NovelToon NovelToon

Derita Istri Yang Kuceraikan

Bab 1

"Hamil? Kok bisa?"

Amara nyaris tak percaya ketika dokter menjelaskan kabar tersebut sambil menunjukkan strip uji kehamilan dengan dua garis merah, yang menyatakan dirinya positif hamil.

Dokter wanita paruh baya yang bertugas di puskesmas itu sedikit mengernyit melihat reaksi Amara yang tercengang. Dia membetulkan kacamata baca yang bertengger di hidungnya saat berupaya menjelaskan.

"Gini, ya, Teh Amara. Tadi kan saya udah bilang, memang mual muntah sama meriang yang dikeluhin sama Teteh itu bisa aja gejala asam lambung. Tapi, tadi kan Tetehnya tau di perutnya udah kepegang kayak gitu. Udah saya bilang Teteh hamil, masih aja nggak percaya. Sekarang hasil tespeknya garis dua kayak gini, masih nggak percaya juga?"

"Tapi, Bu Dokter, aku udah sebulan lebih nggak berhubungan. Kenapa bisa hamil kayak gini?"

"Hmm?" Sang dokter terdiam sejenak sebelum kemudian bertanya dengan sabar, "Kapan HPHT—Hari Pertama Haid Terakhir?"

Amara tercengang mendengar pertanyaan tersebut. Kapan terakhir kali dia mendapat haid? Amara lupa, tetapi dia ingat betul haidnya dimulai setelah berhubungan intim pertama kali dengan Fabian, tepat saat perceraiannya dengan Angga menginjak lima bulan.

"Tanggal 13 Juli," kata Amara, berharap ingatannya tak meleset.

"Lalu, kapan terakhir kali berhubungan?"

Mata Amara terpejam sesaat, mencoba mengingat-ingat lagi. Lalu, teringat serangkaian pertemuannya dengan Fabian, dan berapa kali mereka berhubungan intim benar-benar bisa dihitung jari, yaitu: Satu minggu setelah haid saat Fabian menjemputnya ketika dia sedang mengisi acara di villa Andip, kemudian minggu berikutnya ketika Fabian langsung menyeret Amara ke Villa satu hari setelah mereka resmi menikah.

Mereka melakukan dua kali hubungan intim di villa, malam dan saat subuh. Lalu, sore harinya sebelum Fabian pulang di malam Jum'at. Setelah itu, mereka tak melakukan hubungan lagi karena Fabian yang mengalami gagal ereksi. Jadi, Amara ingat benar kapan terakhir mereka berhubungan.

"Tanggal 31 Juli."

"Kalau dihitung berdasarkan hari menstruasi terakhir, di tanggal-tanggal itu si Teteh lagi ada di masa subur. Sel telur lagi mateng-matengnya dan siap untuk dibuahi," sang dokter menjelaskan dengan perlahan, mengerti bahwa pasien di hadapannya mungkin memang terlalu muda dan belum memahami bagaimana dirinya bisa hamil.

"Besar kemungkinan saat itu sel ****** si ayah berhasil menembus sel telur, dan itulah kenapa sekarang si Teteh hamil," lanjut sang dokter, sekilas ada sorot geli melihat kepolosan pasien di hadapannya, tetapi sebagai dokter, tentu saja dia merasa perlu menjelaskan hal tersebut dengan seksama.

"Tapi, Dok, kita cuma sekali ngelakuin ... mm—" Ucapan Amara terputus ketika dirinya tiba-tiba merasa malu membahas tentang hubungan seksual. Namun, dia juga mengerti bahwa orang di hadapan adalah seorang dokter, yang pasti membahas masalah seksual dari sisi dunia medis, dan bukan hal tabu untuk dibicarakan.

"Begini, Teh ... Pembuahan biasanya terjadi dalam waktu 24 jam setelah sel telur dihasilkan," kata sang dokter yang memahami bahwa Amara tampak canggung. "Setelah salah satu ****** berhasil menembus sel telur, sel telur akan berubah bentuk, juga membentuk lapisan hingga ****** lain nggak bisa menembus masuk. Inilah yang disebut sebagai proses pembuahan, dan terjadinya kehamilan."

Akhirnya Amara mengangguk, mengerti bahwa dia mungkin harus benar-benar menerima fakta dirinya hamil.

"Terus sekarang berapa bulan usia kehamilannya?" tanya Amara lagi sambil memegangi perutnya yang masih datar. Ada getir yang tiba-tiba membuat tenggorokan Amara seolah tersumbat sesuatu.

Sang dokter melihat kalender lipat yang berada di atas meja sebelum berkata, "Sekarang tanggal 16 Oktober. Jika dihitung berdasarkan HPHT, usia kehamilan si Teteh udah masuk 14 minggu, atau tiga bulan lebih dua minggu. Pantesan aja atuh udah kerasa pas dipegang. Masa si Teteh nggak ngerasa sama sekali? Harusnya ada pergerakan lho?"

Amara tertegun mendengar penjelasan sang dokter. Apakah dia sebegitu tak memedulikan kondisi perubahan dirinya karena terlalu larut dan tenggelam dalam kesedihan karena sudah bercerai dengan suaminya?

Untuk kesekian kalinya bulir air mata menyumbat tenggorokan Amara. Namun, ada hal lain yang membuat dia sedikit takut. Walau bagaimana pun, ada janin yang kini usianya buka saja hanya satu dua minggu, tetapi tiga bulan.

"Bu Dokter," kata Amara sedikit ragu-ragu. "Kalau ibunya punya penyakit sipilis, bisa nular ke anak yang dikandungannya nggak?"

"Sipilis?" Sang dokter mengulangi dengan hati-hati, terutama ketika menyadari sorot mata Amara sedikit berkabut.

Amara mengangguk.

Dia memindai penampilan Amara yang tertutup, bahkan mengenakan kerudung hitam yang menjuntai menutupi dada. Sedikit tak yakin apakah wanita muda yang terlihat baik-baik mengidap sipilis? Namun, dia tahu Amara berhak mendapatkan penjelasan dari pertanyaannya.

"Sifilis memang bisa menular dari Ibu Hamil ke Janin," sang dokter mulai menjelaskan. "Bahkan, bayi lebih mungkin mengalami sifilis kongenital saat ibunya memang sudah terinfeksi selama kehamilan ..."

"Sipilis kontinental itu apa?" tanya Amara semakin cemas dan gelisah.

Sang dokter tersenyum lembut, sedikit tak tega saat melihat tatapan Amara. Jadi, dia merendahkan suaranya saat menjelaskan, "Sifilis kongenital itu adalah sifilis pada bayi. Jika tidak diobati, sipilis itu bisa menyebabkan keguguran atau kematian segera setelah bayi lahir. Atau, bisa juga menyebabkan komplikasi yang bisa dialami oleh bayi hidup, seperti: gangguan pendengaran, pembengkakan hati dan limpa, kelainan batang hidung dan bagian tulang lainnya, atau gangguan otak."

Wajah Amara berubah pucat, ketakutan yang menjadi-jadi semakin merayap hatinya. Dan reaksi panik itu rupanya tertangkap oleh sang dokter, karena dokter itu kembali berbicara.

"Maaf, Teteh ... apa si Teteh memang terinfeksi sifilis?"

Amara menelan ludah dengan susah payah. Lalu menggelengkan kepala. "Nggak tau," kata Amara dengan suara tersendat.

"Kalau belum tahu terinfeksi atau enggak, kenapa harus takut?" kata sang dokter dengan perlahan. "Bukan sebaiknya nyari tahu dulu untuk mastiin apa si Teteh emang kena sipilis atau enggak?"

"Caranya gimana?"

Dokter itu tak tahu apakah dia harus tertawa atau bersimpati karena pasien di hadapannya itu tampak benar-benar tak mengetahui tentang apa yang dia tanyakan.

"Gini, Teh," kata sang dokter dengan sabar. "Di Puskesmas ini kan peralatannya belum lengkap untuk nyari tau apakah si Teteh memang terinfeksi sifilis atau enggak. Tapi, Teteh bisa dateng ke rumah sakit yang punya fasilitas lengkap, atau datang ke Pr*dia—jaringan laboratorium kesehatan, yang udah jelas punya alat untuk deteksi berbagai macam virus, bahkan bisa memastikan kondisi janinnya."

Secercah harapan muncul dari sorot mata Amara. Benar apa yang dikatakan sang dokter, dia tidak bisa berasumsi bahwa dirinya mengidap penyakit tersebut hanya berdasarkan ucapan Fabian yang mengatakan bahwa pria itu 'kemungkinan' tertular sifilis dari Amara.

"Nanti bilang ke dokternya mau periksa apa?" tanya Amara lagi dengan polosnya, karena dia meyakini bahwa orang yang malu bertanya akan sesat di jalan.

"Sebenarnya, saya pengen merekomendasikan supaya si Teteh sekalian aja tes TORCH," kata sang dokter, memuaskan keingintahuan Amara. "Biayanya memang sedikit mahal. Tapi, tes TORCH ini tujuannya emang untuk mendeteksi penyakit atau infeksi pada ibu hamil supaya bisa mencegah komplikasi pada si bayi ..."

Sang dokter tersenyum lembut ketika melihat antusiasme Amara yang tampaknya tertarik. Lalu, dokter itu kembali melanjutkan, "Istilah TORCH ini singkatan dari Toksoplasmosis, Other diseases—penyakit-penyakit menular kayak Sifilis, HIV, Hepatitis B. Rubella, Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes."

"Itu udah satu paket semuanya?" tanya Amara dengan sedikit kelegaan yang selama membuatnya takut.

"Iya, tapi mahal."

"Berapa?"

"Setiap rumah sakit biasanya memasang harga bervariasi," balas sang dokter. "Mulai dari 250 ribu, hingga tiga juta-an. Tergantung pemeriksaan apa saja yang dilakukan. Tapi, semua hasilnya akan seimbang jika memang bisa mencegah kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan."

Ketika Amara mengangguk mengerti, sang dokter tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menulis resep obat pada secarik kertas.

"Tapi, si Teteh bisa tes-nya nanti pas usia kandungan 18-20 mingguan. Siapa tau mau sekalian USG buat liat jenis kelamin bayinya 'kan?" kata sang dokter. "Buat sekarang, saya resepin asam folat, obat untuk ngurangi mual sama pusing ... Ah, ada riwayat pernah keguguran nggak sebelumnya? Kalau ada, saya resepin vitamin penguat kandungan. Kalau nggak ada di sini, bisa dicari di apotik lain nantinya."

"Ngga ada, Bu dokter," kata Amara yakin dengan segaris senyum yang terukir di bibirnya. "Ini kehamilan pertama."

"Wah, kalau kehamilan pertama biasanya dinanti-nanti pasangan pengantin baru," komentar sang dokter masih sambil menggulirkan pulpen di atas kertas. "Pasti seneng ayahnya."

Senyum Amara lenyap seketika. Sekali lagi rasa sakit menghantam ulu hati Amara mendengar ucapan terakhir sang dokter, yang jelas-jelas tidak tahu seberapa kuat kalimat tersebut membuatnya tertusuk.

Apakah dia harus mengabari Fabian? Apakah pria itu akan bereaksi seperti yang sekarang dirasakan Amara? Atau, apakah pria itu akan percaya bahwa dia mengandung anaknya?

Terutama ketika teringat percakapan terakhir Fabian sebelum pria itu menjatuhkan talak.

Bab 2

Amara ingat betul saat Fabian memungkasi pernyataan Amara yang melayani para tamunya tanpa mengenakan pengaman? 

Padahal, andai saja Fabian tahu seberapa banyak tamu yang dilayani Amara selama lima bulan dia menjadi janda, dan dia tahu benar siapa saja yang berhubungan dengan memakai pengaman atau tidak.

Rasa dingin tiba-tiba merambati seluruh tubuh Amara. Bahkan, dia sedikit lemas ketika keluar dari ruang pemeriksaan itu dan berjalan menuju tempat penebusan obat.

Amara memikirkan kemungkinan Fabian yang mungkin tak akan mempercayai bahwa dia mengandung anaknya. Dan jika benar hal itu yang akan dia terima seandainya memberitahu Fabian, dia tahu hatinya akan semakin terluka.

Rasanya sudah cukup sakit tudingan Fabian yang menyatakan kemungkinan dia menularkan penyakit sipilis.

 Jadi, Amara tak ingin berspekulasi akan menambah daftar panjang rasa sakit yang mungkin dia terima dari Fabian.

Memikirkan gagasan tersebut membuat Amara sedikit bingung dan takut. Takut akan masa depan anaknya jika harus lahir tanpa Ayah. Rasanya sudah cukup bagi Amara yang lahir tanpa memiliki ibu kandung.

Namun, Amara juga tak ingin mengalami lebih banyak lagi hari-hari berikutnya dengan diisi kecemburuan yang tak bisa dia kendalikan— karena Fabian cenderung menghabiskan waktu dengan Yuanita, istrinya. Karena Amara tahu, yang diprioritaskan Fabian adalah istri pertamanya. 

____

"Tuh, kan ... nggak salah perasaan Ibu kalau kamu lagi hamil."

"Kenapa Ibu bisa yakin kayak gitu?"

"Ah, kamu mah, Neng ... Ibu ini udah ngelahirin tiga anak," kata Ibunya. "Dari pertama kali kamu ikut ke kebun pas liat tutut— keong sawah, terus minta dimasakin tutut kuah pedas, belut goreng, ubi bakar, getuk singkong. Makanin belimbing wuluh sama tomat mentah, dari sana ibu udah bilang ke bapak kayaknya kamu hamil. Eh, bapak kamu juga bilangnya sama, udah curiga kalau kamu hamil."

Amara tersenyum malu-malu mendengar ucapan sang ibu selepas pulang dari puskesmas dan mengabarkan tentang kehamilannya.

 Awalnya, dia menduga bapak dan ibunya tidak akan senang mendengar berita kehamilan tersebut, mengingat status Amara sekarang sebagai janda.

 Namun, siapa yang menduga ternyata mereka lebih dulu menyadari kehamilannya, dibanding Amara sendiri.

"Emang kalau orang hamil sukanya yang aneh-aneh, ya, Bu?" tanya Amara sambil tersenyum kecil.

Ibunya terdiam sejenak, lalu meraih tangan Amara dan menepuk-nepuk punggung tangannya dengan lembut.

"Sebenarnya nggak gitu juga. Pas Ibu ngandung ketiga ade-ade kamu juga nggak ada yang aneh," Ibunya menjelaskan dengan lembut. "Tapi, yang kamu pengen kemarin itu semuanya makanan kesukaan almarhum ibu kamu pas ngandung kamu, Neng. Jadi bapak sama Ibu yakin kalau kamu lagi hamil."

Amara tertohok mendengar penjelasan lembut sang ibu. Ada sesuatu yang menyumbat tenggorokan dan membuatnya tersendat.

"Emang ibu deket banget sama ibu aku, ya, Bu?" tanya Amara dengan suara hati-hati.

Sang ibu menelan ludah, lalu menatap iba pada Amara sambil mengelus pipinya. "Bukan deket lagi, Neng. Orang rumah kita dempetan pas masih di kampung lama. Malah, orang pertama yang dikasih tau kalau dia hamil lagi, itu Ibu. Makanya Ibu suka sedih kalau liat kamu lagi sedih. Kayak ngeliat almarhum ibu kamu."

Amara tak tahu apa yang membuat matanya terasa pedas melihat ketulusan yang terpancar dari sorot mata wanita renta itu. 

Dia tahu, wanita tua itu bukan yang melahirkannya, tetapi Amara sadar benar bahwa beliau tak membedakan kasih sayang padanya atau pada anak-anak kandungnya sendiri— meski ke tiga kakak kandung Amara hingga saat ini masih menjaga jarak pada beliau.

Memikirkan ketiga kakaknya, entah mengapa terbesit rasa nyeri ketika pikirannya kembali diingatkan oleh salah satu kakaknya yang berkata, 'Ibu mati gara-gara ngelahirin kamu. Harusnya kamu nggak pernah lahir!'

Dan ketika kalimat itu terasa berdengung dalam telinganya, tanpa sadar rasa takut mulai merayap di relung hati Amara. 

Saat mendengar sang dokter mengatakan dirinya hamil, entah mengapa kabar itu seolah menjadi amunisi yang membuat Amara sedikit semangat.

Namun, kini, ketika memikirkan ibunya yang wafat setelah dia lahir ke dunia, terpikirkan oleh Amara tentang kemungkinan dia akan mengalami hal yang sama seperti ibunya.

Bagaimana jika Tuhan mencabut nyawanya setelah dia melahirkan bayi yang kini dikandungnya?

Detik berikutnya, pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam kepala Amara berubah menjadi perspektif—  sudut pandang yang berbeda tentang menghadapi proses persalinan.

Alih-alih dia menyiapkan mental dan sukacita untuk menyambut buah hatinya dari Fabian— mantan suaminya, Amara justru takut bahwa itu akan menjadi proses dirinya menghadapi sakaratul maut.

Jauh dalam hati Amara, dia tahu semua makhluk akan berpulang pada sang pencipta. Namun, sejauh ini, apa yang sudah dia persiapkan untuk dibawa pulang? Bukankah selama ini dia hanya menimbun dosa hingga menggunung?

Amara menghela napas dalam-dalam, berupaya mengendalikan rasa takut dalam hatinya. Satu-satunya keyakinan yang terpatri dalam hati adalah, Tuhan masih memberinya napas hingga saat ini hanya untuk memberi kesempatan agar dia bertaubat.

Lantas, apa yang sudah dia lakukan sejauh ini? Sudahkah dia bersimpuh dan bersujud untuk meminta ampunan dari sang pemilik kehidupan atas segala kelakuannya yang kurang ajar?

Pertanyaan terakhir itu mengetuk-ngetuk relung hati, menyadarkan diri dan membuat hatinya berkata, 'Terkadang, Takdir terasa begitu kejam dan getir. Namun, Tuhan sengaja mematahkan hati seseorang jika terlampau mencintai manusia. Semua itu hanya agar mereka sadar, siapa yang seharusnya dicintai. Tuhan.'

Sejak saat itu, Amara berpikir apa yang harus dia persiapkan untuk menyambut persalinan, atau menghadapi sakaratul maut.

Entah karena terlalu ketakutan memikirkan akan wafat di hari persalinan, atau keputusasaan terlalu menggerogotinya dan membuat dia berpikir tak ada kebahagiaan baginya untuk menyongsong masa depan.

Jadi, sejak hari itu, Amara memutuskan untuk berdiam diri di rumah. 

Dia sibuk memperbaiki diri alih-alih memikirkan ayah si bayi, yang belum tentu memikirkan dirinya. Sepanjang harinya hanya diisi oleh lantunan lirih Tilawatil Qur'an yang sudah terlalu lama dia tinggalkan.

Awalnya, dia berpikir dan membulatkan tekad agar mengurus bayi itu seorang diri, jika melahirkan bayi laki-laki. Tak peduli akan seperti apa nasibnya kelak, dia memutuskan untuk tidak memberitahu Fabian.

Namun, setelah beberapa minggu kemudian dia melakukan USG sambil melakukan tes TORCH, lalu mengetahui bahwa bayi yang dikandungnya berjenis kelamin perempuan, ada rasa sesak yang menyeruak dalam hatinya.

Bukankah seorang perempuan membutuhkan wali jika dia akan menikah? Bukankah Amara sudah bersikap egois jika merampas hak itu dari anaknya dengan tidak memberitahu Fabian?

Tak hanya pertanyaan itu yang kini bersemayam dalam benaknya, tetapi juga tentang bagaimana nasib putrinya kelak? Jika dia wafat setelah melahirkan, akankah putrinya mendapatkan ibu pengganti seperti yang dia dapatkan?

Pemikiran-pemikiran itu berhasil menyuburkan komposisi ketakutan dan imajinasi tak bertepi dalam kepala Amara. 

Semakin perutnya membesar, dia menemukan dirinya tak pernah tenang, meski dia tahu ada Tuhan sang pengendali kehidupan.

Bahkan, ketakutan Amara semakin memuncak ketika hari persalinan itu tiba. Sejak menginjak usia kandungan sembilan bulan, Amara memutuskan untuk tinggal di kediaman orang tuanya.

Jadi, saat Amara merasakan kontraksi selepas shalat Dhuha di hari Jum'at itu, mereka membawa Amara ke bidan yang tak jauh dari balai desa. Amara masih sanggup berjalan bersama ibu dan bapaknya meski langkahnya begitu berat.

Dan ketika mereka tiba di tujuan, si bidan membimbing Amara agar berbaring di ruang bersalin.

"Baru pembukaan dua," kata si bidan setelah memeriksa jalan lahir di tubuh Amara dengan jari tangannya yang sudah mengenakan sarung tangan lateks.

"Berapa lama lagi sampe ngelahirin?" kata Amara tegang, keringat sudah membasahi kening hingga dia merasakan dingin di punggungnya. "Masih lama nggak?"

Sang bidan tampaknya menyadari ketegangan Amara. Karena dia langsung berkata, "Ibunya tenang, ya ... Coba rileks, jangan panik. Kalau masih kuat, coba jalan-jalan dulu di teras, biar lebih cepet proses pembukaannya."

Amara bersusah payah mengendalikan diri agar tetap tenang. Dia kemudian beranjak bangkit dari pembaringan, si bidan memanggil ibu Amara agar menemaninya berjalan-jalan. Namun, Amara tahu apa yang saat ini sedang dia hadapi.

"Bapak mana, Bu?" tanya Amara ketika ibunya menuntun dia keluar dan berjalan-jalan kecil di sekitar teras.

"Tadi Bu bidan minta kamu ganti pakaian yang lebih nyaman. Gamis kamu ketebalan, takutnya gerah," kata ibunya dengan tenang. "Jadi, bapak pulang dulu buat ambil daster sama kerudung yang agak pendek."

Amara mengangguk sambil menggigit bibir. Dia menatap wajah ibunya sekilas untuk mencari ketenangan dari sorot mata sang Ibu, yang tak pernah lelah menenangkannya selama ini.

"Bu, aku ... takut, " gumam Amara pelan. "Gimana ... gimana kalau aku atau bayinya nggak—"

"Hus, eling, Neng ... istighfar," tukas Ibunya yang mengetahui apa yang menjadi ketakutan Amara. "Jangan mikir yang enggak-enggak, nanti kamunya lemes. Kamu butuh banyak tenaga sekarang. Tenang, ya?"

Amara mengangguk sambil menghela napas panjang lagi.

"Mau minum teh manis anget? Ibu bikinin, ya?"

Amara menggeleng, bibirnya tak henti-henti merapalkan doa-doa yang bisa dia baca.

"Bu ...," Amara bergumam lagi. "Kalau aku nggak ada umur hari ini, bapak sama ibu mau kan maafin aku?"

"Neng!" tegur ibunya hati-hati. "Ibu tau kamu takut, tapi jangan berlebihan kayak gini, nggak baik juga. Kamu akhir-akhir ini bahas itu terus."

"Tapi aku banyak dosa sama bapak sama ibu."

"Oh, kesayangan ibu sama bapak," kata Ibunya sambil mengusap-usap bahu Amara. "Nggak diminta juga orang tua mah pasti maafin anaknya, Neng. Udah, ya, jangan bahas itu lagi? Kamu mau makan?"

Amara berhenti berjalan, berpegangan pada kursi tunggu yang ada di teras sambil menggigit bibir erat-erat. "Pinggang aku panas, Bu."

Dan dengan sabar sang ibu mengusap-usap punggung dan pinggang Amara. Lalu, Amara bertanya lagi, "Mau ngelahirin emang sakit kayak gini, ya, Bu?"

Ibunya hanya tersenyum, masih sambil mengelus-elus Amara.

"Pantesan aja Ibu aku meninggal," kata Amara lirih. "Mungkin dia emang terlalu sakit pas lahirin—"

"Neng, jangan bilang gitu," tukas sang ibu. "Itu mah cuma sebab. Semua orang pasti meninggal, dan satu penyakit bukan syarat untuk meninggal, nggak harus tua dan tak kenal usia. Istighfar lagi, ya? Jangan takut."

Amara mengangguk lagi sambil merapalkan dzikir, meski hatinya masih diliputi kegelisahan dan rasa takut.

Saat itu, sepasang suami istri baru saja turun dari angkutan umum, berjalan menuju rumah bidan. Si suami dengan praktis membopong istrinya berjalan yang tampaknya juga akan melahirkan.

Untuk sesaat, Amara melihat mereka berjalan memasuki rumah. Lalu, tanpa diperkirakan, ada rasa nyeri yang menusuk ulu hati Amara. Di saat dia sedang menghadapi proses ini, sekali lagi dia tak merasa beruntung karena tak memiliki suami.

Perlahan mata Amara terasa panas, teringat akan perlakuan Fabian ketika memeluknya, mengusap-usap punggungnya dengan lembut dan penuh perhatian.

Kemudian, tanpa sadar Amara mulai terisak-isak untuk alasan yang tak bisa dia jelaskan.

"Bu," kata Amara di tengah isakannya. "Sakit."

"Sabar, Neng." Ibunya kembali mengusap-usap punggung Amara. "Mau duduk dulu?"

Amara tak menjawab, lalu kembali berpegangan pada lengan ibunya.

 Masih sambil terisak-isak pilu, Amara bergumam, "Bu, bayi aku perempuan. Kalau dia sehat sampe dewasa, nanti dia butuh wali. Kalau aku panjang umur, harus jawab apa kalau dia nanyain ayahnya?"

Ibunya mengembuskan napas panjang. Mengerti rasa sakit Amara bukan hanya disebabkan kontraksi di perutnya, tetapi jelas banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam kepala Amara.

"Neng, nggak ada yang tahu apa yang bakal terjadi satu detik ke depan," kata sang ibu dengan bijak. "Jangan mikir terlalu jauh ke depan. Itu bukan tugas kamu."

Bab 3

Untuk beberapa saat Amara mematung, antara percaya dan tidak dengan yang terlihat di depan mata. Kemudian, Amara mengerjap saat lelaki itu kian mendekat.

Melihat dia hadir di sini berhasil membuat semua itu terasa seperti mimpi bagi Amara. Benarkah dia adalah lelaki yang dirindukan sepanjang malam-malam Amara yang begitu sepi?

Lelaki itu berhenti ketika jarak antara mereka tersisa dua langkah saja. Sementara Amara mematung— dengan tubuh membeku dan lidah yang begitu kelu.

Amara memindai wajah pria itu dengan saksama, seolah-olah memastikan bahwa benar dia yang ada di depan matanya saat ini. Bukan mimpi atau halusinasi.

Entah karena pantulan dari kaus putih berlengan panjang yang digulung hingga siku yang membuat wajahnya tampak bersih, atau mungkin pria itu memang terlanjur tampan, tetapi pria itu tampak lebih segar dari pada terakhir kali mereka bertemu.

Rambut yang dulu agak ikal kini tersisir rapi ke belakang, tak berbeda dengan bulu-bulu kasar di sekitar dagu dan kumis yang tampaknya baru dicukur dua hari lalu.

Tak banyak yang berubah dari pria itu. Gurat kematangan justru membuat dia terlihat semakin memesona saja. Dalam pandangan Amara, tentu saja.

“Amara ...” Sambil menatap tak percaya, tangan pria itu sedikit terangkat, seolah ingin segera memeluk Amara.

Untuk sejenak, alam bawah sadar Amara berkelana jauh. Melewati labirin waktu beberapa bulan yang lalu, kala terakhir kali bertemu.

Apakah Amara masih ada dalam ingatan dan hati pria itu, sampai dia tidak perlu basa-basi saat menyebutkan namanya?

Sementara Amara? Suara itu ... mendengar suara pria itu lagi, rasanya masih terasa seperti mimpi. Bahkan hingga kakinya terasa tak lagi menapak ubin yang dingin.

Tangan pria itu masih melayang di hadapan Amara. Ingin rasanya Amara langsung menubrukkan diri ke dalam pelukan Bian, tetapi Amara terlalu takut pria itu bisa merasakan tubuhnya yang kini menggigil gemetaran.

Bertemu dengan pria itu setelah terpisah berbulan-bulan ... entah mengapa Amara merasakan jantungnya berdebar-debar. Seperti gadis yang baru diterpa cinta pertama.

"Ra ..."

Suara pria itu saat menyebut namanya membuat Amara tergagap. Melihat pria itu hadir bersama bapak Amara, rasanya tak bijak jika dia harus marah, dan dia memang tak ingin marah saat situasi seperti ini.

Terutama ketika di rumah bidan itu juga ada sepasang suami istri yang sama-sama menanti proses persalinan. Walau bagaimana pun, melihat kehadiran pria itu sekarang bagaikan menemukan oase di padang pasir.

"Kenapa baru dateng?" Akhirnya Amara kembali menemukan suaranya meski dengan sedikit gemetaran, dan entah mengapa tiga kata itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari bibir Amara.

Amara masih berdiri di penghujung salah satu ranjang dalam ruangan yang luas, ibunya melangkah melesat keluar menghampiri bapak yang menunggu di teras.

Untuk beberapa detik, Amara tak bisa melakukan apa pun, hanya berpegangan pada ujung ranjang besi, sementara sebelah tangannya diletakkan di perutnya yang buncit. Namun, Amara tahu, ada kerinduan tak terbantahkan yang terpancar dari sorot mata pria itu.

Jadi, ketika Bian mengulurkan tangan untuk membelai pipi Amara, wanita itu langsung bergumam, "Peluk."

Bian tak membuang waktu lebih lama lagi, dia langsung merengkuh Amara ke dalam pelukan. Ada rasa nyeri yang mencuat melihat wajah Amara begitu lemah.

Dari milyaran kata yang bisa diucapkan, Bian tak bisa menemukan satu kata pun untuk menjawab pertanyaan Amara. Kenapa dia baru datang?

Amara membiarkan pria itu mendekapnya dengan erat, tahu bahwa saat ini dia butuh pelukan pria itu. Mata Amara terpejam ketika merasakan tubuh Bian memeluknya dengan cara yang selalu pria itu lakukan. Tubuhnya yang besar dan kokoh menaungi Amara, memberikan banyak kenyamanan yang dia butuhkan.

"Maaf."

Akhirnya Amara bisa mendengar suara Bian lagi, terdengar sedikit gemetar saat dagunya bergerak di atas kepala Amara. Untuk beberapa detik, Amara tak ingin mengucapkan apa pun. Dia membenamkan kepala di dada Bian, mendengar irama detak jantung pria itu yang sama-sama terdengar lebih cepat, seperti Amara.

"Usapin pinggangnya," bisik Amara dalam gumaman lirih. "Panas."

Kemudian dia merasakan pria itu melakukannya, sebelah tangannya bergerak naik turun di sekitar pinggang dan punggung. Sementara sebelah tangannya lagi masih merengkuh kepala Amara di dadanya.

"Maafin," kata Bian yang kini menciumi puncak kepala Amara. Lagi-lagi hanya satu kata itu yang bisa dia ucapkan.

"Pengen ngomong kasar, tapi lagi hamil. Jadi mau nunggu sampe lahiran aja, " gumam Amara sambil menciumi dada Bian, lalu terdiam sebentar. "Tapi takut nggak ada umur buat nyumpahin kamu lagi."

Bian bisa merasakan emosional dan keputusasaan yang mewarnai suara Amara ketika mengatakan hal itu.

"Kalau gitu, ngomong sekarang," kata Bian. "Kalau mau marah, kamu marah aja."

"Kamu mah anj*ng." Akhirnya Amara bisa membisikkan kata itu dengan hati yang nyeri. "Kamu mah b*ngs*t. Kamu mah lebih sadis dari Firaun, lebih zalim dari Namrud. Kamu mah ibl*s ... Kamu mah b*bi, kamu mah ..."

Ucapan Amara terputus, mulai terisak-isak seolah dia baru saja meluapkan apa yang selama ini bergemuruh dalam dada. Namun, rasanya dia belum puas mengata-ngatai Bian dengan berbagai makian kasar.

Menyadari Bian masih tenang, detik berikutnya bibir Amara kembali bergumam, "Aku benci kamu. Aku nggak mau kangen kamu lagi. Aku capek. Aku sakit."

"Aku tau," gumam Bian akhirnya dengan suara tersendat. "Apa yang mau kamu aku lakuin buat nebus rasa sakit kamu, Ra?"

Amara menelan ludah, kemudian kepalanya bergerak pada lengan kanan Bian yang kokoh. Dia kembali bergumam dengan gemetaran, "Abis lahiran, aku mau bunuh kamu."

Dan tubuh Bian menegang saat Amara menggigit lengannya dengan kuat, seolah begitulah cara wanita itu meluapkan semua emosi dan kemarahan yang ada dalam dadanya.

Tangan Bian berhenti bergerak di punggung Amara, tetapi dia tak berniat melepas pelukannya. Justru, semakin kuat Amara menggigitnya, kian erat Bian memeluk Amara.

Sekali lagi Bian kehabisan kata-kata, dan tak berdaya mendapati cara Amara menggigitnya untuk waktu yang lama. Perlahan gigitan Amara mengendur, tubuh wanita itu gemetaran sebelum akhirnya bahu Amara berguncang hebat dan menangis sesenggukan.

Bian tak tahu sejak kapan pipinya basah, menyadari betapa besar luka yang dia torehkan pada wanita itu. Dan ketika Amara mendongak menatapnya sambil terisak-isak, Bian bisa melihat sorot wanita itu bukan saja hanya menampilkan bahwa dia sangat terluka, tetapi hancur.

"Maaf," kata Bian sambil mengusap air mata Amara yang bercucuran. "Kamu boleh ngelakuin apa aja selama itu bisa mengurangi rasa sakit kamu."

"Aku sakit hati. Kamu tau nggak?" kata Amara sambil terisak-isak. "Aku pengen bunuh kamu. Kamu ngerti nggak, Fabian Khadafi?!"

"Iya, aku tau," kata Bian sambil menciumi dahi Amara. "Kan aku bilang, kamu boleh ngelakuin apa aja yang kamu mau kalau memang itu bisa ngobatin rasa sakit kamu."

"Sekalipun kamu mati?"

"Iya, apa pun."

Amara tak bisa membalas ucapan Bian lagi, karena di detik berikutnya perut Amara semakin nyeri sampai dia berpegangan erat pada Bian ketika merasakan cairan merembes di pahanya.

Lalu, dia menjerit-jerit panik sebelum akhirnya sang bidan muncul dan meminta Amara dibawa ke ruang bersalin. Bian langsung menggendong Amara, mengikuti instruksi sang bidan agar membaringkan wanita itu di atas brankar.

Bian tak tahu kenapa dia tiba-tiba ketakutan saat melihat Amara menangis kesakitan. Bahkan, lututnya sedikit gemetar, dan dia tak ingin menjauh dari wanita itu— terutama ketika Amara terus mengatakan agar Bian tetap berada di sampingnya.

"Kamunya tenang, Sayang," kata Bian sambil membungkuk dan memegangi wajah Amara, tahu bahwa wanita itu sama sekali tak mendengar apa yang diinstruksikan si bidan.

"aku takut mati!" pekik Amara dengan suara tercekik, panik. Sementara kontraksinya semakin hebat, tubuh Amara semakin tegang. "Kalau aku mati, jangan ambil bayinya. Jangan diurus sama istri kamu. Ibu sama ade-ade aku yang bakalan ngurus. Jangan diambil ...."

Ucapan Amara terputus ketika napasnya terengah-engah, tetapi samar-samar dia bisa mendengar suara bidan yang mengatakan agar dia rileks. Namun, Amara belum bisa tenang, belum bisa mengendalikan dan mengatur napas seperti yang diinstruksikan si bidan.

"Kalau kamu bawa bayinya setelah aku mati," kata Amara sekali lagi. Dia menggapai apa saja untuk berpegangan. Memegang besi di sisi ranjang rasanya tak cukup memberinya kekuatan.

Jadi, Amara berpegangan pada leher Bian dengan erat sambil terus bergumam dengan tersengal-sengal, "Aku bakalan bangkit dari kuburan buat nyekik kamu, Fabian Khadafi!"

Bian menciumi pipi Amara, berupaya meredam ketakutan yang merayapi hatinya saat Amara terus membahas kematian.

"Kalau gitu, kamu nggak usah mati," kata Bian akhirnya dengan tegas dan meyakinkan. "Kamu harus tetep hidup buat nyaksiin kalau aku nggak akan ngambil anak kita dan ngasiin dia ke orang lain. Kita rawat dia bareng-bareng, Oke? Sekarang tenang, dengerin apa yang dibilang Bu bidan, ya?"

Mengejutkan kenapa ucapan tegas Bian berhasil membujuk Amara, seolah menghipnotis wanita itu agar bisa lebih rileks menjalani proses persalinan.

Namun, kini giliran Bian yang tak bisa rileks. Bahkan, dia tak sadar bagaimana cara Amara berpegangan di lehernya. Kuku-kuku wanita itu menancap, menusuk kulit lehernya dan membuat beberapa luka cakaran yang panjang.

Seumur hidup, ini pertama kali bagi Bian menyaksikan proses persalinan. Dan wanita itu akan melahirkan bayinya, alasan yang membuat ketakutan Bian semakin berlipat ganda.

Jadi, ketika beberapa menit kemudian terdengar tangisan bayi sementara napas Amara tersengal-sengal di telinganya, Bian tahu bahwa proses ketegangan itu sudah berakhir.

Tanpa bisa dikendalikan, bahu Bian bergetar hebat sebelum akhirnya tersungkur di bahu Amara. "Kamu wanita hebat," bisik Bian sambil terisak-isak. "Maaf kalau kamu harus berjuang sendirian selama ini."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!