Bab 20

Tangisan kecil Biandra yang terdengar dari kamar berhasil membuyarkan lamunan Amara. Dia bergegas mengeringkan tubuh dengan handuk, lalu mengenakan piyama katun merah marun dengan gerakan cepat.

Tanpa banyak berpikir, Amara langsung menarik pintu kamar hingga terbuka dan berjalan menuju Biandra yang sedang ditimang-timang dalam pelukan Bian.

"Uh, kasian anak Bunda ... kelamaan, ya, nunggunya?"

Amara tak sadar bahwa suara yang terucap dari bibirnya terdengar begitu sengau, dan hal itu berhasil menarik perhatian Bian yang langsung menatap Amara yang masih memerah.

Sambil menyerahkan Biandra pada Amara, Bian berupaya mencari sorot mata Amara yang berupaya menghindari tatapannya.

"Kenapa nangis?" tanya Bian, berupaya mengikuti Amara yang duduk di tepi ranjang dan mulai membuka dua kancing teratas piyamanya.

"Aku sama Biandra mau tidur." Amara tak berniat menanggapi pertanyaan Bian, dia benar-benar berupaya menghindari pria itu dengan berkata, "Udah hampir setengah sepuluh. Kamu juga perlu istirahat. Aku udah ngantuk."

Bian menatap Amara yang membawa Biandra berbaring, lalu dengan hati-hati wanita itu menyembulkan sebelah pay*dara dan mengarahkan ke bibir mungil sang putri.

Bian sedikit gelisah untuk beranjak meninggalkan Amara. Namun, tampaknya wanita itu benar. Amara dan Biandra butuh istirahat, dan dia tak bisa terus berdiam diri di sana.

"Pintunya nggak usah ditutup, ya, Ra?" kata Bian akhirnya dengan tak berdaya. "Kalau ada apa-apa kamu panggil aku."

Amara hanya mengangguk dan berupaya memejamkan mata sambil memeluk Biandra yang kini sedang menghisap ASI-nya. Namun, setelah dia mendengar langkah Bian keluar dari kamar, mata Amara kembali terbuka.

Faktanya, dia tak pernah bisa tertidur. Semakin malam, pikirannya semakin tak tentu arah. Berbagai kecamuk menerabas sadis isi kepala Amara.

Terutama saat terbayang ekspresi meremehkan yang terpancar dari wajah Niken yang jelas-jelas merupakan ekspresi ejekan— tepat setelah mendengar apa yang dikatakan Chandra tentang mereka yang pernah tidur bersama.

Bayangan itu membuat Amara semakin gelisah, khawatir esok pagi Niken akan bergosip di kolam pencucian di depan rumah orang tua Amara.

Entah seberapa kuat Amara mencoba tertidur, faktanya dia hanya bisa membolak-balikkan tubuhnya di atas ranjang.

Amara tahu, yang menjadi beban pikirannya saat ini adalah, akan seberapa hancur hati orang tua Amara jika mengetahui apa yang sudah dia lakukan di belakang mereka?

Sekali lagi air mata Amara bercucuran tanpa bisa dikendalikan, mengingat seberapa busuk dirinya selama ini.

Tak berbeda dengan Amara yang tak bisa tertidur, begitu pula yang terjadi pada Bian. Setelah dia mandi dan menghabiskan waktu selama beberapa jam terakhir di teras villa— ditemani beberapa batang rokok yang sudah dia hisap, rasa kantuk tak kunjung muncul meski kini waktu menunjukkan pukul dua dini hari.

Bayangan mata Amara yang memerah setelah keluar dari kamar mandi, yang jelas-jelas menunjukkan Amara menangis lagi. Entah mengapa, melihat Amara terus bersedih selalu berhasil membuat ulu hati Bian terasa ditusuk-tusuk.

Terutama ketika ucapan Amara tadi siang kembali terngiang di telinganya, yang berkata, 'Aku mau nikah sama Zack, karena jelas statusku janda, bukan gadis yang tidak 'suci'. Kita nggak ketemu selama aku hamil, dan Zack menawarkan diri untuk jadi ayah pengganti buat anakku ...'

'Aku cuma mau anakku punya orang tua utuh, punya ayah ibu lengkap, terdaftar di kartu keluarga dengan orang tua yang utuh, bukan ibu tunggal!"

Bian termenung, menatap hampa pada kilauan air kolam renang yang memantulkan cahaya lampu taman keoranyean.

Jika saja dulu dirinya tak menceraikan Amara dan mengetahui bahwa wanita itu sedang hamil, mungkin Amara tak akan berusaha memberikan keutuhan sebuah keluarga untuk Biandra— dengan menerima lamaran pria itu 'kan?

Cukup dengan memikirkan gagasan tersebut, Bian berhasil tersadar bahwa dialah orang yang terlalu sadis pada Amara, karena membiarkan wanita itu mencoba memberikan kebahagiaan untuk putrinya seorang diri— di mana seharusnya Bian menjadi orang pertama yang membahagiakan Biandra, anak pertamanya.

Bian mengembuskan napas panjang dan beranjak bangkit dari kursi, lalu berjalan masuk dan mengendap-endap menuju kamar Amara yang pintunya dibiarkan terbuka.

Ketika Bian berdiri di ambang pintu, dia tertegun melihat bahu Amara tampak bergetar— diiringi isakan pilu yang berhasil menyayat hati Bian. Tanpa banyak berpikir, Bian berderap melangkah ke tempat tidur dan menyentuh bahu Amara.

Wanita itu tampak sedikit tegang, seolah berupaya menghentikan tangisnya, tetapi upayanya gagal karena yang terjadi justru dia terisak-isak menahan sesak. Akhirnya Bian berbaring dan memeluk Amara dari belakang sambil menciumi puncak kepala wanita itu.

"Tidur, Sayang," bisik Bian pelan. "Kamu udah lelah hari ini."

Amara tak berupaya untuk memberontak, karena dia tahu upayanya akan sia-sia. Terutama ketika merasakan Bian semakin erat memeluknya.

"Aku ... aku nggak bisa tidur," kata Amara di tengah isakannya.

Kemudian Bian membalikkan Amara agar menghadapnya, lalu membisu beberapa saat ketika melihat seluruh wajah Amara basah dan memerah. Mungkin wanita itu menangis sejak Bian keluar beberapa jam lalu.

Bian menyeka air mata Amara dengan jemarinya sambil berkata dengan lembut, "Kenapa? Apa yang bikin kamu nggak bisa tidur?"

"Aku takut," keluh Amara seolah menemukan tempat peraduan.

Bian menarik beberapa lembar tisu yang terletak di samping bantal kecil Biandra, lalu membersit hidung Amara.

"Apa yang ditakutin?" tanya Bian lagi. "Masih khawatir Niken bakalan gosipin kamu? Aku kan tadi udah bilang, nanti aku bakalan jelasin ke bapak sama ibu kamu."

"Kemarin sore waktu aku ... a-aku mau ke sini," kata Amara dengan tersendat-sendat. "A Risman dateng ke rumah bapak. Aku takut dia bakalan denger kalau aku ngelacur, aku takut nanti dia bakalan—"

Amara tak berhasil menyelesaikan kalimatnya, dia kembali memunggungi Bian— berpikir tak akan ada yang berubah jika pun dirinya memberitahu Bian tentang kakak lelakinya.

"Ra," bisik Bian yang kembali merengkuh Amara semakin erat. "Apa yang bisa aku lakuin buat kamu, Ra?"

"Nggak tau!" Suara Amara terdengar putus asa. "Aku cuma takut kakakku bakalan kalap kalau denger aku jadi pelacur. Waktu kelas lima aku pernah dipukulin sama kakakku karena nggak sengaja bikin bajunya kelunturan celana jins. Sekarang, aku nggak tau—"

"Ssstt ... kamu cuma terlalu lelah hari ini," bisik Bian, berupaya menenangkan. "Pikiranmu nggak karuan. Kamu butuh istirahat, Sayang."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!