Bab 12

Biandra Faradisa— akhirnya itu yang dipilih Amara untuk menamai bayi perempuannya.

Selain karena nama bayi sebelumnya memiliki arti yang menyangkut masa lalu Bian tentang 'Tiara', Amara juga cukup menyukai nama Biandra yang dalam bahasa latin memiliki arti ceria, menggemaskan.

Awalanya, dia sempat terpikir untuk menggabungkan nama depan Bian, Fabian, dan dua huruf terakhir yang diambil dari nama Amara sendiri, menjadi susunan nama Fara.

Namun, Amara tak ingin Bian menjadi besar kepala atau berpikir yang tidak-tidak karena nama tersebut. Akhirnya dia memutuskan untuk memilih Faradisa, yang dalam bahasa Arab berarti surga firdaus.

Bahkan, nama itu pun nyaris menyerupai 'paradise' yang dalam bahasa Inggris pun memiliki arti yang sama, surga.

Akan tetapi, walaupun Amara sudah memberitahu Bian alasan dia memilih nama tersebut, tetapi tetap saja komentar yang terucap dari Bian adalah, "Itu hakmu. Kamu yang mengandung dan ngelahirin dia. Terserah nama apa yang mau kamu kasih ke dia."

Namun, Amara tampaknya lupa bahwa Bian bukan orang bodoh. Bian tahu benar nama Biandra diambil dari namanya sendiri, dan Tuhan tahu bahwa 'Bian' adalah nama panggilan yang disebut-sebut almarhum orang tua Bian padanya.

Bahkan, terbersit dalam hati kecil Bian bahwa Amara menggabungkan nama mereka berdua pada bayinya menjadi Bi and Ra. Akan tetapi, Bian menangkis pikiran tersebut.

Mungkin itu hanya pikiran konyol Bian yang terlalu muluk, dan berharap Amara masih memendam perasaan besar padanya, sama seperti yang dia rasakan pada wanita itu.

Ditambah lagi, Bian tahu benar bahwa Amara terlalu gengsi untuk mengakui hal tersebut. Atau, bahkan mungkin wanita itu sengaja memutuskan untuk menikah dengan pria lain, hanya demi membalas perbuatan Bian padanya.

Jika benar demikian, Bian hanya bisa merasa kasihan terhadap Zack, karena dijadikan sebagai alat bagi Amara untuk membalas rasa sakitnya pada Bian. Zack yang malang.

Kendati demikian, Bian tetap tak ingin membahas hal tersebut, dan membiarkan Amara menentukan pilihan dan kebahagiaan bagi dirinya sendiri.

Walau bagaimana pun, Bian tak ingin terus berdebat dengan Amara, terutama karena saat ini dia butuh lebih dekat dengan anaknya sendiri.

Hanya saja, selain Bian harus mencoba menghindari perdebatan dan meributkan pepesan kosong, Bian juga tampaknya perlu menyiapkan hati sekuat baja. Terutama ketika Sabtu ini Zack kembali datang menemui Amara.

"Kok kamu nggak ngasih tau aku kalau kamu tinggal sama pria lain? Udah berapa lama dia nginep di sini? Jangan bilang kalau kamu tidur sama dia?"

Meski Bian berada di luar rumah sambil menjemur bayinya di bawah sinar mentari pagi, tetapi dia bisa mendengar samar-samar suara Zack dari dalam rumah.

"Dia bukan pria lain. Tapi ayahnya Biandra, anakku. Dari hari Senin dia di sini, dan kami nggak tidur bareng. Bian tidur di sini, di kursi."

Bian sedikit tak senang mendengar nada suara Amara yang lembut ketika berbicara pada Zack, sementara saat berbicara padanya, Amara selalu meninggikan suaranya, nyaris mengimbangi suara macan yang siap menerkam mangsanya.

"Tapi tetep aja dia itu pria asing, Ra. Semua orang tau kalau kita udah mau nikah, terutama keluargaku. Kok kamu bisa-bisanya ngizinin dia nginep di sini sih, Ra? Aku aja nggak pernah kamu izinin nginep di sini."

"Mau gimana lagi? Aku nggak mau dia bawa Biandra pergi. Jadi mau nggak mau aku harus ngizinin dia nginep di sini. Masalah keluarga kamu, aku yakin mereka ngerti kalau anakku butuh—"

"Tapi aku ini calon suami kamu, Ra. Kok kesannya kamu kayak nggak ngehargai aku banget, ya?"

"Nggak gitu juga atuh, A. Kamu tau bener aku selalu ngehargain kamu. Pasti nggak lama juga kok dia di sini. Lama-lama juga pasti bosen kalau aku judesin terus."

"Terus kapan kamu mau nyuruh dia pergi?"

Baru saja Amara ingin membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Zack, tiba-tiba Bian berjalan masuk sambil berkata dengan suara tenang, "Saya ada di sini untuk putriku, Lur. Kalau kamu nggak suka liat saya di sini, bukannya lebih baik kamunya yang nggak usah dateng ke sini?"

"Kamu apa-apaan sih?" Amara tergagap-gagap menegur Bian yang memasang wajah tak sedap dipandang— meski pria itu bersuara dengan tenang.

Setelah mengatakan itu, Bian kembali berbalik dan keluar rumah. Tak ingin lebih lama lagi melihat Amara bersikap lemah lembut pada pria itu, sementara pada dirinya sendiri masih bersikap seperti berhadapan dengan musuh yang harus dilenyapkan.

Amara tak berpikir apa pun ketika Bian keluar rumah bersama Biandra. Dia hanya menduga Bian mengajak bayinya berjalan-jalan di sekitar rumah, seperti yang selalu pria itu lakukan beberapa hari ini selama Bian berada di kontrakan Amara.

Jadi, Amara kembali mengobrol dengan Zack. Mereka hanyut membahas masalah rencana pernikahan, mulai dari menentukan surat undangan, souvenir, gedung pernikahan, dekorasi pesta, catering, dan segala ***** bengek yang tak luput mereka catat ke dalam agenda.

"Kamu mau mahar apa, Ra?" tanya Zack ketika Amara masih sibuk menggoreskan pulpen pada buku dengan hardcover biru muda. "Uang, perhiasan, atau—"

"Nggak usah berlebihan gitu deh, A," potong Amara sambil meletakkan pulpen di atas meja dan menutup buku di hadapan mereka. "Pesta kayak gini aja udah berlebihan menurutku. Kita juga bukan perawan dan bujangan yang nggak pernah berumah tangga 'kan? Ngebayangin duduk di pelaminan aja rasanya sedikit malu. Apa lagi aku baru ngelahirin, nggak kebayang nanti orang—"

"Itu kan pestanya empat bulan lagi, Ra," tukas Zack buru-buru. "Lagian kamu juga belum pernah ngadain pesta 'kan? Kita nikah sama-sama cuma akad doang. Nggak ada salahnya kali ngadain pesta kayak gini. Keluargaku juga udah lama banget nggak gelar pesta. Si mama udah antusias parah ngelist tamu-tamu arisan, pengajian, temen-temen si papa di asrama. Udah heboh pokoknya tiap malem nelpon minta sediain undangan lima ratus biji buat—"

"Lima ratus?" Amara mengulangi dengan tak percaya. "Ini yang diundang manusia semua apa gimana? Kok kayak mau pesta gede-gedean sih? Belum lagi list temen-temen kamu, A. Liat gera list undangan punyaku, nggak lebih dari lima puluh—"

"Kan kita belum tanya ibu sama bapak kamu, berapa banyak tamu yang bakalan mereka undang. Bapak kamu punya keluarga besar di sana sini, belum lagi keluarga dari almarhum ibu kamu, bahkan keluarga ibu kamu sekarang juga cukup banyak. Mustahil nggak diundang 'kan?"

Amara tersenyum kecil. "Ibu sama bapak nggak mungkin berani ngundang keluarganya, A. Mereka terlalu malas jadi bahan tertawaan keluarganya sendiri. Jadi, aku pikir ibu sama bapak cuma ngundang beberapa temennya yang sering ngebun bareng."

Amara terdiam sejenak ketika *********** terasa berdesir, kemudian ASI-nya mulai menetes perlahan. Dia meraih ponsel dan melihat waktu menunjukkan hampir pukul dua belas siang, lalu tersadar sudah tiga jam berlalu sejak terakhir kali dia memberikan ASI-nya pada Biandra.

"Bentaran, A … aku mau nyusuin dulu anakku."

Tanpa menunggu jawaban dari Zack, Amara berjalan keluar rumah dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak ada tanda-tanda keberadaan Bian di sana.

Biasanya, pria itu hanya berjalan mondar-mandir di sekitar halaman, atau bercakap-cakap di teras pemilik rumah kontrakan mereka.

Amara belum berpikir apa pun, terutama karena motor Bian masih terparkir di halaman rumah. Dan dia tahu masih ada satu tempat yang biasa dikunjungi Bian saat mengasuh Biandra, yaitu di bale bambu di depan rumah orang tua Amara.

Jadi, Amara buru-buru berjalan menuju ke sana. Namun, bale yang terletak tak jauh dari kolam di depan rumah orang tuanya hanya dipenuhi anak-anak yang tengah bermain congklak, juga sekumpulan anak-anak lelaki berkerumun bermain kelereng di atas hamparan tanah kering.

Perasaan was-was mulai menyelubungi palung hati Amara ketika melangkahkan kaki ke rumah orangtuanya, berpikir tentang kemungkinan Bian sedang bersama bapak atau ibu Amara— meski sebenarnya Amara tahu benar bahwa mereka pasti ada di kebun.

"De, om Bian sama Biandra ke sini nggak?" tanya Amara ketika orang pertama yang dia lihat di karpet adalah Fathur, yang sedang berbaring tengkurap sambil mengerjakan PR.

"Dari tadi juga nggak ada si om."

Amara masih berusaha tenang mendengar jawaban Fathur, dan dia tak berniat masuk ke rumah orang tuanya setelah mengetahui pria itu tak ada di sana.

Amara mempertimbangkan untuk mencari Bian ke kebun orang tuanya, meski dia tahu sangat kecil kemungkinan Bian membawa Biandra ke tempat itu. Namun, tak ada salahnya dia memastikan hal itu.

Hanya saja, Amara tak mungkin pergi ke kebun sementara Zack pasti menunggunya. Jadi, dia berpikir untuk kembali ke rumah terlebih dahulu.

"Mana Biandra-nya?" tanya Zack ketika Amara baru saja masuk dengan buru-buru. "Katanya mau—"

"Mereka nggak ada," pungkas Amara. "Anter ke kebun bapak buat nyari mereka …"

Amara menghentikan ucapannya ketika tatapannya tertuju pada ponsel yang tergeletak di meja. Dia tahu, Bian tak pernah berjauhan dengan ponselnya, dan dia sering melihat pria itu menelpon sambil mengasuh Bianda.

Tak jarang juga dia melihat Bian tersenyum ketika berbicara di telepon, tetapi Amara tak pernah ingin tahu, dan sama sekali bukan urusan Amara dengan siapa Bian berbicara.

Tanpa memedulikan pandangan Zack yang menatapnya terheran-heran, Amara langsung menghubungi nomor Bian sambil berdiri di teras rumah.

"Di mana sih?" tanya Amara panik ketika panggilan tersebut langsung terhubung. "Itu si Bian udah waktunya—"

"Di rumah kakakku," tukas Bian dari seberang panggilan.

"Hah? Di mana itu?" Amara memekik terkejut, dan dalam hitungan detik dadanya mulai bergemuruh, diselubungi amarah dan kejengkelan luar biasa mendengar suara Bian yang begitu tenang. "Kapan kamu pergi? Kenapa nggak bilang-bilang dulu, ih! Kok bisa-bisanya sih pergi bawa Biandra nggak izin—"

"Saya ayahnya, saya nggak perlu izin ke kamu yang lagi asyik pacaran, bahkan sampe nggak sadar kapan aku sama Biandra pergi."

"Tapi—"

Amara tak berhasil menyelesaikan kalimatnya ketika panggilan terputus sebelah pihak.

Zack tampaknya menyadari ada sesuatu yang salah dari ekspresi Amara yang terdengar begitu panik.

Jadi, dia melangkah ke teras sambil bertanya, "Ada apa sih, Ra? Kok panik gitu?"

"Si Biandra dibawa pergi."

"Kok bisa sih?" Zack tak kalah terkejutnya dengan Amara, lalu menyadari bahwa mereka memang terlalu asyik membahas rencana pernikahan hingga tak sadar Bian membawa bayinya pergi.

Ketika melihat motor Bian masih terparkir di halaman, Zack berpikir kemungkinan pria itu belum pergi terlalu jauh. Namun, saat melihat sudah hampir tiga jam berlalu sejak Zack tiba, dia menduga pria itu sudah jauh dari jangkauan mereka.

"Atuh gimana ini?" Kekhawatiran mewarnai suara Amara hingga dia merasakan sekujur tubuhnya sedikit gemetar.

"Aku nyoba nelpon dia." Zack meraih bahu Amara dan membawanya duduk, berupaya menenangkan wanita itu.

Lalu, kemudian Zack meraih ponsel dalam genggaman Amara, menghubungi kontak terakhir yang baru saja ditelpon Amara.

Zack sedikit menahan tawa ketika membaca nama kontak tersebut bertuliskan, 'Syaiton'. Namun, tak ada waktu bagi Zack untuk menertawakan hal tersebut, terutama ketika melihat wajah Amara sedikit pucat sekaligus panik.

"Bian, kamu di mana?" tanya Zack ketika panggilan tersebut langsung terhubung. "Jangan kayak anak kecil gitu deh. Ngapain bawa-bawa Biandra—"

"Hallo, Anda? Nggak salah ngomong kayak gitu sama saya? Saya ini ayahnya Biandra! Ayahnya! Hak saya mau bawa dia ke mana pun. Kalau Amara mau Biandra, dateng aja ke sini. Saya nggak ngelarang dia ketemu, kok. Rumahku terbuka kapan pun untuk bundanya anakku."

Andai saat ini Bian berada di sana, mungkin Zack ingin mencekik pria itu. Dan kejengkelannya bertambah ketika pria itu langsung mengakhiri panggilan sebelum Zack bisa berkomentar apa pun.

Tak lama kemudian, ponsel Amara berdenting dan muncul pesan masuk dari Bian yang mengirimkan alamat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!