nyari makan? Atau gentian aku yang gendong?"

Amara melirik Bian, lalu mendapati raut wajah pria itu juga sedikit berubah, tampak begitu peduli sekaligus khawatir, dan Amara sedikit kesal karena Bian masih saja membujuk dia untuk makan.

"Kamu dari tadi maksa terus buat makan," gerutu Amara dengan suaranya yang sengau. "Dibilang akunya nggak nafsu."

"Tapi kan kamu ibu menyusui, Sayang," Bian masih mempertahankan suaranya terdengar lembut. "Kamu perlu makan, perlu banyak nutrisi supaya kualitas ASI- nya bagus. Katanya sayang sama Biandra, tapi makan aja nggak mau?"

Tampaknya kalimat terakhir Bian berhasil membuat Amara berpikir. Lagi-lagi pria itu tahu benar bahwa Biandra adalah hal terpenting bagi Amara, karena wanita itu kini menatap Bian tanpa ekspresi.

Meski wanita itu tidak berkata apa-apa, tetapi Bian tahu bahwa Amara mempertimbangkan ucapannya. Dan dia tak ingin membuang kesempatan untuk bisa berlama-lama bersama Amara dan putrinya, kesempatan langka bagi Bian bisa berjalan dengan wanita itu layaknya keluarga kecil yang sempurna.

Jadi, ketika seharusnya mobil mereka berbelok ke pertigaan menuju kampung Amara, Bian menambah kecepatan laju mobil dan melewati jalanan tersebut begitu saja.

"Eh, kok dilewatin sih?" Akhirnya kalimat tersebut meluncur begitu saja dari bibir Amara ketika menyadari Bian bersikap menjengkelkan dengan sengaja mempercepat laju mobilnya. "Mau ke mana?"

"Jalan-jalan sebentar, ya? Mumpung kamu keluar—"

"Tapi ini bentar lagi maghrib," protes Amara sedikit tak senang.

"Kamu kan lagi nggak sholat, Sayang," sahut Bian tenang sambil menyunggingkan senyum tipis, tentu saja itu hanya alasan belaka. "Nyari tempat makan yang enakan dikit. Biar nggak bosen juga kan si Biandra di rumah terus?"

"Bayi seminggu mana ada ngerti kalau dia di rumah terus?" Alis Amara sedikit berkerut, kemudian kelegaan merayapi relung hatinya ketika Biandra mulai mau menyusu.

"Nah, kan, itu anak aja diem saat denger aku mau ajak dia jalan-jalan." Bian mengulum senyum meski tatapannya fokus ke depan jalan.

"Banyak alasan kamu," komentar Amara datar.

Amara tahu, dia tak bisa membantah karena jalan menuju rumah Amara sudah terlewati cukup jauh. Jadi, dia kembali membisu dan berupaya rileks sambil menepuk-nepuk lembut tubuh bayi dalam pangkuannya.

"Kapan lagi bisa jalan bawa anakku sama Bundanya? Momen langka."

Amara hanya bergumam kecil sambil memutar bola mata. Ketika dua puluh menit kemudian Bian mengarahkan mobil memasuki parkiran pusat perbelanjaan di jalan Ahmad Yani, Amara memberengut suram dan menoleh pada Bian.

"Ngapain ke sini?" tanya Amara ketika Bian mengedarkan pandangan untuk memarkirkan mobil di depan gedung Cit*m*ll.

"Nyari mainan buat Biandra ..."

Bian menggantung ucapannya, tahu bahwa itu adalah gagasan konyol yang langsung mendapat protes dari Amara saat berucap, "Anaknya aja masih dibungkus kain bedongan. Mana ada anak se—"

"Nyari stroller, baby walker, car seat, baby bouncer ... mm ... Biandra belum punya itu semua, bahkan nggak ada tempat tidur sendiri 'kan?"

Bian tahu Amara tak akan membantah, dan anggukan samar wanita itu membuat Bian menyeringai penuh kemenangan. Lalu, kemudian dia dengan penuh semangat turun dan mengitari mobil untuk membantu Amara dan menggendong Biandra.

Tak lama kemudian ekspresi wajah Amara berubah berseri-seri saat memasuki departemen yang khusus menjual keperluan bayi— seolah baru saja dibawa ke istana di mana dirinya bisa bersenang-senang di dalamnya.

Awalnya Amara ragu ketika Bian membawa dirinya ke sana, tetapi saat di hadapannya terlihat berbagai kebutuhan bayi yang menggemaskan— sejenak Amara lupa bahwa dia dan Bian baru saja bertengkar hebat.

Jika sudah melihat Amara seperti itu, mana bisa Bian menolak benda apa saja yang ditunjuk Amara untuk Biandra?

Namun, barang pertama yang diambil Bian adalah stroller dan selimut bayi berbulu lembut. Bian bahkan tak peduli dengan reaksi beberapa pramuniaga yang tersenyum geli ketika dia melucuti bandrol dengan barcode di stroller dan selimut, lalu memberikan pada pramuniaga.

Lalu, kemudian dia membaringkan tubuh kecil si bayi dan menyelimutinya, karena tak ingin membuat Amara kelelahan dengan menggendong Biandra— sementara mereka memilih peralatan bayi lainnya.

Sambil mendorong kereta bayi, Bian tersenyum kecil mengamati Amara ketika mereka memasuki bagian pakaian bayi.

"Bagusan yang kuning apa biru?" tanya Amara sambil mengangkat kedua gaun berukuran dua jengkal dan menunjukkan pada Bian.

"Ambil aja dua-duanya kalau kamu suka," kata Bian dengan senang hati, kemudian melirik gaun bayi merah muda dengan bentuk dan model sama yang seperti yang ditunjukkan Amara. "Itu yang pink juga bagus."

"Tapi aku nggak suka warna pink," balas Amara sambil meninggikan bahu.

"Kan yang make bukan kamu, Bunda ... tapi Biandra," komentar Bian hati-hati. "Yang nggak kamu sukai, bukan berarti nggak akan bagus kalau dipakai Biandra 'kan?"

Amara tersenyum kaku, lalu mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Bian.

"Jadi bagusan yang pink, biru, apa kun—"

"Aku bilang ambil semua yang menurut kamu bagus, Sayang," tukas Bian buru-buru ketika Amara tampaknya terpaku sejenak— seolah sedang mengkalkulasi angka-angka yang tertera pada bandrol.

Jadi, Bian segera menyambar apa yang baru saja dipegang Amara dan menyerahkan pada pramuniaga lain yang masih mengikuti mereka. Begitu pula yang dia lakukan selanjutnya ketika Amara memilih kebutuhan lain, bahkan hingga mainan terkecil.

Mungkin Amara juga lupa beberapa saat lalu dia mengomentari tentang gagasan Bian yang ingin mencarikan mainan untuk Biandra.

Faktanya, Amara sendiri gelap mata ketika melihat benda-benda di sana memang ditujukan khusus untuk bayi. Terutama ketika Amara tahu bahwa putrinya memang tak memiliki benda-benda yang sekarang dibelikan Bian.

Sewaktu hamil dan berpikir dirinya hanya seorang single parent, Amara hanya membeli pakaian dan kebutuhan bayi seperlunya saja. Bukan berarti dia pelit pada bayinya sendiri, tetapi semua itu dia lakukan karena tahu harus menghemat pengeluaran dan menyimpan tabungan untuk bekal setelah dia melahirkan.

Jadi, ketika Amara bisa membeli apa yang sebelumnya dia inginkan untuk Biandra— seperti kebanyakan orang tua lain yang mampu memenuhi kebutuhan putri pertamanya, tentu saja hal itu menjadi penghiburan luar biasa.

Bahkan, jika sewaktu keluar dari villa dirinya merasa terlalu lelah meski hanya untuk berbicara, tampaknya hal itu tak berlaku saat ini. Terutama karena itu menjadi pengalaman pertama bagi Amara bisa membeli kebutuhan bayi— tanpa harus menghitung seberapa banyak uang yang akan dikeluarkan.

Setelah merasa cukup dengan apa yang dia pilih, mereka beranjak ke counter pembayaran. Barulah saat itu Amara melihat seberapa banyak barang yang mereka beli. Mulai dari ranjang bayi yang terbuat dari kayu bercat putih yang dilengkapi kelambu, baby walker, baby swing, bak mandi, matras, mainan, dan segala ***** bengek hingga jepit rambut bayi yang sebesar ukuran peniti.

Amara tahu, tempat tidur bayi yang berukuran besar itu memang dikemas dalam dus dan perlu dirakit saat mereka di rumah. Namun, bukan itu yang menjadi pikiran Amara saat ini, tetapi melihat struk belanjaan panjang di yang keluar dari mesin kasir, hal itu membuat Amara berpikir bahwa barang yang mereka beli memang terlalu banyak.

Amara menoleh dan mendongak menatap Bian. "Nanti kita pulangnya bawa barang sebanyak ini? Emang ini bakalan cukup di mobil kamu? Kok kayak orang mau pindahan, ya? Kirain aku nggak akan banyak kayak gini."

Bian menaikkan alis ketika melihat ekspresi penyesalan yang terpancar dari sorot mata Amara. Lalu, dengan lembut dia mengusap puncak kepala Amara sambil berkata, "Kamu terlalu banyak mikir ini itu. Udah jangan mikir yang nggak seharusnya kamu pikirin. Biar nanti karyawanku yang datang ke sini buat bawa pulang barangnya."

Tampaknya ucapan itu membuat Amara puas, tetapi ketika mendengar petugas kasir menyebutkan nominal harga pembelanjaan, Amara sedikit kesulitan bernapas beberapa saat.

Jadi, dia hanya mengamati Bian memberikan kartu pada petugas kasir, yang kemudian menggesek kartu tersebut ke mesin electronic data capture— EDC sebelumnya akhirnya pria itu memasukan pin.

Setelah menyelesaikan transaksi pembayaran dan Bian kembali mendorong kereta bayi, Amara tiba-tiba berkata dengan gumaman penuh sesal, "Maafin, ya?"

Bian sedikit terkejut mendengar ucapan Amara, lalu dia menatap Amara dengan heran sambil bertanya, "Apa yang perlu dimaafin, Ra?"

"Uang kamu abis banyak," gumam Amara sambil kembali menunduk sementara mereka keluar dari area kebutuhan bayi.

Bian sedikit tak senang mendengar ucapan Amara, tetapi nada bicara Bian tetap tenang ketika menyahut, "Kamu ngomong gitu kayak aku bukan ayahnya Biandra aja. Emang aku pernah perhitungan, ya, sama kamu?"

"Bukan gitu," balas Amara kaku. "Tapi barusan—"

"Jangan bahas-bahas uang, ah ...," tukas Bian buru-buru. "Buat anak sendiri nggak ada salahnya kan? Lagian ini pertama kalinya juga aku beliin sesuatu buat anakku."

Kemudian Amara tak mengomentari lagi ucapan Bian. Namun, ketika mereka melewati area yang menjual pakaian dan kebutuhan wanita, Bian tiba-tiba berkata, "Bundanya Biandra nggak mau beli sesuatu?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!