Amara nyaris kesulitan menyelesaikan kalimat yang ingin dia ucapkan. Lidahnya tiba-tiba kelu saat sesuatu sebesar gunung Pangrango seolah menyumbat tenggorokan.
Namun, Amara harus mengatakannya. Dia terlalu lelah mendengar Bian mengungkit sesuatu dari masa lalu, yang sangat jelas ingin dia tutup rapat dan tak ingin mengingat-ingat segala episode terburuk dalam kehidupannya.
"Hampir dua tahun aku rumah tangga sama Angga, selama itu juga kami nggak pernah lepas dari alat kontrasepsi pria." Akhirnya Amara kembali menemukan suaranya setelah berhasil menelan sumbatan air mata di tenggorokan.
"Yang aku tau, benda itu cuma buat nunda kehamilan aja. Aku sama dia sepakat nunda kehamilan karena dua anak dia masih terlalu kecil," lanjut Amara.
Dia tak memberi kesempatan pada Bian untuk mencela apa yang ingin dia paparkan.
"Waktu kamu bilang tentang 'pengaman' yang nggak kita pake saat pertama kali kita bertemu," lanjut Amora pahit. "Yang kamu bilang aku juga mungkin dengan yang lain nggak pake alat itu, dan kemungkinan aku udah ngidap penyakit sipilis tanpa aku sadari—"
"Amara, aku bisa jelasin semuanya. Waktu itu aku nggak tau kalau yang—"
"Dengerin aku sekali ini aja. Aku capek denger kamu nuduh yang enggak-enggak terus tentang aku!" pekik Amara gemetaran.
Jadi, Bian diam sementara Amara melanjutkan, "Waktu kita pertama kali ketemu di Bar & Karaoke dan kamu nanya apa aku bisa punya anak atau nggak, aku nggak bisa jawab. Karena aku juga nggak tau. Jadi, itu alesanku ngebiarin kamu nggak pake benda itu, sebelumnya enggak, karena yang aku tau gunanya pengaman cuma buat cegah kehamilan aja ..."
"Waktu aku nyoba jelasin ke kamu kalau aku tau bener dengan siapa aku nggak pake pengaman, kamu nggak mau denger. Sekarang aku mau kamu tau semuanya tentang aku. Salah satu dari dua laki-laki itu kamu, orang yang bikin aku pengen nyari tau apa aku bisa hamil atau nggak—"
Ucapan Amara terputus ketika tangisnya berubah menjadi isakan pilu. Dia mendorong Bian ketika pria itu ingin merangkulnya ke dalam pelukan, dia tahu benar masih ada banyak hal yang perlu Bian ketahui, dan dia tak akan memberi kesempatan Bian menghinanya lagi di kemudian hari.
"S-satu orang ... satu laki-laki jahan*m lain yang pernah tanpa pengaman, dia ...," lanjut Amara dengan terpatah-patah. "Dia majikanku waktu di Bantar Gebang, aku ... a-aku dinodai. Itu juga yang jadi alesan kenapa aku putusin Zack setelah kami pernah bahas seberapa penting sebuah 'kesucian'' bagi seorang pria. Aku dengan b*gonya minta nyari calon suami, tapi ..."
"Tapi semua laki-laki emang sadis," lanjut Amara sambil memekik nyeri. "Dia nggak ngaca kalau statusnya duda punya anak. Terus nilai aku sebagai wanita munafik, yang berpenampilan tertutup tapi nggak bisa jaga 'kesucian'. Aku yang waktu itu masih terlalu b*go, milih tetep bertahan karena orang bilang jadi janda itu merupakan satu aib terbesar bagi wanita. Padahal aku salah. Dia makin semena-mena ... nggak jauh beda sama kamu, FABIAN KHADAFI!"
Amara menunjuk-nunjuk Bian sambil menjerit hingga dua orang satpam dari pos penjaga berlari ke villa, khawatir terjadi keributan, tetapi Bian dengan cepat menyuruh kedua orang itu keluar.
Bian berusaha menarik Amara ke dalam pelukan— bermaksud menenengkan wanita itu.
Namun, Bian tak pernah tahu bahwa pada titik itu tampaknya Amara sedang meledakan apa yang selama ini dia sembunyikan.
"Amara sayang, aku ... minta maaf, aku nggak ada maksud bikin kamu inget—"
"Bikin aku inget semua kenangan buruk yang pernah aku alami?" tukas Amara sambil menangkis tangan Bian yang mencoba memeluknya. "Udah telat, Bian! Telat! Kamu emang paling tau gimana caranya bikin aku menderita!"
Bian tak bisa mempertahankan Biandra ketika Amara tiba-tiba mengambil dan merengkuh Biandra ke dalam pelukan. Untuk beberapa saat, dia hanya mematung melihat Amara menciuminya sambil terisak-isak, seolah hanya itu satu-satunya hal paling berharga dalam kehidupan Amara.
"Asal kamu tau," kata Amara tanpa memedulikan tatapan Bian yang jelas-jelas diselimuti rasa bersalah luar biasa. "Aku mau nikah sama Zack, karena jelas statusku janda, bukan gadis yang tidak 'suci'. Kita nggak ketemu selama aku hamil, dan Zack menawarkan diri untuk jadi ayah pengganti buat anakku. Aku cuma mau anakku punya orang tua utuh, punya ayah ibu lengkap, terdaftar di kartu keluarga dengan orang tua yang utuh, bukan ibu tunggal!"
Amara kembali menatap Bian dengan penuh luka. "Waktu itu, aku nyadar diri kalau anakku nggak mungkin dapetin itu dari ayah kandungnya yang jelas-jelas selalu memprioritaskan istri pertamanya, itu alesanku kenapa mau mempertimbangkan tawaran Zack dan ngasih keputusan setelah aku ngelahirin. Tapi, kamu tiba-tiba datang lagi. Aku nggak tau kenapa bapakku harus ngabarin kamu, dan bikin semua—"
"Amara, yang bapak kamu lakuin itu benar," pungkas Bian buru-buru. "Aku nggak akan tau apa-apa kalau bapak nggak minta tolong ke asistenku buat nyusulin aku. Bapak kamu terlalu takut kalau—"
"Kalau aku bakalan meninggal pas ngelahirin, sama kayak ibu aku?"
Amara menatap Bian dengan sorot yang membuat ulu hati Bian nyeri, dan pria itu tahu seberapa hancur Amara saat ini. Dia sadar, butuh upaya besar untuk menyibak sebuah tabir tersembunyi dari masa lalu terpahit yang dialami Amara.
"Amara, aku—"
Bian nyaris tak bisa menemukan kata yang tepat untuk memberikan kata-kata penghiburan bagi Amara. Yang Bian bisa lakukan sekarang adalah, dia merengkuh Amara ke dalam pelukan, tetapi lagi-lagi wanita itu memberontak.
"Asal kamu tau, kamu nggak cuma bikin inget sama masa lalu tergelap yang nggak mau aku inget lagi," pekik Amara dengan gigi bergemeretak sambil mendorong Bian dengan sebelah tangannya. "Tapi semua nasib sialku semakin banyak semenjak ngenal kamu. Aku nyesel kenapa dulu nggak minta kamu pake pengaman aja pas pertama kali ketemu, aku nyesel kenapa harus nyetujuin kamu ketemu kedua kali, yang bikin aku nyaman cerita ke kamu, cerita tentang utang-utangku, dan ngasih kamu kesempatan buat b*goin aku supaya mau nikah sama kamu!"
"Aku nyesel kenapa nggak nolak ajakan kamu ke villa ini setelah kita resmi jadi suami istri," lanjut Amara sambil membersit hidung dengan helaian kain gendongan yang menjuntai di bahunya. "Aku nyesel kenapa harus jatuh cinta sama kamu, sama suami orang! Aku nyesel kenapa harus datang ke villa ini karena saking kangennya setelah nggak denger kabar kamu selama dua minggu, yang pada akhirnya cuma nerima tudingan keji sama kata cerai—"
Amara berhenti saat isakannya semakin tak terbendung, tetapi dia terus melanjutkan, "Yang lebih buruk dari itu, aku nyesel kenapa harus ketemu kamu kalau pada akhirnya hatiku cuma buat disakitin dengan brutal ..."
"Sayang, tolong izinin aku buat nebus—"
"Nggak mau!" pungkas Amara sambil sesenggukan. "Aku nggak mau sakit hati lagi. Aku capek. Aku pengen bahagia sebentar. Sebentar aja. Kamu ngerti nggak?"
Bian menatap Amara dengan tatapan tak berdaya. Dia tak bisa mengangguk atau pun menggeleng untuk menanggapi pertanyaan Amara.
"Aku mau pulang. Kamu jangan datang lagi ke rumah sekarang-sekarang. Aku pengen tenang dulu sebentar."
Bahkan, setelah mendengar pernyataan itu, untuk beberapa saat Bian hanya bisa mematung melihat Amara berbalik dan melangkah pergi. Namun, langkah wanita itu terhenti di ambang pintu.
Dengan bahu yang masih bergetar, tanpa berbalik ke arah Bian, untuk terakhir kalinya Amara berkata, "Tapi aku nggak pernah nyesel ngandung dan ngelahirin Biandra dari kamu. Dia satu-satunya sumber kebahagiaan aku sekarang. Jangan nyoba-nyoba ngasih aku penderitaan lagi dengan bawa dia pergi."
Setelah mengatakan itu, Amara bergegas keluar dengan langkah cepat, tak mengindahkan rasa sakit di hati dan jahitan di area intimnya yang terasa robek akibat langkahnya terlalu cepat.
Hanya saja, setelah dia keluar dari gerbang villa yang menjulang tinggi, saat itulah pertahanan Amara rubuh— nyaris tumbang. Seluruh tubuhnya semakin menggigil ketika keringat dingin mulai merayapi pori-pori punggungnya.
Bahkan, Amara merasakan lututnya terlalu sulit untuk digerakkan. Beberapa bulan lalu, Amara berhasil pergi dari villa itu dengan membawa kepingan hati yang tak berbentuk ketika Bian menjatuhkan talak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Rani Ummi
ngelu bacanya.....sadis sekali😪😪😪
2023-07-12
0