Bab 8

Suara Fabian tentang ancaman untuk mengambil anaknya terus berdengung di telinga Amara. Bukan saja hanya setiap kalimat demi kalimat yang diucapkan pria itu dengan penuh penekanan, tetapi intonasi suara tinggi dan kata 'anj*ng' yang diucapkan pria itu juga membuat dia tertusuk.

Mungkin, sekarang dia tahu bagaimana makian kasarnya sudah menusuk Fabian, sehingga pria itu pun balik memakinya.

Namun, sebagai wanita yang memegang prinsip 'wanita selalu benar', tetap saja Amara tak bisa menerima begitu saja sikap kasar Fabian.

Terutama jika dia kembali mengingat apa yang sudah pria itu lakukan padanya saat berkata, 'Kita bercerai saja .... Dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, hari ini aku menjatuhkan talak satu padamu.'

Rasa nyeri kembali menjalar ke seluruh tubuh Amara. Cukup mengejutkan ketika kalimat itu kembali terngiang, dan berdampak memberikan rasa sakit yang sama seperti pertama kali dia mendengarnya.

Sekarang, mendengar bagaimana cara Fabian mengancam dia, hal itu berhasil menyuburkan kebencian Amara pada Fabian.

Jadi, Amara bertekad bahwa Fabian juga harus merasakan penderitaan yang sama seperti yang dia rasakan. Mungkin dia memang tidak akan membatasi pertemuan Fabian dengan putrinya, tetapi dia tak akan berhenti menaburkan duri pada pria itu.

Makian kasar saja rasanya tak cukup, karena pria itu tak pernah tahu bagaimana rasanya menderita ketika dia harus mengandung seorang diri, hingga membiayai hidup sendiri bersama bayinya, sementara pria itu hilang tanpa kabar.

Hanya saja, meski Amara telah mengerahkan segenap kekuatan agar tak gentar dengan gertakan Fabian, tetapi tetap saja dia merasa terintimidasi ketika pria itu datang di hari Senin pagi.

Berbeda dari terakhir kali mereka bertemu saat hari Sabtu, kali ini ekspresi Fabian tampak tak bersahabat.

Bahkan, raut pria itu terkesan dingin dan acuh tak acuh. Dan hal itu berhasil membuat Amara sedikit menciut, lalu memeluk erat bayinya yang sedang dia beri ASI.

"Aku bisa mandiin dia sendiri," kata Amara ketika Fabian mengatakan akan mengurusnya pagi itu.

"Kalau kamu mikir ibu kamu bakalan ke sini untuk nyiapin air anget buat anakku mandi, mending nggak usah ngarep ibumu bakalan dateng," sahut Fabian acuh tak acuh. "Ibu udah berangkat ke kebun sama—"

"Hah? Kok berangkat sih?" tukas Amara dengan mata terbelalak. "Semalem ibu bilang mau ke sini pagi-pagi buat ngurusin si Dede bayinya, kan aku belum berani mandiin—"

"Aku bilang aku yang bakal mandiin, tau?"

Itu bukan sebuah pertanyaan, atau pun meminta persetujuan. Melainkan kalimat pernyataan yang dilontarkan Fabian dan jelas-jelas tak ingin menerima bantahan.

Pria itu menggulung lengan bajunya hingga siku sambil mendekati Amara, dia sedikit pun tidak melihat ke arah wajah Amara yang menatapnya dengan waspada.

Amara tampaknya masih enggan menyerahkan bayi itu pada Fabian, khawatir pria itu akan langsung membawanya lari jika dia memberikan bayinya begitu saja.

Jadi, mau tak mau Fabian pun mengangkat pandangan ke wajah Amara dan menatapnya dengan ekspresi penuh ancaman.

"Aku nggak main-main sama ucapan malam kemarin," kata Fabian dingin. "Kalau kamu masih keras kepala, bahkan nggak ngizinin aku ngurusin—"

"Iya, iya ... ambil!" kata Amara, terpaksa mengalah. Ketika bayi itu berpindah tangan pada Fabian, Amara menambahkan, "Awas aja kalau kamu langsung bawa—"

"Nggak usah banyak ngomong, berisik!" sahut Fabian yang langsung melesat keluar dari kamar.

Amara menggeram jengkel, dia mengepalkan tangan seolah ingin meninju punggung Fabian dan menjadikannya samsak.

Kejengkelannya semakin bertambah ketika tak lama kemudian mendengar Fabian tertawa cekikikan, seolah pria itu senang berdua saja dengan bayinya.

Sesekali dia mendengar suara Fabian, seakan pria itu sedang mengobrol dengan bayinya. Kemudian rasa sesak kembali menyerbu palung hati Amara. Itu tak adil.

Bagaimana mungkin Fabian bisa tertawa berdua saja dengan bayinya, sementara Amara hanya duduk berbaring di tempat tidur. Menunggu mereka kembali. Itu tak adil. Amara dan bayinya adalah satu paket!

Amara berpikir, Fabian tak berhak mendapat penghiburan dari bayinya. Pria itu tak boleh bersenang-senang di atas penderitaannya.

Amarah kembali bergejolak dalam dada Amara, kemudian dengan hati-hati dia menurunkan kakinya dari tempat tidur. Dan dia merasa sedikit kesal mengapa wanita yang baru saja melahirkan harus memakai gurita di perutnya.

Lebih jengkel lagi ketika semalam sang ibu melilitkan stagen merah sepanjang empat meter hingga pahanya sedikit terikat. Mau tak mau Amara berjalan ke kamar mandi dengan langkah-langkah kecil.

Dan ketika dia baru saja mencapai pintu dapur, Fabian sudah berdiri sambil mengeringkan bayinya dengan handuk berkain lembut.

"Mau ngapain ke sini?" Fabian menatap Amara sekilas, lalu kembali menekuni mengeringkan sang bayi dengan keahlian mantap.

"Ngapain lagi kalau bukan mantau kamu!" Amara menggerutu kesal. "Siapa tau kamu nggak bisa mandiin anakku—"

"Nantangin juga nih anak lama-lama!" tukas Fabian galak.

Pelototan Fabian berhasil membuat Amara menciut, tetapi wanita itu masih berani berkata, "Kan kamu bilang belum punyak anak. Siapa tau kamu—"

"Asal kamu tau, si Alfin itu aku yang ngurus dari jamanan Firaun ngerangkak," celetuk Fabian enteng sambil berjalan, tetapi langkahnya terhenti karena Amara berdiri di ambang pintu dapur. "Nggak punya anak juga bukan berarti nggak bisa ngurus anak. Tau?"

Amara tak tahu apakah dia harus marah atau tertawa mendengar ucapan Fabian. Jadi, tenggorokannya merasa tercekik karena dia tak ingin tertawa, terutama karena Fabian mengatakan hal itu dengan ekspresi serius.

"Jangan diem di tengah jalan dong," kata Fabian ketus. "Minggir sana."

Jadi, Amara berbalik sambil menggerutu, "Dasar Om-om nggak berprikemanusiaan!"

Untuk beberapa detik, Fabian ingin tertawa melihat cara Amara berjalan.

Saat pulang dari bidan, wanita itu belum memakai stagen dan jelas Fabian selalu menggendongnya ketika wanita itu ingin ke kamar mandi, berbeda dengan saat ini yang membuat Amara berjalan seperti penguin.

Sebenarnya, Fabian tak bisa benar-benar marah pada Amara, terlebih setelah wanita itu bertaruh nyawa melahirkan bayinya.

Namun, untuk saat ini dia juga tak bisa membiarkan Amara terus bersikap kasar padanya, dan dia tahu benar wanita itu tidak terbiasa bersikap garang.

"Ra, tungguin," kata Fabian sambil menepuk bahu Amara hingga wanita itu menoleh.

"Apaan?" desak Amara dengan alis terangkat sinis, dan mau tak mau langkahnya terhenti hingga Fabian mendahuluinya dengan langkah cepat.

Tak lama kemudian pria itu kembali terburu-buru setelah membaringkan bayinya di atas tempat tidur, yang masih dibalut handuk.

Sebelum Amara bisa mengerti apa yang dilakukan Fabian, pria itu melangkah ke arahnya dan langsung menggendong Amara tanpa banyak berkata-kata.

"Ah, apa-apain sih?!" Amara merasakan seluruh tubuhnya tegang saat dia berada di pangkuan Fabian. "Turunin!"

"Nggak!" sahut Fabian acuh tak acuh dan langsung melesat menuju kamar.

Sambil membaringkan Amara di samping bayinya, Fabian menambahkan dengan suara sedatar mungkin, "Lain kali, kalau aku lagi mandiin anakku, kamu diem aja di sini. Jangan nyusahin orang!"

Amara nyaris tersedak mendengar ucapan Fabian, dan refleks tangannya memukul bahu pria itu sambil mengumpat, "Aku nggak minta kamu gendong aku, si*lan! Aku bisa jalan sendiri!"

Fabian menatap Amara dengan mata menyipit berbahaya, tetapi dia mulai bergelut pada bayinya.

"Kamu yang sabar, ya, punya Bunda yang galaknya nggak ketulungan," kata Fabian tanpa dosa sambil memercikkan minyak telon pada telapak tangan, lalu mengusap tubuh si bayi dengan gerakan lembut sebelum akhirnya memakaikan serangkaian pakaian pada bayinya.

Sekali lagi Amara terbelalak mendengar ucapan Fabian. Namun, tanpa sadar dia menikmati pemandangan di sampingnya. Siluet Fabian yang serius dan cekatan ketika mengurus bayinya terlihat lebih seksi di mata Amara.

Dan sialnya, Amara sangat tersentuh melihat bagaimana Fabian memperlakukan buah hatinya dengan penuh kasih sayang.

Jadi, dia mengembuskan napas pelan, lalu terbentuk senyum kecil ketika tak lama kemudian bayinya sudah rapi dan wangi.

"Aku mau kasih ASI lagi," kata Amara sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fabian. "Siniin."

"Ntaran aja, belum nangis ini kan?" tolak Fabian tanpa mengindahkan kedua tangan Amara yang kini melayang di udara. "Aku masih pengen gendong dia."

"Tapi dia—"

"Kamu dari kemarin udah sama dia, Ra," tukas Fabian enteng, lalu menoleh pada Amara yang kini berubah cemberut. "Udah sarapan?"

"Aku?"

Fabian mendelik, lalu kembali berbicara pada bayinya. "Bunda kamu lagi pura-pura budeg! Semoga kamu nggak darah tinggi tiap hari harus berhadapan sama Bunda kayak—"

"Kamu jangan racunin anakku kayak gitu dong, ah!" timpal Amara sebelum Fabian menyelesaikan kata-katanya.

"Ah, kamu sendiri aja nggak mau jaga mulut di depan dia," kata Fabian tenang. "Malam kemarin kamu maki-maki aku waktu di telepon juga pasti depan dia kan? Liat, siapa yang sebenarnya racunin anakku?"

Amara nyaris tercekik ketika sekali lagi Fabian membuatnya kehilangan kata-kata.

Sambil menahan kesal karena tak bisa membalas ucapan Fabian, Amara berkata dengan acuh tak acuh. "Aku mau kasih dia nama."

"Siapa?" tanya Fabian sambil memainkan hidungnya di pipi kecil si bayi.

Amara meninggikan bahu, bersikap bahwa dia tak ingin menerima protes jika Fabian tak setuju dengan pilihan nama yang dia inginkan.

"Lulu Al Marjan."

Fabian terdiam sejenak, mengetahui bahwa keduanya memiliki arti nama Mutiara dan Permata. "Harus nama itu?"

Amara cemberut. "Tapi kamu tau kan artinya? Perasaan nggak buruk-buruk amat."

Fabian mengembuskan napas pelan. "Aku nggak tau berapa banyak cerita tentang masa laluku yang kamu denger dari temanmu. Tapi nama mantanku itu Mutiara."

Amara tertegun ketika menyadari ekspresi Fabian berubah masam. Sekilas, dia melihat sorot terluka yang terpancar di mata pria itu.

Namun, dengan cepat bayangan itu langsung lenyap. Bergantikan senyum kecut ketika dia memberikan bayi itu pada Amara.

"Tapi terserah, itu hak kamu mau kasih dia nama siapa," kata Fabian akhirnya sebelum dia berbalik dan keluar dari kamar. "Kamu mau sarapan apa?"

Terpopuler

Comments

Aqella Lindi

Aqella Lindi

kk jgn ada kata anjing dong gk enak baca ny mf ya

2024-12-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!