Bab 4

"Kamu kenapa nyuruh aku pulang terus sih, Ra?" keluh Bian pelan.

Dia tak berani berbicara dengan suara tinggi seperti biasa, terutama ketika bayinya berada dalam gendongan Bian, di antara lipatan tangan kirinya.

Bian sadar, ini bukan pertama kali dia menimang bayi, tentu saja. Sebelumnya, dia sudah merawat Alif— anak adopsinya sejak anak itu berusia satu hari.

Namun, tentu saja bayi perempuan yang kini sedang ditimangnya berbeda. Bayi itu anak kandungnya, meski sebenarnya dia masih cukup terkejut ketika kemarin bapak Amara datang dan memberitahu bahwa Amara akan melahirkan anak mereka.

Hingga detik ini, rasanya hal itu masih sedikit sulit untuk dipercaya.

Bagaimana tidak?

Setelah berbulan-bulan dia tak bertemu dengan wanita itu dan orang tuanya, tiba-tiba bapak Amara datang membawa kabar tersebut.

Jadi, mungkin wajar jika mulanya Bian sulit percaya dengan apa yang dikatakan oleh bapak Amara.

Bukan tanpa alasan, tetapi dia bercermin pada rumah tangganya dengan Yuanita, yang bertahan hampir sepuluh tahun tanpa mendapatkan keturunan.

Namun, dengan Amara, hanya beberapa kali tidur dengannya, wanita itu dengan mudah memberi dia keturunan.

Jika saja orang yang mengabarkan hal itu padanya adalah orang lain, mungkin Bian bisa menampik — atau menduga kemungkinan bayi yang dikandung Amara bukan anaknya.

Akan tetapi, saat bapak Amara sendiri yang memberitahukan kabar Amara dari semenjak perceraian mereka, rasanya dia sangat yakin lelaki renta itu tak memberi kabar dusta.

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar yang diutarakannya, Bian langsung memutuskan menemui Amara— meski awalnya dia sedikit cemas akan melihat sorot kebencian yang terpancar dari sorot mata Amara.

Semua prasangka tentang kebencian Amara menguap begitu saja saat melihat wanita itu sangat menderita, tak berbeda dengan derita yang dipikulnya selama berpisah dengan wanita itu.

Kemudian, pancaran penuh kerinduan dan rasa sakit yang muncul di mata Amara berhasil memporak porandakan hati Bian. Tak ada keraguan sedikitpun untuk meyakini betapa Amara sangat merindukannya selama ini.

"Atuh kan kamu kemarin datang ke bidan dari jam tiga sore." Ucapan Amara berhasil membuyarkan lamunan Bian. "Ini udah jam lima sore, kan kamu biasanya nggak pernah lebih dari dua puluh empat—"

"Tapi aku baru sepuluh menit di rumah ini, Ra," kata Bian sambil menatap Amara yang duduk bersandar pada bantal yang ditumpuk tinggi di tempat tidur.

"Jangan ngitung-ngitung waktu," lanjut Bian pahit. "Jangan samain situasi sekarang sama yang dulu. Semuanya udah beda. Aku bisa tinggal di sini selama apa pun yang aku—"

"Apanya yang beda?" tukas Amara ketus. "Status bahwa kita bukan lagi suami istri? Bahwa kamu udah jatuhin aku talak?"

Bian berubah sedikit tegang mendengar fakta tersebut. Fakta yang menyadarkan dia bahwa mereka tak lagi memiliki ikatan seperti dulu, kecuali hanya sebagai orang tua dari bayi itu.

Bian sadar, sejak kemarin Amara memang bersikap sangat kasar. Bahkan kebanyakan kalimat yang diucapkan wanita itu berupa makian dan sumpah serapah, tetapi dia juga mengerti bahwa itu adalah cara Amara meluapkan rasa kesal padanya.

Jauh dalam lubuk hati Bian, dia sangat menyadari bahwa Amara sengaja bersikap kasar— seolah masih meluapkan emosinya.

Dan Bian sangat memaklumi sikap wanita itu, terutama setelah melihat bagaimana Amara bertaruh nyawa, menelan rasa takut dan rasa sakit untuk melahirkan anak mereka.

Sekarang, mendapati sikap Amara yang begitu ketus dan kasar, rasanya tak sebanding dengan apa yang sudah dilewati Amara tanpa dirinya hingga ke titik ini.

"Lima menit lagi, ya? Aku masih kangen sama anakku," kata Bian akhirnya dengan suara lembut.

Lalu Bian terdiam, teringat beberapa bulan lalu Amara pernah mengatakan hal itu saat dia akan pulang. Dan sekarang dia bisa mengerti bagaimana perasaan Amara saat meminta waktu lebih banyak pada Bian, sementara dirinya tak bisa memenuhi permintaan Amara — lalu menambah luka dengan pertemuan terakhir yang langsung menjatuhkan talak pada wanita itu.

Gagasan itu membuat Bian tertegun, sadar terlalu besar luka yang dia berikan pada wanita itu. Kemudian rasa sakit merayapi ulu hati Bian, semakin membesar dan membuat sekujur tubuhnya terasa nyeri.

Akhirnya Bian berjalan ke tempat tidur, menyerahkan bayi merah itu pada Amara dengan hati-hati.

Kemudian mengecup pipinya dengan penuh emosional sambil bergumam, "Jangan rewel, jangan menyulitkan ibumu, ya, Nak. Nanti—"

"Ya, jangan kayak ayah kamu yang hanya bikin Bunda sekarat," Amara menambahkan dengan tawa penuh sindiran.

Bian mengangkat wajah dan memandang Amara, mencari-cari sorot mata wanita itu yang enggan membalas tatapannya.

"Ra ...," kata Bian sambil membelai pipi Amara agar menatapnya. "Kamu mau aku ngelakuin apa sekarang?"

"Pulang!" ujar Amara sinis. "Aku mau tidur."

"Kamu tahu bukan itu yang aku maksud, Ra." Bian mengembuskan napas pelan. "Kamu di rumah sendirian, kenapa aku nggak boleh ada di sini lebih—"

"Kalau kamu di sini, nanti orang tua sama ade-adeku canggung mau ke sini," pungkas Amara, tak bersahabat.

Dia kembali memandangi bayi dalam pelukannya. "Aku udah biasa tanpa kehadiran kamu beberapa bulan ini. Jadi, jangan coba-coba memulai lagi ngasih kenyamanan sama aku, kalau pada akhirnya bakal ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Asal kamu tau aja ... Sesayang-sayangnya aku sama kamu, aku nggak mungkin terus ngizinin kamu berbuat semaunya. Ini hati bukan dunia fantasi!"

"Amara," kata Bian serba salah. "Aku ... a-aku janji nggak akan ninggalin atau—"

"Nggak usah ngobrol janji kalau pada akhirnya hanya untuk diingkari." Amara menelan ludah dengan susah payah saat melanjutkan, "Terakhir kali kamu janji bakal luangin waktu seharian buat aku, pada akhirnya kamu bahkan nggak pernah bisa menepati janji itu. Alih-alih ngasih waktu satu hari setelah ditinggal empat belas hari nggak ketemu tanpa bisa dihubungi, kamu malah ngasih aku talak satu. Aku tau aku cuma istri simpanan kamu, tapi kamu juga nggak bisa seenaknya kayak gitu. Jangan kamu kira karna aku udah sayang, terus kamu bisa bersikap—"

"Ngomongnya pelan-pelan, Ra," kata Bian lembut. "Aku nggak ngelarang kamu marah-marah sama aku. Tapi emosi kamu berlebihan, kasian bayi kamu kalau terus-terusan—"

"Terus aku harus gimana?" Amara menggeram hingga giginya bergemeretak. "Harus pura-pura senang, lau nyambut kamu dengan senyuman setelah mendapat apa yang kamu lakukan sama aku? Aku harus ketawa cengengesan sambil ngasih ASI bayiku dan neriakin semesta kalau aku selama ini baik-baik saja? Kalau aku selama ini bahagia setelah diceraikan suaminya tanpa alasan ..."

"Ah, anj*ng!" lanjut Amara sambil mengembuskan napas kasar. "Udahlah, Bian, kamu pergi aja sekarang. Aku bisa naik darah kalau kamu terus-terusan di sini."

Bian mengembuskan napas berat. Dia berdiri, tetapi tatapannya masih terpaku pada wajah Amara yang kini semakin memerah.

"Aku pulang," kata Bian. "Tapi ke depannya kamu jangan batasi kalau aku mau ketemu sama anakku, aku nggak—"

"Kamu pernah ngasih kesempatan sama aku buat ngeluhin waktu kamu yang nggak adil?" Amara memandang Bian dengan pahit. "Pernah nggak sekali aja kamu adil ngasih aku lebih banyak waktu kayak kamu ngeluangin waktu buat istri pertama dan—"

"Ra, aku udah cerei sama istriku."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!