"Cerai?" Amara terperangah mendengar ucapan spontan yang dilontarkan Bian. "Kok bisa? Kapan?"
Amara ingat betul bagaimana terakhir kali dia mendengar cara Bian berbicara dengan istri pertamanya, begitu lembut dan terkesan harmonis. Jadi, tak heran jika dia benar-benar terkejut mendengar kabar itu.
"Ra, aku ... sebenarnya aku—"
Entah mengapa, Bian merasakan sesuatu tiba-tiba mencekik lehernya. Lidahnya seolah kelu, nyaris tak bisa menemukan kata yang tepat untuk mulai menjelaskan pada Amara perihal perceraiannya dengan Yuanita.
"Assalamualaikum ... Amara."
Suara seseorang dari luar berhasil mengalihkan situasi Bian yang kini tergagap-gagap ketika berbicara dengan Amara. Bian mengembuskan napas gusar, merasa terselamatkan dari keadaan yang membuatnya merasa sulit.
Bukan, Bian bukan mengada-ngada atau berniat untuk berbohong. Namun, untuk saat ini, Bian juga belum bisa bersikap lugas seperti sebelumnya.
Mungkin karena perpisahan mereka beberapa bulan ini, atau mungkin kondisi emosional Bian yang tak karuan, hal itu tampaknya menjadi salah satu faktor mengapa dia terlalu sulit untuk bersikap terbuka pada Amara seperti dulu.
Jadi, Bian memilih melangkah keluar dan berdiri di ambang pintu kamar, melihat siapakah tamu yang datang sore itu.
Pintu depan masih terbuka, lalu dari kaca jendela dia melihat dua orang wanita dan seorang lelaki muda berdiri di teras. Bian mengernyit samar, seolah pernah melihat sosok pemuda tersebut, tetapi di mana?
Mungkin itu hanya bayangan saja, karena Bian tak menemukan gambaran di mana dia pernah bertemu pemuda berparas tampan itu.
Detik berikutnya, samar-samar Bian mendapat gambaran wajah seorang vokalis band yang akhir-akhir ini sering muncul di layar televisi.
Kemudian, Bian menyadari paras pemuda itu sangat mirip dengan si penyanyi sekaligus pencipta lagu bartajuk 'Manusia Bodoh— Doni Sibarani'. Jadi, tak heran jika wajah pemuda itu tampak familier.
"Ah, Nak Bian ... ini ada tamu yang mau jenguk Amara sama bayinya."
Tampaknya Bian masih belum bisa mengendalikan keterkejutan atas ucapan spontan yang dia katakan pada Amara, sekaligus terlalu larut mencoba mengenali sosok pemuda itu. Bahkan, dia hingga nyaris tak menyadari bahwa salah satu orang yang datang itu adalah ibu Amara.
"Oh, Ibu ... mari masuk." Akhirnya Bian kembali menemukan suaranya meski terdengar sedikit tersendat. "Kirain siapa, Bu ..."
Lalu, kemudian dia kembali menoleh pada Amara yang juga masih tercengang. Namun, alis Amara sedikit terangkat seolah mempertanyakan siapa yang datang ke rumah kontrakannya.
Sementara ibu Amara membimbing dua orang tamu agar masuk dan duduk di ruang tamu, Bian kembali melangkah ke dalam kamar menghampiri Amara dan putrinya.
Dia menunduk dan tersenyum kecil sambil mengusapkan punggung telunjuk di pipi merah si bayi, yang kelembutannya seolah membuat hati Bian melunak.
"Besok aku ke sini lagi, ya? Boleh 'kan?" kata Bian yang jelas-jelas pertanyaan itu ditujukan pada Amara, meski dia tidak melihat bagaimana reaksi wanita itu saat menatapnya.
Entah mengapa, bayi yang berada di pelukan Amara seolah berhasil menyita seluruh dunia Bian.
"Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan," lanjut Bian yang kemudian beralih menatap wajah Amara.
Dia mengusap puncak kepala Amara dari balik kerudung instan yang dipakai wanita itu, membelai dengan sentuhan lembut. "Kalau ada apa-apa kabarin, ya? Kamunya jangan dulu aktivitas. Pulihin stamina kamu, nanti aku cari orang buat ngurus—"
"Nggak perlu," tukas Amara buru-buru. "Adeku ada tiga, kamu lupa? Si Ela dari jauh-jauh hari udah bilang dia yang mau cuci setrika bedong sama baju ponakan barunya ini. Si Ina nggak keberatan nyiapin makan buat aku. Si Fathur juga nggak akan nolak kalau aku mintain tolong buat ke warung ..."
Amara meninggikan bahu saat melanjutkan, "Terus setiap harinya Ibuku pasti agak siangan berangkat ke kebun, nunggu sampe anak-anak udah pulang sekolah. Sekarang Sabtu Minggu, anak-anak libur sekolah. Mereka pasti tidur di sini nemenin aku. Jadi, kamu liat 'kan? Aku sama anakku baik-baik aja walaupun kamu nggak ke sini?"
Setelah mengatakan itu, sekilas Amara melihat ekspresi Bian berubah suram. Namun, mungkin itu hanya bayangannya saja. Karena sepersekian detik berikutnya, air wajah Bian kembali tenang. Dan ketenangan Bian berhasil membuat darah Amara kembali bergejolak.
Rasanya tak adil melihat Bian tetap tenang, sementara dirinya sekarang harus bergantung pada orang lain walau hanya untuk sekedar mengambil minum.
Mungkin karena rasa nyeri dari empat jahitan di **** ***** yang dia dapatkan setelah melahirkan bayinya, atau mungkin karena seluruh tubuhnya sekarang terasa nyeri, sehingga Amara merasakan emosional asing yang meletup-letup dalam hatinya.
Bian sedikit tak senang mendengar penjelasan Amara. Dia tahu, sejak dulu Amara selalu bersikap praktis dan lugas melakukan apa pun seorang diri.
Awalnya, Bian berpikir Amara tak akan menolak keberadaan dia di kontrakan itu untuk memperhatikan bayinya dan Amara.
Namun, mendengar segala sesuatu tampaknya sudah diatur sedemikian rupa oleh wanita itu, entah mengapa tiba-tiba ada sesuatu yang membuat Bian merasa tak dibutuhkan.
Dan Bian tak suka jika Amara benar-benar berniat membatasi dia dan anaknya. Atau, membuat Bian merasa tak dibutuhkan oleh anaknya sendiri.
Dia sadar, mungkin Amara memang berhak melakukan dan bersikap apa saja. Namun, rasanya Bian tak bisa terima jika Amara ingin membangun benteng untuk menghalangi kedekatan Bian dan bayinya.
Meski awalnya dia ragu kemungkinan bayi itu bukan anaknya, tetapi ketika kemarin mengadzani bayi perempuan itu, entah mengapa ada emosional asing yang sulit untuk dia deskripsikan.
Perasaan itu bagai ikatan dan ketertarikan seperti magnet yang bersemayam di hati Bian— yang membuat semua keraguan dan prasangka Bian menghilang begitu saja.
Lalu muncul satu-satunya perasaan yang begitu kuat dan tak terelakkan, dan meyakini bahwa bayi itu memang putrinya.
"Ra, tapi Ina sama Ela masih kecil lho. Kasian mereka kalau harus ngerawat kamu. Ibu juga pasti capek di kebun bantuin bapak," kata Bian. "Nyari orang aja, ya, buat kerja di sini?"
Bian masih mencoba membujuk Amara agar tak menolak bantuannya. Bahkan, jauh dalam lubuk hatinya, sebenarnya dia sendiri tak akan keberatan jika harus menghabiskan waktu untuk merawat Amara dan bayinya, kalau memang Amara mengizinkan.
Terlebih lagi, sekarang tak ada yang membutuhkan perhatiananya, kecuali Alif yang kini tinggal bersama kakak perempuan Bian— meski sesekali Yuanita masih sering datang dengan alasan menemui Alif.
"Dih ... rumah segede uprit gini mah nggak usah pake pembantu," balas Amara sambil tersenyum geli. "Lagian, si Ina sekarang udah lulus SMA. Si Ela kelas dua SMA. Mereka bukan anak kecil, kami udah dilatih mandiri sejak kecil. Masak sama beberes rumah itu hal kecil dan biasa buat kami."
"Tapi, Ra, akunya yang nggak tega denger kamu dan anakku cuma dirawat sama anak-anak," gumam Bian murung, yang sebenarnya ingin protes kenapa Amara terkesan benar-benar menjaga jarak begitu jauh dengannya. "Kamu kenapa nggak mau libatin aku sama sekali sih?"
"Kalau kamu jadi single parent, aku yakin kamu juga akan ngatur segala—"
"Ra, itu Zack sama tetehnya pengen jenguk kamu," tukas Ibu Amara yang kini berdiri di ambang pintu kamar sambil melirik Bian sekilas dengan tatapan canggung. "Dari tadi siang mereka udah nggak sabar nungguin kalian di rumah ibu. Mereka kira kamu bakal di rumah ibu dulu sampe empat puluh hari, makanya mereka langsung ke sana."
Bian tahu, akan sangat tak sopan jika dia terus berlama-lama di sana dan membiarkan tamu Amara menunggu lebih lagi.
Jadi, sekali lagi Bian membungkuk di samping Amara, mencondongkan tubuh dan menghidu pipi bayinya sambil berbisik, "I'll come back, My Baby."
Sebenarnya, dia juga ingin mencium Amara, tetapi tampaknya wanita itu sudah tak nyaman melihat keberadaan Bian di sana.
Akhirnya Bian hanya mengelus puncak kepala Amara sekali lagi.
"Jaga diri baik-baik, ya?" kata Bian, meski ada rasa tak rela dan merasa tersingkirkan ketika dia tetap ingin berada di sana, tetapi keberadaannya kini tak lagi diharapkan.
Ketika Bian keluar dari kamar, dia sempat mengulas senyum ramah pada kedua tamu yang kini duduk di sofa. Lalu teringat ucapan ibu Amara yang menyebutkan nama salah satu tamu tersebut.
Zack katanya? Nama itu berhasil menciptakan pertanyaan di hati Bian. Siapa lelaki itu? Nama yang asing, tetapi terasa tidak asing dalam memori Bian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments