Bab 9

'Aku nggak tau berapa banyak cerita tentang masa laluku yang kamu denger dari temanmu. Tapi nama mantanku Mutiara.'

Ucapan Bian rasanya masih berdengung di telinga Amara, dan hal itu berhasil menyeret benak Amara menyusuri labirin percakapan dia dengan temannya beberapa bulan lalu.

'Om Bian setia banget sama Tiara, begitu juga sebaliknya —lu pasti ngiri deh kalo liat mereka. Tiara ini pernah hamil, itu pas Om Bian kerja di Hotel bintang lima di Jakarta.'

'Tapi orang tuanya sadis, kandungan Tiara digugurin, terus Tiara dijodohin sama orang Hongkong, dan sekarang tinggal di sana.

'Padahal, saat itu karir Om Bian udah mulai bersinar, dan kisah mereka cukup heboh loh saat itu di kampung ini. Soalnya pas nikahan Tiara, Bian mabuk parah, pulangnya kecelakaan. Kalau nggak salah inget, kelingking kaki kirinya putus.'

Kemudian, muncul segelintir pertanyaan dalam kepala Amara ketika melihat bagaimana sikap Bian pada bayi mereka. Pria itu merawat bayinya seperti merawat sebuah berlian yang langka dan mahal, seolah tak ingin benda berharga itu tergores walau sedikitpun.

Jadi, Amara bertanya-tanya dalam hati, selain karena Bian belum memiliki anak di usianya yang menginjak 36, apakah pengalaman pahitnya dengan Tiara yang membuat dia bersikap seperti itu pada bayinya?

Terkadang, Amara bisa melihat dengan jelas bagaimana sorot mata Bian ketika memandang si bayi. Tatapan yang menyiratkan ketidakpercayaan, sekaligus rasa takjub dan bangga di saat yang bersamaan.

Suara tangisan si bayi membuat lamunan Amara buyar, kemudian dia menoleh dan mencondongkan tubuh, mengangkat putrinya dengan penuh kehati-hatian.

Meskipun Bian sedang sibuk menyiapkan sarapan, tetapi ketika mendengar tangisan putrinya dari kamar— yang sebenarnya wajar terjadi, tetap saja dia mempercepat setiap gerakan saat menyajikan makanan di atas nampan.

Ketika dia tiba di ambang pintu kamar yang dibiarkan terbuka lebar, Amara baru saja membuka kancing piyama dan menyembulkan sebelah pay*daranya untuk memberikan ASI pada sang putri.

"Ih, ke sana dulu! Aku mau nyusuin bayinya!" gerutu Amara, sedikit terkejut ketika melihat Bian berdiri terpaku di dekat pintu. Dan dia tak sadar kini pipinya sedikit merona. "Jangan ngeliatin kayak gitu!"

"Maaf," kata Bian datar, "Tapi aku udah terlanjur ngeliat."

Bian tidak berhenti melangkah ke arah Amara yang tampak kelimpungan menyambar kain bedong untuk menutupi pay*daranya, yang jelas-jelas kini terlihat lebih berisi dan montok.

"Lagian aku bukan nggak pernah ngeliat juga kan sebelumnya," lanjut Bian tanpa dosa. "Bahkan duluan aku yang nikmatin pay*daramu sebelum anakku."

"Dasar otak mesum!" Amara mengumpat, mempertimbangkan untuk melemparkan bantal jika saja Bian tidak sedang memegang nampan berisi aneka makanan. Barulah saat itu Amara tersadar perutnya sudah sangat melilit.

Jadi, ketika Bian meletakkan nampan tersebut pada meja pendek di samping tempat tidur, Amara langsung berseru, "Aku lapar."

"Aku tau." Bian tersenyum kecil mendengar ucapan Amara yang tak malu-malu. Dia menarik kursi di dekat meja rias untuk duduk. "Mau minum susu dulu atau—"

"Roti sama susu," pungkas Amara buru-buru. "Cepetan siniin."

"Nggak sabaran amat." Bian tertawa kecil dan langsung mengulurkan tangan untuk menyambar sehelai roti gandum dan segelas susu vanilla hangat.

Lalu dia menyadari sebelah tangan Amara sedang menggendong bayinya, sehingga Bian langsung berkata, "Buka mulutnya. Biar aku suapin aja."

"Aku bisa sendiri," kata Amara sambil menyambar roti di tangan Bian dan melahap dengan gigitan besar.

"Pelan-pelan, Bunda sayang," kata Bian lembut, dan akhirnya ucapan itu membuat Amara tersedak roti yang sedang dia telan. "Tuh 'kan, baru juga dibilangin biar pelan-pelan. Keselek kan akhirnya."

Amara memelototi Bian sambil menepuk-nepuk dadanya. Setelah berhasil mengambil napas, dia berkata, "Minum."

Jadi, Bian langsung menyodorkan segelas susu hangat ke dekat bibir Amara. "Makanya buka mulutnya. Biar aku yang suapin, kamu kerepotan gitu makan sambil gendong bayi. Jangan ngeyel kalau dibilangin."

Amara tak ingin berdebat, karena dia langsung meneguk susunya hingga setengah gelas. "Rotinya lagi."

"Kasian bundanya anakku kelaparan kayak gini," goda Bian sambil menyuapi Amara, dan wanita itu tak lagi menolak perhatian Bian, terutama ketika dia tahu jam sarapannya sudah terlewat satu jam lalu.

"Aku udah kelaparan dari tadi. Biasanya Ibu udah dateng bawain bubur," keluh Amara sambil mengunyah makanan yang disuapi Bian. "Nggak biasanya Ibu berangkat ke kebun sebelum —"

"Aku yang bilang ke ibu mau ngurusin kamu mulai hari ini," kata Bian kaku. "Tapi besok aku siapin sarapan lebih awal sebelum mandiin bayinya."

"Pantesan ibu nggak dateng-dateng." Amara mendelik kesal.

"Kamu kan dulu sarapannya jam sepuluh, Ra. Sekarang baru setengah sembilan, makanya tadi aku mandiin—"

"Itu kan sebelum aku hamil," pungkas Amara yang kemudian membuka mulutnya lagi agar Bian kembali menyuapinya. "Lagian, sekarang aku ngasih ASI. Perasaan jadi cepet banget laper. Makanya ibu dari kemarin subuh-subuh udah dateng, bikinan apa aja buat dimakan."

"Maafin, ya?" kata Bian sambil menyeka tetesan susu di dagu Amara, lalu dia mengamati kantung mata Amara yang jelas-jelas terlihat lelah. "Kamu kurang tidur lagi semalem, Ra?"

"Bukan semalem doang, tapi udah tiga malem," Amara mengakui sambil menepuk-nepuk bayinya yang kini kembali tertidur setelah pulas disusui. "Tadi malem tiga kali kebangun karena—"

"Bantu kasih susu formula, ya?" Bian menyarankan. "Jadi kamu nggak akan keganggu malemnya. Biar aku yang jagain—"

"Enggak, ah," tolak Amara sambil memberingis. "Mau kasih ASI sampe usia dia dua tahun. Biar semua kebutuhannya tercukupi."

"Tapi kamunya nanti jadi kelelahan —"

"Dia anakku," sahut Amara sambil mengangkat bayinya dan menciumi pipi kecilnya. "Lagian, ini nggak akan lama. Ada masanya nanti aku kangen kebangun tengah malem buat nyusuin dia."

Bian terdiam, lalu memandang Amara dengan kagum. Wanita itu memang selalu membuat dia takjub dengan sikap dan pola pikirnya yang dewasa— mengingat Amora baru berusia 22 tahun.

Meski tangannya terulur untuk meletakkan gelas susu yang sudah kosong, tetapi matanya terus mengamati Amara yang kembali membaringkan sang bayi di sisinya.

Ketika wanita itu kembali duduk tegak, Bian meraih sebelah tangan Amara. Ibu jarinya mengelus punggung tangan wanita itu dengan sentuhan lembut sambil berkata, "Ra, makasih."

Barulah Amara membalas tatapan Bian dengan serius, lalu dia menyadari sorot mata pria itu memancarkan ketulusan yang tak terelakkan.

Namun, Amara tak ingin terpaku pada tatapan Bian. Jadi, dia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ke arah dinding bercat putih, langit-langit kamar serba putih. Ke mana pun, asalkan bukan pada manik mata pria itu.

Tuhan tahu seberapa kuat sekarang jantung Amara berdenyut-denyut karena ditatap seperti itu oleh Bian.

"Oh, empat bulan lagi aku mau nikah." Amara tampaknya tak mendengar keretakan hati Bian saat dia mengatakan hal itu dengan tiba-tiba.

"Nikah?" Bian mengulangi dengan suara tersendat, lalu tanpa sadar dia semakin erat menggenggam tangan Amara.

Kemudian dia teringat ucapan wanita itu yang mengatakan anaknya akan mendapat ayah pengganti, dan Bian sadar sepertinya Amara tidak sedang bercanda mengenai ucapannya saat di telepon.

Kendati demikian, Bian tetap berupaya tenang. "Kapan? Siapa lelaki yang beruntung bisa jadi suami kamu itu, Ra?"

Amara mengernyit, berupaya mencerna nada suara dan kata-kata Bian yang terdengar sedikit ambigu. "Cowok yang waktu hati Sabtu—"

"Zack?" Bian menebak dengan suara tersendat. "Bukanya dia udah nikah?"

"Tau dari mana?" Amara balik bertanya dengan heran.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!