Bab 2

Amara ingat betul saat Fabian memungkasi pernyataan Amara yang melayani para tamunya tanpa mengenakan pengaman? 

Padahal, andai saja Fabian tahu seberapa banyak tamu yang dilayani Amara selama lima bulan dia menjadi janda, dan dia tahu benar siapa saja yang berhubungan dengan memakai pengaman atau tidak.

Rasa dingin tiba-tiba merambati seluruh tubuh Amara. Bahkan, dia sedikit lemas ketika keluar dari ruang pemeriksaan itu dan berjalan menuju tempat penebusan obat.

Amara memikirkan kemungkinan Fabian yang mungkin tak akan mempercayai bahwa dia mengandung anaknya. Dan jika benar hal itu yang akan dia terima seandainya memberitahu Fabian, dia tahu hatinya akan semakin terluka.

Rasanya sudah cukup sakit tudingan Fabian yang menyatakan kemungkinan dia menularkan penyakit sipilis.

 Jadi, Amara tak ingin berspekulasi akan menambah daftar panjang rasa sakit yang mungkin dia terima dari Fabian.

Memikirkan gagasan tersebut membuat Amara sedikit bingung dan takut. Takut akan masa depan anaknya jika harus lahir tanpa Ayah. Rasanya sudah cukup bagi Amara yang lahir tanpa memiliki ibu kandung.

Namun, Amara juga tak ingin mengalami lebih banyak lagi hari-hari berikutnya dengan diisi kecemburuan yang tak bisa dia kendalikan— karena Fabian cenderung menghabiskan waktu dengan Yuanita, istrinya. Karena Amara tahu, yang diprioritaskan Fabian adalah istri pertamanya. 

____

"Tuh, kan ... nggak salah perasaan Ibu kalau kamu lagi hamil."

"Kenapa Ibu bisa yakin kayak gitu?"

"Ah, kamu mah, Neng ... Ibu ini udah ngelahirin tiga anak," kata Ibunya. "Dari pertama kali kamu ikut ke kebun pas liat tutut— keong sawah, terus minta dimasakin tutut kuah pedas, belut goreng, ubi bakar, getuk singkong. Makanin belimbing wuluh sama tomat mentah, dari sana ibu udah bilang ke bapak kayaknya kamu hamil. Eh, bapak kamu juga bilangnya sama, udah curiga kalau kamu hamil."

Amara tersenyum malu-malu mendengar ucapan sang ibu selepas pulang dari puskesmas dan mengabarkan tentang kehamilannya.

 Awalnya, dia menduga bapak dan ibunya tidak akan senang mendengar berita kehamilan tersebut, mengingat status Amara sekarang sebagai janda.

 Namun, siapa yang menduga ternyata mereka lebih dulu menyadari kehamilannya, dibanding Amara sendiri.

"Emang kalau orang hamil sukanya yang aneh-aneh, ya, Bu?" tanya Amara sambil tersenyum kecil.

Ibunya terdiam sejenak, lalu meraih tangan Amara dan menepuk-nepuk punggung tangannya dengan lembut.

"Sebenarnya nggak gitu juga. Pas Ibu ngandung ketiga ade-ade kamu juga nggak ada yang aneh," Ibunya menjelaskan dengan lembut. "Tapi, yang kamu pengen kemarin itu semuanya makanan kesukaan almarhum ibu kamu pas ngandung kamu, Neng. Jadi bapak sama Ibu yakin kalau kamu lagi hamil."

Amara tertohok mendengar penjelasan lembut sang ibu. Ada sesuatu yang menyumbat tenggorokan dan membuatnya tersendat.

"Emang ibu deket banget sama ibu aku, ya, Bu?" tanya Amara dengan suara hati-hati.

Sang ibu menelan ludah, lalu menatap iba pada Amara sambil mengelus pipinya. "Bukan deket lagi, Neng. Orang rumah kita dempetan pas masih di kampung lama. Malah, orang pertama yang dikasih tau kalau dia hamil lagi, itu Ibu. Makanya Ibu suka sedih kalau liat kamu lagi sedih. Kayak ngeliat almarhum ibu kamu."

Amara tak tahu apa yang membuat matanya terasa pedas melihat ketulusan yang terpancar dari sorot mata wanita renta itu. 

Dia tahu, wanita tua itu bukan yang melahirkannya, tetapi Amara sadar benar bahwa beliau tak membedakan kasih sayang padanya atau pada anak-anak kandungnya sendiri— meski ke tiga kakak kandung Amara hingga saat ini masih menjaga jarak pada beliau.

Memikirkan ketiga kakaknya, entah mengapa terbesit rasa nyeri ketika pikirannya kembali diingatkan oleh salah satu kakaknya yang berkata, 'Ibu mati gara-gara ngelahirin kamu. Harusnya kamu nggak pernah lahir!'

Dan ketika kalimat itu terasa berdengung dalam telinganya, tanpa sadar rasa takut mulai merayap di relung hati Amara. 

Saat mendengar sang dokter mengatakan dirinya hamil, entah mengapa kabar itu seolah menjadi amunisi yang membuat Amara sedikit semangat.

Namun, kini, ketika memikirkan ibunya yang wafat setelah dia lahir ke dunia, terpikirkan oleh Amara tentang kemungkinan dia akan mengalami hal yang sama seperti ibunya.

Bagaimana jika Tuhan mencabut nyawanya setelah dia melahirkan bayi yang kini dikandungnya?

Detik berikutnya, pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam kepala Amara berubah menjadi perspektif—  sudut pandang yang berbeda tentang menghadapi proses persalinan.

Alih-alih dia menyiapkan mental dan sukacita untuk menyambut buah hatinya dari Fabian— mantan suaminya, Amara justru takut bahwa itu akan menjadi proses dirinya menghadapi sakaratul maut.

Jauh dalam hati Amara, dia tahu semua makhluk akan berpulang pada sang pencipta. Namun, sejauh ini, apa yang sudah dia persiapkan untuk dibawa pulang? Bukankah selama ini dia hanya menimbun dosa hingga menggunung?

Amara menghela napas dalam-dalam, berupaya mengendalikan rasa takut dalam hatinya. Satu-satunya keyakinan yang terpatri dalam hati adalah, Tuhan masih memberinya napas hingga saat ini hanya untuk memberi kesempatan agar dia bertaubat.

Lantas, apa yang sudah dia lakukan sejauh ini? Sudahkah dia bersimpuh dan bersujud untuk meminta ampunan dari sang pemilik kehidupan atas segala kelakuannya yang kurang ajar?

Pertanyaan terakhir itu mengetuk-ngetuk relung hati, menyadarkan diri dan membuat hatinya berkata, 'Terkadang, Takdir terasa begitu kejam dan getir. Namun, Tuhan sengaja mematahkan hati seseorang jika terlampau mencintai manusia. Semua itu hanya agar mereka sadar, siapa yang seharusnya dicintai. Tuhan.'

Sejak saat itu, Amara berpikir apa yang harus dia persiapkan untuk menyambut persalinan, atau menghadapi sakaratul maut.

Entah karena terlalu ketakutan memikirkan akan wafat di hari persalinan, atau keputusasaan terlalu menggerogotinya dan membuat dia berpikir tak ada kebahagiaan baginya untuk menyongsong masa depan.

Jadi, sejak hari itu, Amara memutuskan untuk berdiam diri di rumah. 

Dia sibuk memperbaiki diri alih-alih memikirkan ayah si bayi, yang belum tentu memikirkan dirinya. Sepanjang harinya hanya diisi oleh lantunan lirih Tilawatil Qur'an yang sudah terlalu lama dia tinggalkan.

Awalnya, dia berpikir dan membulatkan tekad agar mengurus bayi itu seorang diri, jika melahirkan bayi laki-laki. Tak peduli akan seperti apa nasibnya kelak, dia memutuskan untuk tidak memberitahu Fabian.

Namun, setelah beberapa minggu kemudian dia melakukan USG sambil melakukan tes TORCH, lalu mengetahui bahwa bayi yang dikandungnya berjenis kelamin perempuan, ada rasa sesak yang menyeruak dalam hatinya.

Bukankah seorang perempuan membutuhkan wali jika dia akan menikah? Bukankah Amara sudah bersikap egois jika merampas hak itu dari anaknya dengan tidak memberitahu Fabian?

Tak hanya pertanyaan itu yang kini bersemayam dalam benaknya, tetapi juga tentang bagaimana nasib putrinya kelak? Jika dia wafat setelah melahirkan, akankah putrinya mendapatkan ibu pengganti seperti yang dia dapatkan?

Pemikiran-pemikiran itu berhasil menyuburkan komposisi ketakutan dan imajinasi tak bertepi dalam kepala Amara. 

Semakin perutnya membesar, dia menemukan dirinya tak pernah tenang, meski dia tahu ada Tuhan sang pengendali kehidupan.

Bahkan, ketakutan Amara semakin memuncak ketika hari persalinan itu tiba. Sejak menginjak usia kandungan sembilan bulan, Amara memutuskan untuk tinggal di kediaman orang tuanya.

Jadi, saat Amara merasakan kontraksi selepas shalat Dhuha di hari Jum'at itu, mereka membawa Amara ke bidan yang tak jauh dari balai desa. Amara masih sanggup berjalan bersama ibu dan bapaknya meski langkahnya begitu berat.

Dan ketika mereka tiba di tujuan, si bidan membimbing Amara agar berbaring di ruang bersalin.

"Baru pembukaan dua," kata si bidan setelah memeriksa jalan lahir di tubuh Amara dengan jari tangannya yang sudah mengenakan sarung tangan lateks.

"Berapa lama lagi sampe ngelahirin?" kata Amara tegang, keringat sudah membasahi kening hingga dia merasakan dingin di punggungnya. "Masih lama nggak?"

Sang bidan tampaknya menyadari ketegangan Amara. Karena dia langsung berkata, "Ibunya tenang, ya ... Coba rileks, jangan panik. Kalau masih kuat, coba jalan-jalan dulu di teras, biar lebih cepet proses pembukaannya."

Amara bersusah payah mengendalikan diri agar tetap tenang. Dia kemudian beranjak bangkit dari pembaringan, si bidan memanggil ibu Amara agar menemaninya berjalan-jalan. Namun, Amara tahu apa yang saat ini sedang dia hadapi.

"Bapak mana, Bu?" tanya Amara ketika ibunya menuntun dia keluar dan berjalan-jalan kecil di sekitar teras.

"Tadi Bu bidan minta kamu ganti pakaian yang lebih nyaman. Gamis kamu ketebalan, takutnya gerah," kata ibunya dengan tenang. "Jadi, bapak pulang dulu buat ambil daster sama kerudung yang agak pendek."

Amara mengangguk sambil menggigit bibir. Dia menatap wajah ibunya sekilas untuk mencari ketenangan dari sorot mata sang Ibu, yang tak pernah lelah menenangkannya selama ini.

"Bu, aku ... takut, " gumam Amara pelan. "Gimana ... gimana kalau aku atau bayinya nggak—"

"Hus, eling, Neng ... istighfar," tukas Ibunya yang mengetahui apa yang menjadi ketakutan Amara. "Jangan mikir yang enggak-enggak, nanti kamunya lemes. Kamu butuh banyak tenaga sekarang. Tenang, ya?"

Amara mengangguk sambil menghela napas panjang lagi.

"Mau minum teh manis anget? Ibu bikinin, ya?"

Amara menggeleng, bibirnya tak henti-henti merapalkan doa-doa yang bisa dia baca.

"Bu ...," Amara bergumam lagi. "Kalau aku nggak ada umur hari ini, bapak sama ibu mau kan maafin aku?"

"Neng!" tegur ibunya hati-hati. "Ibu tau kamu takut, tapi jangan berlebihan kayak gini, nggak baik juga. Kamu akhir-akhir ini bahas itu terus."

"Tapi aku banyak dosa sama bapak sama ibu."

"Oh, kesayangan ibu sama bapak," kata Ibunya sambil mengusap-usap bahu Amara. "Nggak diminta juga orang tua mah pasti maafin anaknya, Neng. Udah, ya, jangan bahas itu lagi? Kamu mau makan?"

Amara berhenti berjalan, berpegangan pada kursi tunggu yang ada di teras sambil menggigit bibir erat-erat. "Pinggang aku panas, Bu."

Dan dengan sabar sang ibu mengusap-usap punggung dan pinggang Amara. Lalu, Amara bertanya lagi, "Mau ngelahirin emang sakit kayak gini, ya, Bu?"

Ibunya hanya tersenyum, masih sambil mengelus-elus Amara.

"Pantesan aja Ibu aku meninggal," kata Amara lirih. "Mungkin dia emang terlalu sakit pas lahirin—"

"Neng, jangan bilang gitu," tukas sang ibu. "Itu mah cuma sebab. Semua orang pasti meninggal, dan satu penyakit bukan syarat untuk meninggal, nggak harus tua dan tak kenal usia. Istighfar lagi, ya? Jangan takut."

Amara mengangguk lagi sambil merapalkan dzikir, meski hatinya masih diliputi kegelisahan dan rasa takut.

Saat itu, sepasang suami istri baru saja turun dari angkutan umum, berjalan menuju rumah bidan. Si suami dengan praktis membopong istrinya berjalan yang tampaknya juga akan melahirkan.

Untuk sesaat, Amara melihat mereka berjalan memasuki rumah. Lalu, tanpa diperkirakan, ada rasa nyeri yang menusuk ulu hati Amara. Di saat dia sedang menghadapi proses ini, sekali lagi dia tak merasa beruntung karena tak memiliki suami.

Perlahan mata Amara terasa panas, teringat akan perlakuan Fabian ketika memeluknya, mengusap-usap punggungnya dengan lembut dan penuh perhatian.

Kemudian, tanpa sadar Amara mulai terisak-isak untuk alasan yang tak bisa dia jelaskan.

"Bu," kata Amara di tengah isakannya. "Sakit."

"Sabar, Neng." Ibunya kembali mengusap-usap punggung Amara. "Mau duduk dulu?"

Amara tak menjawab, lalu kembali berpegangan pada lengan ibunya.

 Masih sambil terisak-isak pilu, Amara bergumam, "Bu, bayi aku perempuan. Kalau dia sehat sampe dewasa, nanti dia butuh wali. Kalau aku panjang umur, harus jawab apa kalau dia nanyain ayahnya?"

Ibunya mengembuskan napas panjang. Mengerti rasa sakit Amara bukan hanya disebabkan kontraksi di perutnya, tetapi jelas banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam kepala Amara.

"Neng, nggak ada yang tahu apa yang bakal terjadi satu detik ke depan," kata sang ibu dengan bijak. "Jangan mikir terlalu jauh ke depan. Itu bukan tugas kamu."

Terpopuler

Comments

Rima baharudin

Rima baharudin

ibu sambungnya baik banget

2025-02-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!